“Aku
tidak bisa meninggalkannya.” Gumamku ditengah-tengah tiupan lembut angin petang
hari itu. Minggu kedua di bulan Desember yang berhujan. Langit di hadapan kami
masih tampak gelap tertutup awan mendung. Baru saja setengah jam yang lalu
hujan berhenti menyerbu bumi, namun sepertinya sekarang langit sudah siap
memuntahkannya lagi. Seakan tidak pernah puas.
Untuk
beberapa saat tidak ada jawaban apapun dari gadis di sampingku. Mungkin dia
marah, dan aku tidak bisa menyalahkannya jika dia sampai tidak ingin lagi
berbicara padaku. Mungkin cukup sampai di sini perjalanan berliku cinta itu.
Aku
tidak pernah mendapatkan gelar playboy dimanapun. Di SMA aku lebih pendiam,
bergemul dengan berbagai organisasi, dan mencintai basket dan musik sepenuhnya,
tidak ada waktu sedikitpun untuk memikirkan masalah wanita yang bertele-tele
dengan sejuta dramanya. Masa kuliah? Tidak berubah terlalu banyak. Aku lebih
senang berada di jalanan, berdemo dengan komunitas kemanusiaan alih-alih duduk
mengencani gadis-gadis kampus yang mati-matian berusaha tampil cantik di balik
make up tebal mereka. Bagiku itu menjijikan, seakan kepala mereka hanya
dipenuhi oleh tumpukan kosmetik dan cowok yang mereka sukai.
Menjelang
kelulusan dari universitas, akhirnya untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku
tau apa yang mereka sebut dengan cinta, atau kurang lebih seperti itu.
Hari
itu, minggu terakhir di bulan desember, rintik-rintik hujan jatuh tepat
menjelang malam pergantian tahun baru. Sebagai seorang senior di komunitas seni
yang ku ikuti setengah hati, aku terpaksa hadir dalam acara pentas seni yang
diadakan di kampus untuk mengisi malam pergantian tahun baru yang basah. Aku
memang menyukai musik, tapi belakangan ini aku terlalu risih dengan teriakan-teriakan
gadis-gadis yang tampak gila itu ketika aku berdiri di atas panggung dengan
mikrofon dan gitarku. Jadi aku memutuskan untuk berhenti, lagi pula aku harus
memberikan kesempatan untuk bintang yang baru, dan mulai memfokuskan diriku
pada tugas akhir skripsi yang sudah tertunda setengah tahun dari jadwal yang ku
targetkan.
Pukul
14.30, tahun 2009. Jika mereka mengatakan cinta itu dari mata turun ke hati,
maka itu tidak berlaku padaku. Karena bagiku, cinta itu menghampiri telingaku
terlebih dahulu baru mengetuk mata dan hatiku.
Suasana
bising orang-orang yang tengah mempersiapkan pentas malam itu membuatku jengah.
Terlebih hujan di luar sana belum juga mereda sejak satu jam yang lalu.
Untungnya panitia mengusulkan untuk mengadakan acara itu di dalam aula utama,
jadi penonton yang hadir tidak perlu membawa payung kalau-kalau hujan tidak
berhenti sampai malam tiba. Sambil memasukan tanganku ke dalam saku jeans, aku
berdiri dari kursiku yang terletak di pojok aula, dekat sound system yang sudah terpasang sempurna. Beberapa juniorku
memasangkan kain hitam yang menutupi seluruh dinding aula sebagai latar, lalu
menambahkan kain-kain berwarna lebih mencolok bergambarkan graffiti-grafiti
kreasi mereka. Aula itu cukup besar, mampu menampung 800 orang jika duduk
lesehan di lantai.
“Gue
cabut dulu,” kataku pada Hendra, salah satu teman seperjuanganku di komunitas
itu. Hendra yang tengah menyeting gitarnya menoleh kepadaku.
“Lo
nggak mau liat anak-anak cek sound dulu?”
tanyanya. Aku melirik ke atas panggung di dalam aula dengan malas.
“Ntar
sore aja. Males gue. Lagian yang tampil masih dia-dia juga kan?” cibirku
sarkastis. Hendra menghela nafas panjang. Namun tidak berkomentar.
“Jangan
salah bung An, sekarang kita punya bintang baru.” Tiba-tiba saja Dimas merangkul
bahuku. Ia menyeringai lebar penuh antusias. “Garapan si bung Hendra tuh,”
ujarnya sambil menunjuk Hendra dengan tatapannnya. “Lo nggak cerita Hen?”
“Percuma
aja cerita,” gumam Hendra sebagai jawaban. “Sekarang kan tuh bocah udah sibuk
sama kerjaannya.” Tambahnya seakan-akan aku tidak berada di sana. Aku tertawa
pelan, lalu dengan asal mendorong bahunya.
“Ya
udah lah gue cabut dulu. Kalau sore nggak datang, berarti gue datang malem.”
“Sial.
Nggak adil banget bung Hen, masa lo biarin si kunyuk pergi sih?!” gerutu Dimas
ketika Hendra tidak mencegahku berjalan keluar aula. Aku hanya melambaikan
tanganku tanpa menoleh lagi. mengabaikan kekesalan Dimas yang terus memanggilku
untuk kembali.
Tapi
baru saja satu langkah aku melewati pintu ganda aula kampusku yang megah,
jantungku langsung berhenti berdetak ketika mendengar suara dari speaker yang
juga sudah terpasang sempurna di setiap sudut strategis. Suara itu mengalun
merdu, begitu lembut dan menyejukan. Dan entah bagaimana, aku merasa suara itu
sangat harum. Seakan aku bisa bernafas dengan oksigen dari alunan lembut
suaranya.
Aku
berbalik. Dan meski Hendra tidak menoleh sama sekali kepadaku, masih terfokus
pada gitarnya, aku tetap bisa melihat sebuah senyuman khas terukir di wajahnya.
Seakan dia sudah tau dengan apa yang akan terjadi. Lalu sekarang tersenyum
penuh kebanggaan pada dirinya sendiri.
Gadis
itu mengenakan gaun selutut berwarna ungu muda, dengan jaket atau apapun nama
sejenisnya yang berbahan lebih lembut, berwarna pink pudar. Rambutnya hitam
sedikit kecoklatan, bergelombang, dan panjang, dijepit seadanya di kedua
sisinya, membuat anting-anting giwang berbentuk hati terlihat samar-samar di
telinganya. Kulitnya tidak seputih orang-orang keturunan cina, bahkan hampir
berwarna coklat muda, tapi begitu halus. Ia memejamkan matanya ketika bibirnya
bergerak di depan mikrofon. Sedang jemarinya dengan anggun menari di atas nuts
hitam putih piano yang ada di hadapannya.
Aku
tidak pernah melihatnya sebelumnya, dan suaranya yang sudah membuat jiwaku jatuh
sedemikian dalamnya ke kubah cinta.
Berdiri
diambang pintu, aku melipat kedua tanganku ke dada, sedikit bersandar, dan
tersenyum pada apa yang ku lihat di atas panggung. Akhirnya di sepanjang hari
itu, aku tidak pernah sekalipun melangkahkan kakiku dari aula, tidak pernah
selama aku bisa melihat sosok cantik nan anggun itu tetap berada di sana.
Melakukan tes vocal, dan menerima beberapa pengarahan dari seniornya, Hendrawan
Firman.
***
“Gimana
menurut lo?” kami tengah duduk berdua ketika jam tanganku menunjukan pukul 7
malam. Beberapa juniorku masih sibuk dengan persiapan-persiapan akhir-menyulap
aula itu. sedangkan yang lainnya tengah beristirahat dan mempersiapkan diri
mereka untuk penampilan nanti malam. Acaranya dimulai satu jam lagi, namun aku
bisa melihat lapangan kampus sudah mulai dipenuhi mahasiswa-mahasiswa yang siap
menonton acara malam itu.
Aku
menyesap kopi yang dibuatkan juniorku dengan perlahan. Mengabaikan hawa panas
yang terlihat dari kepulan asapnya. Kami duduk tepat di bagian belakang aula,
menatap lurus kearah panggung. “Soal apa?” tanyaku berpura-pura tak acuh.
“Yang
tadi sore.” Jawab Hendra, ikut menyesap kopinya juga.
Seorang
gadis bertubuh langsing menyelinap melewati pintu aula ketika aku menatap
kesekeliling aula itu. Ia tersenyum, tersipu malu-malu ketika menyadari aku
tidak sengaja menatap kearahnya. Tapi aku langsung memalingkan wajahku lagi,
jengah melihat usahanya untuk menarik perhatianku pada tubuhnya dengan
membusungkan dadanya yang hanya terbalut kaos putih berbelahan rendah.
“Lumayan.” Jawabku asal.
Hendra
menyunggingkan senyum tipis lalu mengangguk-ngangguk. “Dia pandai main musik.
Pertama kali gue liat, langsung gue tarik.” Ujarnya membanggakan diri.
“Siapa
namanya?” tanyaku berusaha sebisa mungkin tidak tampak mencolok.
“Winda.
Winda Aldena Clarisa.” Aku mendengus dongkol ketika tiba-tiba Dimas sudah
berada di antara kami. Menyomot pisang goreng dengan seenak jidatnya. juniorku
yang satu ini sepertinya memiliki kekuatan jin iprit hingga bisa muncul di
manapun dengan sekedipan mata.
Nama
itu terus terngiang-ngiang di telingaku sampai dipenghujung malam itu. “Boleh
juga.” jawabku cuek. Dan Hendra terkekeh pelan. “Lumayan.”
“Bukan
lumayan, tapi produk super. Apa kata gue. Bung An ini pasti langsung bertekut
lutut di hadapan Winda!” ujar Dimas menggebu-gebu. “Bung Hendra ini awalnya
meragukan teori gue!” ujarnya, membusungkan dadanya dengan angkuh. Hendra yang
paling tidak suka mendengar tambahan kata ‘Bung’ di depan namanya langsung
mengalihkan pandangannya, mengabaikan Dimas. Sang cowok metroseksual.
Aku
bangkit dari kursiku, malas meladeni kedatangan Dimas yang sebenarnya satu
tahun dibawah kami namun berlagak seperti senior yang merasa tau segala
sesuatu. “Gue cabut dulu.” Kataku pada Hendra yang langsung dijawab dengan
anggukannya.
Oke,
sepertinya aku berhutang maaf pada Hendra dan tepukan kagum atas acara malam ini.
Pentas seni menyambut malam tahun baru berjalan sangat meriah. Sebuah opera
musical yang dimainkan oleh anak-anak drama benar-benar menakjubkan. Dan dari
selentingan yang ku dengar, tangan dingin Hendra juga yang mengaransemen
musiknya hingga menjadi spektakuler seperti itu. Penampilan Winda lebih
mempesona lagi.
Ia
masuk di bagian akhir drama musikal, menyanyikan lagu penutup dengan suaranya
yang luar biasa lembut. Lampu tembak langsung menyorotnya ketika pertama kali
ia menekan nuts-nuts piano di atas panggung. Aku tidak yakin kapan ia naik ke
sana, mungkin tadi, ketika semua penonton tengah sibuk memperhatikan lakon para
pemain drama. Ia mengenakan gaun putih yang cukup panjang sampai menutupi
kakinya. Rambutnya lagi-lagi hanya digerai, namun berhiaskan sebuah jepit bunga
lili yang cukup besar. Silau lampu membuat aku tidak bisa melihat wajahnya
dengan jelas, hingga akhirnya tanpa sadar aku terus berjalan mendekati
panggung. Melewati beberapa penonton yang terusik karena langkah-langkah
besarku, mengabaikan pandangan cemas bercampur heran dari Hendra. Gadis cantik
itu sudah benar-benar menyihirku.
Riuh
tepuk tangan dari penonton menyadarkanku dari keterpesonaan akan kecantikan
Winda. Aku mengusap wajahku dengan telapak tanganku. Apa yang sebenarnya sudah
ku lakukan?!
“Tunggu!”
teriakku tiba-tiba ketika gadis cantik itu hampir saja menghilang di balik
panggung bersama dua orang pemuda berpakaian hitam, keduanya dikalungi papan
nama yang bertuliskan panitia. Gadis cantik itu menoleh. Dan aku bisa melihat
keindahan wajahnya lebih nyata lagi. benar-benar cantik. “Maaf, aku perlu
bicara sebentar.” Kataku tanpa basa-basi. Aku memberikan lirikan ‘mengusir’ kepada
kedua panitia yang tentu mengenaliku itu, dan meski bingung akhirnya keduanya
pergi meninggalkan kami di belakang panggung. Winda mengerutkan keningnya,
matanya menunjukan sedikit kecemasan ketika melihat kedua panitia itu
menghilang di balik panggung. Tapi aku tidak peduli. “Kamu Winda?” tanyaku.
Wajah
cantiknya sedikit memucat, ia menggigit bibir bawahnya, membuatku semakin
dimabuk kepayang oleh kecantikannya. “Maaf,” katanya ragu-ragu. “Saya…”
“Lily?”
tiba-tiba saja Hendra sudah berada di belakang punggungku. Aku mendengus kesal.
kenapa pula dia harus muncul di saat-saat seperti ini?!
“Mas
Hendra,” katanya dengan nada lega.
“Yang
lain sudah menunggumu,” ujar Hendra sebelum aku bisa memotong kata-katanya. Dua
orang panitia yang tadi ku usir kembali muncul, sedikit menunduk lalu
menghampiri Winda dan membawanya pergi begitu saja. Aku menggeram pada Hendra.
“Apa?” tanyanya tanpa rasa bersalah. “Katanya lo mau ketemu Winda, ayo!”
“Lho,
tadi?”
“Yang
tadi sepupu jauh gue, Lylianne. Dia sahabat Winda, tinggal di Bandung.” Terang
Hendra. Aku terkekeh pelan. Jadi aku salah? Pantas saja tadi dia terlihat
cemas. “Gue minta maaf karena nggak ngabarin lo sebelumnya. Yah, gue pikir
nggak ada yang akan sadar juga kalau dia bukan anak kampus kita. Toh dia Cuma
muncul di penutupan. Ternyata mata lo cukup jeli. Sori men.” Hendra meninju
lenganku dengan pelan. Dalam komunitas kami memang ada satu aturan mutlak,
tidak boleh mengambil orang lain untuk tampil dari luar komunitas. Tapi siapa peduli?!
Aku
mengernyit, “Buat apa lo minta maaf sama gue?!” tanyaku bingung.
“Loh,
tadi bukannya lo?”
“Gue
pikir dia yang namanya Winda.” Jawabku asal. Kini giliran kening Hendra yang
berkerut. “Gue ke sini karena gue mau ngedeketin dia, eh elo malah nongol
kampret!”
“Bukannya
lo naksir Winda?”
“Ya
mana gue tau yang namanya Winda itu yang mana.”
Hendra
mengacak rambutnya frustasi. “Itu Winda, yang tadi main biola di samping sepupu
gue,” katanya sambil menunjuk seorang gadis yang masih berada di atas panggung.
Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat sosok yang ditunjuk Hendra itu dengan
cukup jelas. Ia tinggi semampai, mengenakan gaun berwarna hitam, menutup sampai
kakinya juga, rambutnya di kuncir, lurus, mungkin itu yang mereka sebut kuncir
ekor kuda. Tak berkelok sama sekali. Ia memiliki paras yang cantik, dan sesuatu
di dalam matanya menunjukan sebuah nuansa tegas yang mempesona. Seorang wanita
mandiri. Tapi aku hanya mengangkat bahu tak acuh ketika Hendra menanyakanya
sekali lagi.
“Jadi
lo bener-bener naksir Lily?” tanyanya, suaranya terdengar masih sangat tidak
percaya. Aku tidak mengangguk, tapi aku yakin dia bisa melihat keseriusan di
mataku. “Hm, lo liat kan dia pakai…”
“Kursi
roda?” potongku. Hendra mengangguk, matanya menerawang jauh ke kerumunan
penonton yang antusias menunggu penampilan band selanjutnya.
“Dia
lumpuh, kecelakaan sejak umur 11 tahun. Orang tuanya meninggal.”
Aku
tidak tau harus berkata apa, jadi kami hanya terdiam. Tapi lagi-lagi aku yakin
Hendra bisa melihat keseriusan itu di mataku.
***
Desember
2013
Jika
masih hidup Hendra pasti akan membunuhku kalau tau apa yang terjadi saat ini.
Tiga atau empat tahun yang lalu, Dimas mati-matian bersikeras kalau aku
sebenarnya mencintai Winda, bukan Lily, dan meskipun tidak berkomentar apa-apa,
aku bisa melihat kerutan cemas di antara kedua mata Hendra. Tapi setidaknya,
hingga sosok hebat itu menghembuskan nafas terakhirnya karena DBD akut di tahun
2011, ia masih mengenal aku yang mencintai Lily dengan sepenuh hati.
Aku
sendiri tidak tau kapan tepatnya aku pertama kali jatuh hati kepada Winda.
Mungkin ketika aku, Lily dan Winda pergi bersama, ke Bandung, lalu setelah
mengantar Lily pulang, kami berduaan di mobil; atau ketika hari-hariku banyak
dihabiskan bersamanya, karena ketika lulus kuliah, aku lah yang membantu Winda
mendapatkan pekerjaannya sekarang sebagai sekretaris di sebuah perusahaan yang
berkantorkan pada sebuah gedung yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari
kantorku sendiri; atau mungkin sejak aku tau dia mencintaiku.
Ini
sebuah kesalahan, aku tau itu. Tapi apa yang bisa ku lakukan ketika gadis
cantik itu tiba-tiba saja mengutarakan perasaannya kepadaku. Ia tidak memintaku
untuk membalas cintanya, namun aku tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja.
Sampai akhir tahun 2012, aku tidak pernah membalas cintanya, bahkan aku
seakan-akan menganggap itu tidak pernah terjadi. Mengabaikan perasaannya begitu
saja. Menikmati cintaku dan Lily tanpa memperdulikannya. Toh meskipun aku tidak
pernah membalas cintanya, ia tetap berada dekat denganku. Dia adalah sahabat
baik Lily. Dan itu membuatku mudah untuk memantau gerak-geriknya.
Winda
sosok yang mandiri. Ia tidak pernah merengek. Selalu tampak tegar dan santai.
Aku menyukainya dalam hal itu. Membuatku tidak perlu merasa khawatir ketika
harus meninggalkannya untuk menemui Lily. Dia hampir tidak pernah menangis di
hadapanku. Lalu semuanya berjalan begitu saja. Entah bagaimana, aku pun
mencintainya. Sesederhana itu.
“Apa
aku harus melumpuhkan kakiku juga?”
Aku
terkesiap ketika mendengar suaranya yang sedikit bergetar. Kami masih duduk
diam di dalam mobil seperti setengah jam yang lalu. Di depan kami sebuah danau
buatan yang hampir dipenuhi sampah beriak tenang. Beberapa bocah kecil
berlarian kesana kemari, lalu jatuh, sengaja menggulingkan tubuhnya di
rerumputan, tidak peduli pada teriakan ibu-ibu mereka di dekat pedangan makanan.
Anak yang lebih dewasa mengayuh sepedahnya kuat-kuat, seakan bisa membelah
angin. Mengabaikan langit mendung yang menutupi sebagian cahaya matahari.
“Apa
aku harus lumpuh juga seperti Lily untuk membuatmu tetap di sisiku?” tanyanya
lagi. Aku tidak tau harus berkata apa.
“Sebaiknya
kita pulang.” Kataku sambil menyalakan mesin mobil. Lalu mundur untuk kembali
ke jalan raya. Meninggalkan taman kota yang semakin ramai petang itu.
Gadis
di sampingku menatap keluar jendela, merenungkan sendiri kata-katanya. “Awalnya
aku pikir aku bisa mengikhlaskan kalian. Kamu dan Lily,” gumamnya pelan. Aku
terdiam, aku tidak pernah mendengar nada suaranya yang selirih ini. atau aku
memang belum benar-benar mengenalnya? “Tapi ternyata tidak bisa. Terlalu
menyakitkan.”
“Win,
aku sudah bilang, aku nggak akan meninggalkan kamu. Tapi aku juga nggak bisa
meninggalkan Lily.” Kataku sungguh-sungguh. Dan itu memang benar. Aku
membutuhkan mereka berdua.
“Tapi
kamu akan menikahinya…” Winda menyeka air matanya dengan perlahan. “Cepat atau
lambat kamu akan benar-benar meninggalkanku.” Aku mendesah lelah. Aku sudah
menegaskan berkali-kali kepadanya, kalau aku tidak akan pernah bisa
meninggalkannya. Aku mencintainya. “Mungkin kalau aku juga lumpuh seperti Lily,
kamu nggak akan pernah tega meninggalkan aku. Kamu pasti akan kasihan kepadaku
seperti kepada Lily.”
“Win,
aku mencintai Lily dengan tulus. Bukan karena kasihan pada keadaannya yang
lumpuh!” ujarku tegas, mulai lelah pada semua kekhawatiran dan
tuduhan-tuduhannya yang tidak masuk akal. Mengapa sekarang ia ikut bersikap
dramatis seperti wanita-wanita picisan yang murahan itu?! Winda yang ku kenal
adalah Winda yang tegas dan tegar. Bukan gadis yang suka merengek seperti ini.
“Kalau
begitu, jangan-jangan kamu justru akan meninggalkanku ketika aku lumpuh?! Kamu
sudah direpotkan dengan Lily yang lumpuh, jika aku juga lumpuh, tentu semuanya
akan semakin berantakan!”
Berantakan?
Ya! Tapi tidak seperti yang ia asumsikan.
“Kamu
pasti akan meninggalkanku.” Katanya lebih dramatis lagi. “Lalu apa yang harus
aku lakukan?”
“Winda!”
kami sudah berada di jalan tol ketika aku membentaknya. Ia menangis sesenggukan
di kursinya, benar-benar bukan Winda yang selama ini ku kenali. Entah dimana ia
menyembunyikan seluruh sisi itu dariku selama ini. “Dengar, apapun yang terjadi
aku nggak akan meninggalkamu. Bahkan walau kamu lumpuh sekalipun.” Aku harap
dia mengerti. Karena aku benar-benar tulus dengan apa yang ku katakan.
Winda
mengangkat wajahnya, matanya kembali menunjukan sisi tegasnya yang selalu
mempesona di mataku. “Baik.” Katanya dengan tegas. “Kalau begitu, mari
buktikan!”
Aku
mengernyit bingung, dan terlalu syok dengan apa yang terjadi setelah itu.
Dengan cepat Winda melepas sabuk pengamannya, lalu memutar kemudi yang ada di
tanganku. Aku terlalu bingung dengan apa yang ia lakukan, dan kejadiannya
terlalu cepat. hingga ketika tersadar, aku sudah terlambat. Kami sudah berada
di arah berlawanan, berhadapan langsung dengan sebuah bis yang melaju cepat.
Tepat beberapa meter di depan kami.
Lily
akan menangis lebih kencang jika kehilangan sahabat terbaiknya, itulah yang
kupikirkan ketika menarik tubuh Winda yang terlihat siap menantang maut,
melindunginya dengan tubuhku sendiri. Tapi aku tidak bisa membiarkannya, aku
tidak ingin gadis yang paling ku cintai menangis. Aku terlalu mencintai Lily,
aku terlalu mencintainya hingga tidak ingin mengecewakannya.
***
Sentuhan
lembut diwajahku mengusik ketenanganku. Aku tersadar, namun masih didalam
kegelapan. Hanya bisa mendengar suara orang-orang yang berada di sekelilingku.
Jemariku mati rasa, tapi samar-samar aku bisa merasakan seseorang mengecup
punggung tanganku. Ia membelai lagi tanganku, membersihkan dari tetesan air
yang membasahinya.
“Sayang…”
katanya dengan sangat pelan. Aku tau itu Lily. Aku mengenali suaranya seperti
aku mengenali diriku sendiri. Gadis pertama yang ku cintai dengan sepenuh
hatiku. “Kenapa…” kata-katanya terpotong isakan lirih yang membuatku merasa
seperti pengecut. Tercambuk rasa sakit pada tubuhku yang mati rasa. Sesuatu di
dalam diriku terasa seperti tertarik. Membuat nafasku tersenggal kehabisan
udara, tapi aku masih bisa mendengar pertanyaan terakhir dari bibir manisnya,
sebelum teriakan namaku memeuhi ruangan itu, tepat ketika aku hilang dalam
kegelapan, selamanya.
“Kenapa harus Winda?”
The
end
1 komentar:
Zi sumpah gak rela cm segini aja... Lanjutin, tanggung jawab, gak mau nanggung begini crtanya (˘̯˘ )
Posting Komentar