RAIHAN
“Maaf… aku tidak bisa membawa kematian itu
bersamaku…”
Untuk kali pertamanya aku benar-benar menangis,
jiwaku benar-benar hancur tak berdaya. Aku merasa benar-benar seperti pecundang
tak berguna yang akhirnya hanya bisa menghancurkan keinginannya. Aku bahkan
tidak bisa menuruti permintaannya untuk menghilang dari muka bumi ini. Dan kini
ia terluka karena ulahku…
Aku seharusnya tidak memberontak, seharusnya aku
tidak memecahkan vas bunga itu, seharusnya aku tidak mencoba untuk membuktikan
bahwa aku bisa melakukan semuanya sendiri. Seharusnya dia tidak pernah terluka,
bahkan meski hanya tergores oleh pecahan vas itu.
“Maaf…” bisikku tulus. Dan aku bisa merasakan
isakkannya semakin keras, ia memelukku dengan sangat erat. Untuk pertama
kalinya juga lah aku merasakan menemukan sosok lain dalam diri gadis itu, sosok
yang selama ini tersembunyi di balik seluruh sikap angkuh dan tatapan
dinginnya. Sosok yang selama ini ia sembunyikan, sosok rapuh yang membuatku
ingin selalu melindunginya.
Namun dengan keadaan seperti ini, aku tidak akan
bisa melakukan apapun. Aku hanya pria lumpuh yang tak berguna…
Dengan perlahan aku menggerakan lenganku yang
terbalut perban olehnya, ku belai dengan lembut punggungnya yang masih bergetar
karena isak tangis. Untuk kali ini saja Tuhan… untuk kali ini saja, izinkan lah
aku menunjukan betapa aku sangat mencintainya… untuk kali ini saja… dan aku
berjanji ini akan menjadi kali terkahirnya.
Aku sangat mencintainya, dan aku tidak ingin
melihatnya kembali terluka. Mungkin sudah saatnya aku menepis egoku, menghentikan
seluruh kisah konyolku untuk memilikinya secara eksklusif. Dia berhak
mendapatkan yang lebih baik, yang akan memberikan pelangi berwarna warni di
setiap harinya, membuatnya tersenyum.
Tapi bukan aku…
***
Aku sudah membuat keputusan. Aku
akan segera pergi dari kehidupannya. Meski pada akhirnya aku tidak bisa membawa
kematian itu bersamaku, namun setidaknya aku bisa memenuhi keinginannya untuk
tidak lagi menemukanku dalam kehidupannya.
Ibu menatapku dengan perih. Sesudah kejadian
memilukan malam itu, Zahra tertidur dalam pelukanku di sofa dalam ruang rawat
inapku. Ia terus menangis hingga akhirnya kelelahan dan tertidur. Sebelah
tangannya mencengkram erat ujung baju rumah sakit yang ku kenakan, kepalanya
tersandar di bahuku. Aku sudah menghubungi ibuku ketika sinar mentari pertama
kali muncul di balik tirai kamarku. Dan ibu langsung datang, tentu saja.
Mengingat pada akhirnya hanya aku yang kini di milikinya setelah meninggalnya
kakak sulungku.
Kakek berdiri di belakangnya dengan kepala
sedikit menunduk. Aku tau ia tidak setuju, namun sudah tidak ada yang bisa ia
lakukan untuk menghentikanku.
Dengan perlahan ku kecup kening gadis itu dan
memindahkan kepalanya ke atas sandaran sofa. Beberapa suster membantuku naik
keatas kursi roda, dan untuk yang terakhir kalinya, aku memandang dalam-dalam
wajah cantik gadis yang masih terlelap itu, berusaha menyimpannya dengan sangat
hati-hati ke dalam otakku.
“Kau akan menyesalinya.” Ujar kakek.
“Aku sudah menyesalinya.” Bisikku tanpa
sekalipun mengalihkan pandanganku dari wajahnya yang begitu cantik. “Pastikan
dia baik-baik saja.” Bisikku pada seorang suster yang berdiri di sampingnya.
“Ayo pergi.”
***
Aku pernah merasakan jatuh cinta sebelumnya,
pada seorang gadis lugu yang begitu menawan. Namun pada akhirnya semua kisah
itu berakhir tragis, ketika satu hal kecil menjadi penghalang bagi kami. Lucu
memang, tapi semenjak itu aku sudah membuang seluruh hal tentang kata yang akan
membuatku lemah. Cinta. Cih!! Hanya orang bodoh yang akan mengakatan
cinta itu selalu berkahir bahagia. Karena pada akhirnya selalu ada perpisahan
di akhir kata pertemuan, lalu penyesalan dan luka.
Namun entah bagaimana gadis itu bisa membuatku
jatuh pada lubang yang lebih dalam lagi. kelam mata indahnya seakan menarikku
mendekat, bagai magnet yang tidak akan pernah bisa terpisahkan. Sikap angkuhnya
pada dunia membuatku yakin jika dia adalah gadis yang kuat, gadis yang mampu
menemaniku dalam masalah apapun. Namun pada akhirnya, aku sendirilah yang
menyerah pada seluruh kisah ini.
Dengan pengecutnya aku menghindar dari seluruh
mimpiku. Melepaskan seluruh keinginanku untuk memilikinya. Karena aku sadar,
kebahagiaannya lah yang ingin ku lihat. Dan ketika bersamaku hanya menimbulkan
luka, maka aku bersedia untuk pergi sejauh mungkin dari kehidupannya.
Aku tidak menyerah, tentu saja tidak.
Aku hanya ingin melihatnya bahagia…
Melihatnya tersenyum dengan menggenggam pelangi
beraneka warna di tangannya. Meski dengan begitu, aku harus pergi menjauh,
menelan seluruh hitam putih kehidupan ini sendiri dalam kelamnya jurang hatiku.
“Tuan muda… nona Zahra…” ujar David salah satu pengawalku sambil mengulurkan
ponsel kepadaku. Aku tersentak di atas kursi rodaku, namun tidak bergeming. Mataku
nanar menatap pintu ganda rumah sakit yang terbuka lebar. Beberapa pengunjung
yang berada di lobi rumah sakit itu tampak menatapku dengan tatapan aneh.
“Tuan Raihan Reynaldi… kalau sampai kau berani
melewati pintu itu, aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri. Aku
bersumpah!” mataku terbelalak lebar ketika mendengar teriakannya dari sebrang
telepon. Namun suaranya tampak begitu jelas, kemarahan dan ancamannya jelas
terasa, membuatku mau tidak mau tersenyum perih karena merindukannya.
“Aku bilang berhenti!” kini tubuhku benar-benar
menegang. Ku lirik ibuku yang tersenyum manis penuh haru di sampingku. Suster
yang mendorong kursi rodaku langsung menghentikan langkahnya dan menoleh
kebelakang. Aku tersenyum tipis dan menggeleng-geleng, bagaimana mungkin sesaat
yang lalu aku bisa melupakan bahwa gadis itu adalah gadis yang sangat kuat.
“Kau pikir kau mau kemana hah?!
Kau tidak akan pernah bisa pergi kemanapun, kau tau itu! kau pikir aku tidak
akan mampu merawatmu?! Kau pikir aku sebodoh itu?!” teriakannya kini
benar-benar nyata, hingga rasanya aku bersedia menghentikan waktu saat ini
juga, agar aku bisa terus merakasan keberadaannya. Tapi aku sudah mulai lelah
dengan seluruh pengandaian itu. Aku melirik David yang berdiri di sampingku,
dan mengangguk. Kemudian ia meminta suster di belakangku untuk melanjutkan
perjalanan kami. Aku bisa merasakan keraguan suster itu untuk sesaat, namun
pada akhirnya ia kembali mendorong kursi rodaku. Keningku sedikit berkerut
ketika kursi rodaku malah berbelok menjauhi pintu keluar. Apa-apaan ini?! Ku
lirik sosok David yang bertubuh besar dengan tatapan geram, namun betapa
terkejutnya aku ketika melihat ia tengah tertunduk, tampak sedikit ketakutan.
Dengan cepat aku menoleh ke belakang, dan ketika melihat sosok gadis itu,
jantungku terasa berhenti.
Penampilan Zahra tampak sedikit
berantakan, namun ia masih tetap cantik. Kerudung abu-abunya sedikit berkerut
di beberapa sisi, matanya sembab dengan kantung hitam di setiap sisinya, dan
wajahnya… ya Tuhan, bagaimana mungkin kau bisa menciptakan wajah secantik itu,
bahkan ketika ia marah.
Marah?!
Dug! Aku meringis pelan ketika
dengan sengaja ia menabrakan kursi rodaku ke ujung kursi panjang di tengah
lorong rumah sakit. Sebelah bibirnya naik sedikit menunjukan senyuman sinisnya
yang sangat menawan. Aku terkekeh pelan, kemudian kembali membetulkan posisi
dudukku, dengan perlahan namun pasti aku bisa merasakan ketenangan di dadaku,
dan pelangi itu pun tak lagi berwarna hitam putih.
Anna tersenyum tipis ketika melihat
kami, di sampingnya Raka turut menanti kedatangan kami. Ia masih mengenakan
pakaian rumah sakit, bahkan tangannya masih di pasang selang infuse, namun
wajahnya tampak sangat segar.
“Mengapa kau melakukannya?”
samar-samar aku bisa mendengar pertanyaan Raka pada istrinya itu ketika kami
melewati mereka. Anna tersenyum tipis tanpa mengalihkan pandangannya dari kami.
“Karena aku tidak ingin melihat
mereka terluka,” bisiknya pelan. Aku tersenyum tipis, dan menghela nafas lega.
Sampaikanlah berjuta terima kasihku pada wanita itu Tuhan…
***
“Apa
aku perlu datang?” Tanya suara di sebrang telepon. Aku terdiam sejenak,
kemudian menatap pantulan cahaya bulan yang terbias dari jendela kamar rawat
inapku. Sebuah kecemasan perlahan menyelinap ke dalam hatiku.
“Tidak. Kau harus tetap di sana
untuk memonitori semuanya. Pastikan semuanya berjalan lancar. Aku sudah meminta
David untuk mengambil berkas yang harus ku tanda tangani. Tapi aku ingin kau
tetap di sana!”
Hening sejenak.
“Baiklah.” Ujar Lucky pada
akhirnya kemudian menutup sambungan telepon kami. Aku menghela nafas lega
kemudian meletakan ponselku di meja kecil di samping ranjangku, tepat sebelum
David masuk dengan seorang dokter di belakangnya.
“Selamat malam tuan Raihan,”
sapa dokter itu ramah. Tapi malam ini aku sedang tidak ingin beramah tamah,
waktuku hanya sedikit sebelum gadis itu kembali ke ruangan ini lagi.
“Jelaskan kondisi tubuhku.”
Ujarku dingin tanpa memandang wajah dokter itu. Meski begitu aku tetap bisa
melihat kegugupan dari gerakan tangannya yang sesekali membetulkan letak kaca
matanya yang sebenarnya tidak pernah merosot sedikit pun.
Dokter muda itu berbicara
dengan kecepatan yang tidak biasa, mungkin ia terlalu gugup, tapi jelas itu menguntungkanku.
Karena semakin cepat ia menyelesaikan, semakin kecil kemungkinan Zahra
mengetahui apa yang terjadi.
Aku tersenyum sinis ketika
akhirnya dokter itu berhenti berbicara. “Jangan biarkan siapapun mengetahui hal
ini, terutama gadis itu,” bisikku masih tanpa melihat wajahnya, namun aku bisa
merasakan dokter itu mengangguk dan akhirnya berlalu pergi.
***