Pelangi itu berwarna cantik, melengkung sempurna di atas
atap-atap rumah yang mulai memenuhi setiap sudut kota kelahiranku. Warnanya yang
cantik sejenak tampak begitu kontras dengan warna langit senja kala itu. aku
tersenyum tipis, mencoba menghitung warna yang bisa ku lihat, merah, jingga,
kuning, sedikit hijau, biru, nila, seberkas magenta…
Magenta…
Kuraba permukaan gaunku yang berwarna magenta, namun terlalu tua
untuk disamakan dengan salah satu warna pelangi itu. Gaun off shoulder itu membungkus
tubuhku dengan apik, bahannya yang lembut dan nyaman membuatku dengan begitu
mudah jatuh cinta padanya. Semudah aku jatuh cinta pada pelangi itu, dan pada
pemuda yang membawa pelangi itu masuk ke kehidupanku.
“Cinta itu indah…” bisik gadis di sampingku dengan senyuman yang
mengembang. Mata indahnya turut menatap biasan warna pelangi di langit senja. Kedua
tangannya saling bertautan di depan pinggangnya yang ramping, seakan tengah
menggenggam sesuatu yang tidak bisa ku lihat.
Aku menghela nafas panjang kemudian tersenyum tipis, “Cinta itu
menyakitkan.”
“Itu karena kau belum pernah menemukan cinta yang sebenarnya.” Pembelaannya
akan cinta mau tidak mau membuatku ingin tersenyum geli, mencibir pada
kenyataan yang tak tersirat. “Suatu saat nanti, ketika akhirnya kau menemukan
cinta itu, kau pasti akan sangat bahagia.” Ujarnya begitu tulus.
Aku mengangkat bahu tak yakin, “Aku pernah merasakan indahnya
cinta itu, tapi saat ini aku hanya ingin melupakannya…” ujarku santai. Saat itu,
semilir angin menerpa wajah kami, menerbangkan helaian rambut hitamku.
“Sebenarnya ku rasa kau terlalu kejam pada dirimu sendiri. Sering
kali kau mengerjakan sesuatu yang diluar kemampuanmu, aku tau kau gadis yang
penuh ambisi, tapi terkadang ada beberapa hal yang tidak bisa kita lakukan, dan
meninggalkannya adalah hal terbaik,”
Aku terkekeh geli, “Aku sudah mengerti hal itu, dan itulah yang
sekarang tengah ku lakukan pada kata bernama cinta di dalam kehidupanku.”
“Bukan begitu maksudku…” ujarnya tampak serba salah. Aku menatap
wajah cantiknya dengan penuh kasih.
“Aku mengerti. Tapi untuk saat ini aku tidak bisa bertahan,”
“Tapi kau bilang kau sangat mencintainya, kalau begitu mengapa
kau tidak mempertahankannya,”
“Mungkin cintaku kepadanya tidak sebesar itu.”
“Jangan bergurau, aku sahabatmu, sahabatmu sejak kecil. Aku mengenalmu
dengan sangat baik, dan meski hanya membaca dari email-emailmu selama ini, aku
tau kau sangat mencintai pria itu. Aku sangat yakin…”
“Mungkin iya, tapi dia tercipta bukan untukku. Sebesar apapun
usahaku untuk mendapatkannya, aku pasti akan gagal. Dia bukan jodohku…”
“Persetan dengan pemikiran konyolmu itu. Memang kau ini Tuhan?! Sampai
sampai kau bisa menentukan siapa jodohmu, dan siapa jodohnya. Berhenti
bergurau, kalau kau mencintainya kau harus mempertahankannya!”
Lagi-lagi perkataannya membuatku ingin tersenyum geli, “Tapi
masalah terbesarnya di sini adalah kenyataan bahwa pria itu tidak mencintaiku.”
Ujarku tegas. Gadis di hadapanku melongo, kedua matanya membulat dengan
kemarahan yang tampak jelas.
“Kalau begitu mengapa kau masih saja mencintainya?! Kau seperti
bukan dirimu yang ku kenal!”
“Mungkin itu karena cinta.” Bisikku datar. Tiba-tiba gadis itu
merangkulku dengan sangat erat.
“Kau pasti akan menemukan kebahagiaan itu,” ujarnya lembut.
“Aku tau.” Ujarku tenang. “Sudahlah, jangan bersedih lagi, aku
tidak ingin menjadi pengiring pendamping pengantin yang jelek sehabis menangis.
Ayo tersenyum, tunjukan padaku kecantikanmu, yakinkan aku bahwa kau memang
pantas untuknya. Agar kelak aku tidak menyesal karena tidak mempertahankan
cintaku kepadanya.”
Semilir angin lagi-lagi menerpa wajah kami, namun kini lebih
keras, menghantarkan sebuah keheningan yang membekukan suasana. Wajah gadis di
hadapanku sedikit memucat, matanya menyiratkan ketidak percayaan akan kata-kataku,
kemudian aku bisa melihat genangan air matanya.
“Dia…” bisiknya pelan, aku tidak yakin apakah itu sebuah
pertanyaan atau bukan.
“Aku tidak ingin menyembunyikan apapun darimu. Kau sahabatku,
sahabat terbaikku. Ingat ketika kita mencintai pria yang sama ketika SMP dan
SMA? Selalu begitu, bukan? Tapi pada akhirnya, selalu kau yang dipilih mereka…
selalu begitu…”
2 komentar:
ziii ko sedih critanyaaaaa
Sbagian critany mirip ak bgt
Sdih bgt, miris
Posting Komentar