BAB 2
Sebulan
setelah kejadian itu kami tak pernah lagi membicarakannya. Sedikit demi sedikit
kak Sandra mulai bisa tersenyum, mau untuk keluar dari kamar.
Walaupun
hampir tiap malam ku dengar dia masih menangis dan menjerit. Mimpi itu tak
pernah berakhir. Jangankan kak Sandra hampir, tiap malam aku kejadian tersebut
masih membayangiku.
“Hmm
sejuknya!” ujarnya saat kami keluar ke kebun belakanng rumah. Wajahnya tampak
lebih cerah hari ini. Senyum di wajahnya sudah seperti dulu lagi.
“Makanan
dan minuman sudah siap, mari kita bersantap,” suara Mark dari dalam rumah.
“Wuihhhhh
bau ayam bakarnya harum, kak,” ku dekati makanan yang dibawa Mark. Ku hirup
harumnya ayam bakar buatan Mbok Nah yang tak ada duanya.
Ditatanya
rapi makanan dan minuman di atas meja. “Mari makan!” ajakku dengan gembira.
Kamipun langsung melahap ayam bakar di depan kami.
“Huekkkk.....”
tiba-tiba kak Sandra memuntahkan makanannya. “Kak ada apa? Apakah kau sakit?”
aku langsung menyentuh kening kak Sandra. Kak Sandra menggeleng lemah.
“Perutku
sakit, aku mual” kak Sandra memegang perutnya.
“Mbok
Nah! Mbok tolong ambilkan minyak angin!” teriak Mark.
Mbok Nah
segera menghampiri kami. “Kenapa Mba Sandra, Mas?” Mbok Nah sangat khawatir
melihat raut wajah kak Sandra yang tiba-tiba pucat. “Gak ada apa-apa Mbok. Sini
minyak anginnya, mungkin aku hanya masuk angin,” kak Sandra berusaha untuk
menenangkan Mbok Nah.
Mbok Nah
memberikan minyaknya. “Lihatkan Mbok sekarang aku sudah lebih baik,” ucap kak
Sandra setelah memakai minyak angin. Seulas senyum diukir di wajahnya.
Namun
rupanya senyum tak mampu membuat khawatir Mbok Nah hilang. Seolah-olah mampu
membaca apa yang terjadi, Mbok Nah segera menarik lenganku.
“Mas....
Mba Sandra hamil,” bisiknya pelan di telngaku.
“Gak
mungkin Mbok!!” teriakku menahan sejuta emosi.
“Mba
Sandra sudah telat mas. Dia harusnya sudah haid 2 minggu yang lalu,” jelas Mbok
Nah. Ku tutupi mulutku agar tak ada teriakan yang keluar. Ya Mbok Nah lebih
dari sekedar pembantu bagi kami. Jadi dia tau keadaan kakakku sekarang.
Dua
minggu,,,, mungkinkah benih dari bajingan-bajingan itu telah berkembang dengan
kuat di perut kakakku? Oh Tuhan! Mengapa KAU biarkan kakakku mengalami hal ini?
Aku
bersimpuh di depan Mbok Nah. Mbok Nah turun memelukku erat. “Mas tolong yang
kuat. Jangan seperti ini hanya Mas Kian dan Mas Mark lah yan bisa menolong Mba
Sandra”. Ku anggukan kepalaku lemah, ku balas peluk tubuh Mbok Nah erat.
Mark
menatap kami curiga. Kuberi dia senyum yang bahkan tak mampu menghibur diriku
sendiri. Mark tak repot bertanya padaku. Karena dia sudah tau jawabannya.
Kuhampiri
kak Sandra, ku peluk dia erat. “Ada apa Kian?” Kak Sandra terkejut dengan
pelukkanku. “Kami menyayangimu, Kak. Apapun yang terjadi, kami selalu
mendukungmu,” bisikku lirih.
“Hei ada
apa?” dilepaskannya pelukanku. Aku hanya mampu menggelengkan kepalaku tak mampu
mengatakan apapun padanya. Markpun ikut memeluk kak Sandra.
Sementara
Mbok Nah tak henti-hentinya menangis di depan kami. Tangis tulus dari seorang
Ibu. Walaupun dia bukan ibu yang melahirkan kami.
****
Dua hari
setelah kejadian di kebun belakang rumah. Kak Sandra terus saja memuntahkan
makanannya.
Kami tak
perlu repot menutupinya dari kedua orang tua kami. Karena mereka toh tak pernah
ada di rumah.
“Hallo
anybody home?” sebuah suara berasal dari pintu masuk.
“Oh
masih ingat punya rumah, Ma?” tanya Mark sinis.
“Hei
sejak kapan kau kurang ajar begitu, Mark? Ini rupanya didikan kamu, Nah?”
tudingnya pada Mbok Nah. Mbok Nah hanya tertunduk lesu sambil membawa tas dan
koper yang entah isinya apa. Karena jujur wanita yang kami sebut Mama itu tak
pernah membelikan kami apapun.
“Hai
Ma,” sapa kak Sandra dari atas tangga. “Bagaimana perjalanannya? Pasti mama
sangat capek yah?” lanjutnya.
“Hai
cantik! Hanya kamu yang masih tidak berubah, anak mama, Sandra Alvaro,” mama
memeluk kak Sandra penuh kepalsuan. Ada sedikit rasa jijik dan kebencian yang
muncul di wajah kak Sandra. Namun segera ia tepiskan.
“Oh
dear, kamu terlihat kurus sekarang. Ada apa? Sakitkah? Apa Inah tak pernah
memberimu makanan yang sehat?” mama memutar tubuh kak Sandra.
“Gak ma.
Cuma aku lagi banyak ujian aja, aku banyak bergadang,”
Sebuah
ciuman dan pelukkan lagi untuk kak Sandra.
“And
you, Kian, what’s up my boy?” sekarang mama beralih padaku yang hanya terdiam.
Diulurkan tangannya ke pipiku namun tak sampai, ku hempaskan tangan indah itu.
“Uhhh
laki-laki disini tak punya rasa hormat pada ibunya,” tukasnya dengan perasaan
benci.
“Ma, ayo
ceritakan perjalananmu keliling Eropa,” kak Sandra mengalihkan perhatian mama
dari aku dan Mark.
Mama
asyik bercerita tentang pengalamannya keliling Eropa. Cerita yang sama setiap 6
bulan sekali. Kak Sandra seolah-olah menikmati cerita mama. Namun matanya
terlihat kosong.
Bagaimana
mungkin seorang ibu tidak mengetahui ada yang salah dengan putrinya? Bagaimana
mungkin seorang ibu bisa begitu tega bercerita hal-hal yang menyenangkannya
namun tak pernah mengajak anak-anaknya untuk ikut bersenang-senang? Ibu macam
apakah ibu yang kumiliki ini?
“Hue...”
kak Sandra merasakan mual lagi. Buru-buru aku menghampiri kak Sandra dan
menggendong ke kamarnya. Kutinggalkan mamaku yang penuh tanya.
Kak
Sandra memuntahkan segala isi perutnya. Aku tak sanggup membayangkan bila kak
Sandra tahu dia sedang hamil.
“Kian,
kakak hamil,” suaranya nyaris tedengar seperti sebuah bisikkan.
Tuhan
bagaimana dia tahu? Aku dan Mbok Nah tak pernanh memberitahunya. Tak mungkin
Mark yang memberitahunya.
“Kian,
kakak hamil,” ulangnya kali ini dia meremas tanganku. Disertai tangis pelan.
Ku
angkat dan baringkan kak Sandra perlahan di tempat tidurnya. Tangisnya kini
hanya berupa rintihan, kak Sandra memelukku.
“Darimana
kau tau kalo kau hamil kak?” aku berpura-pura tak tau. Dilepaskannya pelukanku.
Ditarik laci disebelah tempat tidurnya. Diserahkan padaku sebuah benda dari
dalam laci tersebut.
“Apa
ini, kak?” aku berpura-pura tak mengerti.
“Aku
membelinya beberapa hari yang lalu. Ini test kehamilan. Tak perlu kakak
jelaskan, kakak rasa kamu mengerti. Aku juga tau kalo kamu, Mbok Nah dan Mark
sudah tau tentang kondisi kakak,” kini matanya menatapku. Tak sanggup aku
mengucapkan apapun padanya. Aku hanya bisa memeluknya.
“Terimakasih,”
bisiknya.
****
“Hamil!!!”
teriak Mama ketika kami memberitahunya saat malam hari.
“Kenapa
kau bisa hamil? Pasti kamu bergaul sama anak-anak gak bener yah, bergajulan!
Apa yang Inah lakukan selama ini? Hanya mengawasi kalian saja tak becus!” ucap
mama sambil mondar mandir.
“Inah!!!
Inah!!!” tak sampai tiga kali Mama memanggil, Mbok Nah sudah ada di antara
kami.
“Ya
Nyonya,” jawab Mbok Nah dengan kepala tertunduk.
“Apa aja
sih yang kamu lakukan? Sampai-sampai Sandra hamil beini. Hanya mengawasi mereka
bertiga aja gak becus. Kerjaan kamu tuh di rumah ngapain aja? Dasar pembantu
gak berguna? Udah bosan kamu kerja disini?” maki Mama.
“Kalo
kamu udah bosan bilang Nah. Masih banyak kok yang kerja sama saya. Apa karena
gajinya kecil? Bilang Nah kalo mau tambah....”
“Cukup
Ma!” potongku cepat. “Bukan salah Mbok Nah. Ini salah Mama dan Papa. Kalian
berdua orang tua macam apa, hah? Orang tua yang gak perduli anak-anaknya masih
hidup atau gak? Mereka makan atau gak? Mereka sakit atau gak? Kalian yang gak
tau kondisi anak kalian sendiri. Sekarang mama menyalahkan Mbo Nah. Ngaca sama
diri sendiri Ma. Apa yang telah mama lakukan untuk kami,” kini aku berdiri di
antara Mama dan Mbok Nah.
Mark
berusaha untuk menenangkan kak Sandra yang tak berhentinya menangis. Mama
membuang mukanya, tak mau melihat ke arahku dan Mbok Nah.
Pandangan
Mama beralih ke kak Sandra dengan pandangan penuh rasa penghinaan dan jijik.
“Mama
harusnya bertanya kepada diri sendiri pantaskah kalian disebut orang tua?
Kalian hanya bisa berhura-hura tanpa memperdulikan kami, anak-anak mama yang
butuh kasih sayang kalian,” aku berusaha mengalihkan perhatian mama dari kak
Sandra.
“Halah
jangan sok mengajari kamu, Kian,” Kemudian Mama berlalu dari kami.
****
Hingga
makan malam, Mama tak bicara dengan kami. Kamipun enggan untuk berbicara dengan
Mama.
“Oh
rupanya sudah pulang kau,” ujar Papa ketika melihat Mama di ruang makan.
“Kita
harus bicara,” tegas Mama berjalan ke ruang kerja Papa. Papa mengikuti langkah
Mama.
Entah
bagaimana mereka memulai pembicaraan tersebut. Karena yang kami terdengar hanya
makian dan amarah yang keluar dari mulut mereka. Kami berempat dapat
mendengarnya dengan jelas. Padahal kami berempat ada kamar kak Sandra di latai
2. Mungkin karena pintu ruang kerja tersebut tidak tertutup rapat.
Wajak
kak Sandra terlihat yang paling cemas, raut wajahnya dipenuhi kesedihan,
kekecawaan terhadap kedua orang tua kami.
“Mark
mau kemana kamu?” kak Sandra bertanya ke Mark yang tiba-tiba berdiri. Namun
Mark sama sekali tak perduli. Aku megikutinya dari belakang.
“Kamu
yang gak becus jadi ibu yang baik!!”
“Kamu
yang gak becus jadi seorang ayah!!”
Mereka
saling menghina satu sama lain.
“Apa yang
aku katakan pada keluarga dan teman-temanku kalo mereka tahu Sandra hamil? Mau
ditaro dimana mukaku ini?” Mama berteriak frustasi.
“Kamu
pikir kamu saja yang malu? Aku juga malu,” Papa melihat ke arah Mama penuh
amarah.
“Bisakah
kalian bersikap seperti layaknya orang tua yang baik. Di keluarga ini bukan
kalian yang tersiksa tapi kami.” Mark berbicara di depan pintu.
Aku
mendorong Mark agar masuk ke ruangan tersebut. Aku tak ingin kak Sandra
mendengar lebih banyak lagi pertengkaran. Sudah cukup banyak yang dia dengar.
Ku tutup rapat pintu dibelakangku.
“Jika
kalian tak bisa layaknya orang tua. Maka lebih baik kalian tinggalkan rumah
ini,” Mark berbicara tegas dan menatap langsung ke arah Papa dan Mama.
“Hai
siapa yang mengajarimu? Ini rumah kami!” kali ini Papa membalas tatapan Mark.
“Ini
bukan rumah kalian, ini rumah eyang dan eyang mewariskan rumah ini kepada kami
bertiga, bukan kalian. Andai eyang masih hidup, kami yakin kalian gak akan
tinggal selama ini,” ucapku keras.
“Gak
cukup musibah yang menimpa kak Sandra, hah?” Mark menatap Papa dan Mama penuh
kebencian. “Apa kalian gak bisa gak memikirkan diri sendiri? Apa kalian gak
bisa memikirkan masa depan kak Sandra? Bagaimana dia melalui 9 bulan nanti
dengan anak yang dikandungnya?” lanjutnya.
“Gugurkan
saja,” ucap Mama santai.
Kami
semua langsung menatap ke arah Mama. “Gugurkan!!!!” aku dan Mark teriak
bersamaan.
“Ya
gugurkan saja,” kali ini Papa menimpali dengan tegas. Baru kali ini keduanya
memiliki kesamaan. Papa melirik Mama. Seulas senyum terukir di wajah Mama dan
Papa.
“Kalian
memang orang tua konyol,” ku tahan suaraku.
“Ya
untuk apa mempertahankan anak haram itu. Hanya membuat kami malu saja. Mau
ditaro dimana muka kami? Dia itu telah mencoreng nama keluarga Alvaro dengan
hamil di luar nikah” dengan mudahnya Papa membalas perkataanku.
“Kalian
memang orang tua tak bermoral. Tega-teganya kalian memikirkan diri kalian tanpa
memperhatikan keadaan kak Sandra?” Mark menggeleng-gelengkan kepalanya tak
percaya apa yang didengarnya.
“Kak
Sandra mencoreng nama keluarga? Apa Papa tidak ingat kenapa hal ini sampai
terjadi?” kataku ke Papa. Papa membeku dengan perkataanku.
“Bukan
kami yang sudah mencoreng nama keluarga Alvaro. Tapi kalian dengan pola hidup
kalianlah yang telah merusaknya. Eyang pasti malu mempunyai anak dan menantu
seperti kalian. Percuma kalian hidup di dunia ini, hidup kalian tidak berguna,”
kuluapkan amarah yang selama ini ku simpan.
Ya sudah
lama aku ingin mengeluarkan semuanya. Kini saat yang ku nantikan tiba. Tak
henti-hentinya aku dan Mark memaki dan mencemooh orang tua kami. Kami sadar
bahwa kami tak boleh bersikap seperti itu.
Mbok Nah
yang selalu mengajari tata krama pada kami. Terkadang di sela-sela pelajaran
tersebut Mbok Nah selalu membuat kelakar yang membuat kami tertawa hingga
terpingka-pingkal sampa tak mampu berdiri.
Malam
harinya Mbok Nah selalu mengunjungi kamar kami satu per satu. Aku lah yang
paling terakhir dikunjungi Mbok Nah. Kadang ku lihat Mbok Nah menangis menatap
kami.
“Sudah
kalian anak kecil tau apa kalian tentang hidup?” suara Papa membuyarkan
lamunanku.
“Kami
memang anak kecil. Pengalaman hidup kamipun tak sebanyak kalian. Tapi kalian
sadar apa yan kami lakukan adalah cermin dari diri kalian sendiri. Kami meniru
apa yang kalian lakukan. Kami melakukan semuanya hanya ingin mendapat perhatian
kalian. Apa kalian gak pernah sadar hal itu?” kutatap wajah Papa dan Mama
bergantian untuk menemuka sebuah kesadaran dalam diri mereka. Namun hal
tersebut sia-sia. Karena yang terlihat hanya orang tua yang benar-benar tak
perduli.
Entah
kejadian apalagi yang dapat membuat mereka sadar akan kesalahan mereka selama
ini.
“Mas
Kian.... Mas Mark.....” teriak Mbo Nah dari luar ruangan.
Aku dan
Mark berlomba untuk membuka pintu. “Ada apa Mbok?” tanyaku dan Mark bersamaan.
“Mba
Sandra, Mas.... Mba Sandra.... “ Mbok Nah sangat gugup hingga tak mampu
menyelesaikan perkataannya.
“Hai Nah
gak usah terlalu sedih begitu. Kenapa sama Sandra?” tanya Mama sinis.
“Mba
Sandra bunuh diri,”
****
11 komentar:
Hiks tega bgt org tua bgtu,stres :(( lanjtkan mba fathy,heheh
mba Fathy,,,,,,,aq SETUJU sa Rena....
LANJUTKAN !!!!! *Gaya SBY*
aku makin emosi membacanyaaa huwaaa itu orang tua si mama dan papa kalo ketemu pasti kulempari batu diam2 biar babak belur *berucap sambil marah dan ngos2an* hihihihihi
aku mah ga sabar nunggu lanjutannyaaaa.....
mba Fathyyy ayo di lanjutkann.. hehehehe
itu orang tua kandung?
Geleng2 aja,,,
#mb fathy next chapterny kpn?
Aku di omelin and di ejek sama mama dan adikku gara-gara baca ini sembari keluarin air mata !!! Kapan lanjutan yah !!!
Harus sedia tisyu nih !!!!!
moodku langsung jd galau sist habis baca bab 2 mu. huauauha.. benci..benci.. benciii.......... kenapa ada orang tua seperti itu. grr...grr...gr...
lanjutkan,,,,,,,,jargon sby hehehehe ("⌒∇⌒")
@all : bab 3 nya dah dkrm ke cherry jadi tinggal tunggu yah....
@naoki : disini mereka memang ortu kandung
@fransisca : skrg g usah pake tisyu lgi kok
@mba santhy : jgn nyasar k aku y mba hehehehe
@mba shin : kalo bab 3 g bikin galau kan hehehe
hiksss sebel ama ortunyaaaa
kasian banget ya jadi anak2nya dasar orang tua gk tau diri,udah dkasih anak malah disia2in....
bnyak kali yg kpengen pnya anak tp gk seberuntung itu,mereka seharusnya bsyukur sm tuhan msh dititipin anak.....jd kesel aku*klw ktmu ntar aku tonjok2*
Posting Komentar