BAB SATU
***
Langkah-langkah kaki mulai
terdengar ketika jam dinding menunjukan pukul 9 malam. Hujan diluar sana tidak
menghentikan orang-orang berlangkah tergesa itu. beberapa dari mereka sibuk
dengan pikirannya masing-masing. Namun beberapa yang lain mendiskusikan banyak
hal satu sama lain. Wajah kelimanya terlihat tegang.
“Dokter...” aku berdiri ketika
mereka sampai didepan ruang ICCU. Seorang dokter tua berkacamata menghentikan
langkahnya, menatapku penuh optimistis. Mungkin ia berharap dapat menghapus
luka yang berada dimataku. Tanpa ia ketahui, semua luka ini terasa terlalu
dalam dan membekas.
“Kakek akan baik-baik saja Nak...”
bisiknya sebelum masuk kedalam ruangan putih itu. aku mencoba tersenyum. Namun gagal.
Dia pikir aku masih seperti gadis 15 tahun yang lalu, yang langsung percaya
ketika mereka mengatakan hal yang sama padaku tentang kedua orang tuaku sesaat
sebelum mereka akhirnya dinyatakan tewas.
***
Jakarta, 2009.
‘Perfect!!!” teriak seorang gadis
yang begitu familiar di mataku. Ia Kirana Aghata Lubis, gadis yang kerap ku
panggil Kubis ketika kesal. Kirana menatap pita cantik buatannya dengan puas.
Pita itu berwarna biru laut dengan empat simpul. Aku dan Luna menepuk tangan.
‘Kau tau, aku rasa pitanya terlihat
lebih indah dari pada isi kado itu sendiri,’ ujarku. Luna memelototiku. ‘Well,
bukan berarti aku mengatakan kado pilihanmu itu jelek,’ ujaku, nyengir menatap
sosok Luna. Ia menatapku sinis untuk beberapa saat, kemudian menyeringai. Aku
bernafas lega.
‘Hm...’ Kirana berdehem pelan. Merebahkan
tubuhnya disampingku, memandang langit-langit kamarnya. ‘Setelah ini kita akan
lulus SMA,’ ujarnya. Aku dan Luna saling pandang. ‘Apa kita akan tetap
bersahabat seperti ini. Duduk-duduk dikamarku, makan ice cream kesukaan kita, belanja
bersama...’ kata-kata Kirana tergantung di antara keheningan kami.
‘Ya iyalah!’ jawabku setelah diam
sebentar. Luna merebahkan tubuhnya hingga kami bertiga menatap langit-langit
secara bersamaan.
‘Di masa nanti, aku mau menikah
dengan seorang pengusaha kaya,’ ujar Kirana. Aku terkekeh.
‘Kurasa, bukan Cuma kau yang
menginginkan hal itu,’ ujarku. ‘Ya kan, Na?’ aku melirik Luna yang masih
terdiam.
‘Aku tidak terlalu menginginkan
itu. bagiku, asal ia mencintaiku apa adanya, tulus, tak berbagi... itu sudah
cukup,’ aku tersenyum tipis dalam diam. Kirana menghela nafas panjang.
‘Perfect,’ bisik Kirana
sungguh-sungguh.
Jakarta, saat ini.
Aku terbangun oleh suara gaduh dari
ranjang dorong dihadapnku. Nafasku tercekat ketika melihat seorang pasien
tertidur diatasnya. Tidak... itu bukan kakek... dia wanita. Aku menyeka peluhku
lega. Tersenyum tipis mengingat mimpiku barusan. Luna dan Kiran, sahabatku yang
begitu manis. Andai aku bisa berbagi kembali dengan mereka. Mungkin saat ini
aku masih memiliki sedikit gambaran ketenangan. Namun seiring berjalannya waktu
semua jarak itu terlihat semakin luas.
Sejauh kabar yang kudapat, Kirana
kini masih berada di Tokyo untuk meneruskan studinya dibidang Ekonomi. Sedangkan
Luna, sudah tiga tahun aku kehilangan kontak dengannya. Ia seperti hilang ditelan
bumi. Tapi aku tau dia masih hidup. Ya dia harus masih hidup, karena aku
mempunyai sebuah hutang untuknya.
“Kimi,” panggil seorang wanita
cantik. Aku menoleh cepat. Cukup terkejut atas panggilannya. Hanya Ayah. Ibu
dan kakek yang memanggilku dengan sebutan itu. dan kalaupun ada orang lain,
maka harusnya mereka adalah orang-orang terdekat ayah, ibu dan Kakek.
Aku mengenal pasangan itu sebagai
om dan Tante Aryadinata. Mereka adalah sahabat mama dan ayah ketika tinggal di
Australia. Aku berdiri menyambut mereka. Tante Lia langsung memelukku erat.
Kemudian disusul oleh om Arya.
“Bagaimana keadaan kakek?”
tanyanya. Aku melirik pintu ICCU yang masih tertutup. “Kami berusaha datang
kesini secepat yang kami bisa,” ujar tante Lia dengan logat yang sedikit aneh.
Aku mencoba tersenyum mengerti. “Astaga, kau pasti lelah. Kau bisa pulang, biar
tante dan om yang akan menjaganya,” ujar tante Lia tulus. Aku menggeleng cepat.
“Aku akan disini sampai kakek
baik-baik saja,” bisikku pahit. Om Arya menganguk dan merangkul pundakku
menguatkan. “Terima kasih sudah datang,” bisikku tulus.
2 komentar:
BAru mulai baca...
BAru mulai baca...
Posting Komentar