BAB
SATU –SLOW MOTION-
“APA?! SEKARANG?? BAIK!!!”
Brak!!
Jika kau pernah melihat adegan slow motion di film-film aksi, yang
membuat seluruh gerakan tokohnya mendadak menjadi begitu lambat, bahkan
benda-benda yang terjatuh atau terlempar itupun bergerak sangat lambat, seakan
gravitasi bumi sudah tidak lagi berfungsi – maka saat ini, hal itulah yang
terjadi pada lima menit terakhir di dalam hidupku.
Semenit yang lalu teleponku berdering,
seperti biasa tidak ada yang terusik, keempat sahabatku yang lain masih terlalu
asyik dengan kesibukan mereka masing-masing di rumah kontrakan yang di sewa dua
orang dari mereka. Kontrakan itu hanya terdiri dari 5 ruangan. Ruangan depan
yang berfungsi sebagai ruang tamu dan ruang tv, dan ruangan serba guna lainnya
Sebuah tv plasma 19 inchi menjadi satu-satunya benda berharga di sana (disamping
laptop-laptop yang terbuka lebar). Kipas angin ukuran tanggung berada di
sampingnya, berputar dalam diam, sedikit banyak tertutup debu, namun tetap
berfungsi. Di depannya, sebuah pintu coklat dengan bagian bawah yang sudah
mulai keropos dimakan waktu dan gerombolan rayap, mengarah keruangan yang
mereka sebut dengan kamar pertama. Sebuah kasur lantai, lemari kecil, meja
kecil, dan segala sesuatu berukuran kecil itu mejadi barang-barang yang mengisi
kamar itu, dindingnya berwarna biru muda, meski tidak mewah namun jelas nyaman
dan bersih. Harum lavender akan langsung menyeruak setiap kali pintu tua itu
terbuka. Di sebelahnya, pintu lain yang mengarah ke kamar kedua, kamar yang
lebih berwarna, dindingnya bercat gading dan orange, kasur lantai yang sama, lemari kecil yang sama, meja kecil
yang sama, di tambah sebuah rak buku kecil yang berisi buku-buku besar milik
sahabat pemilik kamar itu. kamar itu berhadapan tepat dengan ruangan lain yang
mereka sebut dapur – atau apalah itu, dan bersebelahan dengan kamar mandi yang
cukup besar. Tidak ada kesan mewah di sana, namun jelas terdapat kenyamanan di
tempat itu, hingga membuat sahabat-sahabat penyewa kontrakan itu (termasuk aku)
senang menghabiskan waktu di sana.
Vian masih berbaring tengkurap dengan laptop
di depan bantalnya, memeriksa online shop
yang ia kelola sejak tiga bulan terakhir ini; Ketlia bersandar pada dinding
beberapa inci dari pintu kontrakan, dipangkuannya, juga sebuah leptop yang
terbuka, dengan page facebook menjadi
sahabat matanya beberapa jam terakhir ini; Marisa satu-satunya orang yang
tengah bersiteru dengan kertas-kertas kosong dan pengggaris serta alat tulis
yang lainnya. Ia duduk dengan punggung sedikit membungkuk di dekat kipas angin,
matanya akan sedikit menyipit ketika melihat buku besar di depannya, kemudian
ia akan kembali beralih ke kertasnya, menggambar sebuah garis-garis panjang dan
pendek, menyisipkan beberapa angka, kemudian menghitungnya kembali tanpa
bantuan kalkulator sama sekali, benar-benar mahasiswi matematika yang handal,
aku selalu berpikir mungkin otaknya sudah beralih fungsi sebagai kalkulator
juga. Tidak lama kemudian Liska berjalan dari balik dapur dengan nampan berisi
dua mangkuk besar mie instan yang masih mengepul.
Aku langsung meletakan buku yang tengah
ku baca dengan terbalik agar tidak kehilangan tanda sampai mana aku sudah
membacanya. Kemudian mengambil sendok terdekat yang bisa ku raih. Vian
meninggalkan laptopnya, begitu pula dengan Ketlia, Marisa menjadi yang terakhir
bergabung dengan kami. Tangan kirinya masih menggenggam penggaris, sedangkan
tangan kanannya sibuk menyendoki mie yang masih mengeluarkan asap panas itu.
Tepat saat itulah, ketika aku baru akan memasukan sendokan kedua mie buatan
Liska ke mulutku, ponselku berdering. Aku mengernyit, sejenak tidak peduli.
Seharian berada di kampus membuat perutku benar-benar lapar, dan aku tidak
ingin mengambil resiko untuk meninggalkan mie instan itu dengan orang-orang
yang sama laparnya denganku hanya untuk mengangkat telepon dari siapapun itu. Toh,
kalau memang penting ia akan kembali menelepon.
Ketika teleponku kembali berdering untuk
yang kedua kalinya, aku mulai meliriknya, mempertimbangakan untuk mengangkatnya
atau membiarkannya tetap begitu. Ketlia mengikuti pandanganku, kemudian
memintaku mengangkatnya dengan gerakan kepalanya. Aku mendesah dan akhirnya
meraih ponsel itu. Sophia? Keningku
kembali berkerut ketika membaca nama yang tertera di sana. Bukan, bukan nama
Sophia yang muncul di layar ponselku, tapi Damar, suaminya.
“Halo.”
“Rey, Sophia melahirkan!”
“APA?! SEKARANG?? BAIK!!!” teriakku
kalut. Wajahku pasti sudah sangat pucat ketika berbalik, membuat keempat
sahabatku langsung membulatkan mata mereka, menunda sendok-sendok itu memasuki
mulut mereka. Dan saat itulah adegan slow
motion di dalam hidupku di mulai.
Brak!
Tanpa sengaja aku menyenggol laptop
Ketlia yang diletakan di atas bantal hingga terjatuh, mata Ketlia langsung
membulat marah, namun aku tidak memiliki waktu untuk mengatakan maaf.
“So-phi-a-me-la-hir-kan!” teriakku dengan suara yang begitu lamban. Gerakan
selanjutnya pun tampak lebih lamban lagi, padahal yang ingin segera kami
lakukan adalah berada di rumah sakit secepat mungkin. Menemani salah satu
sahabat kami yang tengah berjuang di antara hidup dan matinya untuk memberikan
pembuktian bahwa ia adalah wanita sejati!
Ketlia membanting sendoknya, hilang
sudah amarahnya kepadaku, wajahnya langsung memucat. Dengan linglung ia berlari
masuk ke kamarnya, kamar kedua di depan dapur. Ia meraih tas selempang berwarna
pink pucat, dan handphonenya, sepenuhnya tidak peduli pada penampilannya, lima
detik kemudian ia sudah siap pergi. Vian meletakan sendoknya lebih pelan lagi,
kemudian meraup seluruh barangnya yang berserakan, memasukannya dengan asal ke
dalam tas. Tanpa mematikannya lagi, ia langsung menutup laptopnya, memasukannya
dengan tergesa kedalam tas laptop berwarna biru tua, dan ia pun siap. Liska
yang juga syok langsung berdiri untuk mengambil celana jeans di kamarnya, ia
memakainya dengan terburu-buru (tapi tetap saja saat itu semuanya terlihat
sangat lambat), tanpa sengaja kaki kirinya menendang mangkuk yang masih berisi
setengah mie instan, tapi tidak ada satupun dari kami yang peduli. Satu-satunya
yang diam tak bergerak adalah Marisa. Ia duduk menatapku, namun pandangannya kosong,
tangan kirinya masih menggenggam penggaris, dan sendok masih berada di tangan
kanannya. Air mata sudah mengalir di pipinya. Ia terisak, syok berat. Kalau
bukan sedang berada dalam keadaan segenting itu, aku pasti akan memarahinya
habis-habisan, sepenuhnya kesal karena sikap cengengnya, kemudian tentu saja
menertawakannya!
Tapi saat ini semuanya sangat rentan.
Kemarahan langsung memenuhi dadaku, tidak bisakan gadis itu lebih fleksibel
sesekali. Menempatkan segala sesuatunya dengan baik?! Untuk sejenak, hilang
sudah kesan mahasiswi matimatika jenius yang selalu kami banggakan, tinggalah
sosok aslinya yang akan membuat kami pusing tujuh keliling. Tanpa berbicara
lagi, Vian menarik lengan Marisa, memaksanya berdiri.
Ketlia yang berwatak keras langsung mengumpat,
“Ris bukan waktunya buat nangis! Kita harus ke rumah sakit sekarang, lo mau
kita terlambat datang kesana, dan akhirnya nggak bisa bisa ketemu Sophia
lagi?!!” bentaknya keras. Kemudian keadaan mendadak hening. Kini bukan hanya slow motion, tapi sepertinya seseorang
sudah menekan tombol pause, hingga
semua gerakan berhenti dalam sekejap, bahkan jarum jam-pun berhenti berdetak.
Setengah detik kemudian, kami baru terlepas dari kebekuan itu. Seakan baru
tersadar dengan apa yang telah ia katakan, Ketlia langsung menunduk lemas.
Tangisan Marisa semakin keras, Vian merangkulnya untuk menguatkan. Liska
menegurnya dengan pandangan marah, sedang aku hanya bisa diam di ambang pintu,
mencoba memasukan kakiku ke dalam sepatu. Namun air di mataku membuat semuanya
buram, hingga memasukan salah satu kakiku ke dalam sepatu-pun memerlukan waktu
lebih lama 10 kali lipat dari biasanya.
***
“Rey pelan-pelan…” bisik Vian dari kursi
belakang ketika aku terus menginjak gas tanpa memperdulikan apapun lagi. Seakan
baru tersadar dengan kecepatan itu, aku langsung memlambatkan laju mobilku,
mencoba berpikir sejernih mungkin. Semua wajah di sekitarku sudah tampak sangat
tegang, jelas ketakutan dengan apa yang akan terjadi beberapa menit, jam, atau
beberapa hari kemudian. Tidak ada yang berbicara lagi setelah kata-kata
peringatan Vian kepadaku. Semuanya terlalu sibuk dengan ketakutan dan pemikiran
kami masing-masing.
Aku menekan klakson dua kali ketika
sebuah bus menghalangi jalanku. Aku sudah berusaha untuk tetap tenang, namun
ketakutanku seakan memaksaku untuk terus bergerak lebih cepat dan cepat lagi. 150… tekanan darahnya 150… tapi darahnya
rendah, anemia… kata-kata itu kembali terngiang di otakku, mengisi seluruh
relung di kepalaku. Mengingatkanku pada suara serak yang menelepon kami
beberapa hari kemarin, mengabari dengan suara penuh rasa takut tentang
keadaannya.
Kalau
aku nggak selamat waktu melahirkan nanti… aku titip anakku yah…
Air mataku mulai kembali menetes,
jalanan sepenuhnya kabur di depanku. Aku ingin menangis terisak, mengeluarkan
seluruhnya dari dalam diriku, lelah tersiksa karena menahan gemuruh isakan di
dalam dadaku. Tapi aku hanya menangis dalam diam, berusaha menjaga emosiku
sebisa mungkin. Ketika melihat air mataku, Marisa yang masih berada di pelukan
Vian di kursi belakang bersama Liska, langsung terisak semakin keras. Kemudian
isakan Liska mulai terdengar, ia menangis sesenggukan sambil menempelkan
pelipisnya di kaca mobil. Vian membelai lembut Liska dan Marisa secara
bergantian, mencoba menenangkan mereka, meski air matanya sendiri juga sudah
mengalir.
“Bego! Gue bilang kan juga di Caesar aja!! Kenapa sih tuh orang stubborn banget, kenapa dia bisa sebego
itu!!!” teriak Ketlia tidak tahan. Aku bisa melihat emosi di wajah cantiknya,
diantara kami berlima ia memang yang lebih lama bersahabat dengan Sophia,
hingga tidak heran melihat ketakutan yang teramat sangat di kedua mata dibalik
kaca itu. “Awas aja kalau dia sampai kenapa-kenapa, gue tendang tuh anaknya!”
runtuknya frustasi. Kalau dalam keadaan biasa mungkin aku akan mengikuti
leluconnya, mengatakan untuk ikut menyakiti putri pertama dari sahabat kami
itu, tapi saat ini, semuanya benar-benar tidak biasa, bukan berada pada waktu
dan tempatnya, bahkan tanggal kelahiran itu pun…
Dokter sudah memprediksikan bahwa Sophia
akan melahirkan pada tanggal belasan di bulan September ini, tapi saat ini baru
tanggal 31 agustus, tidakkah ini sedikit keterlaluan, kelahirannya jauh dari
tanggal prediksi, terlalu jauh… hingga membuat kami merasa semakin sengsara
karena merasa belum mempersiapkan diri dengan matang.
Setelah trisemester yang melelahkan,
kehamilan Sophia sama sekali tidak mengalami masalah yang berarti, membuat kami
diam-diam memuji bayi yang berada di dalam kandungannya. Sophia adalah salah
satu dari sekian orang yang sangat rentan bersentuhan dengan rumah sakit. Ia
bisa dengan mudah jatuh pingsan karena kelelahan, atau masuk angin ketika
berbelanja bersama kami lewat pukul 7 malam! Dua minggu yang lalu tiba-tiba ia
menelepon Ketlia ketika kami sedang berada di kantin kampus, mengabari tentang
kemunduran tanggal kelahiran yang diprediksikan dokter, sekaligus dengan
keadaan tekanan darahnya yang TIDAK BAIK!
“Minggu kemarin mba Rini yang hamil
seminggu setelah kehamilanku sudah melahirkan, tapi kenapa aku masih belum?!”
isaknya penuh ketakutan.
Aku mendengus, “Kan dokter sudah
menetapkan tanggal prediksinya! Kalau lewat tanggal itu dan masih belum lahir,
baru kamu cemas! Sekarang bukan saatnya cemas!” gerutuku kesal.
“Tapi tekanan darahku naik, aku darah
tinggi. Sedangkan waktu diperiksa aku justru anemia.” Tambahnya dengan suara
terbata. Aku bisa merasakan ketakutan mulai menyelinap ke dalam hatiku, namun
aku harus tetap berusaha sekuat mungkin, aku tidak boleh menunjukan rasa
takutku kepadanya, seakan mengiyakan seluruh kemungkinan terburuk yang memenuhi
otaknya.
“BEGO! Itu karena lo stress!!! Udah deh,
lo tenang aja, kalau udah waktunya lahir juga tuh bayi pasti keluar. Jangan
lebay deh!” teriak Ketlia di sampingku.
“Tapi Li…”
“Udah… udah… lebih baik sekarang lo
persiapin aja semuanya, nggak usah mikir yang macem-macem!” bentak gadis itu
lagi. Aku bisa merasakan isakan Sophia semakin pelan, namun semakin menyayat
hati. Dan meski sejak tadi Ketlia terus berteriak kencang, siapapun bisa
melihat ketakutan di matanya, bahkan air mata yang sedari tadi tergenang mulai
mengalir perlahan.
“Kalau aku nggak selamat waktu
melahirkan nanti… aku titip anakku yah…”
“SOPHIA!!!!!!!!!” teriak Ketlia keras,
tidak peduli pada wajah-wajah yang menoleh ke meja kami. Aku sendiri sudah
tidak kuasa menahan perihku. “Jangan lebay! Lebih baik lu makan sana, gue lagi
makan! Jangan ganggu!!!!” teriaknya sebelum menutup ponselnya, kemudian
menjatuhkan kepalanya di meja kantin, menangis. Meninggalkan rasa laparnya
bersama kesunyian isakan tangisnya.
***
“Belok kanan Rey!” tegur Vian, aku
terkesiap dari lamunanku dan buru-buru memutar stirku ke kanan. Kenangan
tentang telepon Sophia sore itu memang tidak pernah bisa menghilang dari
benakku selama beberapa hari belakangan ini. Semuanya terasa menghimpit,
menyesakan dadaku setiap saat.
Ketika sampai di rumah sakit kami
langsung berlari ke ruang oprasi, beberapa orang memandang kami berlima dengan
kening berkerut, namun kami sudah tidak peduli. Sejak memasuki pintu ganda
rumah sakit, aroma kematian itu semakin pekat tercium, membuat lututku sejenak
mulai lemas. Ada enam atau tujuh orang yang sudah menunggu di depan ruang
oprasi, dengan wajah sepucat mayat semua. Damar terduduk di samping pintu
dengan tangan menutupi wajahnya, entah berdoa atau menangis. Nela, adik Sophia
langsung menghampiri kami, air mata sudah menghilang dari wajahnya, menyisakan
kerak-kerak kering di kedua sudut matanya yang bengap, wajahnya yang putih
memerah karena terlalu banyak menangis.
“Bagaimana?!” tanyaku dan Ketlia secara
bersamaan. Vian berdiri di sampingku, meninggalkan Marisa dipelukan Liska.
Gadis bertubuh tambun itu menggeleng. Tiba-tiba saja tubuh Ketlia jatuh lemas,
dengan sigap Vian dan Nela langsung menahan tubuhnya, mendudukannya di sebuah
kursi panjang di depan ruang oprasi. Ketlia menangis terisak dengan mata yang
hampir terpejam, ia kelelahan, dan ketakutan. Tidak usah ditanyakan lagi,
Marisa yang melihat Ketlia terisak sesedih itu, langsung meronta-ronta,
menangis bagai orang kesetanan, membuat ruangan itu sejenak dipenuhi oleh
orang-orang yang merasa ingin tahu dengan apa yang tengah terjadi.
Andai saja aku masih memiliki sisa-sisa
kekuatan, mungkin aku sudah menarik tangannya ke kamar mandi, menguyurnya untuk
menyadarkannya, atau yang lebih kejam mungkin aku akan memasukannya ke dalam
tong sampah terdekat, meredam suara tangisnya yang memekakan telinga di balik
tutup tong sampah itu.
Tapi saat ini, untuk pertama kalinya,
aku merasa benar-benar iri kepadanya. Aku juga ingin bisa menumpahkan seluruh
ketakutanku melalui tangis sekencang itu! dari pada menahan-nahan isak tangis
yang semakin lama semakin membuatku sesak!!!
*********************************************************
3 komentar:
Good job, Zizi!!!
Keren zi,
sophia dr sophie martin piss JK zi hehe
Ziziziziziii...
Masih ngambek ama ziziziii...
Another nice story sayang...
°·♡·♥τнänkчöü♥·♡·° ya (˘⌣˘)ε˘`)
Posting Komentar