–PROFESOR PEDOFILIA-
Aku masih sesekali terkikik ketika
mengingat kata-kata Vian dan ekspresi kedua sahabatku ketika mendengarnya.
Wajah mual mereka, wajah sayu mereka. Semua harapan tentang sang professor
tampan itu pun menghilang dalam sekejap.
Wusss…
Dan tergantikan oleh desahan frustasi
mereka.
“AW!” pekikku ketika merasakan sengatan
nyeri di lenganku ketika Ketlia mencubitnya. Aku menatapnya galak, namun ia
balas menatapku lebih galak lagi. “Apaan sih?!” gerutuku kesal. Sore itu kami
masih berada di kampus, mendengarkan kuliah bu. Dian yang superrr membosankan.
Ketlia menyipitkan matanya, dan
mencondongkan tubuhnya kearahku agar bisa membisikan kata-katanya dengan jelas,
“Sekali lagi lo ngetawain gue, gue cincang-cincang lo jadi makanan si Cemong.” desisnya
kejam. Cemong adalah kuskus milik Liska, binatang malam yang diberi nama George
oleh pemiliknya, namun dipanggil Cemong oleh sahabat pemiliknya, termasuk aku.
:D
“Ge er! Siapa juga yang ngetawain lo?!”
balasku berbisik, mencoba untuk tidak menarik perhatian bu Dian yang masih
membicarakan tentang tokoh-tokoh penting di jaman dulu. Kalau bukan karena
kehadiran berperan penting untuk kelulusan mata kuliah ini, aku akan dengan
senang hati memberikan kursiku ke mahasiswa lain untuk mempelajarinya.
Sejujurnya aku tidak menyukai pelajaran-pelajaran sejarah, entah itu sejarah
Negara, sejarah orang-orang penting, atau apapun itu, toh semuanya kan masa lalu. Buat apa sih mengingat
masa lalu, hanya akan membuat sakit hati.
Pletak!
Aku kembali meringis ketika merasakan
sesuatu mengenai kepalaku. Namun aku tidak sempat mengaduh kesakitan seperti
tadi. Karena teriakan bu Dian sudah menggema, besarr seperti badannya. Seluruh
mata mahasiswa di kelas itu langsung menoleh kepadaku. Satu dua menertawakan,
sebagian lain meringis prihatin, dan sisanya menggeleng-geleng tidak peduli.
“KETLIA! RENATA! KELUAR SEKARANG!!!”
bentaknya marah. Tubuh besarnya berguncang-guncang ketika berteriak kepada
kami. Aku melirik sosok Ketlia yang mendengus di sampingku, kemudian dengan
santainya berjalan dengan wajah terangkat, sama sekali tidak memiliki rasa
bersalah sedikit pun. Dan aku mencoba mengikuti apa yang ia lakukan. Lagipula
aku juga sudah mulai mual kok
mendengarkan kuliahnya.
Ketlia mendengus kesal ketika aku
menutup pintu kelas kami di belakang punggungku. Ia menyandarkan tubuhnya ke
jendela besar sepanjang koridor. Matanya terpejam, tangannya terkepal erat.
“Dia pikir siapa dia?! Seenaknya membentak-bentak orang!” degusnya marah.
“Dia dosen Ket, ini kesalahan kita.”
Bisikku kikuk, mengakui kesalahan kami. Ketlia menendang angin di depan sepatu
ketsnya, kemudian berbalik menatap lapangan sepak bola yang berdebu dari
jendela lantai empat fakultas sastra.
“Ini semua kesalahan professor itu,
kenapa dia harus pedofilia sih??!!!” ujarnya frustasi. Aku terkikik pelan dan
menepuk-nepuk punggungnya.
“Yah, mau gimana lagi.” ujarku seraya
mengangkat bahu.
“Tapi dia ganteng banget Re, nggak cocok
banget jadi pedofilia…” runtuk sahabatku yang satu itu. Ia mengacak rambutnya
dengan gemas.
Aku kembali tertawa mendengar keluhannya,
“Memang ada muka yang cocok dan nggak cocok buat jadi seorang pedofilia yah?”
selorohku sambil menahan tawaku semakin lebar.
“Tapi setidaknya… muka dia nggak
serem-serem banget. Dia nggak mungkin tega ngebunuh anak-anak kecil,” ujarnya
dengan pandangan merana. Aku mengernyit bingung. Membunuh, katanya?
“Heh, apaan sih maksud lo? Siapa yang
bunuh siapa?!”
“Lho itu, professor ganteng itu
pedofilia berarti dia ngebunuh anak-anak kan?!” tanya Ketlia dengan wajah
polos. Aku mendengus menatapnya, kemudian menggeleng-geleng kesal sendiri.
“Pedofilia itu kelainan seks, dimana
sang penderita menyukai anak-anak prapuber.” Terangku secara singkat. Ketlia
mengerucutkan bibirnya, berpikir sejenak.
“Tapi itu di berita ada kok, mereka
ngebunuh anak-anak yang sudah selesai mereka pakai,” gumamnya. Aku terdiam
sejenak, mengingat-ngingat berita yang selama ini ku dengar atau baca. Namun
otakku kembali bertumpu pada buku yang ku baca. Novel Lolita, salah satu novel
yang menceritakan kisah penderita pedofilia dan gadis pujaannya yang bernama
Lolita. Untuk satu dua hal, orang-orang dengan kelainan seperti itu memang
memiliki keberanian lebih untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Di novel
itu juga diceritakan bagaimana teganya sang penderita mengkamuflase kematian istrinya
untuk mendapatkan anak tirinya. Aku menggeleng-geleng pelan ketika mengaitkan
kemungkinan itu dengan dosen baru di fakultasku ini.
“Ket denger yah, kalau dia memang
pembunuh, kampus juga nggak akan sebodoh itu kali sampai mau nerima dia di
sini.” Ujarku mencoba beralibi. Ketlia mendesah pelan, argumenku memang masuk
akal.
“Iya, lagian dia juga ganteng banget.”
Desah gadis berambut ikal itu pelan.
Nah balik ke ganteng lagi kan…
***
Menjelang pukul 4 sore aku dan Ketlia
baru terbebas dari ceramah panjang lebar bu Dian tentang kelakuan kami yang
menurutnya sangat mengganggu (padahal kan kami Cuma mengobrol biasa), mengingat
semester kami yang mulai menginjak kata ‘semester atas’.
Sejak kepulangannya dari rumah sakit,
aku dan keempat sahabatku rutin mengunjungi Sophia dan putri kecilnya yang
sedang mencari nama. Sudah barang tentu aku dan keempat sahabatku bersiteru
sengit untuk memberikan masukan nama cantik untuk keponakan baru kami. Dari
nama yang memiliki arti cantik, sampai nama yang tidak memiliki arti sama
sekali, cukup yang cantik didengar saja.
Liska sang pecinta sejati mengusulkan
nama CINTA. Aku sampai sakit leher karena menggeleng tidak setuju dengan
pilihan namanya; Viandra sang kepop lovers mengusung nama Min Yong Wa, yang
ditelingaku langsung terdengar Yong Ma, dan di otakku langsung terpikirkan
penanak nasi. Untung Sophia sudah menyilangkan tangannya sendiri tanda tidak
setuju, kalau tidak leherku bisa patah karena terus menggeleng, lagi pula nanti
bagaimana panggilannya? Min?? Yong??? Atau Uwa??
Yang lebih ekstrim lagi adalah pilihan
nama Ketlia, dengan tampang sok tahunya ia mengusulkan nama Aurelia, dan sontak
saja langsung ditertawakan oleh sang mahasiswi MIPA, Marisa, karena Aurelia
berarti ubur-ubur. Dan meskipun Sophia sangat menyayangi Ketlia, ia tidak ingin
menamai anaknya dengan ubur-ubur, jadilah perang sengit selama beberapa jam
diantara mereka semua. Oya, Marisa sendiri mengusulkan nama yang paling
membuatku merinding, Chibi Putri. Entah dari mana ia memungut kata-kata itu. Alibinya
sederhanya, chibi itu terdengar lucu untuk seorang bayi, dan putri menjelaskan
kelaminnya. Well, tapi masalahnya bayi itu tidak akan selamanya jadi bayi,
bukan? Bagaimana ketika ia dewasa nanti, ketika misalnya nanti ia menjadi
seorang dosen, panggilan dosen chibi ku rasa bukan sesuatu yang enak didengar.
Sedangkan aku sendiri, sampai saat ini
tidak memiliki nama untuk diberikan. Aku bingung harus mengusulkan kata apa.
Nama di dalam benakku kebanyakan ku ambil dari novel-novel yang ku baca selama
ini. dan kebanyakan novel itu bersetting luar negri, yang menurut Damar, sangat
tidak nasionalis. Jadilah dengan nyinyir aku mengusulkan nama Siti merah putih
saja kepada mereka, cukup nasionalis bukan?!
Aku terkikik geli ketika mengingat
perdebatan Damar dan Sophia setelah itu, Damar yang sangat setuju dengan usulan
asalku, dan Sophia yang sangat menentang. Aku tentu saja hanya bercanda dengan
nama yang ku sebutkan, lagi pula siapa juga yang mau memberikan nama itu kepada
anak mereka. Eh.. maksudku…
Tapi kemudian tiba-tiba saja salah satu
di antara kami mengusulkan sebuah nama lain, ICHA. Yep, itu usulan Ketlia. Pada
awalnya Sophia sudah mulai sedikit luluh dengan nama itu. Well, cukup cantik
memang… sebelum kau mendengar nama panjangnya. ‘Ichabulin saja!!’
Aku tidak bisa berhenti tertawa ketika
mendengar Ketlia menyebutkan nama pilihannya. Lalu Liska menambahkan,
‘Ichabullin aku dong!’; Vian ikut terkikik, dan mengusulkan ‘Ichabulinista’;
sedangkan aku meneriaki ‘Ichabuli lagi sih’. Satu-satunya orang yang hanya
terdiam, tanpa tertawa sama sekali (selain Sophia yang sudah marah besar)
adalah Marisa, dengan wajah polos ia menatap kami yang masih tertawa.
“Kalian pada ngetawain apa sih? Ichabuli
bagus kok… ntar kan bisa dipanggil Chibi juga kalau bosen di panggil Icha.”
Tuturnya dengan wajah superrr lugu. Dan tawa kami langsung kembali meledak.
“Heh, ngelamun yah lo?” bentak Ketlia
sambil mengibaskan tangannya di depan wajahku, aku meringis mendengar suaranya.
Apapun maksudnya, suara gadis itu selalu berupa bentakan. Ia memang gadis
pantai, di mana kau harus berbicara sekeras mungkin agar bisa terdengar di
antara deburan kencang sang ombak.
Aku memasukan kunci mobilku tanpa
menoleh kearahnya, “Kita langsung ke rumah Sophia?” tanyaku sambil memarkirkan
mobil.
Ketlia berdehem pelan, kemudian
menggeleng, “Kita makan dulu yah, gue laper banget.”
***
Menjelang malam sabtu terakhir di bulan
September, aku berencana pulang ke rumahku di kawasan Bogor. Sudah dua bulan
lebih aku tidak pulang, dan ibuku sudah banyak menghabiskan pulsanya untuk
membujukku agar segera pulang. Seakan ia sudah tidak melihatmu selama dua tahun
lamanya, bukan dua bulan. Marisa yang juga tinggal satu kota denganku
memutuskan untuk ikut pulang. Sedangkan Liska dan Ketlia tetap tinggal di Jakarta.
Aku mendesah pelan ketika mendapati
jalanan macet di depanku tidak juga terurai sejak sejam yang lalu. Marisa
mengerucutkan bibirnya, mulai gemas pada pengendara motor yang dengan mudahnya
bisa berlalu lalang di samping kami.
“Udah deh, gue naik ojek aja yah Re,”
ujarnya sambil menatap keluar jendela, tangannya sibuk memasukan
barang-barangnya ke dalam tas.
“Eh sialan! Enak aja lo! Nggak, pokoknya
temenin gue!” bentakku sewot. Baru saja gadis berambut pendek sebahu itu akan
kembali protes, namun mulutnya langsung bungkam ketika mobil di depan kami
tiba-tiba maju semeter, tidak lebih. Ia menghempaskan tubuhnya ke kursi
penumpang, mendesah lelah. Padahal kan yang harusnya merasa lelah itu aku!!
Kakiku sudah mulai keram ketika
menjelang magrib, sedangkan Marisa dengan nyamannya tidur di kursi penumpang.
Benar-benar sahabat yang baik. Tiba-tiba matanya sedikit terbuka ketika aku
membunyikan klakson dengan sangat kencang, kesal pada pengendara motor yang
seenaknya saja menyelinap dari sebelah kanan.
“Masih macet yah Re?” tanya Marisa
sambil mengucek matanya. Aku berdehem sebagai jawaban. “Kebiasaan deh, kalau weekend pasti jalanan pulang macet
begini. Lagian ngepain sih itu orang-orang kota pada ke bogor? Kaya ada apa aja
di bogor!” runtuknya seraya menyalakan radio. Aku malas menanggapi
kata-katanya, duduk kurang lebih empat jam di tengah kemacetan seperti ini
benar-benar menyiksaku. “Eh, Re tumben lo nggak bawa oleh-oleh buat si Leo…”
“Aduh mampus!” pekikku baru sadar.
Bagaimana mungkin aku bisa melupakan sosok adik pengeretanku yang satu itu.
Setiap kepulanganku ke Bogor, Leo pasti sudah menungguku di depan pintu seperti
bocah kecil (padahal ia sudah duduk di kursi SMP), bukan untuk menyambutku,
tentu saja… tapi untuk menunggu oleh-oleh yang wajib siapapun bawakan jika
datang ke rumah. Dan jika aku tidak membawakan apapun, dia akan merengek bagai
harimau kelaparan, berisik dan menyebalkan, sampai akhirnya ibu akan memintaku
untuk mengajaknya belanja, dan itu sama saja dengan menguras habis isi atm ku.
Selalu ada yang ingin dibeli olehnya, apapun itu… dan selalu benda yang mahal.
Tapi entah bagaimana aku tidak pernah sampai hati untuk menegurnya, aku terlalu
menyayanginya.
Dan benar saja, setelah terbebas dari
kemacetan, dan mengantarkan Marisa sampai ke rumahnya, langkahku langsung
dihadang di depan pintu oleh sosok yang hampir setinggi diriku. Kedua tangannya
terlipat di dada, rambut pendeknya tampak semakin pendek sejak terakhir kali
aku melihatnya, matanya berkilat penuh antusias dan senyumnya tersungging
lebar. Untuk beberapa saat, aku merasa ragu keluar dari mobil, rasanya lebih
baik kembali ke Jakarta malam ini juga, tidak peduli pada kemacetan yang pasti
akan kembali menghadangku di jalan.
“Siapa yang datang Le?” tanya ibu dari
dalam rumah. Aku meringis, sedikit lega ketika mendengar suaranya. “Mbak mu
yah?” tanyanya lagi, kini aku bisa melihat bayangan ibu berjalan mendekati
pintu di belakang Leo yang terbuka lebar. “Kok nggak disuruh masuk Le?” baru
saja ibu mau berjalan melewatinya, namun tangan panjang Leona langsung terulur,
menghentikan langkahnya, senyumannya mendadak hilang, matanya menyipit tajam
kepadaku.
“Mbak nggak bawa oleh-oleh buat Leo
yah?!” teriaknya.
Demi Tuhan, saat itu aku masih berada di
mobil, dan rasanya aku ingin langsung memutar balikkan mobilku, dan
berpura-pura amnesia.
“Bu! Tuh mbak Renata nggak bawain
oleh-oleh lagi buat Leo!!” rajuknya super manja.
“Le, mbak mu kan baru pulang. Belum tau
juga dia bawa apa atau nggak, wong kamu nggak ngajak dia masuk dulu,” ujar ibu
mencoba membelaku dan menenangkannya. Tapi siapapun tau, kalau sudah masalah
begini, pasti hanya ada satu cara untuk menghentikan rengekannya. Membawanya
pergi belanja!
Dengan perlahan aku keluar dari mobilku,
berjalan mendekati mereka dan mencium punggung tangan ibu. Mata Leona masih
menyipit menatapku, “Iya, mbak lupa bawain kamu oleh-oleh. Sebagai gantinya…”
“KITA BELANJA!!! HOREE!!” potong gadis
itu dengan keriangan yang luar biasa. Aku menatap ibu yang menepuk-nepuk
punggungku dengan pelan, merasa kasihan dan sedikit geli, mungkin. Tanpa
berkata apapun lagi, Leo langsung berlari masuk ke rumah, langsung bersiap-siap
untuk berangkat belanja. Ya Tuhan, bahkan keram kakiku belum menghilang sejak
terbebas dari kemacetan tadi, dan sekarang adik setanku sudah mengajak pergi
lagi?!
“Makanya punya pacar lagi dong! Jadikan
ada yang nyupirin…” selalu itu jawaban Leo setiap kali aku mengeluh lelah
setelah perjalan panjang. “Orang mbak Gadis aja sudah punya kok, masa Mba Rena
belom… nggak laku yah??!!” dan akhirnya pernyataan itu mulai berujung pada
ejekannya kepadaku, yang sialnya tidak bisa ku elak lagi.
***
Sudah dua jam lebih gadis tomboy ini
menarik lenganku mengitari pusat perbelanjaan di kawasan Bogor. Rasanya kakiku
sudah benar-benar kaku tak bisa bergerak lagi, dan mataku sudah benar-benar
lelah.
“Le, habis ini kita pulang yah… mbak
ngantuk banget,” ujarku memohon ketika Leo menarik lenganku ke lantai dua,
lantai tempat baju-baju anak-anak dan dewasa. Saat itu sudah hampir pukul 9
malam, beberapa karyawan yang berjaga hari itu sudah membereskan tugas mereka,
bersiap untuk menutup toko. Aku berdiri termanggu sementara Leo sibuk
memilih-milih tshirt dan celana pendek.
“Mbak, lucu yang abu-abu ini, atau yang
biru?” tanyanya sambil mengangkat dua kaos di depanku. Aku sudah tidak bisa
berpikir jernih lagi. Otakku sudah dipenuhi benih-benih kelelahan yang sudah
mengakar.
“Le, kamu kan cewek… kenapa nggak yang pink aja sih?!” runtukku asal. Leo
menyipitkan matanya, kemudian berbalik begitu saja. Tidak peduli lagi pada
pendapatku. Sepuluh menit kemudian Leo masih belum bisa memutuskan untuk
membeli yang mana, malah sekarang kandidat pilihannya bertambah satu, sebuah
kaos lain berwarna hitam dengan gambar aneh berwarna putih.
Aku sudah hampir terjatuh karena
kantukku ketika mataku tanpa sengaja menangkap bayangan sosok jangkung tidak
jauh dari tempatku berdiri. Sekali pandang saja, dan aku sudah langsung
terpikat. Sosok itu berbadan tegap, mungkin umurnya sekitar tiga puluh tahunan
atau lebih, namun wajahnya yang ditumbuhi janggut tipis benar-benar membuat
penampilannya fresh sekaligus matang,
dan superrrrr tamppan! Ia mengenakan kemeja putih dengan dua kancing atas
terbuka, lengannya tergulung sampai siku, membuat siapapun bisa melihat
otot-otot tangannya yang kekar. Aku menelan ludahku susah payah ketika
melihatnya sedikit tersenyum sambil menatap sepatu anak-anak. Mataku terus
mengikutinya, melihat bagaimana tegapnya ia ketika berjalan, bagaimana dada
bidangnya bergerak turun naik ketika ia bernafas, bagaimana keningnya berkerut
ketika ia sedang berfikir. Hilang sudah rasa kantukku, tergantikan oleh detakan
jantungku yang kian tidak menentu. Tanganku mulai terasa dingin dan wajahku
terasa begitu panas.
Langkah pria itu begitu mantap, berjalan
melewati bak-bak tshirt, berbelok ke sisi kanan yang lebih sepi pengunjung,
melewati etalase-etalase yang memajang dompet, dan ikat pinggang. Berjalan
lebih jauh lagi, kemudian berhenti di sudut kanan, tangan karinya membawa
kantung belanja, sedang tangan kanannya sibuk memilih benda di hadapannya.
Tanpa sadar aku ikut tersenyum ketika melihat matanya tersenyum. Kemudian
sedikit tersentak ketika melihat manekin yang hanya mengenakan bra dan celana
dalam di belakangnya. Seakan baru tersadar, aku langsung menampar pipiku dengan
pelan, mencoba meraih kesadaranku lebih banyak lagi. Di belakang pria itu,
tidak salah lagi, gantungan-gantungan yang memajang berbagai macam underwear wanita dengan berbagai warna
dan corak, untuk apa ia di bagian itu?! Hatiku
mencelos ketika sebuah pemikiran menyelinap di benakku, secepat kilat ku lirik
jari-jari tangannya, tidak, tidak ada cincin apapun di sana, itu berarti dia
tidak atau belum menikah.
Kemudian mataku sedikit menyipit ketika
melihat benda pink di sela-sela
jarinya. Aku tidak tau itu apa karena ia meremasnya sedemikian rupa hingga
menyembunyikan bentuk aslinya. Tapi yang jelas itu berwarna pink tua, dan memiliki renda-renda manis
berwarna pink pucat, dan diambil dari
bak-bak tempat pakaian dalam anak-anak. Tubuhku seperti tersengat listrik
ketika tiba-tiba melihatnya menempelkan benda pink itu ke pipinya, diam
sebentar, kemudian menggosok-gosokkannya ke janggut tipisnya, seakan tengah
menikmati sesuatu. Matanya terpejam, dan wajahnya begitu tenang, kemudian ia
mendekatkan benda itu ke hidungnya. Menciumnya!
Aku sudah hampir pingsan ketika melihat
ia meletakan benda pink itu kembali
ke tempatnya. Membuatku menyadari apa yang baru saja ia cium dan gosokkan ke
wajahnya, sebuah celana dalam anak-anak berwarna pink tua dengan renda berwarna pink
pucat. Ya Tuhan…
Aku merasakan mual mulai menghampiri
perutku, “Am-bil se-mu-a-nya, lalu PULANG!” ujarku terbata-bata. Leo langsung
mendelikkan matanya tidak percaya, kemudian bersorak girang, memelukku sekilas,
dan memeluk tshirtnya lebih lama lagi. Tapi aku sudah tidak peduli lagi, aku
hanya ingin segera pergi dari tempat itu. Aku bahkan tidak peduli ketika tangan
Leo menarik beberapa kaos lagi dari gantungan. Aku juga tidak peduli dengan
pandangan heran sang kasir melihat banyaknya kaos yang dibawa adikku kehadapannya.
Ah aku hanya ingin pulang! Peduli setan dengan apa yang ia beli!!!!!
NOTE
*untuk para reader yang baik hati... maaf, untuk selanjutnya cerita ini aku posting di wattpad dulu yah, karena sedikit ribet kalo di posting di dua tempat. :)))
ini linknya Wattpad Cherry
thanks for comin, xoxo Cherry Ashlyn.