–THE PROPOSAL-
Keesokan harinya, sabtu pagi di akhir
bulan September, aku masih tidak bisa berpikir jernih, aku kelelahan dan kurang
tidur. Tubuhku kaku tak bisa bergerak. Aku menatap lembayung fajar yang mulai
menyingsing di balik pepohonan rindang di halaman rumahku yang cukup luas.
Untuk beberapa alasan, memiliki rumah cantik di kawasan puncak Bogor memang
cukup menyenangkan, meski kami memang bukan orang Bogor asli.
Kamarku berada di bagian depan rumah
ini, dengan jendela besar yang menghadap ke halaman depan. Perkebunan teh
menjadi pemandangan utamaku, dihiasi beberapa puncak-puncak perbukitan dengan
kelok-kelok jalanan yang tampak mengecil dari tempatku melihatnya. Kamarku
tidak juga mewah, bahkan terkesan sangat sederhana, maklum rumah ini memang
rumah keluaran lama dan masih menjaga eksistensi barang-barang lamanya.
Ranjangnya masih berupa ranjang kayu yang memiliki tiang-tiang tinggi seperti
kanopi, yang dipasangkan kelambu cantik di setiap sudutnya. Padahal aku hampir
tidak pernah merasakan gigitan nyamuk sedikitpun di sini, jauh berbeda ketika
aku berada di Jakarta, ternyata bukan hanya manusia saja yang padat di sana,
bahkan kaum nyamuk pun mulai merasakan kepadatan penduduk.
Lagi-lagi sebuah meja kayu jati berada
tidak jauh dari ranjangku, sebuah benda wajib tempatku melakukan pekerjaanku
sebagai penerjemah. Rak-rak berukiran bunga mawar cantik berada di samping
jendela, penuh oleh novel-novel dan majalah-majalah yang ujung-ujung halamannya
mulai berlipat karena sering dibaca oleh Leo. Dua benda elektronik di kamar itu
hanyalah sebuah tv plasma, dan kipas angin kecil yang ku nyalakan hanya dalam
keadaan-keadaan tertentu saja. Udara di Bogor sudah lebih dari cukup untuk
sekedar menyejukan tubuhku, lagi-lagi berbanding terbalik dengan kota Jakarta
yang super panas.
Rumahku adalah satu-satunya rumah yang
berada di kawasan villa-villa cantik milik orang kota. Dan untuk beberapa
alasan aku bersyukur, karena hal itu jalanan menuju kawasan ini tidak pernah
sekalipun berlubang. Mulus terawat. Ada empat kamar tidur di rumahku.
Sebelumnya kamar belakang hanya di jadikan gudang, namun semenjak Leo beranjak
dewasa ia tidak mau tidur sekamar lagi dengan Gadis, dan akhirnya meminta ibu
untuk mengubah kamar belakang menjadi kamar Gadis. Meski pada akhirnya Leo
selalu tidur di kamarku. Di halaman depan adalah tempat favoritku, ada sebuah
kursi panjang yang yang mengarah langsung ke kebun teh. Di kala senja, ketika
ibu tidak sedang melakukan apapun, kami akan duduk di sana berdua, aku akan
tidur berbantalkan kakinya, dan ibu akan mengelus rambutku dengan perlahan.
Udara sejuk, kemilau senja, aroma kebun teh, serta sentuhan lembut ibu adalah
beberapa hal yang paling ku rindukan acap kali aku kembali ke Bogor. Tentu saja
semua itu akan langsung menghilang ketika adikku datang dengan motor matic nya, dari kejauhan ia sudah akan
berteriak memanggilku. Cengirannya begitu khas, dan meski ketika berangkat
mengenakan kerudung, namun ketika pulang rambut pendeknya sudah tidak
terbungkus apapun, kerudungnya ia ikatkan di leher. Sebuah kantung kresek hitam
selalu tergantung di samping spion motornya, dan ketika aku ataupun Gadis
sedang kebetulan pulang ke rumah, maka kantung kresek itu akan semakin banyak
tergantung. Oleh-oleh beliannya dari sekolah SMP di pasar.
Aku tersentak kaget ketika mendengar
pintu kamarku terbuka. Aku masih termenung menatap kebun teh dari jendela
kamarku, memeluk lututku erat-erat dan meletakan kepalaku di atasnya.
“Kamu sakit Re?” tanya ibu seraya
meletakan tangannya di keningku. Aku tersenyum lemah dan menggeleng.
“Cuma capek bu,” bisikku datar. Kemudian
kembali menyandarkan kepalaku di atas lutut. “Ibu nggak ke puskesmas hari ini?”
tanyaku tanpa memandangnya.
Ibu tersenyum tipis dan membelai
kepalaku dengan lembut, kemudian duduk di sampingku, “Kan putri ibu baru saja
pulang, masa ibu malah tinggal bekerja?” tanyanya.
Aku terkekeh pelan dan menatap ibuku
penuh kasih. “Bu… kayak Rena nggak pulang dua tahun aja deh. Kemarin-kemarin
Rena sedikit sibuk sama tugas kuliah yang menumpuk itu, belum lagi
urusan-urusan administrasi lainnya.” Keluhku lelah.
“Iya ibu ngerti, kadang ibu Cuma kangen
kalian. Untung adikmu itu cerewetnya bukan main, kalau nggak ibu pasti sudah
mati bosan.” Aku bisa mendengar senyuman dari kata-kata lembut ibuku. “Gadis
juga masih sibuk sama kuliahnya,” bisik ibu pelan. Aku menepuk tangan ibuku
dengan lembut, mencoba menenangkan kerinduannya pada adikku yang sekarang
tengah duduk di semester awal di universitas Singapura. Dengan cepat ibu
menyeka air matanya, kemudian kembali menatapku dengan senyuman lembutnya.
“Bagaimana kabar Aditya?” tanya ibuku tiba-tiba. Pengalihan topik yang begitu
cepat itu membuatku tersentak kaget.
“Bu…” bisikku merajuk. Setiap pulang,
setiap telepon dan setiap ada kesempatan, ibu selalu menanyakan kabar Aditya,
mantan kekasihku-tunanganku atau apapun itu namanya. “Aku sudah putus
dengannya,” ujarku mengingatkan.
Ibu mendesah lelah, “Tapikan putus bukan
berarti kamu lepas hubungan sama sekali dengannya,”
Tapi nyatanya begitu.
Aku sangat menyayangi Adit, banyak hal
yang menyatukan kami. Dari masalah-masalah spele seperti kopi apa yang kami
sukai, sampai masalah besar seperti prospek kehidupan kami kedepan. Sudah
begitu banyak kertas yang ku gunakan untuk menuliskan kisah-kisah impianku
bersama Adit. Untuk beberapa saat, ku pikir dia adalah jodoh yang dituliskan
Tuhan untukku. Ia mencintaiku, menyayangi Leo, Gadis dan ibu dengan sangat
tulus. Ia dekat dengan sahabat-sahabat karibku, dan tentu saja semua sahabatku
juga sudah menyukainya. Kami bertunangan sejak sebelas bulan yang lalu, namun
tidak berniat menikah dalam waktu yang dekat, hanya saling mengikat. Hingga dua
bulan yang lalu ia melamarku. Satu hal lain yang ku sukai darinya, ia adalah
sosok yang paling romantis, di tengah kebun teh yang sudah di sulap sedemikian
rupa, dengan lampu-lampu kecil berkelap-kelip, ia memintaku untuk menikah
dengannya.
Umurku 21 tahun, dan diantara
persahabatanku dengan kelima gadis itu, pernikahan sudah bukan hal yang
mengejutkan lagi. lagi pula Sophia sudah menikah sejak dua tahun yang lalu.
Sebenarnya, aku pun tidak jarang membayangkan sebuah kehidupan pernikahan
dengan Adit. Ketika di pagi hari wajahnya lah yang ku lihat setiap kali membuka
mata, kemudian sibuk memasakan sarapan untuknya, menyiapkan pakaian kantornya,
dan menyiapkan diriku sendiri untuk berangkat kuliah. Untuk satu dua alasan
tampaknya itu tidak terlalu buruk, bahkan terasa cukup menggiurkan. Sophia
sudah sering kali menceritakan kehidupan pernikahannya yang terdengar sangat
indah, mencoba memanas-manasi kami, dan sialnya ia berhasil seratus persen!
(meski tidak ada yang mau mengakuinya).
Tapi saat itu aku menolak Adit.
Penolakan itu terjadi begitu saja, tak terencana, dan ter-elakan. Aku sudah
menyiapkan berbagai jawaban ‘iya’ untuknya dalam berjuta bahasa, namun ketika
ia selesai mengatakan seluruh lamarannya, kepalaku justru menggeleng. Dengan
perlahan aku melepaskan cincin cantik yang sudah melingkari jemariku hampir
satu tahun lamanya.
“Aku tidak bisa,” bisikku parau. Wajah
Adit langsung memucat, dan meski saat itu hanya diterangi lampu-lampu pijar
kecil, tapi aku bisa melihat ketakutan di matanya.
“Tapi kita saling mencintai Re…”
bisiknya lirih.
Aku menunduk, bingung harus berkata apa.
“Kalau kamu mencintaiku, kamu nggak akan memintaku melakukan apa yang tidak
ingin ku lakukan,” jawabku susah payah.
“Re, itu hanya masalah kesiapan. Cepat
atau lambat kamu harus siap. Kamu seorang wanita, dan kodrat wanita adalah menjadi
seorang ibu.” Ujarnya sungguh-sungguh. Aku bisa merasakan air mata nelangsa
menetes dari mataku.
“Mungkin kamu benar, tapi saat ini,
kesiapan itu masih sangat jauh Dit. Aku nggak mau mengecewakan siapapun,
terlebih orang tua kamu karena berharap lebih dariku. Maafin aku, tapi aku
nggak bisa…”
“Re, setidaknya kita bisa mencoba,”
“Aku nggak ingin mencoba melakukan hal
yang nggak aku inginkan.” Dan berhenti di sana. Itu adalah kata-kata terakhirku
untuk Raditya Hermawan, pengusaha muda yang menjadi mantan kekasih yang paling
ku sayangi. Tapi sayangnya, sepertinya ia tidak mengenaliku sebaik yang ku
harapkan. Ia masih tidak mengerti bagaimana bencinya aku kepada anak-anak
kecil.
“Kemarin Aditya menelepon ibu,”
kata-kata ibu mengembalikanku dari lamunanku mengenai lamaran Adit kala itu.
“Dia tau kamu akan pulang ke Bogor, dan menanyakan apakah kamu sudah sampai
atau belum,” tambahnya. Aku bisa merasakan hatiku mulai terhimpit sesak lagi.
Aku pikir, setelah mengetahui betapa ia
tidak bisa menghargai keputusanku untuk tidak atau menunda memiliki anak itu,
aku akan benar-benar membencinya, namun pada kenyataannya, selalu ada perih
acap kali aku mendengar namanya disebut.
“Dia titip salam untukmu dan Leo,” ujar
ibu lagi, kemudian terdiam cukup lama, meskipun aku sempat mendengar ibu hendak
mengatakan sesuatu, namun kembali menelan kata-katanya sendiri. Tampak sangat
ragu.
Ketika mengetahui hancurnya hubunganku
dengan Adit, Leo langsung memakiku dengan sangat keras. Ibu menangis
sesenggukan, dan sahabat-sahabatku mencibir, mengutuki kebodohanku. Pada
akhirnya aku sadar, tidak ada satupun dari mereka yang menganggap ketidak
sukaanku pada anak kecil adalah masalah yang serius.
Setelah menghela nafas cukup panjang,
ibu membuka mulutnya lagi, “Minggu lalu Gadis telepon, katanya Aditya
menyempatkan diri untuk menjenguknya ketika ada pertemuan di Singapura.”
Nah kan!
Mengapa sosok baik itu tidak bisa
mengerti tentang diriku sedikit saja?? Aku masih sangat mencintainya, dan
kelakuan manisnya kepada keluargaku membuat cintaku kepada sosok tampan itu
semakin besar. Tapi kenapa ya Tuhan… kenapa dia tidak bisa menuruti satu saja
keinginanku untuk menunda kehamilan itu??? lagi pula aku kan baru berumur 21
tahun!
“Jangan salahkan Gadis, ia juga sangat
terkejut dengan kedatangan Aditya. Dan jangan salahkan dia juga, dia hanya
merindukan adik-adikmu.”
Aku bisa merasakan air mata kepedihan
mulai menetes dari mataku. “Aku tidak akan menyalahkan siapapun bu,” bisikku
sebelum beranjak dari ranjangku dan berjalan menuju kamar mandi untuk menangis
sendiri.
***