Plak!
Sebuah tamparan keras jatuh telak di
pipi kiriku, meninggalkan rasa menyengat yang membuat dadaku langsung mendidih,
marah. Aku meraba pipiku yang mungkin memerah itu, lalu membulatkan mataku pada
wanita yang masih berdiri kaku di hadapanku. Matanya juga memerah, nyalang
diamuk amarah. Bibirnya berkedut, terlalu murka untuk melontarkan makian, atau
mungkin sedang mempersiapkan sebuah semburan yang bisa langsung
menenggelamkanku pada kata-kata tajamnya.
Suasana di kamar kontrakanku mendadak
hening, semuanya sunyi senyap, bahkan detakan jarum jam dinding pun tampak
terdengar sembunyi-sembunyi di balik dinding yang membisu. Mulutku bungkam,
lagi pula apa yang bisa ku katakan?
“Jalang.” Hanya itu yang terdengar.
Berupa bisikan, tipis dan telak menusuk jantung. Tubuh angkuh wanita di
hadapanku bergetar hebat, mungkin sedang berdebat dengan keinginannya untuk
menamparku lagi, atau bahkan sekarang dia ingin membunuhku? Tapi apa peduliku?
Hujan di luar sana mulai turun
rintik-rintik, menambah dramatis keadaan saat ini. Tidak ada petir, hanya
sekedar hujan berskala rendah, yang mungkin akan bertahan sampai esok hari,
atau esok lusa, atau selamanya. Tapi siapa yang peduli?
Aku duduk di atas ranjang, menghadap
kearahnya, sedang wanita itu berdiri di depanku, begitu mudah jika ia ingin
menamparku lagi. Mungkin ingin menjejaki pipiku yang lain dengan jemari
tangannya yang panjang. Aku sudah tidak mau ambil pusing.
“Wanita jalang!” desisnya lagi. kali ini
dibarengi tetesan air mata. Dalam hati aku mulai bertanya-tanya, mengapa dia
yang menangis, bukankah dia baru saja menamparku? Seharusnya aku yang menangis,
kan? ah, semakin membingungkan.
Lalu tiba-tiba saja ia menarik
tangannya, menarik tubuhnya, menjauh, mundur dan bertumpu pada meja kayu
tempatku meletakan tumpukan buku-bukuku.
“Kamu pikir permainan apa yang sedang
kamu ikuti?” tanyanya, nada suaranya terdengar lemah, mungkin lelah. Aku tidak
yakin. “Demi Tuhan De, kamu sudah dewasa! Sudah 21 tahun, kamu seharusnya
mengerti semuanya. Bukannya malah bermain-main seenaknya seperti ini!” aku
masih membulatkan mataku padanya, enggan berkomentar. Lalu ia berkata lagi,
lebih frustasi, “kamu cantik. Kamu sudah mapan, tapi mengapa kamu melakukan hal
sekeji itu?! apa itu impian masa kecilmu? Menjadi pelacur?!”
Nah. Aku merasakan sebuah potongan kayu
tumpul merobek dadaku dengan paksa. Sisi-sisinya yang kasar mengoyak lapisan
demi lapisan dagingku dengan kasar, memutus semua aliran darah di sana, lalu
menghujam jantungku.
“Apa yang akan dikatakan ibu dan bapak
kalau tau putrinya melacur di Jakarta?! Apa yang akan mereka tanyakan kepada
mbak?! Harus menjawab apa mbak ketika bertemu di akhirat nanti?!” ia menangis
sendiri, di kamar kontrakanku yang sepi.
Di luar masih hujan, mungkin sampai
esok, tapi siapa yang peduli?!
“Ibu selalu berkata bahwa kelak kamu
akan menjadi seorang wanita yang cantik, dan ibu benar. Kamu lebih cantik dari
mbak. Kamu lebih pintar, kamu lebih sukses… tapi kenapa De? Kenapa harus
begini?” matanya sembab, kini ia berbicara sendiri. “Karirmu masih panjang De,
kamu masih bisa meraih cita-cita mu lebih tinggi lagi. Tapi sekarang kamu
merusak semuanya!” lalu terdiam, menghela nafas panjang, melanjutkannya lagi,
“dia bahkan hampir setua ibu, 48 tahun. Apa ini yang sebenarnya kamu harapkan
De? Menikahi pria kaya yang sudah tua, lalu menikmati hartanya ketika ia mati?!
Begitukah?! Jawab De!!!!” ia mengguncang-guncangkan bahuku dengan keras.
Menunggu tubuh lunglaiku melakukan hal lain, selain melengos tak bertenaga di
atas ranjangku.
Lalu ia melangkah mundur lagi, menangis
sesenggukan sambil memeluk tubuhnya sendiri. Aku masih menatapnya, menunggu
hujan di luar sana menetes lebih deras, membuat riak kecil di kobangan air di
jalan-jalan.
“Seharusnya aku tau, sejak awal, ketika
kamu mendekati internis itu, seharusnya aku tau! Seharusnya aku bisa mencegahmu
sejak awal! Wanita macam apa kamu?! Semua orang membicarakanmu! Menyebutmu
jalang!!”
Dan dia juga.
Semua orang.
Hujan di luar sana belum mereda, tapi
tangisnya sudah menghilang, histerianya menyusut, menyisakan jejak-jejak
kegalauan dalam gumaman-gumaman semunya. “Dea fayaditha, seorang manager real
estate muda yang cantik, berumur awal 21 tahun, mengencani seorang internis tua
berumur 48 tahun untuk mengincar hartanya.” Gumamnya sarkastis, seperti membaca
sebuah headline surat kabar, namun dengan nada miris. Sebuah tawa hambar
mengambang di dalam keheningan malam.
Hujan… hujan… kapan berhenti? siapa yang
peduli?
Mungkin katak itu peduli. Siapa yang
tahu?
“Katakan pada mbak, apa ada pria lain?
Kepada siapa kamu menjajakan tubuh molekmu selain pada internis tua itu?!
katakan pada mbak!!!” bentakan itu seperti meledak dikepalaku. Membuat semuanya
berantakan, kosong. “Kepada siapa de??” tanyanya, lirih.
Tapi deringan ponsel yang ia simpan di
saku celananya mengalihkan pandangannya untuk sesaat. Ia mengangkat telepon
itu, entah telepon dari siapa. Lalu lima belas detik berlalu begitu saja.
Wajahnya berubah-rubah warna, bukan pelangi, namun kekelaman. Seperti mendung
yang terbiaskan malam, lalu gelap dirundung hitam.
Tidak ada kata-kata lain. Padahal di
luar hujan masih sama derasnya, kapasitas sedang, merata ke semua penjuru
daerah. Tamparan yang kupikir akan kembali datang tergantikan oleh sebuah
pelukan erat.
Tidak ada kata-kata, tapi tangis itu
pecah berantakan. Meledak. Dan hujan masih turun dengan kapasitasnya yang sama.
Suara katak menggema di bawah hujan,
entah bernyanyi atau bersorak. Ramai memadati melodi malam. Dan aku tidak ingin
diam, rindu untuk turut bernyanyi di bawah guyuran hujan, seperti masa lalu.
“Aku mencintai dia.” Itu sebuah
pernyataan yang tulus, benar adanya. “Mungkin aku merindukan sosoknya, yang
melindungiku seperti seorang ayah yang selalu melindungi putrinya, yang
menyayangiku tanpa sebuah alasan yang berarti. Mencintaiku apa adanya.” wanita
itu masih menangis, sama seperti hujan di luar sana, dan katak itu bersuara
lebih keras lagi. entah bernyanyi atau bersorak.
“Ia mengajariku banyak hal, membimbingku
menjadi sosok yang lebih bijak dalam menyikapi kehidupan, menjadi lebih dewasa,
menjadi sosok yang seperti mbak lihat sekarang ini. Ia menjagaku, siang dan
malam, menemani tidurku, memastikan bahwa tidak ada mimpi buruk yang
menyergapku ketika terlelap, menungguku di pagi hari, menemaniku menikmati
mentari pagi. Memastikan bahwa aku mendapatkan hal yang terbaik pada hari itu,
begitupun untuk keesokan harinya. Jika masih memilikinya. ”
Hujan… hujan… turunlah lebih deras.
“Aku memiliki berjuta alasan untuk
mencintainya. Tapi tak seorang pun peduli, bahkan diriku sendiri. Karena,
bahkan jika katak itu bisa mengerti, mungkin ia akan mengatakan hal yang sama.
Itu bukan cinta, melainkan sebuah kewajiban, untuk seorang internis bijak pada pasiennya
yang sekarat.”
Di luar masih hujan, mungkin sampai
esok, atau esok lusa, atau selamanya. Siapa yang peduli? Toh malam ini, hujan
akan menjadi masa lalu dikeesokan harinya. Lalu menghilang, terkenang sejenak,
dan menghilang lagi.
2 komentar:
Zizi (⌣˛⌣")ƪ(˘-˘) thuk!!! Kebiasaan bikin orang penasaran... Ayo dilanjut, tanggung jawab...
Sist huuuft percaya ga ni cerita seperti apa yg w alami, tp selain iya sebagai sosok ayah yg tak pernh ku dapat, dia jg membuatku nyaman itu yg terpenting, hingga membuat ku tuli bisu buta tntang omongan oranglain. Ego kah?
Posting Komentar