“Iya
sayang… besok aku akan langsung pulang.” Ujarku dengan senyuman mengembang. Aku
bisa merasakan senyuman lebar sosok di sebrang telepon itu. “Love you too.” Balasku ketika ia
mengucapkan kata I love You, kemudian
aku mematikan teleponku. Mulai merasa rileks setelah seharian bersiteru dengan
berkas-berkas kantor dan seluruh pekerjaan kecil lainnya yang menumpuk bagai
gunung merapi yang mematikan.
Aku
mengernyit ketika merasakan ponselku kembali bergetar. Telepon dari nomor baru.
Dengan perlahan aku kembali memakai earphoneku.
Mataku terfokus pada jalanan dan kemudi yang tengah ku kendalikan, jalanan
Jakarta sore itu –dan sore-sore lainnya- memang tidak pernah sepi.
“Halo.”
“Emily, apa ini kamu?”
aku mengernyit mendengar kecemasan dari suara itu.
“Ya,
saya sendiri.” Jawabku ragu.
“Ya Tuhan, syukurlah…
aku Stela, aku ingin mengabarimu tentang Safira.”
Kerutan di keningku semakin mendalam. Stela? Safira? Tubuhku mendadak kaku ketika
akhirnya otakku menemukan dimana aku menyimpan folder-folder usang tentang
memori beberapa tahun yang lalu, ketika seragam putih abu-abu masih menjadi
sahabatku.
“Ada
apa dengan Safira?” tanyaku mulai merasa cemas.
“Safira koma, sekarang
dia ada di rumah sakit. Bisakah kau datang?”
DEG.
Kedua
tanganku mencengkram erat kemudi di hadapanku, mataku nanar menatap jalanan
berdebu kota Jakarta petang itu.
“Aku tau, dari kabar
yang ku dengar sekarang kau tinggal di Bali. Tapi ku mohon, bisakah kau menyempatkan
dirimu untuk datang menemuinya sebentar…” Gadis itu
menghentikan perkataannya sejenak, ia berdeham pelan, mencoba mengatur kembali
nada suaranya yang sempat hilang ditelan serak tangis. “Aku baru saja menemukan diarinya, dan namamu-lah yang banyak tertulis
di sana. Aku tau kalian bersahabat. Dan dokter mengatakan bahwa dia tidak lagi
memiliki waktu banyak…”
Aku
tercekat mendengar penuturan sepupu sahabatku yang juga satu SMA dengan kami.
Namun kenyataan bahwa sahabatku, Safira Anatasya, terbujur koma membuatku mulai
merasa sesak. Kami bersahabat lama, bahkan terlampau lama, hingga rasanya kami
berdua sudah menyatu. Meski pada akhirnya Tuhan berkata lain. Ketika lulus SMA,
Safira terpaksa ikut ibunya ke Australia untuk menghindari ayah kandungnya. Sedangkan
aku tetap memilih berkuliah di Jakarta.
3
bulan pertama kami masih berhubungan secara intensif, memanfaatkan berbagai
media komunikasi yang sudah sangat maju. Whatsapp,
skype, facebook, twitter, email, dan berbagai social media lainnya. Kami
selalu bertukar kabar, mengobrol panjang lebar sepanjang waktu, bertukar foto,
bertukar cerita, dan ketika memungkinkan kami akan bertatap wajah menggunakan
skype.
Banyak
hal yang kadang membuatku iri kepadanya. Seumur hidupku aku tidak pernah pergi
ke luar negeri, dan melihatnya tengah asyik bermain bola salju membuatku iri
setengah mati, meski ia sudah berjanji untuk mengajakku berkunjung ke rumah
indahnya suatu saat nanti.
Sebuah
janji yang indah bukan?
Tapi
seiring berjalannya waktu, 6 bulan setelah kepergiaannya, kami semakin disibukan
oleh masalah-masalah kampus yang seakan menyita seluruh perhatian kami. Dari
kabar terakhir yang ku dengar ia diterima di universitas Harvard, sebuah prestasi
yang sangat membanggakan, sedang aku hanya berkuliah di sebuah universitas
swasta, karena ternyata keberuntukan tidak memihakku ketika ujian masuk
diadakan kala itu.
Setahun
berlalu, saat itu hanya tinggal email yang ku terima darinya, itupun dibalas
dengan rentan waktu yang cukup panjang. Kadang satu minggu, satu bulan, bahkan
emailku yang terkahir baru mendapat balasan 3 bulan kemudian.
Ia
sibuk, aku tau, ia selalu mengatakannya. Dan aku mulai merasa lelah menunggu
kabarnya, menunggu balasan emailnya. Meski ketika akhirnya ia membalas emailku
aku akan tetap tersenyum lebar penuh kebahagiaan.
Hari-hari
berlalu, email itu tidak pernah berbalas lagi. Sudah lebih dari 2 tahun sejak
terkahir kali ia membalas emailku. Sampai saat ini aku masih rutin memberikan
ucapan selamat ulang tahun kepadanya, meski aku sadar, mungkin ia sudah
melupakanku, semudah ia melupakan password email lamanya.
Setetes
air mata mengalir perlahan dari pelupuk mataku. Suara di sebrang sana masih
memanggil-manggil namaku. Memastikan apakah aku masih mendengarkan ia berbicara.
Aku mengerjap beberapa kali untuk membersihkan air mataku. “Aku sedang di
Jakarta. Dimana ia dirawat?” tanyaku dingin.
“Syukurlah, dia ada di
rumah sakit Harapan Kita. Aku benar-benar menanti kedatanganmu, dan kurasa
Safira juga…”
“Baik.”
Jawabku singkat seraya memutus sambungan teleponku dengannya. Aku memutar
kemudiku ke kiri, menepikan mobilku tepat di bawah sebuah pohon rindang yang
sejuk. Ku matikan mesin mobilku, kemudian menundukan kepalaku hingga kehingku
menempel dengan kemudi. Aku hanya butuh sedikit waktu, untuk sekedar menangis
sendiri.
***
“Aku
tidak bisa pulang sekarang.” Bisikku serak.
“Kenapa? Bukankah
pekerjaanmu sudah selesai?” Tanya suara di sebrang
sana heran.
“Masih
ada beberapa urusan yang harus ku tangani…” ujarku pelan. Mengingat urusan itu
adalah sahabatku yang terbujur koma, dadaku mulai kembali terasa sesak.
“Sayang, apa kau
baik-baik saja?” aku menggigit bibir bawahku untuk
menyembunyikan getaran suaraku.
“Aku
baik-baik saja.” Dustaku setenang mungkin. Sosok di sebrang sana terdiam lama,
tampak sibuk dengan pemikirannya sendiri.
“Perlu ku jemput?”
“Tidak!”
jawabku cepat. “Aku baik-baik saja dan akan segera pulang setelah semuanya
selesai. Kau baik-baiklah di sana.”
“Baiklah, tapi ingatlah
untuk terus menghubungiku. Aku menyayangimu.”
“Aku
juga menyayangimu.” Balasku sebelum menutup ponselku, kemudian berbalik menatap
rumah sakit yang ditunjukan oleh Stela.
6
tahun lamanya aku tidak bertemu dengannya, 6 tahun sudah. Aku tidak yakin
dengan perasaanku sendiri saat ini. Aku sangat merindukannya, namun menemukan
dirinya yang terbujur koma seperti ini tidak pernah terpikirkan olehku. Aku
masih belum mengantisipasi untuk kenyataan buruk apapun. Di benakku, aku memang
meyakini bahwa suatu hari nanti kami akan kembali bertemu, tapi bukan di rumah
sakit, bukan dengan keadaannya yang tidak sadarkan diri. Di mimpiku kami akan
bertemu dengan predikat sukses yang sudah kami kantongi, dan dengan keluarga
baru kami, saling mengenalkan suami kami masing-masing, dan kalau memungkinkan
kami bisa menjodohkan putra-putri kami.
Kenyataan
bahwa mimpiku takkan pernah menjadi nyata mulai kembali menampar diriku.
Menarikku pada sebuah jurang gelap yang dibuat oleh takdir.
Aku
menguatkan hatiku, dan setelah menghela nafas untuk yang kesekian kalinya,
akhirnya aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah sakit. Seorang perawat di
balik meja resepsionis menyapaku dengan ramah, aku melihatnya, namun otakku
terlalu sibuk untuk mempersiapkan diriku menghadapi berbagai kemungkinan yang
ada… kemungkinan terburuk.
“Emily!”
pertahananku hampir saja roboh ketika mendengar teriakan Stela dari ujung lorong
panjang rumah sakit itu. Ia tengah berdiri dengan kantung obat di tangannya.
Aku berusaha menunjukan sebuah senyuman simpul, tapi gagal, tentu saja. Ketika melihat tatapan
sendunya, aku merasa perutku mulai melilit perih, tubuhku dingin dan kaku,
mataku perih karena tidak ingin berkedip sama sekali.
Stela
tampak lebih kurus dengan stelan jas dan rok mini hitamnya. Ia menggunakan
stiletto berwarna merah sesuai dengan
blusnya. Wajahnya yang tirus tampak sedikit lelah, meskipun sudah tersamarkan
oleh make up tebal yang ia kenakan.
Aku tersenyum dan mengulurkan tanganku padanya, menjabat tangan kurusnya.
Sekilas aku membaca papan nama berwarna emas di dada kirinya dan tersenyum tipis,
Stela Maharani, CEO.
“Ayo
ku antar. Kebetulan aku juga baru saja menebus obatnya.” Ujar Stela seraya mengangkat bungkusan
plastik putih di tangannya. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum tipis dan berjalan
dalam diam di sampingnya. Beberapa kali Stela mencoba mengajakku berbicara,
namun sikap bungkamku akhirnya membuat gadis itu menyerah. Aku terlalu lelah
untuk sekedar berbasa basi, dan pertemuanku dengan Safira kali ini sepertinya
mampu membius tubuhku hingga menjadi sangat kaku. Aku merasa tidak memiliki
perasaan apapun, tidak sedih atau bahagia. Semuanya terasa kosong, kebas,
hatiku tidak tersentuh sama sekali. Mataku memang terbelalak lebar, tapi hanya
itu, otakku kosong, dan semua yang ku lihat hanya seperti gambaran tv berwarna
yang tak bersuara.
Stela
berjalan satu langkah di hadapanku, rambut hitamnya menari-nari perlahan seiring
dengan langkah gemulainya. Beberapa kali aku melihat pundaknya tampak naik
turun, menunjukan bahwa pemilik tubuh itu tengah menghela nafas panjang, entah
untuk alasan apa. Akhirnya kami berbelok masuk ketika sampai di sebuah ruangan
berpintu ganda dengan tulisan ruang isolasi. Aku mengerutkan keningku dengan
bingung, tapi otakku terlalu lelah hingga tidak tau apa yang seharusnya aku
tanyakan.
Langkah
Stela melambat, ia melirik ke sembarang arah kemudian berjalan mendekati meja
resepsionis di tengah ruangan bercat ungu itu. Ada empat perawat jaga di sana,
yang seluruhnya tengah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, tertunduk
tenggelam dalam pekerjaan mereka. Aku menunggu sebentar di belakang tubuh
Stela, hingga gadis itu berbalik dan mengangguk padaku, memintaku untuk kembali
mengikutinya.
Aku
menurut, bagai bocah lima tahun uang berjalan di tengah pasar bersama ibunya,
memasuki sebuah ruangan yang berdindingkan kaca tembus pandang setelah
sebelumnya mengenakan baju khusus berwarna biru langit. Safira berbaring tenang
di hadapan kami, terbatasi oleh kaca untuk menjaga ruangannya tetap steril.
Dada kurusnya bergerak naik turun dengan lemah, di sekelilingnya terpasang alat-alat
yang tidak pernah ku lihat kecuali di dalam film- film yang mengambil setting
rumah sakit. Wajah cantiknya terlihat sangat pucat, rambut panjangnya terurai
tak bercahaya.
“Ia
sakit, komplikasi penyumbatan jantung.” Ujar Stela, matanya menatap sosok
Safira penuh kasih. “Tapi dia tidak pernah ingin kau melihatnya seperti ini.
Dan mungkin kalau dia bisa membuka mata serta mulutnya lagi, dia pasti akan
memaki aku, tapi sejujurnya itulah yang ku harapkan.” Stela menyeka air matanya
dengan perlahan, ia menghela nafas panjang lelah.
“Sejak
kapan?” hanya itu yang mampu ku katakan, tenggorokanku terlalu perih menahan
tangis. Mengharapkan sebuah mukjijat yang rasanya sangat jauh dari gapaianku.
“Sejak
ia berangkat ke Australia.”
Aku
tak lagi mampu membendung air mataku, selama itu… selama itu ia
menyembunyikannya dariku.
“Ini…”
Stela mengambil sesuatu dari dalam tasnya, lalu memberikannya kepadaku. “Buku
harian Safira,” katanya dengan perlahan. Aku mengambil buku itu, mencoba
mengenang sosok sahabatku lebih dalam lagi. meskipun tentu saja semuanya hanya
meninggalkan perih yang semakin dalam. Namun setidaknya, aku tau apa yang ia
ingin kan saat ini, di saat-saat terakhirnya.
***
“Sayang?
Astaga, apa kau sakit?” Sebuah pelukan erat langsung menenggelamkanku dalam
lautan haru dan perih yang tak tertahankan. Tangisku langsung pecah begitu
saja. Dan lagi pula memangnya aku punya pilihan apa, selain menangis dan
menangis? “Ada apa Emily, apa yang kau lakukan di rumah sakit? Apa kau
baik-baik saja?” tanyanya penuh rasa cemas. Aku tidak bisa menjawabnya, mulutku
terlalu sibuk mengeluarkan isak tangis. “Emily, ku mohon, tenanglah,
bicaralah.” Pintanya sungguh-sungguh.
Alih-alih
berbicara aku malah mengeluarkan selembar foto dari dalam saku jasku. Ia
tertegun, menatap foto mesra dirinya dengan gadis lain. Foto yang tersimpan di dalam buku harian
sahabatku. Selama ini Safira tidak pernah mengatakan apapun padaku, padahal ia
paling tidak bisa menyembunyikan apapun dariku. Mungkin untuk kali ini ia
memilih menyembunyikannya dari pada menyakitiku. Tapi toh pada akhirnya takdir
memutuskan untuk memperlihatkan foto yang bermakna lebih itu kepadaku.
“Em…”
sosok itu menatapku dengan pandangan bingung yang serba salah. Lalu ia hanya
terdiam, tampak tidak berniat untuk memberikan penjelasan apapun.
Kami
masih berdiri berhadapan di lorong rumah sakit, orang-orang berjalan berlalu
lalang di sekeliling kami. Namun tidak ada satupun yang memperdulikan kebekuan
kami. Mereka semua sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Aku
menghela nafas panjang, menyerah.
“Kau
menghianatiku.” Itu sebuah pernyataan, dan aku tidak membutuhkan jawaban apapun
untuk membenarkannya. Foto itu sudah menjelaskannya dengan sangat gamblang.
Senyuman mereka tidak akan seindah itu jika mereka tidak sedang dimabuk cinta.
“Kau penghianat.” Tambahku dengan suara bergetar.
“Tidak,
aku tidak menghianatimu.” Jawabnya dengan wajah tertunduk. Kaca matanya sedikit
berembun, sedang bibirnya membentuk sebuah senyuman samar yang menahan perih.
Bukti
itu sudah sangat jelas. Meski Safira tidak menuliskan apapun pada buku
diarinya, kecuali namaku dan selembar foto itu, tapi itu sudah menjelaskan
semuanya. Jadi mengapa ia masih mengelak?!
“Aku
tidak pernah menghianatimu,” ulangnya lagi, kali ini dengan menatap kedua
mataku. Dan aku tau dia sungguh-sungguh. “Aku tidak pernah menghianatimu dengan
siapapun, aku menghianati Safira dengan mencintaimu.”
Deg.
Duniaku
hancur. Jantungku seakan berhenti berdetak. Dan air mata itu seakan menjadi
lautan tsunami yang langsung membobol pertahananku sejak pertama kali aku
melihat foto suamiku dengan sahabatku kemarin petang. Kami saling bertatapan
untuk beberapa saat, kehilangan aksara untuk mengutarakan rasa yang memenuhi
asa kami masing-masing.
“Maafkan
aku…”
“Sejak
kapan?” tanyaku dengan suara terbata.
“Sejak
ia pergi ke Autralia.”
“Aku
mengerti.” Aku mengangguk pelan, membuat air mataku kembali menetes.
“Tapi
aku tulus mencintaimu Em…” katanya seraya meraih tanganku. Aku ingin
mengangguk, tapi dadaku terlalu perih. Aku yang melukai Safira, aku yang
membuatnya menjadi seperti ini. lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?!
memohon maaf pun tak lagi bermakna, semuanya sudah terlambat. Aku lah yang
salah…
“Al,
aku ingin kau menemuinya.”
“Tidak
Em, aku tidak ingin menyakitimu. Aku tidak ingin…”
Tapi
aku sudah menyakitinya. Sahabat macam apa aku?!
“Ku
mohon, demi keluarga kecil kita. Temuilah ia,” Alex menggeleng perlahan, “Dia
sakit Al, komplikasi Jantung, dan sekarang tengah koma.” Bisikku lirih.
Dan
untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bisa melihat kedua mata suamiku
kehilangan cahayanya. Satu kedipan saja, dan aku bisa melihat sebesar apa
cintanya pada sahabatku.
Mengapa
harus aku yang berada ditengah-tengah mereka? mengapa harus aku yang menyakiti
mereka? mengapa harus cinta yang hadir di antara kami?!
***
13 Januari 2009
Untuk sahabat baikku, Emily Diana
Aku sebenarnya tidak terlalu yakin dengan apa
kegunaan surat ini. Tapi Stella memaksaku untuk membuatnya. Kau tau, seperti surat
terakhir, semacam itulah. Hahaha
Jangan marah padaku, kumohon. Semuanya sudah takdir.
Kau sendiri yang selalu mengatakan takdir Tuhan selalu lebih indah dari pada
yang kita bayangkan. Kalaupun sekarang terasa pahit, pasti membawa makna yang
besar.
Sebenarnya menulis surat ini seperti membunuh diriku
sendiri, seakan aku sudah menyerah pada takdir.
Aku sakit, ku rasa jika kau sudah memegang surat
ini, itu tandanya Stela sudah mengatakannya kepadamu. Aku tidak tau apa kau
akan membaca surat ini ketika aku sekarat, atau ketika aku sudah di dalam
kuburku.
Stela bersikeras untuk memberitahumu tentang
semuanya, namun aku tidak bisa. Entahlah, anggap saja aku pengecut. Tapi
akhirnya ia berjanji padaku untuk memberitahumu ketika semuanya sudah berakhir,
jadi aku tidak perlu melihat air matamu karena ketidak berdayaanku.
Aku sakit, sudahkah aku mengatakan hal itu?
Mungkin tidak akan lama lagi, tapi dokter selalu
mengatakan aku memiliki semangat hidup yang sangat kuat, ia bahkan selalu
memujiku karena semangat hidupku. Mungkin aku ingin tetap bersama kalian,
menikmati cinta.
Ah cinta, jangan salahkan cinta.
Kau tau, cinta tidak akan pernah salah. Jadi ketika
aku mengetahui kekasihku mencintai sahabat baikku, aku tidak marah sama sekali.
Aku justru bersyukur kepada Tuhan, itu berarti aku tidak perlu khawatir ketika
akhrinya harus meninggalkan Alex.
Begitu banyak hal yang ingin aku tuliskan di sini,
tapi setiap menuliskan satu kata, hatiku akan teriris perih. aku tidak tau
harus bagaimana menyikapi semuanya. Ini seperti menghitung detik-detik sebelum
kematian. Terancam setiap saat.
Aku mencintaimu dan Alex. Dan aku tau kalian pun
saling mencintai. Perih, luar biasa perih! ku mohon, sebagai wanita kau harus
memaklumi perasaanku. Tapi pada akhirnya ini adalah jalan terbaik. Jangan
pernah salahkan dirimu dan Alex. Ini adalah jalan Tuhan Em, jalan untuk kita.
Hanya saja, aku tau terlebih dahulu dibandingkan kalian.
Cintailah cinta Em…
Mungkin kau melihat sedikit penghianatan cinta di
sini, tapi sekali lagi ku katakan padamu, cinta tidak pernah salah. Cinta
selalu hadir tanpa terprediksi. Tak bisa dipaksakan, dan tak terelakan.
Maafkan aku karena sudah menyembunyikan seluruh
kisah semu itu darimu dan Alex. Maafkan aku…
Aku menyayangimu Sahabatku, dan aku juga sangat
menyayangi Alex. Aku bahagia akhirnya kalian bersama. tetaplah berbahagia Em,
Aku tidak akan rela jika takdir merebut kebahagian itu darimu. Biar, cukup aku
yang menyerah di sini. Kalian harus tetap berjalan. Kenang aku, dan cintai aku
sebagai sahabat kalian. Ku mohon…
Ini bukan akhir Em, hidupmu masih sangat panjang.
Dan aku tidak akan pernah berhenti mendoakan kebahagiaanmu. Tetaplah tegar dan
menjadi wanita yang hebat. Aku menyayangi kalian semua. Sampaikan maafku pada
Alex, aku selalu menyayanginya.
Dengan cinta sepenuh hati
Sahabatmu, Safira Anatasya
***
“Seperti
biasa, dia selalu satu langkah di depan kita.”
Aku
melipat surat yang diberikan Stela ketika pemakaman pagi itu dengan perlahan,
lalu menyeka air mataku dengan tisu yang diberikan Alex di sampingku. Ia
menggenggam tanganku dengan sangat erat.
Cinta tidak pernah
salah…
Aku
membisu dalam isak tangisku. “Tapi cinta itu berhutang berjuta maaf kepadanya.”
Alex
mengangguk perlahan, lalu menarikku ke pelukannya. Tidak membenarkan atau
menyangkal perkataanku. Untuk beberapa saat kami hanya berdiri diam di sana,
merasakan sepoi angin siang di kota Jakarta. Menatap langit yang mendung jauh
di balik kaca hotel yang kami tempati.
“Aku
juga mencintaimu Safira, berbahagialah kau selalu di sana. Doa kami selalu
menyertaimu…” bisikku sungguh-sungguh.
the
end