ZAHRA
Kau tidak perlu menjelaskan.
Kita semua tau apa yang terjadi
di sini, kita semua tau.
Hanya saja, ku harap kau tidak
lagi melaukan hal itu,
Cukup aku yang tersakiti, cukup
aku…
*sepenggal
surat kecil untuk – takdir*
***
Brak.
Tubuhku ambruk begitu saja ketika pintu kafe itu
tertutup di belakang punggungnya. Hilang sudah seluruh kekuatanku, hilang
sudah… Air mataku perlahan menetes, membanjiri setiap relung hatiku yang terasa
begitu pedih. Aku menangis sesenggukan di kursiku, entah menangisi apa, namun
jelas semuanya terasa begitu menyakitkan.
“Zahra… sst… tenanglah…” bisik Risa di
sampingku. Ia meraih pundakku, menahanku agar tetap tegar. Hanna menggenggam
jemariku, sedang Andhini membelai bahuku. Aku tau mereka semua berada di balik
konter kasir sejak tadi, aku yang meminta mereka untuk datang. Dan itu
membuatku sedikit merasa tenang.
“Aku melakukan hal yang benar, bukan?” tanyaku
perih ditengah isakanku. Risa mempererat rangkulannya, mengucapkan beberapa
kata yang menenangkan. Namun suara hujan itu terlalu deras, membuatku tidak
bisa mendengar apapun kecuali kesunyian dan rasa perih itu.
“Zahra…” bisik Hanna, air matanya perlahan
menetes.
“Ya Allah… bunuh saja aku, bunuh aku…!!”
“Zahra istigfar, kau tidak boleh berkata demikian…”
Mungkin aku memang tidak boleh berkata demikian,
tapi aku tidak memiliki doa lain yang ingin ku katakan, tidak ada satu
permintaanpun yang ingin ku utarakan, kecuali kematian itu.
Maafkan
aku, maafkan aku karena berkata demikian. Kau tidak tau bagaimana perihnya itu.
kau tidak pernah tau. Kau benar, aku mencintaimu, kau adalah pria teristimewa,
yang dengan mudahnya memutar balikan hidupku. Membuat semuanya kembali
berwarna. Kau adalah pria itu.
Aku
mencintaimu, bahkan meski kau melarangku, aku tidak bisa berhenti mencintaimu.
Setiap hal dari dirimu membuatku bertekuk lutut pada rasa yang selalu ku
hindari. Semuanya, tanpa terkecuali.
Melihatmu
terluka, menangis seperti itu, adalah hal yang tidak pernah terlintas dalam
benakku. Kau tidak pernah tau bagaimana kata-kata itu juga menyakiti hatiku.
Membunuh jiwaku. Maafkan aku, tapi hanya dengan ini aku bisa membuatmu berhenti
di sini. Aku tau kau mencintaiku, aku tau. Dan aku berterima kasih atas hal
itu. Tapi kisah kita hanya sampai di sini. Maafkan aku.
***
“Kau bisa ikut denganku.” Ujar Andhini ketika
hari menjelang sore. Setelah puas menangis lima jam tanpa henti, akhirnya kini
aku bisa lebih tenang. Kami masih duduk di kursi yang sama. Masih dengan
cangkir yang sama sejak beberapa jam yang lalu, masih dengan luka yang sama.
Aku menggeleng dan tersenyum tipis kepadanya.
“Kau sedang dipingit bodoh, aku baik-baik saja. Justru hari ini aku merasa
benar-benar tidak enak kepadamu karena membuatmu merusak acara pingitan itu.”
“Jangan bodoh! Ketika kau seperti ini, meski itu
adalah hari pernikahanku, aku pasti akan menemanimu.”
“Terima kasih,” bisikku tulus. “Tapi aku akan
baik-baik saja. Lagi pula aku sudah puas menangis. Aku hanya membutuhkan
sedikit waktu saja, lalu aku akan baik-baik saja seperti sedia kala. Kalian tau
siapa aku, kan? Aku bukan gadis selemah itu. tapi terima kasih banyak atas hari
ini, kalian benar-benar membuatku merasa lebih baik.”
“Kau bisa ikut denganku,” ujar Hanna lembut.
“Hai girls…
aku menghargai seluruh niat baik kalian. Tapi aku akan baik-baik saja, ku mohon
tenanglah.” Aku menghela nafas panjang, kemudian menatap langit yang sudah lama
menghentikan hujannya. “Aku harus segera pergi. Aku harus menemui orang-orang
yang sangat penting dalam hidupku. Bukan berarti kalian tidak penting. Kalian
adalah bintang-bintang penerang kelamnya hatiku. Terima kasih. Tapi sekarang
aku harus pergi, setelah selesai aku pasti akan langsung kembali ke Jakarta.”
“Aku bisa menemanimu.” Ujar Risa sebelum aku
beranjak dari kursiku. Aku menggeleng dan tersenyum kepada mereka semua.
“Mungkin nanti, saat ini… aku harus menemuinya
sendiri. Assalamualaikum…”
***
Hembusan angin petang itu begitu
lembut, sejenak membuai jiwaku dalam angan. Aku memejamkan mataku, mencoba
menyesapi keheningan lebih dalam lagi, meraih ketenangan yang terasa begitu
langka. Kemudian aku kembali membuka mataku dihelaan nafas ketujuh, menatap
pusaran itu dengan penuh kasih.
“Assalamualaikum ayah… bunda…” salamku, dan
seketika itu juga air mataku menetes. Kerinduan akan dekapan mereka berdua yang
telah pergi terasa begitu menyakitkan. Menekan dadaku hingga membuatku sulit
bernafas. Aku membelai batu nisan yang bertulisan nama Ayah dan ibu dengan
penuh kasih. “Apa kabar kalian?” tanyaku dengan suara bergetar.
Ya
allah aku merindukan mereka… aku merindukan kedua orang tuaku…
Bukankah mereka bilang kau tidak akan memberikan
cobaan diluar ambang batas mahlukmu? Tapi mengapa kau melakukan ini kepadaku?
Apa menurutmu aku sekuat itu? apa menurutmu aku bisa melaluinya???
“Ayah… bunda… aku sendirian. Mengapa kalian tega
meninggalkanku seperti ini… aku sendirian di sini, terluka sedalam-dalamnya.
Aku ingin kalian kembali. Aku takut… aku kesepian. Aku rindu dekapan ayah, aku
rindu kata-kata menenangkan bunda… aku merindukan kalian.
“Hidup itu begitu kejam ayah. Membuatku lelah.
Ia mempermainkanku, menyanjungku dengan keindahan cinta, menerbangkan mimpiku
hingga jauh mencapai bintang-bintang. Tapi pada akhirnya ia juga lah yang
menjatuhkanku, menghancurkan harapku dalam sekali gerakan. Aku terluka
sedemikian dalamnya, hingga aku tidak bisa bergerak lagi. Aku ingin menyerah
ayah… aku lelah… maafkan aku. Aku tau ayah akan membenciku karena menyerah.
Tapi apa lagi yang bisa ku lakukan, aku sendirian, aku bahkan tidak memiliki
tempat untuk kembali.
“Bunda… apa hidupku akan selalu begini? Mereka
bilang untuk bertahan. Tapi takdir seakan begitu senang melihatku kembali
terjatuh.
“Aku rindu bunda… aku rindu…
“Bunda… dekap aku, biarkan aku kembali merasakan
ketenangan itu, bantu aku untuk terus berdiri. Bantu aku…
“Kenapa kalian pergi begitu cepat? Apa aku
seburuk itu hingga kalian akhirnya meninggalkanku? Atau apa aku sama sekali
tidak penting bagi kalian, hingga kini aku sendiri menghadapi hidup???
“Ah… tapi kalian tenang saja. Hatiku sudah habis
tergerogoti oleh luka. Kalian tenang saja, aku sudah kebas, mati rasa. Tidak
ada lagi yang bisa melukai hati putri kalian. Aku baik-baik saja. Selalu begitu
pada akhirnya.
“Mungkin aku akan bertahan sebentar lagi, belum
puas menghitung hujan. Nanti… ketika aku benar-benar lelah, ku harap kalian
menyiapkan tempat untukku kembali. Assalamualaikum ayah bunda…”
“Zahra…” panggilan itu menghentakku, namun aku
tidak ingin menoleh. Lelah melihat tatapan iba dari mereka semua. “Risa
meneleponku, mereka semua mengkhawatirkanmu. Dan memintaku mencarimu…”
tuturnya.
“Lalu bagaimana bisa kau tau bahwa aku di sini…”
“Aku…”
“Tidak. Tidak perlu dijawab! Aku tau apa yang
akan kau katakan. Karena kau tau bahwa aku tidak memiliki tempat lain untuk
didatangi bukan? Aku bahkan tidak memiliki rumah untuk kembali. Aku sendirian.”
Ujarku sambil terus mengusap nisan kedua orang tuaku.
“Kau tidak sendirian.”
“Kau pasti melihatnya.” Potongku. “Kau pasti
melihat bagaimana putus asanya aku hingga akhirnya menangis seperti ini di
depan nisan-nisan yang terus membisu ini.”
“Kau masih memilikki kami, kau masih memiliki
bibi, aku, anna, sahabat-sahabatmu, bahkan anak-anak panti yang mencintaimu.”
“Berhenti mengatakan cinta. Aku mulai lelah,
pada akhirnya cinta hanya akan menuai luka. Lalu apakah aku harus menunggu
kalian melukaiku satu persatu? Atau aku sendiri yang membuat urutanya agar
kalian bisa dengan lebih teratur menyakitiku? Well, mungkin itu juga akan
memberikanku sedikit waktu untuk bernafas menghadapi semua siksaan memilukan
itu.” tuturku dengan wajah polos. Raka mengulurkan tangannya untuk meraihku,
namun aku menggeleng dan mundur.
“Aku masih belum membuat urutannya. Kau tidak
bisa dengan semudah itu melukaiku.” Bisikku dengan suara bergetar.
“Hentikan perkataanmu. Sekarang hampir magrib,
lebih baik kita pulang.”
“Seakan aku punya rumah saja.” Dengusku
sarkastis.
“Kita masih memiliki panti.” ujar Raka mulai
kesal.
“Ah iya, tempat penampungan itu, kau betul
juga.” ujarku seraya berjalan melewati Raka yang kini justru terpaku berdiri di
tempatnya. “Ayo cepat, kalau sampai rumah penampungan itu tidak lagi
menerimaku, aku harus kemana lagi mencari tempat menampungan orang-orang
sepertiku?” tanyaku lugu.
Raka tidak berkata-kata lagi, ia menarik
pergelangan tanganku, membuatku sejenak merasakan luka lain terbuka. Tapi aku
sudah biasa. Luka seperti ini bukan hal besar untuk gadis sepertiku.
Mungkin dikehidupan yang lalu aku melakukan
terlalu banyak dosa, hingga kini, yang Tuhan persiapkan untukku hanya sekantung
penuh air mata.
***
BUG!!
Mataku terbelalak lebar ketika melihat
pemandangan mengerikan itu di hadapanku. Baru saja Raka akan bergerak maju,
namun aku menahan tangannya. Menggeleng dengan perlahan ketika melihat Amy
berlari tertatih menghampiri Arya dan Raihan yang tengah berkelahi di ruang
tamu panti.
“Cukup!!! Hentikan Arya!!” bentak Amy keras
seraya berdiri di depan tubuh Raihan yang babak belur. Arya menatap wanita itu
dengan pandangan tidak percaya, tangannya terkepal keras diantara kedua sisi
tubuhnya.
“Kau meninggalkanku hanya karena pria ini?”
tanya Arya perih.
“Bukan sekedar ‘hanya’ tapi memang ‘untuk’ pria
ini.” Ujarnya sungguh-sungguh.
“Aku akan menikahinya, secepat mungkin.
melanjutkan pernikahan kami yang sempat tertunda, melanjutkan mimpi indah kami
yang sempat gagal beberapa tahun yang lalu. Jadi mulai sekarang, berhenti
menyakiti dirimu sendiri dengan mencintainya. Kau tau, aku tidak akan pernah
melepaskannya lagi.” Ujar Raihan lantang.
Aku merasakan jantungku mulai kehilangan
fungsinya, kepalaku pening, namun yang ingin ku lakukan saat itu adalah
berlari. Ya, aku ingin berlari dari kenyataan ini! Aku muak! Aku muak pada
diriku yang masih terus meneteskan air mata ketika melihat kisah cinta mereka!
Aku muak!!!!!!
Aku lelah ya Allah…. Hambamu lelah…
bisakah aku meminta malaikat pencabut nyawa datang lebih cepat?
10 komentar:
oh my... memang kalau mampir ke blognya Cherry... tutur bahasa yang digunakan selalu mampu membuat pembacanya mengalir dalam lantunan kata-kata indah yang begitu menakjubkan.
memang style dan penulisannya jelas terlihat bilamana Dik Cherry memiliki kekhasannya sendiri dengan cerita-cerita yang dia ambil dan inilah salah satu hasil karya mengagumkan yang lahir dari jari-jari lincah Dik Cherry.
Selalu berkarya ya dik manis, cerita-cerita buatanmu selalu mampu membuat saya berdecak kagum dan terpukau dengan alur yang begitu menarik untuk selalu di baca dan pilihan kata-kata yang tak pernah monoton ataupun membosankan.
Dan terima kasih untuk cerita menarik ini. Sukses selalu.
Komentar asli :
Wih.. kerennnnn..... cakep banget bahasanya Cherrr... jd malu ama tulisanku sendiri, hikss.... :ngumpet di roknya mbak Fathy...
Spechless ƍäª tau mw ngmng apa sama cherry biar zahra+raihan bersatu...
Cherry jahat :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º
Kenapa harus mereka cherry? Kenapa??
huhuuu *nangis hhe
Jadi nangis deh (pdhl paling tengsin kalo nangis dpn publik),,, tapi ky gni kok blg penulis amatir???
hebat! Two thumbs up, dear ^_^
Ya ampun...
Berderaiiiii air mata aq
Hiks hiks hiks
sebel sama raihan....cepet bgt berbalik arah...walaupun emang kasian jg sama amy, pasti zahra akan menemukan kebahagiaan pada akhirnya....*tergantung cherry sih
zi... Jd sdih nich... Knpa mesti mrka trpisah lg sich?
Waaaaa..... mba shin..... thts so sweetttt ♥♥♥♥♥♥
justru aku yg kagum sama mba....
setiap hari adaaaaa aja yg di posting, ngebuktiin klo ide2 mba shin g pernah habis...
Apalagi kalo yg udh menyangkut korea... mba shin itu inspirasiku... :)))))
Hehe ┬┴┬┴┤(・_├┬┴┬┴ ampunn mba mba sekalian...
tapi aku penulis yg menulis sesuai draft awal...
hehehehe ini aku jualan tissu... ada yg mau beli?? Takut persiapan buat bab2 selanjutnya.
Ε=ε=┏( >_<)┛ Kaburrrr
tapi janji deh setelah ini ga ad lagi air mata.. :))
Makasih udh mampir... komentar kalian semangatku.. :* (^_^)ε˘`)
Huwaaaa.. Hiks.. Hdupny si Zahra mengenaskan bgt..:'(
bab2 sebelumnya berusaha menahan emosi, tp pas bab ini air mata ga bs ketahan lagi hiks hiks....
kasian zahra, raihan, amy jg arya
masih tetap berharap zahra dgn raihan, karena dari awal ini cerita mereka berdua
Posting Komentar