#Sekarang
“Diiiiaaaaaaannnn ada bunga nih buat lo!!”
teriak Dion dari bawah di pagi hari.
“Ya mas, sebentar lagi Dian turun.” Jawab Dian
dari dalam kamarnya di lantai dua.
"Mana mas bunganya?" Tak sampai lima
menit Dian sudah ada di depan Dion dengan wajah berseri-seri. Dion mengangkat
dagunya ke sebuah tempat menunjukkan bila bunga itu ia letakkan di tempat
tersebut.
"Mas dimana taro bunganya?" Dian
berteriak dari arah yang dimaksudkan Dion.
"Di tempat sepatu."
"Gak da mas. Mas gak lagi bohongin Dian
kan?"
"Gak."
"Terus kok gak ada?"
"Gak tau. Dimakan cemong kali." Dion menjawab asal
pertanyaan Dian.
"Mas.... Mas gak lagi bohongin Dian kan??"
Tanya Dian yang tiba-tiba sudah berada di depan Dion.
"Iiissshhhh kamu itu kaya hantu aja datang
tiba-tiba." Dion berucap tanpa menghiraukan pertanyaan yang dilontarkan
Dian. Sementara Dian menatap Dion dengan penuh selidik. Matanya tak pernah
lepas menatap Dion.
"Apaan sih kamu Di natap aku kaya
gitu." Dion yang merasa risih berusaha memalingkan wajahnya.
"Mas taro dimana bunganya?" Dian yang
merasa kesal kali ini sedikit meninggikan suaranya namun kemanjaan masih dapat
dirasakan di nada suaranya.
"Di tadi gw taro di tempat sepatu. Kalo
sekarang gak ada mana gw tau. Dimakan cemong kali." Dion tak mau kalah
dengan Dian, ia pun menaikkan nada suaranya.
"Mas kok gitu naronya sembarangan banget.
Kenapa naro di rak sepatu? Lagi mana ada kucing makan bunga." Dian kali
ini benar-benar sudah kehabisan kesabarannya.
"Eh terserah gw mau taro dimana. Cemong
lagi kelaperan kali makanya dia makan tuh bunga," ujar Dion santai.
"Mas Dion.....!!!"
"Ini ada apa masih pagi kok udah
teriak-teriakan kaya di hutan," ujar mama Ina dari dapur yang diikuti
Kyle, istri Dion.
"Ini ma mas Dion ngerjain aku pagi-pagi."
Jelas Dian seraya mengerucutkan bibirnya.
"Iiihhh siapa juga yang ngerjain lo, Di.
Gw kan udah bilang bunganya ada di tempar sepatu." Jelas Dion yang tak mau
kalah.
"Kamu nih mas seneng banget godain adenya."
Kata mama Ina sambil membelai kepala Dian penuh kasih sayang.
"Yee mama terus aja belain monster kecil
itu jadi dia gak dewasa-dewasa kan ma. Pantesan ampe sekarang Dian gak punya
pacar, manja gini." Balas Dion yang tak mau kalah seraya menghampiri Kyle
dan mencuri ciuman di pipi dan bibir Kyle.
"Ada kok... Aku... Aku... Aku punya
pacar," Dian menjawab dengan ragu perkataan Dion.
"Siapa? Ivan? Adduuuhh De, lo tuh udah
gede masih aja percaya ama omongan laki-laki macam gitu. Mana ada laki-laki
yang serius tapi gak pernah hubungin lo sama sekali,,,,"
"Diiiooonnnn!!!!" Teriak mama Ina dan
Kyle bersamaan.
Sementara wajah Dian langsung berubah yang
tadinya ceria menjadi murung. Tampak berfikir akan ucapan Dion yang semuanya
merupakan kebenaran. Ivannya yang tak pernah menghubunginya selama lebih dari 8
tahun. Apakah ia masih harus setia menunggunya? Apakah ia masih harus percaya
dengan kata-katanya? Akankah Ivan disana masih mengingatnya? Seribu tanya tapi
tak ada satupun jawaban yang bisa menenangkan hatinya.
"Ma, Dian berangkat dulu ya," pamit
Dian sembari mencium tangan dan pipi mamanya.
"Gak sarapan dulu, De?" Cemas dan
kekhawatiran terlihat di wajah mama Ina. Dian menggeleng lemah. Sementara di
sisi lain, Dion mendapatkan pelolotan dan cubitan dari Kyle. Dion hanya bisa
meringis dan mengerucutkan mulutnya.
"Setidaknya minum susu dulu ya
sayang," mama Ina masih berusaha agar Dian memasukkan makanan atau minuman
yang dapat membuat perut Dian kenyang. Dian akhirnya menuruti perkataan
mamanya, ia meminum susu coklat kesukaannya demi menghilangkan kekhawatiran
mamanya.
Setelah menenggak habis susu coklatnya, Dian
mencium tangan mama Ina, Kyle dan Dion. Lalu beranjak pergi meninggalkan mereka
bertiga di meja makan.
*****
"Mas Dion......" Teriak Dian setelah
beberapa menit keluar dari rumahnya.
"Apalagi sih tuh anak, berisik
banget," keluh Dion dengan santai menanggapi teriakkan Dian tanpa bangkit
dari tempat duduknya.
"Mas, kamu apain lagi adikmu?" Tanya
mama Ina kesal dengan tingkah putra keduanya.
"Iiihhh mama emang aku ngapain dia?"
Dion membalikkan pertanyaan mama Ina. Kylie yang berada di samping Dion
mencubit lengannya. Dion hanya meringis.
"Ayo ke depan. Mama mau liat apalagi
kejahilan suamimu sekarang, Ky." Mama ina mengajak Kylie untuk melihat
yang terjadi pada Dian. Sebelum mengikuti mama mertuanya, Kylie menarik lengan
Dion untuk ikut serta ke arah asal suara Dian.
"Ayo ikut! Gak mau ikut gak aku kasih
jatah nanti malam!" Ancam Kylie yang melihat Dion enggan beranjak dari
tempat duduknya. Dion yang mendengar ancaman Kylie bergegas mengikuti mama dan
istri tercintanya dengan setengah hati.
"Ada apa lagi sih Di?" Tanya Dion
malas dari dalam rumah.
BRUG!!!
"Iiihhh apa-apaan sih kamu Di. Malu tuh
sama mba Kylie peluk-peluk sembarangan." Dion yang merasa kaget mencoba
berusaha melepaskan pelukan Dian. Tapi usahanya tidak berhasil karena Dian
bukannya melepaskan malah menghujani Dion dengan kecupan di kedua pipinya.
"Biarin aja, mereka juga gak protes
kan," ujar Dian setelah puas menciumi Dion.
Sementara mama Ina dan Kylie hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala mereka. Tak habis pikir dengan tingkah kedua kakak
beradik tersebut.
"Mas kan yang taro bunganya di mobil Dian."
Yang keluar dari mulut Dian bukanlah pertanyaan melainkan pernyataan.
"Hmmm ya..." Jawab Dion berpura-pura
malas.
"Hehehe... Makasih ya masku yang paling
baik..." Ucap Dian seraya mencubit pipi dan hidung Dion dengan gemas. Dion
meringis...
"Sakit ah de..." Kata Dion seraya
melepaskan tangan Dian. "Dah sana berangkat nti kesiangan diomelin mas
Dani loh." Lanjut Dion.
"Siap boss!!" Ujar Dian seraya
mengangkat tangan kanannya dan menempatkannya di salah satu alisnya layaknya
seorang prajurit yang memberi hormat.
"Mam, mba... Dian berangkat dulu ya..."
Pamit Dian sambil berjalan kembali ke mobilnya. Mama Ina dan Kylie tersenyum
melihat kebahagiaan di mata Dian.
"Eh... Mas..." Tiba-tiba Dian
berhenti lalu membalikkan badannya menghadap Dion.
"Apa lagi?" Dion, Kylie dan Mama Ina
bertanya bersamaan.
"Uh kalian ini kompak bener..." Ledek
Dian pada ketiganya.
"Diaaannn...." Lagi ketiganya kompak
berteriak ke Dian.
"Ya... Ya... Ya... Aku berangkat..."
Untuk kesekian kalinya Dian berpamitan pada ketiganya. Setelah itu Dianpun
mengemudikan mobilnya keluar dari perkarangan rumahnya menembus kemacetan
ibukota.
******
Belum lama mobil yang dikemudikan Dian
menghilang dari perkarangan rumahnya, sebuah sms masuk ke handphone.
Mas siapa yang kirim?
Gak tau.
Kartunya dikemanain?
Gak dikemana-manain. Liat aja sendiri.
Mas lagi gak ngerjain aku lagi kan??
Iiihh malas kalo itu mah. Hei kamu lagi nyetir kenapa bisa smsan?
Lampu merah mas, macet. Seriuskan mas gak ada eh sebentar ada mas tapi
kok gak ada nama pengirimnya?
Meneketehe... Udah simpen hp nya, bahaya tau....
Ya... Ya... Ya.... Boss.... Thanks ya mas :*
Dian memandang bunga-bunga itu dengan penuh
tanya. Dibuka kartu yang terselip di salah satu bunga perlahan.
ASAP
Hanya kata itu yang terdapat di dalam kartunya.
Entah siapa yang mengirim bunga-bunga itu karena Dian sama sekali tak mempunyai
bayangan pengirim bunga-bunga tersebut.
*****
"Pagi. Bu," sapa salah satu karyawannya.
"Pagi, Lis. Boleh saya lihat schedule saya
hari ini?" Dian menyapa balik karyawannya yang bernama Lisa. Lisa langsung
memberikan agenda yang berisikan schedule Dian selama sehari itu.
"Lis tolong nanti ingatkan saya ya, saya
takut lupa," kata Dian sambil tersenyum malu. "Baik Bu," jawab
Lisa singkat. Dian pun melangkah ke kantornya.
"Oh ya Bu ada kiriman buket bunga untuk
Ibu, saya letakkan di meja," ujar Lisa yang hampir saja lupa dengan buket
bunga yang datang pagi ini.
"Lagi?" Tanya Dian yang sebenarnya
bertanya pada dirinya sendiri.
"Maksudnya, Bu?" Lisa balik bertanya
yang tak mengerti pertanyaan Dian.
"Oh bukan sama kamu, Sa. Ya udah, makasih
ya." Setelah mengucapkan terimakasih Dian pun berlalu dari hadapan Lisa.
*****
Hari berganti hari, minggu berganti minggu,
bulan berganti bulan bunga-bunga itu selalu datang ke rumah dan kantor tempat
Dian bekerja. Tak kenal waktu dan tak kenal lelah sang kurir selalu
mengantarkan di setiap harinya. Hingga rumahnya kini dipenuhi oleh ketiga bunga
kesayangannya.
Namun lama kelamaan Dian merasa jengah dengan
pengirim bunga tersebut yang sama sekali tak mencantumkan namanya. Sebenarnya
Dian ingin sekali menolaknya tapi mamanya melarangnya, sayang katanya. Di suatu
hari Dian pernah mengikuti kurir tersebut tapi sia-sia. Sang kurir sepertinya
tahu jika ia diikuti maka ia secepat mungkin mengemudikan motornya. Di kertas
pun tak tertulis nama toko bunga. Akhirnya Dian hanya menerima dengan pasrah
bunga-bunga tersebut.
******
"Pak tolong antarkan saya ke alamat
ini," pinta Dian yang ingin menemui klien barunya, ia tak ingin membawa
mobil sendiri karena ia terlalu lelah akhir-akhir ini. Supir tersebut
mengangguk.
"Tumben," lirih Dian yang bingung
supirnya tak banyak bertanya seperti biasanya. Dian pun tak ingin larut dalam
pertanyaannya, ia hanya mengambil kesimpulan jika supir tersebut sudah tau
kemana akan mengantar Dian.
Dalam perjalanan Dian yang merasa kelelahan
akhirnya tertidur. Seperti orang yang tak tidur berhari-hari, Dian tidur sangat
nyenyak. Tak dirasakan kemacetan di perjalanannya.
Perlahan Dian membuka matanya, ia merasa
seharusnya sudah sampai di tempat tujuan. Namun kenyataannya mobil masih
melaju. Dian pun melihat ke arah jam yang dikenakannya, jam pemberian Ivannya.
"Apa 1 jam belum sampai juga?" Dian tercengang
memandang waktu yang ditunjukkan jamnya. Merasa tak percaya Dianpun melihat jam
yang terpasang di mobil. Dan yang ditemukan adalah hal yang sama. Dian lebih
tercengang lagi saat ia menemukan mobil tersebut berhenti di depan sebuah taman
yang terletak di pinggir kota. Sang supir sudah tidak ada di tempatnya, Dian
hanya sendirian di dalam mobil.
Belum sempat Dian melihat seluruh tempatnya
berhenti, pintu mobil dibuka dengan cepat. Sebuah tangan menarik lengan Dian
perlahan namun erat. Dian ingin berteriak namun diurungkannya karena tiba-tiba
saja sebuah kain hitam menutup matanya, tangan Dian sendiri telah diikat
terlebih dahulu.
"Pak apa-apaan ini? Kenapa mata saya
ditutup? Mau dibawa kemana saya?" Percuma Dian bertanya karena tak ada
satu jawabanpun yang keluar dari orang yang menyanderanya. Rontaan Dian pun
sia-sia karena orang tersebut lebih kuat darinya.
"Pak jangan macam-macam ya. Saya ini
pemegang sabuk hitam, kakak saya yang pertama komisaris polisi, kakak saya yang
kedua jaksa. Kalo bapak macam-macam sama saya, mereka akan memburu bapak
kemanapun!!!" Ancam Dian pada sang penculik. Tapi penculik tersebut
bukannya takut, ia malah tertawa geli mendengar semua perkataan Dian.
"Iiiissshhh Bapak ini gak percaya sama
perkataan saya ya. Ya udah kalo gak percaya yang penting saya udah kasih tau
bapak." Ucap Dian jengkel.
"Percaya," jawab penculik tersebut
singkat dan pelan.
"Hah? Apa?" Tanya Dian yang merasa
mengenal pemilik suara tersebut. Dian sengaja bertanya untuk meyakinkan
dugaannya. Tapi sayang sang penculik tak mau mengulangi perkataannya. Penculik
tersebut hanya tersenyum mengetahui maksud Dian.
"Iiissshhh apa-apaan sih Bapak ini, pelit
amat sama suara, mahal ya pak suaranya." Ledek Dian yang merasa
ketakutannya kini mulai berkurang. Lagi-lagi penculik tersebut hanya tertawa
tanpa suara. Dian hanya bisa mengerucutkan mulutnya karena tak tiknya tak
berhasil.
Dengan mata tertutup Dian merasa perjalanan
tersebut sangat lama. Tapi penantian Dian akhirnya selesai juga karena
tiba-tiba langkah mereka berhenti. Dian mulai ditinggalkan sendiri, tangannya
sudah mulai dilepaskan tapi tidak dengan penutup matanya. Dian cepat-cepat
melepaskan penutup matanya, mencoba memfokuskan matanya agar dapat melihat
orang yang menculiknya. Tapi sayang rupanya gerakkan orang tersebut lebih cepat
dari Dian. Jadi disinilah ia sekarang sendiri di hamparan rumput nan luas.
Anehnya di tengah danau tersebut terdapat hamparan kain kotak-kotak berwarna
merah kuning. Di atasnya terdapat makanan, minuman dan 3 buket bunga lagi.
"Eh,,, hei apa-apaan ini? Siapa lo? Jangan
tarik-tarik, sakit tau!!" Teriak Dian yang masih terkejut tangannya
ditarik mendekati kain piknik. Dian berusaha untuk melepaskan diri namun
lagi-lagi tenaga yang dimiliki orang tersebut lebih besar darinya. Walaupun
langkah yang mereka jalani tidak terlalu cepat namun mampu membuat Dian
menyeret kedua kakinya bahkan beberapa kali ia hampir terjatuh.
"Iiiihhh lepasin tangan gw, sakit
tau." Maki Dian sambil menghentakkan tangannya saat mereka sudah berhenti tepat
di depan kain yang terbentang. "Kamu itu siapa sih? Ngapain bawa-bawa gw
kesini? Kurang kerjaan yah?" Dian terus saja bertanya tanpa melihat ke
arah orang yang menariknya. Dian sibuk meniup tangannya bermaksud menghilangkan
sakit akibat tarikan orang tersebut. Karena itulah Dian tak memperhatikan bahwa
orang tersebut telah membalikkan badan menghadap ke arahnya.
"Apa kabar?" Tiba-tiba orang itupun
bertanya. Dian hanya meringis mendengar pertanyaan orang tersebut. Dian enggan
menjawabnya sebelum orang tersebut meminta maaf.
"Kamu udah besar sekarang, tambah cantik
pula. Lo gak kangen sama gw?" Seperti tak memperdulikan aktivitas Dian,
orang tersebut masih saja berbicara.
"Hei lo tuh ya... Gak bilang maaf malah
tanya gw kangen apa gak sama kamu, emangnya lo...." Dian yang marah
tiba-tiba berhenti saat ia perlahan mengangkat kepalanya dan melihat orang yang
ada di depannya. Seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang, mulut
Dian terbuka, matanya melebar. Orang yang ada di depan Dian hanya tersenyum
melihat tingkah Dian.
"Lo... Lo..."
******
4 komentar:
horee dpt 2postingan dr zia n mb thy.
makash y
hayo siapa dia Di wkekek
Dian pake jilbab ngga mbak ?
@eka : ☀˚°•◦ S̤̈̊α̣̣м̤̣̲̣̈̇α̍̍~S̤̈̊α̣̣м̤̣̲̣̈̇α̍̍◦°˚☀ eka...
@ara : ayo siapa ya?? Gak pake ara....
Posting Komentar