RAIHAN
Sejak kecil aku selalu beranggapan bahwa tangis
dan air mata itu hanya diperuntukan bagi orang-orang yang lemah. Sesakit apapun
aku, separah apapun luka yang ku dapatkan dari bocah-bocah brandalan itu, aku
akan selalu menyembunyikan tangisku. Aku ingat, ketika berumur 8 tahun, aku
pernah terluka. Aku bersepeda seperti bocah gila siang itu, berteriak kencang
sambil mengayuh sepedaku kencang-kencang. Ketika melewati jalan turunan, aku
akan membentangkan kedua tangan dan kakiku, bagai layang-layang yang siap
terbang. Turun, dan kembali naik. Terus begitu, hingga paru-paruku kehabisan
cadangan oksigen. Namun aku masih tidak ingin berhenti. setelah menuruni
jalanan yang sama dengan gaya yang sama juga sebanyak 7 kali, aku kembali
mengayuh sepedaku, menanjaki jalanan itu, bersiap melakukan turunan terakhir
dengan gaya yang sedikit berbeda.
Wuss….
Kali ini hembusan angin di sekelilingku semakin
kencang, aku tidak membentangkan kedua tangan dan kakiku, aku justru
memfokuskan mataku, mempercepat kayuhan sepeda ku, hingga rasanya aku bisa
melihat angin itu terbelah. Tepat seperti yang terdapat pada film-film kartun
yang ku tonton di minggu pagi bersama kak Alan.
“Woooo!!!!” teriakku kesetanan. Lalu terus dan
terus melaju semakin kencang, bahkan terlalu kencang. Hingga ketika kucing
kecil itu berlari, aku sama sekali tidak bisa melakukan apa yang seharusnya ku
lakukan. Aku menurunkan kedua kakiku, bukan meraih dan menekan rem yang berada
di genggamanku. Aku memejamkan mataku, bukan membelokan sepedaku kearah lain.
Aku melindasnya hingga mati, bukan menghindarinya. Dan semuanya itu berlalu
begitu saja.
Kakiku terluka karena tergesek aspal, berdarah
di bagian-bagian sisinya. Namun hari itu aku sama sekali tidak ingin menangis,
seperti hari-hari sebelumnya ketika aku pernah juga merasakan luka. Saat itu,
bahkan aku merasa sudah biasa menghadapi sebuah kematian. Lagi pula bukankah
itu hanya seekor kucing kecil tak berguna?!
Tapi saat itu, ketika aku mendengar kematiannya.
Hidupku hancur. Aku sangat mencintai gadis lemah lembut itu. Aku mencintai
keluguannya, aku mencintai senyum malu-malunya, aku mencintai tatapan indahnya,
aku mencintai setiap detail dari dirinya. Ia adalah satu-satunya gadis yang
tidak suka minuman beralkohol di antara sahabat-sahabat wanitanya. Ia memang
seksi, namun jelas tampak risih dengan keseksiannya sendiri. Dan sejujurnya itu
yang membuatku tertarik kepadanya. Terlebih cinta tulusnya yang begitu indah…
entah bagaimana sosoknya yang lemah lembut itu mampu menciptakan cinta yang
sedemikian mempesonanya.
Aku mencintainya, dan aku rela melakukan apapun
untuknya, bahkan meski aku harus mati demi dirinya. Cinta itu membutakanku.
Membuatku dimabuk kepayang. Terlebih ketika aku mendengar ia hamil putraku!
Aku, seorang Reynaldi, tidak pernah menyukai
anak kecil, terlepas dari masa kecilku yang selalu diolok-olok karena tidak
memiliki ayah, dan sederet peristiwa menjijikan lainnya, aku memang tidak
pernah menyukai anak-anak. Tapi ketika mendengar gadis itu mengandung putraku, semuanya
berubah. Ada bulir-bulir kebahagiaan yang aneh dalam hatiku. Yang membuatku
tidak bisa berhenti berteriak kegirangan. Bersorak penuh suka cita!
Berita kematian.
Ya, aku, seorang calon ayah, seorang calon
mempelai pria, mendapat berita kematian calon istri dan calon putranya, tepat
sebulan sebelum hari sacral itu berlangsung. Berkali-kali aku mencoba membunuh
diriku sendiri, merasa tidak sanggup melanjutkan hidupku tanpa kedua sosok yang
paling ku cintai.
Tapi Tuhan tidak membiarkanku mati!!!!
Aku sangat membencinya karena itu, hingga
akhirnya aku menyerah. Kemudian mulai menyusun rencana lain untuk menyakiti
Tuhan. Aku bahkan bersekutu dengan mafia sadis yang tega membunuh putra dan
menantunya sendiri, untuk menghancurkan kakekku, menghancurkan ibuku,
menghancurkan yayasan islam yang mereka miliki.
Persetan dengan mereka semua!
Namun aku mencintai Alan. Meski terkadang aku
selalu merasa iri kepadanya yang mendapatkan seluruh perhatian kakek dan ibu.
Tapi aku mencintainya. Meski kini aku tau ia bukan kakak kandungku. Tapi aku
tetap mencintainya, karena dia juga mencintai Christine.
“Dimana?” tanyaku pelan. Gadis di sampingku
menoleh. “Putra kita?”
“Aku menggugurkannya. Maafkan aku… saat itu aku
benar-benar frustasi. Aku tidak tau apa yang harus ku lakukan…” ujarnya sambil
terisak. Aku membelai lembut kepalanya, namun tidak sekalipun aku menatap
matanya. Andai saja aku mengetahui hal ini lebih awal, andai saja aku
menyadarinya ketika kami bertemu di bandara beberapa tahun yang lalu… andai
saja begitu… mungkin aku tidak perlu menyakiti hati lain.
Bukankah sebelumnya ia tidak mencintaiku? Aku
yang memaksanya mencintaiku, dan kini ia akan hancur karena diriku.
Aku memandang ibu dan kakek dengan pandangan
kosong. Lelah pada kenyataan pahit yang terus tersembunyi di balik tatapan
mereka. Rasanya sudah lima ratus kali aku mendengar ibu memohon maaf pada
Christine, dan itu mulai membuatku bertanya-tanya, sebenarnya apa yang sudah
mereka lakukan hingga rasanya permintaan maaf itu tidak pernah cukup terucap.
Tapi aku tidak memiliki kesempatan untuk berbicara. Otakku terlalu letih untuk
berpikir, hingga rasanya ia tidak akan mampu menyiapkan kata-kata jika aku
ingin berbicara. Jadi aku hanya terus membelai kepala Christine, merangkul
pundaknya, menguatkannya, ketika aku merasa benar-benar rapuh.
“Aku bukan lagi Amanda Christine, sejak masuk
islam, ummi mengganti namaku menjadi Amanda Sarah…” tuturnya ketika sudah mulai
tenang. Aku mencoba mengukir namanya di dalam benakku. Sarah… sarah… sarah…
tapi yang terucap oleh hatiku hanya satu nama. Satu nama yang takkan pernah
bisa ku hapus begitu saja. Zahra…
***
“Kita bisa berbicara dipanti.” Ujarku, memecah
keheningan diantara derasnya suara hujan. Namun gadis di hadapanku sama sekali
tidak bergeming. Ia terus menatap keluar jendela, menatap hujan, menatap
kelabu. Pagi-pagi sekali Zahra meneleponku, memintaku untuk menemuinya di kafe
yang terletak 1 kilo dari panti pukul sepuluh pagi. Aku tidak mengerti, namun
aku tidak memiliki kesempatan untuk bertanya. Dan semenjak kedatangan Christine
tiga hari yang lalu, aku memang tidak pernah bisa berbicara dengan Zahra, ia
selalu menghindariku, atau berpura-pura tidak melihatku.
Kafe pagi itu cukup sepi, hanya ada dua meja
lain yang terisi selain meja kami. Seorang pelayan tampak tengah asyik
berbincang dengan penjaga kasir, membicarakan acara tv semalam. Seorang bapak
tua duduk sendiri di meja paling depan, ditemani dengan secangkir kopi hitam
yang masih mengepul, serta Koran yang terbentang lebar di depan wajah tuanya.
Sama sekali tidak terganggu oleh tawa cekikikan sang pramusaji dan penjaga
kasir.
Aku berdeham pelan, kemudian mengikuti arah
pandangan gadis berkerudung hitam di hadapanku. Menatap hujan. Semuanya seakan
menjadi kabur di mataku, tertutup kabut, tertutup percikan hujan. Begitu
derasnya, hingga aku khawatir rumah-rumah itu akan hancur jika terus diserbu
hujan yang sedemikian lebatnya.
Kami masih terdiam hingga sepuluh menit
kemudian. Hanya menatap hujan, berharap serbuannya akan segera berhenti, hingga
aku bisa melihat matahari. Melihat pelangi.
“Terima kasih sudah datang.” Karena terlalu
focus dengan suara hujan itu, ketika akhirnya mendengar suaranya jantungku
terasa sedikit tersentak. Aku langsung terfokus kepadanya, namun ia tampak
masih terlalu asik memandang hujan. Wajah cantiknya tampak angkuh, tampak
tenang, dan normal.
Gadis itu tetap cantik seperti biasa, begitu
anggun dengan segala keangkuhannya. Ia memang terlihat sedikit pucat dan lebih
kurus, namun ia terlihat baik-baik saja. Dan itu membuatku merasa sedikit
tenang. Aku tau ia akan baik-baik saja, ia pasti bisa bertahan sejenak hingga
aku menyelesaikan seluruh permasalahan ini, hingga aku bisa kembali meraih
jemarinya, mengukir pelangi indah dimatanya.
“Kita bisa berbicara dipanti,” ujarku mengulangi
pernyataan awalku. Namun lagi-lagi ia tidak menggubris kata-kataku.
“Aku tidak ingin ada yang melihat, dan menimbulkan
sebuah gossip, terlebih fitnah.” Ujarnya seraya berbalik menatapku sekilas,
lalu meraih cangkir teh di hadapannya.
“Zahra??” aku mengernyit tidak mengerti.
“Sudahlah, aku tidak ingin berlama-lama di sini.
Aku harus segera pergi ke kampus. Dengar, aku hanya ingin mengucapkan selamat
atas kau dan Amy.” Ujarnya dingin.
“Zahra, aku mencintaimu!” ujarku tegas. Gadis
itu mendengus, tersenyum mencibir kepada cangkirnya. “Lagi pula Christine,
maksudku Amy… dia mencintai Arya. Anna sudah menceritakan semuanya kepadaku.”
“Tapi kau harus bertanggung jawab. Kau yang
sudah membuatnya terluka seperti ini. Merusaknya.” Untuk kali pertamanya di
pagi itu ia menatap mataku. Mata itu terasa begitu dingin, tatapannya yang
tajam seakan mampu membekukan ku, mengunciku sedemikian rupa. “Seharusnya kau
tau… seorang wanita sangat rentan pecah. Wanita bukanlah genangan air yang bisa
kau temui di dalam bejana, wanita tidak bisa kembali seperti semula ketika kau
sudah menyentuhnya. Tidak seperti genangan air yang akan kembali tenang. Wanita
itu seperti cermin, sekali kau memecahkannya, maka kau tidak akan pernah bisa
membuatnya kembali seperti semula, meski kau sudah merekatkannya dengan benar.
Retakan itu tidak akan pernah hilang.”
Gadis itu kembali menunjukan sebuah senyuman
sinis yang cantik namun menyakitkan. “Kau sudah menghancurkan kehormatannya.”
Bisiknya dengan pandangan terluka. Dan kata-kata itu membuat tubuhku sendiri
hancur. Kemarahan perlahan mulai memenuhiku.
Aku juga memebenci diriku! Aku muak pada diriku
sendiri!
“Dan lagi pula, kau harus tau. Sejak awal aku
tidak pernah mencintaimu. Sama sekali tidak. Aku melakukannya karena aku merasa
bersalah, karena aku merasa iba kepadamu. Kau tau, sejak kecelakaan itu, kau
benar-benar terlihat kacau. Jadi rasanya wajar bagiku untuk merasa kasihan
kepadamu. Dan bahkan semua orang pun merasa iba kepadamu. Melihat keangkuhanmu
yang perlahan hancur. Itulah mengapa aku tidak bisa membiarkanmu pergi saat
itu.”
Aku ternganga mendengar perkataannya, kepalaku
terasa pening karena amarah yang semakin menggunung di kepalaku. Lagi-lagi ia
tersenyum sinis. “Aku harap kau tidak salah mengartikan sikap ibaku selama ini
kepadamu.” Tambahnya sambil menyesap tehnya. “Dan saat ini, ketika melihatmu
sudah bisa kembali berjalan. Aku ucapkan selamat. Ternyata Tuhan masih berbaik
hati kepadamu, tapi aku sudah selesai. Kau sudah tidak perlu dikasihani lagi.
Dan lagi pula aku juga sudah muak berpura-pura baik kepadamu.” Ia meletakan
cangkirnya dengan perlahan. “Kau bisa pergi dengan Amy. Aku tidak peduli.”
“Tapi kau menyukaiku.”
“Ah… ternyata aktingku memang bagus. Bahkan kau
tidak bisa membedakan antara sikap kasihan dan suka. Maafkan aku, tapi aku sama
sekali tidak bisa menyukai pria sepertimu. Bahkan aku masih berharap, kau bisa
membawa kematian itu bersamamu.” Bisiknya. “Tapi tidak sekejam itu kali ini.
Aku lelah terjebak dalam rasa bersalah karena sebuah doa, meski aku sangat
menikmati kekalahanmu.”
Aku tidak pernah ingin menangis, tidak sama
sekali.
“Pergilah, aku sudah selesai bicara. Temuilah
Amy, perbaiki kehormatannya yang sudah kau injak-injak.” Ia menyandarkan
punggungnya ke sandaran kursi, lalu kembali menoleh kepada hujan.
Aku berdiri secepat yang ku bisa, mencoba
menjaga sisa-sisa kehormatan yang kumiliki di hadapannya. Kemudian dengan cepat
aku melangkah pergi dari kafe itu, menerobos serbuan hujan yang semakin
bertambah deras. Menyembunyikan air mataku diantara tetesan-tetsan hujan yang
membisu itu.
5 komentar:
ya ampyuuuuuun Ray jangan nyerah -_-
Ya ampun......
Nyesek banget bacanya....
:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º
Kenapa semuanya jadi begini?? Kenapa mereka berdua harus menderita, menangis??
Cherry (⌣˛⌣")ƪ(˘-˘) thuk!!!
Pokoknya Raihan&Zahra harus bersatu, kasihan mereka sudah menderita.... :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º
°·♡·♥τнänkчöü♥·♡·° ya cherry sayang
(˘⌣˘)ε˘`)
Ku tunggu pos nya di nanti malam...
nyesek bnget bcnya.
yaampun jangan bwt zahra melepas orang yg ia sayang lg.
hiks
Ziiaaa.. Nyesek bgt.. Hiks.. Ak smpe nangis bcny..:'(
Posting Komentar