MENUNGGU ADALAH HAL YANG PALING MENYEBALKAN!
Aku sepenuhnya setuju pada kata-kata itu. Aku sampai mual membaca tulisan
‘Ruang Tunggu’ di beberapa sudut di rumah sakit besar di bilangan Jakarta pusat
itu. Kalau menunggu selama dua atau tiga jam, mungkin aku bisa mentolerir, tapi
ini… sudah lewat dari satu kali 24 jam!!!!! Aku bahkan sampai kenal dengan
beberapa perawat di ruang rawat inap Sophia karena selalu berada di sana, aku
juga kenal pada satpam di pos depan, karena entah bagaimana kami selalu makan
di waktu yang sama, dan warung makan yang sama pula! Jangan katakan bahwa itu
sebuah kebetulan, karena aku sama sekali tidak mempercayainya! Aku tau dia
menguntitku, dia memata-mataiku!
Setelah bukaan 5 pada malam 31 agustus
itu, semuanya berhenti begitu saja, seakan si bayi sedang mempertimbangkan
untuk jadi keluar hari itu atau
tidak. Kemudian memutuskan untuk tidur di dalam rahim ibunya lebih lama lagi,
dan tentu saja menyiksa kami lebih lama lagi. Setelah itu Sophia dipindahkan ke
ruangan biasa dengan status siaga, (dan itu membuatku selalu merinding
ketakutan).
Marisa menangis kencang ketika akhirnya
ia bisa melihat mata Sophia terbuka. Bukan main suara isakkannya! Membuat kami
terpaksa menyeretnya keluar karena beberapa bayi di paviliun itu mulai menangis
mendengar suaranya. Ketlia memarahi Sophia, tentu
saja! Vian menyemangati dengan lembut, sedang Liska hanya bisa
menepuk-nepuk pundak Ketlia untuk menenangkannya, atau ia akan menjadi orang
yang kedua kami seret keluar karena mengusik ketenangan bayi-bayi dan pasien
yang di rawat di sana.
Aku tersenyum lembut ketika mataku
bertemu mata Sophia, aku tau ia menangis semalaman, ada lembayung hitam di
bawah kedua matanya. Membuat wajahnya yang putih menjadi seperti panda. Tapi
bukan berarti setelah keluar dari ruang oprasi itu semuanya menjadi lebih baik.
Justru semuanya seakan semakin menegangkan. Ketakutan menjadi sahabat kami
semua untuk beberapa jam terakhir, kami berlima bahkan membolos bersama dari
kampus, benar-benar diliputi rasa cemas.
Tidak ada satu orang pun yang mengatakan
alasan atas ketakutan kami, namun di setiap mata yang ku lihat, ketakutan itu
memiliki alasan yang sama. Ketakutan bahwa waktu dan takdir akan secara
tiba-tiba merebut salah satu sahabat kami. Dan dengan ketidak pastian ini,
bertambahlah sudah kecemasan kami semua. Mendadak ruang rawat inap Sophia
dipenuhi oleh zombie zombie bermata
panda. Kami tidak bisa tidur ketika malam, tidak bisa makan dengan benar ketika
siang, bahkan tidak bisa berpikir dengan jernih. Sophia sudah berusaha sebaik
mungkin untuk menunjukan bahwa dirinya baik-baik saja, berusaha membuat kami
tenang. Tapi itu sama sekali tidak membantu, sedikit saja wajah cantiknya
meringis, maka kami akan langsung memanggil suster dengan ketakutan seperti
baru saja bertemu hantu. Benar-benar kondisi yang menegangkan bukan main.
Menginjak ke hari kedua, kami semua
sudah benar-benar kesal pada sang bayi! Sebenarnya
dia mau keluar atau tidak sih?! Terlebih karena keadaan Sophia sama sekali
tidak membaik, justru semakin buruk. Ia jadi lebih sering melamuni segala
kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi, dan itu membuat tekanan pada
darahnya terus naik. Aku sudah berbicara pada Damar dan dokter, meminta mereka
mempertimbangkan untuk oprasi Caesar,
dan mengabaikan keberatan Sophia. Pada akhirnya dokter pun memilih jalan itu
karena mulai khawatir pada kondisi Sophia yang tidak menunjukan kemajuan apapun.
Mungkin jika bisa diperhatikan lebih
baik lagi, Tuhan memang sengaja memberikan waktu tambahan kepada kami. Semua
orang tau itu, semua orang menyadarinya, aku dan keempat sahabatku, Nela dan
ibunya, dan bahkan Damar. Namun tidak ada satupun dari kami yang berani
memikirkannya. Karena itu sama saja kami menyerah pada keadaan.
Sophia menangis tergugu ketika mendengar
keputusan yang sudah dibuat dokter dan Damar, kami sudah terlalu lama menunggu,
bahkan the royal baby, pangeran
George pun tidak membuat kate dan will menunggu selama ini.
Tidak seperti dua hari yang lalu, hari
ini kami semua seakan-akan sudah siap. Kami sudah berkumpul di rumah sakit
tanpa harus ditelepon dan mengalami lima menit slow motion yang bisa membunuhmu karena frustasi. Ketlia sudah
lebih bisa mengendalikan dirinya, meskipun sesekali ia masih mendengus kesal
pada bayi yang dikandung Sophia; Vian dan Liska sibuk memberikan kata-kata
penyemangat dengan suara yang lebih lembut; Marisa? Ah jangan tanyakan tentang
dia, ia sibuk menangis di samping kepala Sophia, membuat kami sepenuhnya muak
pada ketakutannya; sedang aku sendiri sibuk mengabadikan setiap momen.
Aku tau, kami sudah memiliki sebuah
harapan lain, meski tipis. Tapi kami yakin Sophia akan selamat, begitu pula
dengan bayinya, yang mungkin tidak selamat adalah Damar -dilihat dari
penampilannya yang sudah kacau, frustasi tingkat berat.
Kami bergantian mengecup wajah Sophia
sebelum ia memasuki ruang oprasi ditemani Damar yang benar-benar sudah seperti
orang gila. Sophia melambaikan tangannya dengan perlahan, senyumannya terlihat
begitu tenang dan indah. Membuat kami semua mulai merasa pasrah. Ya, yang bisa
kami lakukan sekarang hanyalah menyerahkan diri pada sang Khalik, berdoa dengan
sepenuh hati, berharap seluruh hal baik untuk keluarga kecil Sophia.
Tiba-tiba Ketlia memeluk bahuku,
menyatakan kekalahannya. Aku menggenggam jemarinya dengan erat. “Setidaknya
sekarang dia udah tenang, dia tau kita semua di sini.” Hiburku. Kepala di
pundakku mengangguk. “Dan dia tau kalau kita pasti akan menjaga anaknya,”
tambahku pelan.
Tidak ada jawaban apapun dari Ketlia,
namun sesaat kemudian aku bisa merasakan air matanya di balik kausku.
***
Jika ada yang menanyakan mengapa aku
tidak menyukai anak kecil, maka aku memiliki berjuta alasan. Aku tidak pernah
menyukai anak-anak, itu adalah sebuah rahasia umum, semua orang tau hal itu.
Bocah-bocah kecil itu dengan ajaibnya juga sangat ketakutan melihatku. Seakan
tatapanku menyiratkan sebuah ancaman yang sangat jelas terlihat. Well,
sebenarnya, terlepas dari alasan-alasan konyolku tentang kebencianku kepada
anak-anak, aku sendiri juga tidak mengerti mengapa aku sangat membenci mereka.
Aku tidak suka tingkah-tingkah sok lugu mereka, aku tidak suka rengekan manja
mereka, aku tidak suka segala sesuatu tentang mereka.
Sesekali aku memang pernah menyukai
beberapa bayi atau bocah yang bertampang terlampau lucu untuk diabaikan. Tapi
hanya sebatas itu, untuk berdekatan dengannya aku akan merasa sedikit… ah aku
tidak bisa menjelaskannya. Seperti terserang alergi, aku tidak bisa berdekatan
dengan mereka, atau aku akan berambisi untuk menyakiti mereka. Membuat mereka
menangis sampai kehabisan nafas. Ups…
sedikit menyeramkan memang.
Aku masih mengingat lelucon konyolku
ketika Sophia sudah melewati trisemester pertamanya. “Nanti kalau dia
tendang-tendang perutmu, bilang aku yah. Biar aku tendang balik,” ujarku
santai, sontak Sophia langsung menutup perutnya dengan kedua tangannya,
wajahnya meringis ngeri. Aku menyeringai lebar, “kan aku sayang kamu…”
selorohku geli. Gadis itu mendengus dan berpura-pura bersembunyi dariku.
Sejujurnya, hal itu 99 % hanya sekedar
candaan, lagipula bagaimana mungkin aku akan melakukan hal itu?! tapi siapa
yang tau kalau bayi di dalam perut sahabatku itu menganggapnya serius. Ketika
sudah dipindahkan ke ruang bayi, kami semua bergantian untuk melihatnya, bayi
itu adalah bayi perempuan tercantik, menurut mereka. Namun tentu saja tidak
menurutku, karena di mataku semua bayi sama saja. Bangir atau tidaknya hidung
mereka belum terlihat, kulitnya pun masih merah, tidak tau nantinya akan hitam
seperti Damar atau putih seperti Sophia, matanya juga masih terbuka terlalu
sedikit, bahkan bulu matanya masih belum terlihat, jadi dimana letak
cantiknya?!
Satu hal yang pasti, ternyata bayi itu
memiliki insting yang sangat kuat. Ketika aku baru saja membuka pintu ruangan
bayi, tangisnya langsung menggelegar bagai petir di tengah siang bolong!
Astaga… kemudian seluruh bayi ikut menangis. Aku meringis kikuk, sepenuhnya
kesal pada kelakuan mereka. Penyambutan macam apa ini?! aku bahkan belum sempat
mencubit pipi-pipi merah mereka.
“Muka lo serem banget kali Re,” goda
Liska, tidak membantu sama sekali.
“Makanya kalau ke anak kecil jangan
galak-galak!” tambah Ketlia, hilang sudah raut ketakutan di kedua matanya, “Ibunya
pasti bangga banget.” Ujarnya sambil tersenyum. Aku menggenggam tangannya
dengan perlahan, menguatkan satu sama lain. “Mudah-mudahan dia putih yah ikut
ke Sophia, gue nggak bisa ngebayangin kalau dia ikutin bokapnya,” bisik Ketlia
di telingaku. Mau tidak mau aku terkekeh pelan, meski dalam hati mengucapkan doa
yang sama dengannya.
“Dia akan jadi gadis yang kuat dan
cantik seperti tante Ketlia, baik dan keibuan seperti tante Liska, fasionable dan fotoghenic seperti tante Vian, cermat dan pintar seperti tante
Marisa, hebat dan cerdas seperti tante Renata.”
Aku tersenyum tipis, “Dan tetap hidup
untuk menikmati hari-harinya seperti ibunya.” Ujarku seraya merangkul pundak
Sophia penuh kasih.
Aku masih tidak menyukai anak kecil,
terlebih bayi yang sudah membuat kami terkunci di dalam rumah sakit selama
kurang lebih 3 hari itu. Tapi aku menyayanginya, aku menyangi the royal baby pertama di antara
persahabatan kami.
2 komentar:
Ini penggambaran tokoh Rey kenapa mirip banget sama Zia ya ˆ⌣ˆ✗¡✗¡✗¡ ˆ⌣ˆ
(⌒˛⌒) piisss ah zi... *melipir tkt ditimpuk sama zia °ωkωkωkωkωk°
°·♡·♥τнänkчöü♥·♡·° ya non... Keep writting and I'll keep reading « inggris ngaco °⌣°••Ήћé² :p •• Ήћé² :p •• Ήћé² :p •• Ήћé²••°⌣°
Bener mb fathy,,, jangan2 lg terilhami momen "pertengkaran" indah dg si ninis :-p *cuuuuuuz kaburrrr ahhhh
Posting Komentar