Itu
bukan pertama kali aku melihatnya, cukup sering, mungkin beribu kali. Sesosok
pria muda sebayaku, tampan dengan caranya sendiri. Tapi aku tidak yakin sejak
kapan tepatnya rasa itu tiba-tiba saja muncul. Sebuah rasa yang membuatku
selalu ingin pergi ke sekolah lebih pagi hanya agar bisa melihatnya lebih puas
ketika berlatih basket dengan seragam yang ia gulung lengannya. Entah sejak
kapan pula aku memiliki hobi-hobi aneh lainnya. Dari suka melamun sendirian,
hingga berkali-kali pergi ke kantin hanya agar bisa melewati pinggiran lapangan
basket, tempat biasanya ia dengan teman-temannya berkumpul untuk membincangkan
segala sesuatu tentang basket yang tidak aku mengerti.
Ia
menawan.
Entah
sejak kapan aku berpikiran seperti itu. Namun rasanya, hanya sedetik yang lalu,
pertama kalinya aku beradu pandang dengannya, dan tiba-tiba saja aku tau, aku
menyukainya. Aku merindukan senyumannya, aku menyukai caranya tertawa, aku
menyukai caranya berbicara, caranya mengangguk, bahkan caranya mengedipkan
kedua kelopak matanya.
Ia
istimewa.
Pria
yang membuatku tidak bisa berkutik; yang membuatku ingin terus menatap kedua
matanya, menguncinya agar hanya terpaku menatapku. Agar ia tetap hanya
tersenyum kepadaku. untukku.
Berdekatan
dengannya, membuatku merasakan suatu rasa nyaman yang luar biasa. Seperti zat
adiktif, seperti magnet berlawanan arah, saling menarik.
Bersamanya,
meski hanya dalam diam, aku takkan pernah merasa bosan, bahkan jika sampai
seribu tahun berlalu pun, rasa nyaman itu selalu ada. Ia membuatku merasa aman
dengan caranya sendiri. membuatku merasa tidak perlu berlari untuk mencari
pundak lain ketika aku lelah.
Satu
detik yang sangat berharga, yang mengubah seluruh hidupku dalam sekali kedipan.
Andai saja ia tau hal itu.
***
“Aku
minta maaf…”
Aku tidak mengerti.
“Untuk apa?” tanyaku dengan polos. Kami hanya duduk berselang satu meja di
kantin. Aku menatap kedua matanya, seperti biasa, namun ia menghindari
tatapanku. Tangannya bergerak dengan gelisah, seakan menyembunyikan sesuatu.
“Aku
nggak mau terjadi kesalah pahaman di sini. Antara kita berdua.”
Aku
mulai gelisah. Aku tidak bisa membaca pikirannya. Aku tidak mengerti. Tapi aku
hafal seluruh raut wajahnya. Terutama saat ia mulai lelah. Ketika semua yang
ada di benaknya mulai membuatnya ingin menghilang di telan bumi. Ketika mungkin
tidur seribu tahun tidak akan mengubah seluruh masalahnya.
Tapi
aku tidak ingin mendengar. Aku tidak ingin mendengar sama sekali!!
“Sepertinya
kamu sedikit salah paham. Selama ini, aku menganggapmu hanya sekedar teman
biasa. Seperti aku dengan yang lain, atau kamu dengan yang lain. Ku mohon
jangan berpikiran lain. Aku hanya mencoba untuk berbuat baik kepada semua
orang.”
“Jangan
mengharapkan lebih.” Katanya sungguh-sungguh, membuatku sejenak tertegun. Apa
aku sekarang sedang terlihat tertawa di matanya? hingga ia bisa dengan santai
mengatakan seluruh kata itu dengan sangat lugas dan mudah. “Aku hanya ingin
bersahabat dengan semua orang.” tambahnya. “Lagi pula, kamu pasti sudah mendengar
kabar mengenai aku dan Raihana. Ya, itu benar. Aku menyukai Raihana.”
***
Hujan
petang itu, menghapus jejak mimpi yang sempat tersulam. Terisolasi dengan
segenggam nyata yang tak terelak.
Aku
menatap hujan dari balik jendela, mencoba menghapus bayang-bayang punggung
bidangnya ketika akhirnya berjalan menjauh setelah mengatakan apa yang mungkin
ia pikir perlu ia katakan untuk kebaikannya, untuk menyakitiku.
Mungkin
pada akhirnya dia benar. Aku terlalu berharap lebih. Cinta itu selalu membuat
seseorang menjadi lebih bodoh. Menjadi lebih dramatis. Selalu melebih-lebihkan
seluruh rasa yang ada. Mungkin selama ini, rasa itu yang membuatku sedikit
buta, bahwa yang ia lihat bukan hanya kedua bola mataku. Bukan kepada
pandanganku, kedua matanya terkunci. pada gadis lain, mungkin.
Mungkin
aku yang salah mengartikan senyumannya. Mungkin seluruh hormon di dalam jiwa
remajaku yang sudah membuat otakku tumpul untuk lebih bijaksana dalam berpikir.
Atau mungkin aku memang benar-benar bodoh karena mempercayai bahwa dia juga
cukup menyukaiku?
Mungkin
aku terlalu bodoh, atau cinta itu yang membuatku bodoh.
Hujan
petang itu, akan menjadi hujan terindah. Ketika kamu hanyaberbicara kepadaku,
ketika pandangan itu memang ditujukan hanya kepadaku, meski akhirnya hanya
untuk menuai luka yang lebih dalam. Tapi siapa peduli? Toh, gadis itu juga
sudah tidak memiliki hati. lalu bagian mana yang tersakiti?
Mungkin
ia akan menangis sejenak, menangisi kebodohannya, karena mempercayai, bahwa
cinta itu ada. Tapi lalu ia akan segera lupa, seperti biasanya.
1 komentar:
Jleb!
Kejadian sama persis waktu gw kelas satu smp.
Nancep bangggg!
Tks for the nice story little sissy!
^o^
Posting Komentar