Secangkir
kopi, dan seberkas cahaya matahari.
Aku
menghirup dalam-dalam udara kota Bandung yang selalu menyegarkan. Mengosongkan
paru-paruku kemudian mengisinya kembali dengan oksigen yang baru, seakan tidak
pernah puas pada kesegaran itu, satu-satunya hal yang membuatku tidak pernah
rela meninggalkan kota ini terlalu lama, bahkan meski pangerang tampan itu yang
memintaku pergi dari kota ini.
Rasa
dingin yang mengalir dari benda mungil di jemariku kembali menggelitik hatiku.
Aku membuka mataku dengan perlahan, dan sebuah senyuman manis terukir begitu
saja. Wajahku akan kembali memerah, seakan benda yang melingkar cantik di jari
manisku memang membawa aliran listrik yang bisa menyengat tubuhku hingga
memerah.
Semburat
kemilau cahaya mentari pagi yang mulai naik, mengintip di balik dedaunan pohon
cemara yang tertanam di depan rumahku. Aku tersenyum manis, kemudian menyesap kopiku
dengan perlahan. Kabut-kabut yang menutupi perkebunan teh mulai menyingkir,
tertiup oleh angin yang berhembus ke utata.
“Calon pengantin ndak boleh melamun pagi-pagi seperti
ini.” tegur seorang wanita paruh
baya dengan kantung belanjaan di tangannya. Aku tersenyum tipis, mungkin
wajahku sedikit merona, karena ia langsung terkekeh pelan. “Waktu bibi pertama kali
menikah, bibi juga merasakan perasaan yang sama sepertimu, sering tersipu-sipu
sendiri.” selorohnya sambil berjalan
melewatiku yang tengah duduk di beranda rumahku. Ia membawa kantung belanjaan
yang berisikan sayur mayur itu ke dapur. Meletakannya di atas meja dapur, dan
mengeluarkan semua isinya di meja. Meski terlihat tua, namun bik Asih masih
selalu cekatan. Tangan kirinya meraih panci yang tergantung di dekat ventilasi
udara, mengisinya dengan air kemudian meletakannya ke atas kompor yang sudah
menyala.
“Yang pertama?” tanyaku dari beranda depan,
aku sedikit menaikan suaraku agar ia mendengar perkataanku.
“Ya, yang pertama.” Jawab bik Asih sambil terus
sibuk memotong-motong buncis dan wortel yang sudah selesai dikupas. Aku
menjulurkan kepalaku ke ambang pintu, menontonnya memasak dari tempatku duduk.
“Memangnya, mang Husain itu
suami bibi yang keberapa?”
tanyaku dengan lugu. Bik Asih menghentikan gerakan memotongnya yang lincah
untuk sesaat, menghela nafas panjang, kemudian melanjutkannya lagi.
“Yang ketiga,” jawabnya ketika memasukan
potongan sayuran itu ke dalam panci, aku tidak yakin apakah air di dalam panci
itu sudah mendidih atau belum, karena aku sama sekali tidak melihat uap di atas
panci itu. Tanpa sadar bibirku membulat, membentuk kata ‘Wow’ tanpa suara. “Bibi belum cerita yah ke neng?”
tanyanya, ia mengelap tangannya pada dasternya, membuatku mengernyit kikuk. “Suami bibi yang pertama pergi,
cerai.” Tidak ada tanda-tanda
kesedihan yang tampak dari suaranya, dan ia memang terlihat sangat santai,
seakan yang sedang ia ceritakan adalah kisah nina bobo untuk Indah, putri
bungsunya yang duduk di kursi SMP.
“Cerai?” bisikku pelan, penasaran akan
kelanjutan ceritanya. Mungkin di saat-saat menjelang pernikahan seperti ini,
seluruh hal tentang pernikahan itu sendiri selalu menarik perhatianku lebih
banyak. Termasuk dengan kata perceraian itu. “Kenapa?”
tambahku.
Bi
Asih termenung sejenak, meski tangannya masih terus mengaduk panci di
hadapannya. “Ya
bukan jodoh aja neng,”
jawabnya, terdengar sedikit tak acuh. Aku menghela nafas panjang, kemudian
kembali membetulkan posisi dudukku. Dengan perlahan aku memutar-mutar cincin
yang melingkari jari manisku, termenung pada kata-kata pembantu rumah tanggaku.
Jodoh…
sejauh mana aku dan pria itu berjodoh Tuhan???
Biip…
Aku
tersenyum ketika mendapati ponselku bergetar, pesan selamat pagi dari sosok
yang paling ku cintai. Aku tidak tau sejauh mana aku berjodoh dengannya,
bukankah masa depan tidak untuk kita yang menerka, cukup menjalaninya dengan
sepenuh keyakinan, lalu hidup di dalamnya dengan senyuman.
Hembusan
angin pagi membuat beberapa helai kertas di hadapanku hampir saja berterbangan.
Dengan sigap aku menjaga kertas-kertas sketsa itu agar tetap berada di atas
meja. Belakangan, aku jadi lebih sering membuat sketsa gaun pengantin, meskipun
gaun pengantinku sendiri sudah selesai dibuat sejak beberapa minggu yang lalu.
Namun hal ini membuat kakek semakin semangat untuk menyuruhku membuka butik
gaun pengantin juga di samping butik-butik gaun malamku yang sudah memiliki
cabang di beberapa tempat di bandung dan Jakarta.
“Neng, sudah siap pergi?” sapa mang Husain, suami dari
bik Asih, dengan logat sundanya yang lembut. Aku tersenyum dan mengangguk. Mang
Husain membantuku memasukan sketsa-sketsaku ke dalam tas, dan membawakannya ke
mobil yang sudah terparkir di depan rumahku. “Tadi kakek neng telepon, katanya besok beliau
akan langsung berangkat dari Surabaya.” Ujar
mang Husain di perjalanan kami menuju butikku. Aku mengerucutkan bibirku, kesal
pada ulah kakek. Ia pasti akan menelepon mang Husain dalam keadaan-keadaan
seperti ini, karena ia tau, kalau meneleponku, itu berarti harus bersiap
menerima rengekanku yang memintanya untuk segera pulang ke Bandung.
Jalanan
Bandung pukul 7 pagi di hari kerja memang tidak pernah mengecewakan. Aku
menatap deretan perkebunan yang membentang di sisi kanan dan kiriku. Menyapa
beberapa orang yang ku kenal dengan lambaian tanganku. Aku bisa melihat mang
Husain tersenyum tipis karena tingkahku
yang menurut pengakuannya tidak pernah berubah sejak aku berumur 8 tahun.
“Di hari pernikahan neng, pasti
banyak tamu yang datang,” ujar
mang Husain dengan senyuman di wajahnya.
Aku
menyandarkan kembali punggungku di kursi penumpang, ikut tersenyum mendengar
kata-katanya. “Bagus
dong mang, semuanya memang harus datang.”
Gumamku sungguh-sungguh.
All dressed in white, pastel and pink,
With something borrowed and something blue.
Aku
kembali tersenyum setelah menuliskan kata-kata itu di samping sketsa gaun
pengantin kesukaanku. Sempurna,
akankah aku mendapatkan pernikahan yang sempurna itu?
Baru
saja aku akan keluar dari mobilku ketika ponselku bergetar, telepon dari Alexa,
salah satu teman kantor tunanganku.
“Ya Lex,” sapaku dengan riang, sedang
otakku mulai mengingat-ngingat apakah dia sudah masuk ke dalam daftar tamu
undanganku.
Nafas Alexa terdengar memburu di
sebrang sana, membuatnya sedikit sulit mengatur suaranya, tapi bukan itu yang
membuat otakku mendadak kosong, melainkan kata-katanya yang akhirnya bisa ku
dengar, dan ku pahami dengan lebih jelas. “An..dreas kece…laka…an!”
Deg.
Duniaku
berhenti, Tuhan sudah merebut kehidupanku, mencabut jiwaku dengan gerakan yang
tak bisa terelakan lagi. Aku mengerjap beberapa kali, mencoba kembali
memfokuskan pikiranku pada kata-kata Alexa, namun telingaku hanya berdengung
kencang, membuatku sesak. Aku mencengkram ponsel di telingaku dengan sangat
erat, membuat jemariku memerah. Air mataku menetes deras, membuat mang Husain panik
bukan main. Ia mengguncang-guncangkan bahuku dengan kasar, namun aku tidak bisa
menjawab panggilannya, terjebak dalam genangan luka itu.
Terjebak
dalam ketakutan itu.
***
“Kakek?” aku menatap kakek dengan
pandangan nanar. Entah bagaimana ia sudah berada di rumah sakit lebih cepat
dari pada aku, namun aku sama sekali tidak memikirkan waktu untuk menimbang
kemungkinan bahwa selama satu minggu ini ia memang menipuku dengan mengatakan
bahwa ia sedang berada di Surabaya. Tapi aku benar-benar bersyukur dengan
keberadaannya saat itu, aku benar-benar butuh pelukan hangatnya untuk
menenangkanku. “Andreas kek…” isakku lirih di pelukannya.
Ia mengangguk pelan, membelai punggungku penuh kasih. Mata tuanya tampak basah,
mungkin turut menangisi mimpi putri kecilnya yang hancur berkeping.
“Tenang sayang…” bisiknya di telingaku. “Semuanya akan baik-baik saja.”
Aku
mempererat pelukanku, mencoba meyakini kata-katanya. “Semuanya akan baik-baik saja…” namun hatiku berhianat,
ketakutan itu terlalu nyata. Dan aku tidak ingin kehilangannya! Aku tidak
rela!!
Tante Monika,
ibunda Andreas merangkul pundakku dengan penuh kasih, wajahnya yang selalu
tampak muda itu terlihat begitu sedih. Bukankah mereka selalu mengatakan bahwa
semuanya akan baik-baik saja? Lalu mengapa semua orang yang tengah berdiri di
depan ruang oprasi itu berwajah muram?! Tidakkah mereka meyakini kata-kata
mereka sendiri?!
Seorang
gadis sebayaku berlari-lari kecil menuju ruang tunggu. Sepatu hak tinggi yang
selalu ia kenanakan sama sekali tidak memperlambat langkahnya. Dari jarak
pandang lima meter, ia sudah membuka tangannya, dan langsung memelukku dengan
sangat erat ketika bisa mencapai tempat dudukku. “Kamu baik-baik saja?! Astaga! Aku baru aja
dapat beritanya, mereka bilang Andreas kecelakaan dengan tunangannya,” aku mengerjap beberapa kali
untuk menjernihkan pandanganku. “Ya
Tuhan Andreas… dia
benar-benar melindungimu, syukurlah kamu baik-baik aja. Bagaimana keadaannya sekarang?” Cindy, gadis cantik yang
menjadi kepala butik-ku di Jakarta mendongkak untuk melihat tante Monika,
menanyakan keadaan Andreas yang kami sendiri belum tau. “Kamu tenang saja sayang, ini
adalah salah satu cobaan dari Tuhan menjelang pernikahanmu, tapi semuanya akan
baik-baik saja. Percayalah.” Ia
melepaskan pelukannya dan menatap kedua mataku yang kini menatapnya penuh
tanya. Untuk beberapa saat kami hanya bertatapan, mencoba mencerna seluruh
kisah itu dengan lebih seksama lagi, mencoba untuk mengerti dengan apa yang
tengah Tuhan tuliskan di antara kami.
Aku bisa
melihat mata gadis itu sedikit melebar, jelas terkejut pada sesuatu yang
mungkin kini hadir di kepalanya, sebuah penjelasan lain yang tidak bisa ku
baca. Air matanya mulai tergenang, ia menggeleng perlahan, matanya menunjukan
ketidak percayaa pada sesuatu yang aku sendiri tidak mengerti. “Bukan
kamu?” gumaman itu begitu pelan,
mungkin ditujukan untuk dirinya sendiri, namun aku terlalu dekat dengannya hingga
mustahil rasanya bila aku tidak bisa membaca gerakan bibirnya dengan sangat jelas.
Cindy
langsung kembali berdiri, tampak syok dengan kenyataan yang dihadapinya
sendiri. Aku bisa merasakan hatiku yang sudah hancur berkeping kini tersiram
air garam, perih bukan main. Bahkan kini air mata itu terasa lebih panas dari
pada yang pernah ku bayangkan sebelumnya.
Bukan aku?
***
“Bapak Andreas tidak mengalami kecelakaan
tunggal, dia bersama tunangannya ketika bus itu menabrak mobilnya. Dan bapak
Andreas melindungi tunangannya dengan tubuhnya sendiri, hingga ia hanya
mengalami beberapa luka ringan.”
Keterangan
dari perawat yang ku temui secara diam-diam itu kembali terngiang jelas di
telingaku. Hembusan angin petang yang menyelinap masuk dari jendela kamar rawat
inap itu menyapu wajahku yang membeku. Mataku nanar menatap langit yang mulai
menguning. Bagai pemutaran film, kepalaku dipenuhi oleh kenangan-kenangan yang
terangkat kembali. Membuatku merasakan dadaku semakin sesak, namun akhirnya aku
menyerah, karena pada akhirnya aku tidak bisa melakukan apapun.
“Sekarang
tunangan bapak Andreas ada di ruangan perawatan,” aku ingin berlari ke ruangan perawatan saat
itu juga, menampar siapapun yang sudah berani-beraninya merebut tunanganku.
Memaki siapapun yang sudah dengan bengisnya membuat tunanganku seperti ini,
seseorang yang sudah merusak mimpi indahku!!
Dan
sekarang di sanalah aku, duduk dengan wajah membeku, menunggu Tuhan mencabut
jiwaku untuk menghilangkan seluruh rasa perih ini. Gadis di hadapanku masih
memejamkan matanya ketika aku datang. Dua jam berlalu, kini aku bisa melihat
jemarinya perlahan bergerak. Dengan perlahan kelopak matanya mulai membuka, ia
memicingkan matanya karena cahaya matahari petang yang menyilaukan. Setelah
mulai terbiasa dengan cahaya itu, matanya mulai terbuka lebar, dan pandangannya
langsung tertuju kepadaku. Untuk sesaat aku hanya terus memandang langit dari
jendela kamarnya, menunggu saat-saat kemarahanku mengambil alih jiwaku. Namun tampaknya,
tangis selama berjam-jam itu sudah menghabiskan kekuatanku.
Pandangan
kami bertemu, saling mengunci satu sama lain, sedang otak kami sibuk merangkai
kata yang tak akan pernah bisa terucap. Bertepatan dengan itu, seorang perawat
mengetuk pintu dengan perlahan. Ia mengangguk santun dan berjalan mendekati
kami. “Bu, ini milik tunangan ibu.” Katanya sambil mengulurkan
sebuah cincin berwarna putih yang begitu familiar dimataku, kepada gadis yang
tengah berbaring di hadapanku. Aku merasakan sengatan benda yang melingkari
jari manisku sendiri semakin menyakitkan, seakan ia memang berniat untuk meremukan
jari-jariku.
Sakit
itu kembali menghujam dadaku, menusuk-nusuknya hingga memecahkan seluruh
rusukku. Tangan perawat itu masih terulur dengan cincin di atas telapaknya,
kami beruda hanya terdiam. Lelah pada kenyataan itu. “Maaf, tapi tunangan ibu tidak
bisa diselamatkan.” Ia meletakan
cincin itu di atas meja kecil di samping ranjang pasien, kemudian keluar dari
kamar itu tanpa sepatah katapun, mungkin memberikan waktu untuk sang tunangan
meratapi kematian tunangannya sendiri.
Air
mata itu kembali menetes, perih acap kali mengingat kenyataan pahit itu. Aku
lelah menangis, namun rasanya air mata itu tidak pernah bisa berhenti menetes.
Kehilangan orang yang kau cintai, bukankah itu sangat menyedihkan. Mimpiku
mendadak sirna, menghilang tak berbekas. Hanya menjadi kenangan menyedihkan
semata. Dan rasa rindu akan sosoknya membuatku seakan terbelenggu dalam sakit. Menyesali
seluruh kenangan yang tidak akan bisa kembali ku miliki, hari-hari indahku
bersamanya.
Gadis di
hadapanku menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangannya, air matanya
mulai menetes. Membuatku semakin tak berdaya pada kenyataan itu.
Ia
menangis terisak, dadanya bergerak tak beraturan karena kerasnya tangis itu. Seperih itukah? Seperih itukah ia atas
kematian tunanganku?!
Seekor burung pipit hinggap begitu saja
di jendela kamarnya, lalu kembali terbang ketika angin sore berhembus lebih
kencang, menerbangkan gorden-gorden putih yang membingkai manis jendela rumah
sakit ternama di kota Jakarta itu. “Maaf… gue nggak seharusnya
menghianati lo,”
bisiknya dengan perlahan, masih terisak sesenggukan di atas ranjangnya.
Tidak…
tidak bisakah dia berpura-pura kalau ini tidak pernah terjadi? Tidak bisakah ia
mengelak, agar semuanya menjadi lebih mudah untukku?
Aku
tersenyum miris. Namun bibirku masih membeku, tidak bisa mengatakan apapun. “Li…” panggilnya lebih lirih.
Aku menghela nafas panjang, kemudian
mencoba tersenyum lebih tulus lagi, namun setiap gerakan yang ku lakukan hanya
membuat dadaku semakin sakit. “Gue seneng lo baik-baik aja,” bisikku,
entah tulus atau tidak. “Di kursi
belakang mobilnya ada bunga ini.” aku
memberikan sebuket bunga mawar yang sudah lusuh itu kepadanya. Bunga itu
terbungkus kantung plastik, yang sengaja ku ambil dari tangan para polisi yang
entah ingin membawanya untuk apa. “Ini
pasti buat lo,” ia
menggeleng, bibirnya perlahan itu bergerak, mungkin hendak mengelak. “Win,” bisikku sebelum ia berbicara.
“Please… kalau Andreas membawakan ini
buat gue, itu tandanya dia sama sekali nggak mencintai gue,”
bisikku dengan isakkan yang tertahan. “Gue masih Lily yang sama Win. Lily yang
memiliki alergi pada serbuk bunga.” tanpa sadar aku mencengkram erat bunga itu,
membuat plastic yang menutupinya berbunyi gemerisik. “Dan gue masih berharap
kalau dia mencintai gue… setidaknya, sedikit…”
“Li… dia sayang lo,” ia
menyentuh tanganku dengan perlahan, namun aku langsung menarik diriku menjauh. Bibirku
bergetar, menahan emosi yang memenuhi relung hatiku.
“Kalau
dia cinta gue, itu tandanya lo yang menghianati gue.” Gadis itu terdiam
mendengar kata-kataku, membuatku menyerah pada kenyataan yang menyakitkan itu. “Besok
pemakamannya, datanglah.” Bisikku, bersiap pergi, kemudian memutar kursi
rodaku. “Tapi Win, seharusnya
lo nggak setega itu… merebut pacar sahabat lo yang lumpuh ini.” aku terdiam sejenak di depan
pintu kamarnya. “Karena sekarang gue nggak yakin, bagian mana yang lebih
menyakitkan, kematian Andreas atau penghianatan lo…” Kata-kataku melayang
begitu saja di ruangan itu, tepat sebelum aku keluar dari kamarnya.
Dan
tangis yang sudah ku tahan sejak tadi itupun pecah begitu pintu di belakangku
tertutup. Aku terisak keras, mungkin Winda bisa mendengar suara isakkan
tangisku dari dalam sana, namun aku tidak peduli lagi. Aku lelah! Aku hanya
ingin semuanya kembali!!! Kenapa harus aku yang mengalami semua kisah
menyakitkan itu?! tidakkah Tuhan puas dengan membuatku lumpuh seperti ini?!
Mengapa harus tunanganku… sahabatku… dan kematian itu?!
Aku
mencintainya Tuhan! Aku berjanji akan menutup mataku pada penghianatannya, aku
bahkan rela membagi cintanya dengan sahabatku sendiri, asalkan Kau
mengembalikannya kepadaku.
Aku
masih menangis keras ketika kakek datang bersama seorang perawat, mereka
berlari-lari di sepanjang lorong. Tapi meski akhirnya pelukan itu sampai
padaku, aku masih tidak bisa berhenti menangis, walaupun sejujurnya aku sendiri
tidak terlalu yakin untuk apa aku menangis saat itu. Apakah karena kematian tunanganku,
atau karena penghianatan sahabatku sendiri?
Tapi pada akhirnya, kedua hal itu
sama-sama menghancurkan mimpiku. Menghancurkan hidupku.
***
Baby why'd you leave me
Why'd you have to go?
I was counting on forever,
now I'll never knowI can't even
breathe
It's like I'm looking from a
distance
Standing in the background
Everybody's saying,
he's not coming home now
This can't be happening to me
This is just a dream
-Carrie Underwood - Just A
Dream