Jumat, 24 Juli 2015

VEIN AMORA - 4



Jam makan siang yang sunyi. Fara menatap ponselnya yang masih mati di atas meja kerjanya. Di balik tumpukan buku siswa dan arsip-arsip yang harus ia kerjakan, ia menyembunyikan seluruh rasa sakitnya. Biasanya pada jam istirahat Dimas selalu meneleponnya, untuk sekedar menemaninya makan siang. Ia akan menceritakan banyak hal, mengatakan banyak lelucon yang tidak lucu, namun tetap membuat dunia Fara berwarna.

Dua bulan berlalu.

Dan semuanya terasa seperti baru kemarin. Rasa sakitnya masih membekas sangat dalam. Bahkan terlalu dalam. Fara masih berharap ini hanya sebuah mimpi belaka. Ia masih berharap bahwa sebentar lagi Dimas akan menghubunginya. Ia hanya ingin mendengar suara pria itu. ia hanya ingin berbicara dengannya. Ia ingin mendengar desahan nafasnya. Memastikan bahwa Dimas baik-baik saja.

Vena yang tanpa sengaja berjalan melewati meja Fara langsung menghentikan langkahnya. Ia menatap Fara dengan pandangan sedih. “Kamu nggak apa-apa Far?” tanyanya, membuat Fara tersentak kaget.

“Aku nggak apa-apa.” katanya, mencoba tersenyum. Vena mengangguk pelan.

“Kamu tau aku selalu di sini kalau kamu butuh teman ngobrol.” Katanya sungguh-sungguh.

“Thanks Ven.” Fara benar-benar bersyukur karena memiliki Vena di sini. Setidaknya ia tau, ia tidak perlu berpura-pura kuat di hadapan wanita sebayanya itu.

“Bu Fara, ada telepon.” Teriak Baskoro, guru Pkn yang duduk di dekat meja telepon. Fara melongokan kepalanya dari balik tumpukan buku siswa.

“Dari siapa?” tanya Fara bingung.

“Dari Jakarta.” Jawab Baskoro seraya memberikan gagang telepon kepada Fara.

“Ya halo?”

“Mba Fara?!”

Itu suara adiknya. Soraya Dewi.

“Ini aku Aya.” Fara tau. “Mba, ayah masuk rumah sakit! Mba harus pulang.” Suara gadis 19 tahun itu terdengar kalut. “Mba…” rintihnya sebelum isakannya pecah.

Fara mencoba untuk tetap fokus, tapi berita itu dengan mudah menghancurkan konsentrasinya. Yang ia dengar hanya isakan Aya di sebrang sana. “A… Aya. Mba pulang.” Bisiknya, seperti sebuah janji, entah kepada siapa.

“Bu Fara, ibu nggak apa-apa?” Baskoro langsung bangkit dari kursinya ketika melihat tubuh Fara yang tiba-tiba oleng. Ia menangkap lengan Fara tepat sebelum wanita 23 tahun itu hilang kesadaran.

***

“Dasar anak preman!!!”

Suara teriakan itu memekakan telinga. Lalu tawa di belakangnya pecah, mengelilinginya seperti pusaran air.

“Kata mamaku bapaknya itu suka ngambil uang dari orang-orang! nggak pernah kerja!! Tukang nyolong!!”

Fara berjongkok sambil memeluk lututnya. Ia membenamkan wajahnya diantara kedua lututnya, sangat dalam, sampai-sampai ia merasa lehernya tertarik. Tapi Fara kecil tidak peduli.

“Iya tukang nyolong!! Tukang berantem!!” riuh anak-anak lain di belakangnya meneriaki kata yang sama.

“Preman pasar!!! Fara anak preman! Fara anak preman!!” teriakan itu terus bergema, terus meliputi Fara kecil yang ketakutan. “Fara anak preman!!!! Fara anak preman!!”

***

Berdiri sendiri, Fara mencoba menahan isak tangisnya. Namun sia-sia. Ingatan akan masa kecilnya kembali muncul. Mengulitinya sampai ia berteriak tanpa suara. Air mata Fara menetes perlahan. Ia sangat membenci kejadian itu. Ia membenci masa kecilnya, ia membenci kehidupannya, ia membenci ayahnya! Ia membenci keadaan mereka.

Suara monitor jantung di samping ranjang ayahnya menjadi satu-satunya suara yang bisa Fara dengar. matanya yang basah terus menatap wajah tua yang tengah terpejam itu. kerutan-kerutan sudah menghiasi wajahnya, ia terlihat tua dan lelah. Rambutnya hanya sebagian yang tersisa berwarna hitam, beberapa garis bekas luka memanjang di pelipis dan keningnya. Menjadi codet yang tak hilang dimakan waktu.

Tangannya terkulai lemah di samping ranjang, terpasang selang infuse. Dulu, dulu sekali tangan itu pernah memukulinya hingga ia tidak bisa lagi bergerak. Setiap kali malam tiba, Fara dan adiknya pasti akan diliputi rasa takut yang luar biasa. Lewat pukul 12 malam, ayah mereka akan pulang dalam keadaan mabuk, dengan botol setengah kosong di tangannya. Kadang ia tertawa-tawa, kadang meracau tidak jelas, kadang dalam keadaan marah. Ia akan memanggil kedua putrinya untuk kemudian menyuruh mereka berdua duduk di depannya. Menyuruh mereka menenggak minuman di dalam botol itu. Kalau mereka menolak, ayahnya akan memukuli mereka. begitu seterusnya, hingga keesokan harinya, bahkan mereka tidak bisa bergerak karena terlalu banyak luka yang ada di tubuh mereka.

Fara membenci ayahnya. Ia sangat membencinya. Itulah mengapa akhirnya ia kabur dari rumah ketika beranjak remaja. Ia rela menjadi pelayan di rumah makan untuk mencari uang, lalu menyekolahkan dirinya sendiri.

Masa kecil yang begitu panjang dan perih. dan semua itu hanya dikarenakan ia memiliki ayah seorang preman yang suka mabuk!

Fara berlutut di samping ranjang ayahnya, isaknya pecah.

“Ma… afin… ayah… Fa…ra…”

Suara itu berupa rintihan, serak tertahan rasa sakit. Fara tidak berusaha bangkit. Ia tetap dalam posisinya, membiarkan air matanya mengalir sendiri.

“Fa… ra…” panggil ayahnya dengan pelan. Masker oksigennya berembun setiap kali ia berbicara. Mata tuanya hanya bisa menatap langit-langit. “Fa…ra…”

Fara bahkan tidak menyangka ayahnya mengingat namanya. Ia sangat merindukan ayahnya. Ia sangat merindukan panggilan sayang ayahnya, yang mendadak menghilang sejak ibunya meninggal ketika melahirkan Soraya.

Dadanya terasa sangat sesak. Fara tidak bisa bernafas. Sejauh apapun perasaan bencinya, pria tidak berdaya itu tetaplah ayahnya.

“Fa… ra…” semakin lemah, suara itu begitu rapuh.

“Ayah… Fara di sini…” Fara bangkit, menggenggam tangan ayahnya dengan erat. Kepala lemah pria tua itu sedikit bergeser untuk melihat putrinya. Lalu samar-samar Fara bisa melihatnya tersenyum. Senyuman yang sudah lama sekali tidak pernah Fara temukan.

“A… ya… ma… na?” terbata-bata ia menanyakan putrinya yang lain.

“Soraya!!!!! Soraya!!!” teriak Fara, ia tidak ingin melepaskan genggaman tangannya dari sang ayah. Ia tidak ingin meninggalkannya. Ia tidak akan bisa.

Tak lama Soraya berlari masuk dengan sekantung obat di tangannya. “Kenapa mba, ayah kenapa?” tanya Soraya terkejut. “Ayah… ayah sakit? Bagian mana yah? Mana yang sakit?” Soraya memeriksa infusan, lalu kepala ayahnya. “Mau Aya panggilin dokter? Ayah tunggu dulu.”

Pria tua itu tidak mampu menjawab, namun pandangannya berubah sedih ketika putrinya beranjak pergi.

“Aya!!” teriakan Fara menghentikan langkah adiknya. “Jangan pergi…” bisik Fara tertahan.

“Tapi aku mau panggil dokter mba…” ujar Soraya. Ia tidak suka melihat kakaknya menangis seperti itu. kakaknya adalah wanita yang tangguh. Yang berhasil pergi namun tetap kembali untuknya. “Aku mau panggil dokter mba…” Soraya kembali mengulangi kata-katanya, namun kini dengan suara yang lebih lirih. Ia menahan isakannya dengan sangat keras.

Fara membelai lembut pipi ayahnya, mencium keningnya dengan penuh sayang. Seluruh kenangan buruk tentang masa kecilnya menghilang, tidak lagi berarti baginya. Ia hanya ingin ayahnya bertahan. Ia hanya ingin ayahnya tetap berada di sisinya.

“Ayah… kami sayang ayah…” bisiknya di telinga ayahnya.

“Aku… mau… panggil.. dokter…” ujar Soraya, namun tubuhnya tidak bergerak sama sekali.
Mata tua itu berkedip lemah, membuat air mata menetes dari sudut matanya.

“Kami sayang ayah… Aku selalu sayang ayah…” isak Fara di samping tubuh tua itu. Soraya tidak mampu bergerak. Ia hanya membiarkan air matanya menetes tanpa berupaya menyekanya. “Ayah… maaf…”

Kata-kata itu tidak terjawab. Hanya terdengar suara isak dari kedua wanita itu. bahkan suara monitor jantung yang kini hanya berbunyi satu titik tak lagi terdengar, tertutup isak tangis keduanya.

“Ayah…”

Rasanya begitu pedih. Kedua gadis itu menangis dengan cara mereka sendiri. melepaskan sesuatu yang tidak pernah ingin mereka lepaskan. Merelakannya pergi.

***

Fara menggigiti kukunya dalam cemas. Ia berjalan mondar mandir di dalam kontrakannya yang kecil. Ia sudah siap pergi namun jiwanya sama sekali tidak tenang. Ketika pintu kontrakannya diketuk, Fara membukanya dengan gundah.

“Aku nggak yakin mas.” Ujarnya setengah merengek.

“Nggak yakin kenapa lagi?” tanya pria itu. Ia tampak menawan dengan tshirt dan jeansnya. Dimas memang selalu menawan di mata Fara. Dan itu memperburuk keadaan. Fara merasa Dinas terlalu sempurna untuknya. Ia khawatir Dimas akan pergi jika mengetahui siapa ayahnya. “Fara, dengar.” Dimas menangkap tubuh kekasihnya. Mencengkram kedua lengan itu, memaksa Fara berdiri di depannya. “Kita mau kunjungi ayah kamu. Bukan mau ke pengadilan. Berenti cemas.” Katanya sambil meraba kerutan di kening Fara.

“Mas… mas itu nggak kenal ayah.”

“Iya aku nggak kenal. Makanya hari ini aku mau kenal.” Ujar Dimas tegas.

“Ayahku preman mas!!”

“Kamu udah bilang itu ratusan kali Fara. Dan jawaban aku juga nggak akan berubah. Dia tetap ayah kamu. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu karena ayah kamu. Aku nggak akan pernah pergi Fara! Aku cinta kamu!!”

Fara merasakan matanya memanas. Pada akhirnya semua orang selalu pergi. Bahkan ibunya...

“Fara please…” Dimas menarik gadis itu ke dalam pelukannya. “Aku juga takut. Aku cemas. Aku tegang. Aku takut ayah kamu nggak suka aku. Aku takut aku nggak cukup pantas buat kamu.”

Fara terkekeh pelan di dada Dimas. Bagaimana mungkin ia bisa memiliki pemikiran itu? bukankah Dimas terlalu sempurna untuk seorang guru SD seperti Fara?

“Tapi aku akan berusaha Fara. Aku udah terlanjur jatuh cinta sama kamu. Aku akan berusaha untuk ngeyakinin ayah kamu, kalau putrinya ada di tangan yang tepat!” ujar Dimas sungguh-sungguh. “Lagi pula, aku nggak mau buat ayah kamu cemas mikirin putri cantiknya di sini. Dia berhak tau laki-laki mana yang harus dia cari kalau terjadi sesuatu. Aku mau jadi satu-satunya orang yang diberikan tanggung jawab buat jaga kamu.”

“Tapi ayahku preman mas. Dia terlalu sibuk sama minumannya, dia nggak mungkin sempat cemas sama hal lain.”

“Fara, aku tau. Ayah kamu preman, tapi dia tetap seorang ayah. Dia pasti sayang sama kamu dan Aya.” Fara ingin membantah, namun dengan cepat Dimas segera melanjutkan kata-katanya lagi. “Dan lagi pula, kamu nggak boleh batalin rencana ini lagi. Aku udah persiapin ini sejak 1 bulan yang lalu. Aku bahkan udah bawa senjatanya.”

Kening Fara kembali berkerut. “Senjata?”

Dimas mengangguk dengan wajah yang lucu. “Iya, aku harus siapin semuanya buat menarik simpatik calon mertuaku.” Katanya dengan senyuman tulus.

Fara menggeleng-geleng sambil terkekeh. Belakangan ia tau bahwa senjata yang dimaksudkan Dimas adalah papan catur dan kacang rebus. Dan tentu saja pemikiran pria itu tidak meleset. Dengan cepat Dimas mampu menarik perhatian ayah gadis itu. Mereka bahkan sampai hampir memainkan 6 ronde catur, kalau bukan karena Fara yang merajuk kesal di permainan ke-6 kedua pria itu.

Satu hal yang Fara tau sore itu, ayahnya hanya seorang pria biasa. Dan Dimas-lah yang luar biasa, karena pada akhirnya dialah yang mampu memperlihatkan sosok lain dari diri ayahnya.

“Hahaha nanti kalau ke sini nggak usah ajak Fara, Dim. Saya masih penasaran sama tehnik kamu.”
Fara melotot mendengar kata-kata ayahnya sebelum mereka keluar dari pintu rumah susun ayahnya. 

Dimas tertawa santai. “Wah kalau nggak diajak, bisa dicingcang-cingcang saya sama Fara pak.” Selorohnya, membuat Fara semakin membulatkan matanya.

“Fara, kamu jangan terlalu keras jadi perempuan.”

Hah?!

Fara melongo mendengar teguran ayahnya. Dimas tau itu sinyal yang buruk, jadi dengan cepat ia segera membawa Fara pulang. Kalau mereka tetap di sana, ia pasti akan benar-benar dicincang kekasihnya ketika sampai di rumah.

***

Pusaran di hadapannya masih basah, bertabur kelopak bunga tujuh rupa yang dibelinya di pasar. Sebuah kendi berisi air berada tepat di depan nisan kayunya yang sangat biasa. Tidak banyak orang yang melayat.

Siapa yang mau melayati seorang mantan preman?

Fara merangkul Soraya yang masih berjongkok di samping makam ayah mereka. Sore yang tenang. Dengan semilir angin yang menerbangkan ujung baju mereka, sinar matahari muncul malu-malu di balik tumpukan awan.

Fara menatap langit.

Kita masih di bawah langit yang sama mas.

Ayah meninggal… kamu dimana?


***

Kamis, 23 Juli 2015

VEIN AMORA - 3



“Aku nggak percaya akhirnya semuanya selesai mas…” gumam Fara sambil memainkan jemari kekasihnya yang lebih besar dua kali lipat dari jemarinya sendiri. Ia menyandarkan kepalanya di dada bidang Dimas, bergelayut manja di atas sofa. “Akhirnya Pak Abraham mau pertahanin Danisa.”

Dimas tersenyum sambil mengganti chanel tv dengan tangannya yang bebas. “Itu semua berkat kamu, ibu guru cantik…” katanya seraya mencium puncak kepala gadisnya. “Kamu itu hebat sayang. Cuma aja kamu kadang pesimisnya luar biasa.”

Fara mencubit lengan kekasihnya dengan kesal. “Aku Cuma coba buat realistis mas…”

“Tapi bayangan kamu itu selalu berlebihan Fara,”

“Lho, lebih baik gitu kan, bayangin yang terburuknya dulu, jadi nanti kita nggak perlu kaget sama apapun yang terjadi akhirnya. Toh kita udah mempersiapkan diri buat hal terburuk.”

“Tapi itu bikin kamu jadi pesimis sayang…”

Fara cemberut. Ia malas berdebat dengan Dimas.

“Ya udah sih, terus kamu nggak suka?” tuding Fara.

Dimas terkekeh. “Aku nggak suka sifat kamu yang pesimis. Kamu itu tangguh sayang, kamu itu luar biasa hebat. Kamu pasti bisa terbang lebih tinggi dari pada yang otak kamu bayangkan.”

“Lebay ah…”

“Lho, serius…”

“Oya mas, tadi kenapa mas nggak mau ketemu pak Abraham? Dan pak Abraham juga, waktu aku bilang mas mau jemput, dia nggak bilang apa-apa.” padahal biasanya dia selalu bersemangat ketemu kamu… lanjut Fara dalam hati. kedua pria beda generasi itu memang seperti cucu dan kakek.

“Hm… mungkin pak Abraham masih sedikit kecewa,” Kening Fara berkerut tidak mengerti. “Kita bahas yang lain aja oke?”

Fara menggeleng dengan tegas.

Dimas menghela nafas panjang. “Sebenernya aku nggak mau bilang ini dulu. Tapi, yah apa boleh buat. Kamu nggak akan bisa dialihkan perhatian kalau udah begini.” fara bersidekap di sofa, menunggu penjelasan Dimas. “Aku berhasil masuk ke kementrian luar negeri, dan sebentar lagi ikut diklat prajabatan untuk diplomat.”

Fara melongo. Otaknya sibuk mencerna kata-kata pria di hadapannya.

“Yah kamu tau kan, untuk jadi diplomat, kamu harus bersedia ditempatkan di Negara manapun yang udah ditunjuk. Dan aku… rencananya, kalau kamu bersedia… kalau kamu bersedia yah, aku nggak maksa kok. Aku mau kamu ikut dampingi aku. Mungkin itu yang bikin pak Abraham kecewa. Padahal aku belum tanya kamu, dan kamu juga belum tentu bilang iya.” Dimas menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.

“Akuu mauuuuu!!!!” teriak Fara histeris, membuat Dimas meggeleng-geleng.

“Oke, mungkin kata-kata lamaran aku harus di revisi. Fabian Fara, kamu bersedia kalau harus tinggal di luar Indonesia, dan jadi satu-satunya wanita yang damping hidupku sampai akhir hayat nanti?”

Hati Fara meleleh. Ia sudah tidak bisa berkata apapun lagi. Ia menghambur untuk memeluk kekasih hatinya. mencurahkan kebahagiaanya dalam derai air mata haru.


Rabu, 22 Juli 2015

SHADE - 3

Aku bertanya kepada Tuhan,

Apa yang sebenarnya ia persiapkan untukku?

Mengapa sangat sulit menemui kebahagiaan itu?

“Ka, kamu belum siap? Kita berangkat jam 12 loh, kamu mau ikut nggak sih?” tanya mama ketika melihatku masih terduduk dengan kaos belel dan celana tanggung di depan laptop. Dan belum mandi sama sekali, bahkan aku belum menggosok gigiku dari pagi.

Bibirku masih terkatup rapat. Kalut. Ketakutan kehabisan waktu.

Dengan langkah gontai aku berjalan ke lemari, mengambil beberapa potong kaos dan celana, lalu memasukannya ke dalam tas. Sesekali aku melempar pandang ke luar jendela, menatap cahaya matahari, menyusun kepingan kekuatan.

Apa aku kalah?

Aku masih belum bisa menangis. Mulutku masih terkatup, tak bisa bicara atau tersenyum, seakan seluruh perasaan itu membungkam mulutku. Aku pasti sangat terpukul. Tidak pernah aku merasakan perasaan ini sebelumnya. berkejaran dengan waktu.

Lagi-lagi aku melirik jam dinding, lalu ponselku yang masih mati. Tidak ada tanda-tanda ia akan segera menghubungiku. Bodoh, aku gadis terbodoh. Dengan hati kebas aku mengambil ponselku, menghapus nomornya untuk keseian kalinya, agar aku bisa berhenti mengirimi pesan konyol kepadanya. Agar aku bisa melupakannya, atau setidaknya itu adalah harapan terbesarku.

Pukul 11 siang, aku sudah siap dengan barang bawaanku, meskipun aku tidak tau apa yang sudah aku masukan ke dalam koper. Aku sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Otakku terbelah dalam kegalauan.

Muhammad Rayyan : Maaf yang, aku baru bangun.
Muhammad Rayyan : Kamu mau anter aku ke bandara? Aku sampai sana jam 4.
Muhammad Rayyan : Aku buatin lagu buat kamu, buat kita, semoga kamu suka yah…
Muhammad Rayyan : Audio

Aku memutar lagu itu, rasanya seperti meminum air yang sangat sejuk di tengah kemarau panjang.

Jam 4? Aku berangkat jam 12 siang!

Untuk pertama kalinya setelah 48 jam aku menangis. Aku jatuh terduduk di samping ranjang sambil menggenggam erat ponselku, rasanya sangat menyakitkan. Seperti aku akan mati. Air mataku tidak bisa berhenti menetes, melodi yang ia buat begitu indah, dan sangat menyakitkan di hatiku.

Aku kehilangan arah. Emosiku pecah berantakan. Bendungan rasa sakit itu terurai tanpa diminta.  

Sabilla Amira : Aku suka lagunya.
Sabilla Amira : Aku mau banget anter kamu ke bandara, tapi aku berangkat jam 12 yang. Maaf.

Muhammad Rayyan : Maafin aku yah yang, aku banyak salah banget sama kamu. Tapi aku pulang lagi bulan agustus ada tugas dinas ke Jakarta, dan lebaran iedul Adha juga aku pulang.

Aku tidak yakin apakah aku bisa berharap lagi.

Aku kehilangan seluruh mimpi dan kepercayaanku, meskipun tentu saja sosok bodoh di dalam diriku tidak akan pernah membiarkan dongeng padam di dalam benakku.


Entah lihat saja nanti sejauh apa angin akan menerbangkan lukaku. 


VEIN AMORA - 2



Seharusnya Fara tidak pernah mempercayai kedua sahabatnya. Karena pagi itu, ketika ia tengah berjalan sendirian di lorong sekolah dengan setumpuk buku di tangannya, ponselnya tiba-tiba bergetar. Serentetan kata-kata selamat menempuh hidup baru langsung memenuhi inboxnya. Fara menepuk keningnya dengan pelan, menertawakan kekonyolan pagi itu. Tapi ia tidak bisa marah, entah bagaimana justru hatinya semakin tersanjung. Semakin dibuai kebahagiaan.

Fara memasukan ponselnya ke dalam saku, sebelum memasuki kelas yang harus diajarnya pagi itu, kelas Danisa, kelas 2-b.

Danisa adalah seorang gadis kecil dengan rambut panjang kusut berwarna kemerahan karena terpapar sinar matahari. Baju seragamnya berwarna kekuningan, terlalu sering dicuci, atau entah karena tidak pernah dicuci. Kuku-kukunya hitam, terisi pasir dan tanah yang ia mainkan. Danisa lebih senang duduk menunduk, sampai-sampai terkadang Fara harus berdiri untuk memastikan gadis kecil itu ada di kursinya di bagian paling belakang. Tidak ada yang mau duduk satu kursi dengan Danisa, dengan alasan ia jorok dan bau. Dan fara tidak bisa menyalahkan kejujuran mereka.

Tapi dimata guru seperti Fara, Danisa adalah sebuah mutiara dari kedalaman samudra yang selalu ingin ia ambil, selalu menarik perhatiaanya, selalu menimbulkan rasa ingin tahunya yang tinggi. Terlebih menurutnya Danisa adalah murid yang cerdas, dan Dimas setuju mengenai hal itu.

Fara membagikan kertas bergambar kepada seluruh murid. Ada delapan gambar di dalam kertas itu, dengan huruf-huruf yang tertulis secara acak. Fara menjelaskan, mereka hanya perlu menuliskan nama benda-benda dalam gambar, dan memperbaiki hurufnya. Tanpa menunggu lama lagi, Danisa yang merasa sudah cukup mengerti dengan apa yang Fara katakana, langsung tenggelam dalam kertasnya. Dimas benar, Danisa adalah siswi yang menarik.

Bippp…

Ponselnya bergetar. Fara berjalan ke meja guru, mengecek ponselnya dari balik buku.
Mas Dimas 08787xxxxxx
Hai ibu guru cantik…

Fara tidak bisa menahan senyumannya. Pesan kedua muncul sebelum Fara sempat membalas pesannya yang pertama.

Mas Dimas 08787xxxxxx
Aku tau kamu kangen aku, makanya aku sms kamu.

Fara terkekeh, membuat Ana yang duduk di barisan terdepan meliriknya sekilas. Fara mengangkat ponselnya dengan hati-hati, lalu memotret suasana kelasnya yang masih hening dengan cepat, kemudian mengirimkannya kepada sosok disebrang sana via aplikasi whatsapp.

F. Fara      : (Pict) Maaf, aku lagi kasih tugas anak-anak, aku sibuk.

Tulis Fara sebagai caption di bagian bawah fotonya. Balasannya datang dengan cepat.

Dimas F.    : Ah, you make me crazy girl!!! Bisa kirimin foto ibu guru cantiknya?
F. Fara       : Aku lagi ngajar mas!! Nggak mungkin aku selfi kan??!
Dimas F.    : Oke, gimana kalau minta murid kamu fotoin kamu.
F. Fara        : Euughh! Mas Dimaass!!!
Dimas F.     :  :* I truly deeply miss you.
F. Fara        : Aku tersanjung. Tapi sekarang aku harus balik ke muridku. Bye-bye sayang.
Dimas F.    : Sayang… tunggu…
Dimas F.    : Aku kangen kamu, masa kamu nggak bilang kangen balik atau apa gitu.
Dimas F.    : (09:40) Sayang….
                     Oya, aku mau bilang keluargaku datang minggu depan…
Dimas F.    : (09:51) Sayang… jadi aku terabaikan gara-gara anak-anak murid kamu? oya gimana  
                     Danisa? Hari ini ada cerita apa?
Dimas F.    : (10:12) Fara, aku jemput kamu jam 4 yah, aku akan pulang on time! Aku kangen kamu.
                     kita dinner diluar hari ini. Love you :* telepon aku kalau sudah free.

Ketika murid-muridnya keluar untuk makan siang, Fara baru sempat membuka ponselnya, dan langsung terkikik ketika membaca sederet pesan dari Dimas. Ia langsung memencet nomor Dimas melalui ponselnya.

“Ah ibu guru cantik, akhirnya ada juga waktu buat penggemarnya yang buruk rupa ini…”

Fara terkekeh. “Lebay ih. Nggak inget umur yah, udah mau kepala 3 tuh!” seloroh Fara. “Inget loh, aku suka cowok yang dewasa.”

“Ah ehm.” Dimas terdengar sedang memperbaiki duduknya, ia berdehem pelan. “Ya sayang,” katanya, dengan suara baritone yang karismatik. “Gimana hari ini?”

Fara tersenyum. “Aku bahkan baru lewatin setengah dari hari ini mas.” Ujarnya, seraya merapihkan buku di atas mejanya, lalu berjalan keluar kelas menuju ruang guru dengan ponsel masih menempel di telinganya. “Gimana kerjaan kamu? beres?”

“Aku kan pinter sayang, kamu nggak usah khawatir.”

Fara mencibir, namun tetap tersenyum. Ia tau betul bahwa Dimas adalah pria yang sangat cerdas. Itulah mengapa ia sangat mencintainya.

“Pede banget yah…” sindir Fara.

“Ah, calon istri aku juga mengakui kok.”

“Ahhh… pede banget!!”

“Yang penting calon istriku cinta mati sama aku!!”

Bingo! Fara memang jatuh cinta setengah mati kepadanya. “Ya ampunnn kepedeannya udah keterlaluan ini!!”

Dimas tertawa di sebrang sana. “Aku kangen kamu sayang.”

Fara mendesah. Ia sudah sampai di ruang guru. Fara mengambil bekal makan siang yang ia beli di rumah makan dekat sekolah. “Mas udah makan siang?”

“Udah, kamu udah makan?”

“Ini baru mau makan…”

“Kamu nggak mau nawarin aku, atau gimana gitu?”

“Lho tadi katanya udah makan, gimana sih??” gerutu Fara sambil menyuap makannanya.

“Hehehehe iya sih.” Tawa Dimas. “Oya, minggu depan orang tuaku mau datang yah.”

“Cepet banget mas.”

“Loh, lebih cepet lebih baik kan? lagian aku nggak mau jadi cowok pengecut yang ngambil anak orang tanpa sopan santun. Aku mau jadi cowok gentle yang datang langsung sama keluargaku sebagai saksi buat meminang kamu.”

Fara bisa merasakan hatinya meleleh. Ia sangat mencintai pria ini.

“Ya udah, sebagai cewek aku nggak bisa ngepain-ngepain kan? Cuma bisa nunggu…”

“Tapi kamu setuju kan? nanti kamu malah nggak ngakuin aku sebagai calon suami kamu.”

“Hahahaha… tergantung…”

“Tergantung?”

“Iya, tergantung sejauh apa cinta kamu buat aku mas.”

“Fabian Fara… apa aku harus terjun dari lantai 20 buat buktiin rasa cinta aku?”

“Ahhh lebay!! Mana berani!!!” mana berani aku liat kamu mati mas… tambah Fara dalam hati. 
“Kamu kan suka cuek? Gimana kalau kita nikah nanti terus kamu tiba-tiba nyuekin aku?”

“Fara… aku nggak cuek dalam segala hal. Buktinya aku selalu ada buat kamu.”

Kurang lebih itu memang benar. Sebelum mereka memiliki hubungan, Dimas sangat cuek kepadanya. Namun ketika akhirnya mereka memiliki hubungan resmi, Dimas tidak pernah membiarkan hari-hari Fara terbebas dari perhatiannya yang luar biasa.

Fara mengulum senyum, sisa istirahat hari itu ia habiskan dengan terus tertawa karena lelucon yang terdengar dari pria di balik teleponnya.

***

Tegang. Mencekam. Itulah yang bisa Fara gambarkan mengenai situasi sekolah siang itu. Ia harus menarik nafas panjang berkali-kali untuk menjaga kewarasannya. Ia memberikan tugas tertulis kepada murid-muridnya lagi, yang seharusnya ia berikan minggu depan, setelah mengajari mereka menulis latin. Tapi ia benar-benar tidak bisa fokus mengajar sejak kepala tua Abraham muncul dari balik pintunya dengan Wanda di belakangnya.

“Kami membutuhkan Danisa, Miss Fara.” Ujar Abraham tanpa berhiaskan gurauan sama sekali. Fara menahan nafasnya. Ia merasa sebuah godam batu baru saja meremukan rongga dadanya. Seluruh muridnya langsung menatap kepala sekolah mereka tanpa berkedip. Gadis kecil yang dipanggil langsung berdiri tanpa diminta dua kali.

Kakinya yang sedikit menyerupai leter o, bergerak perlahan. Fara harus berjuang sangat keras untuk memaksa tubuhnya tetap diam di tempat. Tapi ia tidak ingin membiarkan gadis kecil itu berjalan sendiri.

“Saya akan temani Danisa.” Ujar Fara, tidak tahan dengan ketidak berdayaannya.

Kepala tua Abraham menggeleng. Tatapannya yang seindah senja seakan menjanjikan sesuatu yang lebih baik, meski bibirnya tetap terkatup rapat. “Murid-murid anda, lebih membutuhkan anda di sini Miss Fara.” Ujar Abraham.

Fara menelan ludah susah payah ketika melihat mereka membawa Danisa.

***

Berjalan mondar-mandir, Fara menggigiti kukunya tanpa sadar. Sebuah kebiasaan ketika ia gugup. Ia sudah tidak fokus mengajar, sampai-sampai akhirnya ia meminta Sandra, guru piket hari itu, untuk mengisi kelasnya di sisa mata pelajaran siang.

“Dia akan baik-baik aja Fara…” suara di sebrang sana berusaha untuk menenangkannya.

“Tapi hampir 2 jam mas! Hampir 2 jam!!! Mereka bukan introgasi penjahat. Ya ampun!! Mereka Cuma introgasi anak kecil! Kelas 2 SD!!! Seharusnya nggak akan selama ini!”

“Oke tenang sayang. Pasti sebentar lagi selesai. Kamu harus tenang, aku on the way ke sekolah.”

Fara tidak bisa tenang. Ia berjalan-jalan di depan ruang kepala sekolah dengan wajah yang lebih pucat dari pada mayat. Suara ketukan dari sepatu hak tingginya semakin berirama tidak sabar. Ia tidak bisa bertahan seperti orang bodoh, menunggu introgasi itu selesai.

Ketika pintu tiba-tiba terbuka, Fara merasa seperti tengah menunggu di depan ruang operasi. Dimana ia akan sangat menantikan dokter yang tengah mengoprasi keluar dari ruangan, untuk mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.

Wajah Wanda merah padam ketika ia keluar dari ruangan kepala sekolah. Tangannya terkepal, dengan beberapa helai rambut yang sudah keluar dari sanggulannya. Fara tidak sempat bertanya, karena Wanda hanya memberikan tatapan sinis. “Masuk.” Katanya dengan ketus. Segera Fara memasuki ruangan yang sudah sangat ia hafal itu. Ruangan 6x4 meter dengan satu set sofa kulit berwarna biru tua, dan dinding yang dilapisi rak kaca tempat menyimpan piala sekolah.

Danisa duduk di sofa dengan wajah tertunduk. Jemarinya tertaut di atas rok merah sekolahnya.

“Danisa…” bisik Fara seraya berjongkok di samping Danisa.

“Nah, ini ada bu Fara,” ujar seorang wanita yang lebih tua. Alena, salah satu guru Bimbingan Konseling di yayasan itu. sekolah tempatnya mengajar memang sekolah swasta yang didirikan oleh sebuah perusahan rokok untuk menunjukan kepeduliaannya kepada pendidikan. Namun Fara selalu bersikeras bahwa itu hanya sebuah pencitraan belaka.

Ketika menyadari keberadaannya, Fara langsung berdiri dan menyalami wanita dengan wajah bijak di sebrang meja. Abraham berdiri di belakang sofa. Disampingnya seorang pria yang baru pertama kali Fara lihat mengangguk santun.

“Dia nggak mau bicara sama sekali.” Suara berat Abraham mengambil fokus Fara.

Fara menatap Danisa dengan pandangan sedih. Gadis itu masih terduduk dengan tubuh yang membungkuk, mungkin sebentar lagi ia akan menjadi bulatan tulang belulang. Rambut kusutnya hampir menutupi seluruh wajahnya. Fara tidak bisa melihat wajah gadis itu, ia tidak tau apa yang sedang dirasakannya. Sekali lagi Fara berjongkok di samping sofa yang diduduki Danisa.

“Nisa, ini ibu guru…” katanya seraya membelai lembut lengan kururs gadis kecil itu. Awalnya Danisa sama sekali tidak merespon, ia seperti ranting kering yang mati, tidak bergerak, hanya sesekali mengambil nafas dengan gerakan samar. Tapi akhirnya, jemari gadis kecil itu bergerak. “Nisa, ini ibu guru sayang…” Fara mengulangi kata-katanya.

Pelan-pelan bocah itu sedikit mengangkat wajahnya, ia mengintip sosok ibu gurunya dari balik poni kusutnya.

Fara sangat ingin memeluk tubuh ringkih itu. Ia terlihat sangat lemah, namun matanya begitu jernih, dan kuat. Di sebrang meja, Alena menatapnya tidak percaya. sedang Abraham hanya tersenyum samar.

“Danisa, semuanya akan baik-baik aja sayang. Kamu nggak akan kenapa-napa.” Ujar Fara lembut namun sungguh-sungguh. “Sayang, ingat apa yang ibu bilang kemarin? Kamu nggak perlu berpikir, kalau kamu bicara jujur, ingat sayang?” Dalam gerakan sangat samar kepala kecil Danisa mengangguk. Fara tersenyum tulus. “Sayang, ibu Alena, pak Abraham, dan semua yang ada di sini mau denger cerita kamu soal korek itu...” Fara menggenggam jemari Danisa yang dingin.  “Kamu nggak perlu takut, ada ibu di sini. Kamu nggak akan kenapa-kenapa.” Janji Fara. Wajah Kurus Danisa kembali tertunduk.

Fara mengangkat wajahnya, meminta pendapat pada Alena dan Abraham, hingga kedua kepala itu mengangguk. “Nisa… ada ibu di sini sayang. Kamu cukup bilang iya atau nggak aja. Bisa sayang?” tanya Fara. Danisa mengangguk. Fara menarik nafas panjang, mempersiapkan dirinya. “Danisa, korek itu punya kamu nak?” tanya Fara lembut. Kepala mungil Danisa menggeleng. “Punya siapa sayang?” tanyanya lagi, namun ketika menyadari mulut Danisa tidak akan terbuka, ia memilih mengganti pertanyaannya. “Kamu bawa korek itu dari rumah?” ragu-ragu Danisa mengangguk. Fara melirik Alena dan Abraham, meminta pendapat. “Kamu sengaja bakar Koran itu?” tubuh Fara sedikit terhenyak ketika mendengar kata-katanya sendiri.

Lama Danisa tidak menggeleng atau mengangguk, membuat Wanda yang berdiri di dekat pintu mengetuk-ngetukan hak sepatunya dengan tidak sabar. Ia bersidekap dengan pandangan sinis.

“Danisa, korek itu punya ibu kamu?” Tubuh kecil Danisa menegang. Ia semakin menundukan kepalanya, hampir melesak kedalam dadanya sendiri. Dan Fara tau yang ia katakan adalah benar adanya. “Danisa, kenapa kamu bawa korek ke sekolah nak?” Oke. itu adalah pertanyaan yang salah, tapi Fara sendiri sudah mulai frustasi dengan pemikiran-pemikirannya sendiri. ia yakin Danisa tidak pernah berniat mencelakakan orang lain. Hanya saja Fara tidak memiliki alasan lain yang lebih masuk akal. Di saat-saat seperti ini ia sangat merindukan Dimas yang selalu bisa membantunya menilai masalah dari sisi lain.

“Danisa itu seperti kamu, dia tangguh.” Diam-diam Fara tersenyum ketika mengingat kata-kata Dimas di suatu petang ketika mereka tengah membicarakan Danisa dan kelasnya yang kacau.

Fara menatap gadis kecil itu dengan bingung. Ia adalah gadis kecil yang kuat. Ayahnya pergi meninggalkan keluarga kecil mereka dengan perempuan lain, sehingga ibu Danisa harus berusaha menghidupi dirinya sendiri dan putri semata wayangnya.

“Ibu kamu baik-baik saja sayang…” Fara menyentuh jemari Danisa yang kaku dan basah oleh keringat. Pelan namun pasti, Danisa mengangkat wajah kurusnya. Fara ingin memeluk Danisa saat itu juga, namun tetap ia tahan. Entah bagaimana ia akhirnya tau apa yang sebenarnya terjadi. “Kamu melakukan hal yang benar Danisa.” Ujar Fara, membelai lembut rambut gadis itu.

“Miss Fara!” tegur Wanda kesal. namun Fara sama sekali tidak memperdulikannya.

“Tapi orang-orang di sini mau dengar alasan kamu sayang. Atau kamu mau ibu yang cerita?” tanya Fara.

Danisa menggeleng. Kepalanya kembali tertunduk, namun tidak terlalu dalam. “Aku…” terpotong cukup lama. “… nggak suka ibu merokok…” tambahnya dalam bisikan. “Aku… nggak mau…” terlalu serak, Fara tau gadis ini tengah menahan tangisnya. “Aku… nggak mau… ibu mati…”

Betapa sucinya jiwa itu. Betapa berharganya. Fara tersenyum tipis sambil membelai punggung gadis kecil itu. “Ibu suka merokok…” katanya, suaranya seperti cicitan tikus yang ketakutan dikelilingi oleh kucing ganas yang kelaparan.

Alena menatap iba gadis kecil itu, namun masih menjaga sikapnya agar tetap formal.

“Koran itu?” tanya Fara. “Kamu bawa dari rumah juga?”

Danisa menggeleng pelan. Untuk pertama kalinya dalam petang yang sangat menegangkan itu, Danisa mengangkat wajah kurusnya. Mata jernihnya menatap kedua mata ibu guru di hadapannya. 
“Itu punya Kemal.” Jawabnya, sebuah pemberontakan menghiasi keningnya. “Kemal bilang… ibu kaya cewek di Koran itu…” amarah tersirat dari nada suaranya. “Dia panggil ibuku perek…”

Hening.

Ruangan itu mendadak terlalap sunyi. Bahkan mungkin bocah kelas dua SD di hadapannya belum mengerti apa makna sebenarnya dari kata-kata itu. Ia mungkin belum memahaminya, namun sesuatu dalam jiwanya yang murni tetap tidak menyukai kata itu, terlepas dari apapun arti kata tersebut di dalam benaknya.

“Oke sayang, udah cukup.” Fara tersenyum lembut. “Kamu bisa pulang sekarang…” tambahnya tanpa meminta persetujuan dari siapapun di ruangan itu.

“Ibu guru nggak marah?” tanya Danisa lugu.

Fara menggeleng dan membelai rambut kusutnya. “Nggak sama sekali,” jawabnya sungguh-sungguh.

“Kamu juga boleh pulang Miss. Fara,” ujar Abraham, yang disertai anggukan Alena. Wanda menatapnya sinis namun tidak menahan mereka berdua. “Miss. Fara…” langkah Fara kembali terhenti, ia menoleh sejenak. “Danisa akan baik-baik saja.” Tambah Abraham dengan senyuman bijaknya.

Fara merasakan dadanya dipenuhi perasaan lega yang luar biasa. Air matanya tergenang ketika ia mengangguk penuh terima kasih, lalu pergi bersama murid kesayangannya. Ketika sampai di luar ruangan kepala sekolah, ponselnya kembali bergetar. Telepon dari Dimas. Ia sudah tidak sabar untuk menceritakan semuanya. Berbagi kebahagiaannya.

“Ayo Danisa, kamu ikut ibu dulu. Kita makan es krim!” Fara mengamit tangan mungil muridnya. Dan meski dengan wajah penuh tanya, Danisa sama sekali tidak berusaha untuk melepaskan genggaman tangan wali kelasnya, yang terasa lebih hangat dari genggaman ibunya sendiri.


***