ZAHRA
AKU BERJALAN PERLAHAN menuju kamar Amy, kemudian
berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Ia tidak ada di panti, namun ia sudah
memberikan kunci pintu kamarnya padaku. Tampaknya ia sudah benar-benar percaya
padaku, atau mungkin ia tau jika sesekali aku akan masuk ke dalam kamarnya
sekedar untuk melihat bingkai foto yang tersimpan di meja kerjanya.
Aku memasuki kamar bernuansa pink itu dengan
perlahan. Ada sebuah ranjang besar di bagian pojok ruangan, menyatu dengan
dinding dan meja kecil di sampingnya. Ada sebuah lemari dua pintu berada di
depan ranjang, dan meja besar tempatnya menyimpan buku-buku mengajarnya berada
di sebelah kiri ranjangnya. Aku berjalan perlahan hingga sampai ke depan meja
itu. Cahaya rembulan yang masuk dari jendela besar di kamarnya membuatku enggan
menyalakan lampu. Aku lebih senang seperti ini, terdiam sendiri dalam
kegelapan.
Sebuah pigura indah menarik perhatianku. Aku
meraihnya dan meraba permukaan foto itu dengan perlahan, seakan aku bisa meraba
dan menyentuh sosok-sosok di dalamnya, sosok-sosok yang tengah tersenyum penuh
kebahagiaan. Aku tersenyum tipis dan meletakan foto itu kembali ke atas meja,
kemudian menghela nafas panjang sebelum berlalu pergi.
Cukup sudah untuk hari ini.
Sebenarnya, aku tidak pernah mengerti dengan jalan
pikiranku akhir-akhir ini. Seakan-akan banyak hal yang tidak sinkron dalam
benak dan hatiku. Semuanya tampak berantakan, dan membuatku semakin lelah. Aku
akan sangat terluka ketika melihat foto itu, seakan-akan menyayat kulitku yang
masih berdarah, namun aku tidak bisa berhenti menatapnya. Meski hanya untuk
sekedar meyakinkan diri sendiri bahwa pria itu, cinta pertamaku, kini sudah
merasa benar-benar bahagia dengan kekasihnya.
Well, ironis memang. Tapi begitulah
kenyataannya. Aku jatuh ketika pertama kali menemukan kisah cinta pertama yang
bisa membuatku berubah tiga ratus enam puluh derajat. Aku masih bisa merasakan
rona bahagia ketika ia menggenggam tanganku, aku masih bisa mendengarkan suara
tawanya yang renyah di telingaku, bahkan senyuman menawannya, tatapan
hangatnya, dan air mata putus asa nya. Aku masih mengingat semuanya dengan
sangat jelas, seakan otakku memang diprogram hanya untuk memikirkannya. Namun
kini dia sudah menjadi milik orang lain, milik gadis yang lebih sempurna dari
padaku. Sosok yang ku yakin akan selalu menjadi pusat dunianya.
Langkahku terhenti ketika melihat sosok bibi
berdiri di depan pintu kamar Amy, ia menatapku dengan pandangan sedih.
Buru-buru ku hapus sisa-sisa air mata yang sempat menetes beberapa saat yang
lalu.
“Aku merindukan Amy,” ujarku mejawab pandangan
sedihnya. Ia mengangguk dan berlalu begitu saja, dan itu justru membuatku
merasa tidak puas. Aku merasa perlu menegaskan lagi padanya, meski ia sama
sekali tidak meminta penegasan atau penjelasan apapun padaku. Tapi aku ingin ia
benar-benar mengerti bahwa aku merindukan Amy, bukan merindukan sosok yang
sempat menjadi pangeran hatiku, dan kini menikah dengan orang lain!
***
“Kita akan menanam apa hari ini kak?” Tanya
seorang bocah berpeci hitam padaku. Aku yang masih mematung di depan ruang guru
langsung tersentak kaget. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali untuk kembali
memusatkan perhatianku pada dunia nyata yang tengah ku tapaki itu.
“Kemarin pak Surya bilang tanaman apa?” ujarku
balik bertanya. Bocah sepuluh tahun itu berpikir sejenak, keningnya tampak
berkerut, dan matanya menyipit sambil melihat ke lantai.
“Pak Surya bilang kita tanam pohon tomat minggu
ini.” Jawab seorang gadis kecil sambil berjalan menghampiri kami. Ia mencium
punggung tanganku dengan santun dan tersenyum manis. Tangan kirinya membawa
kantung kresek hitam yang cukup besar.
Senin ini, karena ada rapat dewan guru maka
murid-murid madrasah dan SMP dilliburkan. Itu adalah satu kesempatan bagus
untuk bermain bersama mereka, karena belakangan aku memang tidak memiliki waktu
libur bersama mereka. Setiap pulang ke bandung, aku pasti harus bertemu dengan
anak-anak panti di dalam kelas, dan melakukan kegiatan belajar-mengajar yang
cukup membosankan, sedang sorenya mereka harus mengikuti kegiatan mengaji
bersama ummi dan pengajar yang lainnya.
Sejak satu bulan yang lalu aku sudah menerapkan
sebuah komunitas baru di panti. Komunitas green
corner yang bergerak dalam bidang penghijauan panti. Well, sebenarnya
kawasan panti sudah cukup asri, namun aku merasa sangat bahagia ketika melihat
bocah-bocah itu tertawa dan sejenak melepaskan penat mereka dengan bermain
tanah dan air yang juga bermanfaat. Kami sudah menanam bibit cabai rawit untuk
keperluan panti, beberapa bibit sawo, mangga dan manggis yang sampai saat ini
masih belum mengalami perubahan, bunga melati, mawar, dan sebuah pohon kenanga
yang mulai tumbuh tinggi. Dengan bantuan pak Surya sebagai guru IPA di SMP,
semuanya terasa semakin mudah. Sayangnya, sejak sibuk melanjutkan kuliah S2 ku
di ciputat, aku mulai kehilangan hari jum’atku yang berharga bersama mereka.
Jadi ketika kebetulan senin ini libur, aku sangat bersemangat untuk kembali
meninjau kebun kecil kami.
Panti asuhan Naura Jannah ini memiliki tiga
gedung utama, yang jika di lihat-lihat posisinya menyerupai leter U. Gedung
utama yang juga merupakan gedung kantor, kamar para pengurus panti, dan ruangan
ummi berada di bagian tengah. Gedung sebelah kanan ditempatkan oleh anak-anak
putri, perpustakaan mini, dan dapur. Sedangkan gedung sebelah kiri meliputi
tempat anak-anak putra, madrasah (yang kini sudah dialokasikan ke tempat lain
atas bantuan pak Darmawan, dan diganti dengan ruang mengaji), dan ruang seni.
Tidak ada yang istimewa dari bangunan tua itu,
di tengah-tengah ketiga bangunan itu terdapat sebuah lapangan tanah yang akan
menjadi kobangan lumpur ketika hujan, namun anak-anak panti bersama Raka dan
Arya sudah membuat jalan setapak mengunakan kerikil untuk menghubungkan ketiga
gedung dengan jalan utama. Ada sebuah pohon jati yang cukup rindang di depan
gedung putri, yang di sekelilingnya di tumbuhi rerumputan pendek yang indah.
Atas inisiatif Amy, akhirnya mereka menanami rumpun mawar di sekeliling pohon
itu, membuat suasana panti yang teduh semakin tampak manis.
Di bagian belakang panti terdapat sebuah lahan
kosong yang sebelumnya hanya digunakan untuk tempat pembakaran sampah dan
sisanya dibiarkan merumput tinggi. Atas persetujuan ummi kami mengubahnya
menjadi green corner kami, dan
Alhamdulillah hasilnya memuaskan.
“Baiklah, kalau begitu sekarang kita akan
menanam pohon tomat!” seruku bersemangat. Kedua bocah kelas enam SD itu
tersenyum lebar. Gadis kecil yang kerap dipanggil Anisa itu langsung
menggandeng tanganku, sedangkan bocah berpeci hitam itu mengambil alih tugas
Anisa untuk membawakan bibit tomat yang Anisa ambil dari gudang. Aku terkekeh
pelan melihat tingkah manis yang tampaknya tidak mereka sadari.
Ketika sampai ke bagian belakang panti,
tampaknya aku terlambat, semua anak tampak asyik dengan tanaman-tanaman mereka.
Beberapa dari merek tampak tengah mengamati tanamanan cabai yang mulai
berbunga, beberpa gadis kecil berjongkok melingkari rimbunan bunga melati,
memunguti melati-melati yang sudah jatuh dari pohonnya, dua gadis berkerudung
hijau dan biru tampak asyik memandang bunga-bunga mawar yang mulai bermekaran.
Sedangkan remaja-remaja putra yang kini duduk di kursi SMP dan SMA tampak sibuk
memaculi tanah untuk lahan tanaman kami yang selanjutnya.
Pak Surya tersenyum ramah ketika melihatku
datang bersama Anisa dan Rafli. “Assalamua’alaikum pak,” sapaku. Bapak paruh
baya itu tersenyum dan membalas salamku. “Bapak tidak ikut rapat?” tanyaku.
“Ah, kan sudah banyak yang mewakilkan, bapak
lebih senang berada di sini.” Ujar pak. Surya sambil memandang ke
sekelilingnya. Aku tersenyum tipis dan turut memandang ke sekitar. “Andai kita
bisa mendapatkan lahan itu,” gumam pak Surya seraya memandang lapangan tak
terurus di luar kompleks panti yang hanya di batasi oleh pagar bambu ala
kadarnya. Aku mendesah pelan. “Sepertinya antusiasme anak-anak ini pada
tumbuhan sangat besar,” ujarnya, kembali tersenyum tipis sambil melihat
bocah-bocah kecil yang berada di sampingnya, tampak asyik dengan bibit baru
mereka.
“Tapi lahan itu milik perusahan besar di
Jakarta, aku tidak yakin kita bisa dengan mudah mendapatkannya.” Gumamku.
“Pernahkah kau membicarakan hal ini pada pak
Darmawan? Mungkin beliau bisa membantu.”
Aku mengailhkan pandanganku pada tiga remaja
putri yang duduk di kelas satu SMP, mereka tampak sibuk mencatat sesuatu di
depan sebuah tumbuhan yang tidak ku kenali, salah satu dari mereka tampak
tertawa renyah ketika melihat temannya menginjak lumpur yang belum mengering dari
hujan kemarin.
“Aku tidak ingin merepotkan pak Darmawan lagi,”
bisikku begitu pelan, bahkan berharap pria berumur 40 tahunan itu tidak
mendengar. Dan sepertinya harapanku terwujud, pak Surya, yang merasa aku enggan
menjawab atau karena melihatku tengah
sibuk dengan pemikiranku sendiri, akhirnya kembali mengalihkan fokusnya pada
sosok bocah-bocah kecil yang tengah menggali lubang kecil untuk bibit tomat.
“Beri jarak sedikit.” Ujarnya pada Bagas, bocah
kelas 6 SD yang sudah hafal juz ke-30. Aku memperhatikan mereka untuk sesaat,
kemudian ikut berjongkok di samping Anisa yang tengah menggali dua lubang untuk
bibit tomatnya.
“Mengapa kau menggali dua lubang?” tanyaku.
“Satu untukku, dan yang satunya untuk Aisah,”
katanya sambil terus menggali. Aku tertegun sejenak, kemudian membantunya
menggali tanah itu. Wajah Anisa sedikit mengkerut jijik ketika melihat cacing
kecil di dalam lubang yang ia gali. Aku terkekeh pelan.
“Tidak apa-apa, ia akan membantu menyuburkan
tanaman kita,” ujarku menenangkan. Anisa menatapku dengan pandangan yang
sedikit tidak percaya.
“Kak Zahra benar,” ujar pak Surya dengan lembut
pada kami. Ia melongok sedikit pada lubang yang dibuat Anisa dan
mengangguk-ngangguk, sebelum menjelaskan kegunaan cacing untuk tanaman kami.
“Kak Zahra!” aku menoleh ketika mendengar
seseorang memanggilku. “Ada yang mencari kakak.” Kata Arini, seorang gadis
berumur 14 tahun yang baru dua tahun ini menjadi anggota keluarga panti. Aku
mengerutkan keningku, namun tidak melontarkan pertanyaan apapun kepadanya.
“Terima kasih Arin,” kataku, dan ia mengangguk
lalu kembali berlari dengan buku di dekapannya. Aku menoleh pada pak Surya yang
tengah menatapku, ia mengangguk seakan mengerti dengan apa yang akan ku
katakan.
“Kakak pergi dulu ya Anisa,” ujarku pada Anisa yang
mulai memasukan benihnya ke dalam lubang dengan bantuan Bagas.
“Iya kak,” jawab Anisa.
Aku beranjak dari lahan yang di beri nama ‘benih
tomat baru’ melewati rumpun bebungaan, dan tanaman-tanaman obat-obatan. Sambil
mencuci tanganku di keran air yang berada di samping pintu belakang panti, aku
kembali memikirkan siapa gerangan yang mencariku. Hm, ini terasa sedikit aneh
karena biasanya yang bertugas menemui tamu adalah ummi atau Amy, namun karena
Ummi sedang pergi mengikuti rapat, dan Amy masih belum pulang dari perjalanan
panjangnya bersama Teuku Arya Pratama, teman pantiku yang juga kekasih Amy
(meski sampai saat ini mereka hanya bilang teman biasa), ke kediaman keluarga
besar Arya di Aceh.
Bibirku sedikit tertarik, membentuk senyuman
simpul ketika mengingat kedua sahabatku itu, Amy dan Arya, entah apa yang
sedang mereka lakukan sekarang. dan rasanya aku ingin sekali menyerbu Amy
dengan ribuan pertanyaan mengenai hubungan mereka. Gadis itu selalu menolak
jika dikatakan memiliki hubunan khusus dengan Arya, tapi lihat kan, dia sama
sekali tidak menolak ketika Arya membawanya menemui keluarga besarnya. Ya
Allah… sepertinya aku akan segera mendapatkan undangan baru. Aku kembali
tersenyum pada pemikiran itu.
Ketika mematikan keran, buku-buku jariku sudah
hampir memutih karena terlalu lama berada di bawah guyuran air, aku mengibaskan
jemariku hingga menyipratkan air ke berbagai arah. Kemudian berjalan perlahan menuju
gedung utama. Langkahku langsung terhenti ketika melihat sebuah mobil hitam
terparkir di depan gedung utama panti, mataku mulai terasa memanas, sekuat
tenaga ku tahan semua gemuruh yang mendadak memenuhi relung hatiku. Sejujurnya,
aku tidak menginginkan semua rasa ini menyerbuku, namun sungguh, aku lelah. Aku
lelah pada semua kata cinta yang palsu itu.
Sosok itu berdiri membelakangiku, tangan kirinya
tersembunyi di dalam saku, sedangkan tangan kanannya menempelkan ponselnya di
telinga, berbicara dengan suara tegas yang bernada memerintah.
Aku berdiri di belakangnya selama beberapa
detik, mataku terus menatap punggungnya yang bidang. Aku sama sekali tidak bisa
menangkap apa yang ia bicarakan di telepon, namun ia jelas tampak sedikit gusar
pada lawan bicaranya.
“LAKUKAN!” teriakan itu menghentakku. Aku mengerjapkan
mataku beberapa kali, menyadarkanku pada dunia nyata lagi, dan ketika tersadar,
hal yang ku inginkan adalah pergi secepatnya dari tempat itu. kemarin ia hampir
saja membunuhku, dan hari ini mungkin dia akan benar-benar membunuhku,
mencekikku sampai mati, dan menunjukan sisi ‘indah’ dari kata cintanya.
Fakta itu membuat tubuhku bergetar karena
ketakutan, dengan cepat aku memutar kakiku, bersiap untuk berlalu secepat
mungkin.
“Kak Zahra aku sudah berhasil!!” teriak Anisa
sambil mengangkat dua tangannya yang kotor karena tanah. Aku meringis
kepadanya, namun sebisa mungkin tetap tersenyum dan mengangguk. Setelah puas
menyeringai padaku gadis kecil itu kembali pergi memasuki gerbang halaman
belakang, mungkin ia hendak mencuci tangannya atau apa, aku sudah tidak peduli.
Yang kini menarik perhatianku adalah perubahan atmosfir di sekelilingku yang
tiba-tiba. Dalam hati aku mulai menghitung sampai ia memanggilku, namun hingga
hitungan ke tujuh, tidak ada panggilan apapun. Aku mulai bertanya-tanya apakah
Raihan tidak menyadari keberadaanku atau dia memang sudah pergi?
“Zahra.” Panggilnya pada hitunganku yang ke dua
puluh tiga. Aku melirik sedikit ke belakang. “Aku mencarimu.”
“Aku tidak ingin menemuimu,” jawabku ketus.
“Aku tidak memintamu menemuiku,” katanya, mataku
menyipit.
“Oke kalau begitu, aku akan segera pergi!”
pekikku kesal, namun ketika hendak berlalu, tangannya menahan tanganku,
mencengkram pergelangn tanganku dengan sangat erat. Aku menatap sinis padanya. Apa
yang sebenarnya pria ini inginkan?!
“Sampai kapan kau akan sadar, jika kau tidak
bisa pergi dariku.”
Aku mendengus jijik, namun cengkramannya terlalu
keras hingga sekuat apapun aku berusaha, aku tidak akan bisa melepaskannya. Tapi
kemudian, ketika teriakan gadis kecil itu menggema di antara kami,
cengkramannya mengendur, aku melirik sosoknya yang tampak menegang, wajahnya
tak terbaca, hanya tersirat sekelebat bayangan lega dan cemas dalam waktu yang
bersamaan.
“Om Raihan!!” teriakan itu kembali terdengar,
kali ini membuatku menoleh kearah gerbang panti, mataku menyipit untuk
memastikan siapa yang datang. dan ketika mobil itu berhenti di depan gerbang,
aku bisa merasakan air mataku tergenang. “Kak Zahra!!!” teriak seorang gadis
kecil berjilbab ungu dari dalam mobil.
Dan air mata itu pun menetes.
3 komentar:
wew yang datang Raka Aisyah Anna kan *ok sok tau hhe
Yach.. Putus, Raka sma anna Ɣªήğ dtg ya.. Sabar Zahra ya. Mudh2n Raihan bsa mbantu mlupakn rsa cinta mu sma Raka.
Hmmm .. pasti si raihan cemburu tuh..
Posting Komentar