“Miss
Fara, ini sudah nggak bisa dibiarkan. Di kelas saya, bahkan dia nggak mau
bicara sama sekali! Kita harus lebih tegas.”
Fara
menghela nafas panjang sambil menatap buku laporan penilaian siswa kelas dua di
tangannya. Ruangan kepala sekolah itu terasa hening mencekam. Seorang bapak
paruh baya dengan kaca mata yang hampir melorot di hidungnya, ikut menunggu
komentar dari Fara. Ia adalah kepala sekolah di sekolah itu sejak 5 tahun yang
lalu. Dan ia sudah jatuh cinta pada sosok guru bahasa inggris yang dianggapnya
sangat tangguh itu, jadi ia hanya menunggu Fara berkomentar.
Foto
gadis kecil di tangan Fara terlihat memudar di matanya. Kepalanya pening.
“Kita
harus keluarkan dia.” Ujar Manda, sang guru matematika dengan tegas. Umurnya
tidak terpaut jauh dari Fara. Hanya 3 tahun di atasnya. Namun dengan kaca mata
bundar, dan rambut yang selalu tersanggul, membuatnya terlihat lebih tua 10
tahun dari pada umur yang sebenarnya.
“No,” potong Fara cepat. Kepala yang
hampir botak di sampingnya menoleh. “Pak Abraham, saya
yakin dia masih bisa
berubah.”
“Berubah?!
Miss, anda udah bilang itu seribu kali, dan sekarang anda liat, dia malah
semakin menjadi-jadi. Dia hampir aja buat celaka siswa yang lain!”
“Itu
nggak disengaja bu!” ujar Fara dengan tegas. Ia sangat tidak suka kalau ada
yang menjelek-jelekan muridnya.
“Nggak
disengaja?! Maksud anda dia nggak sengaja bawa korek dari rumahnya, lalu bakar
Koran di dalem kelas? Itu nggak disengaja??!”
“Dia
nggak sengaja mencelakakan orang lain!”
“Oke,
sudah hampir jam lima, sepertinya kita lanjutkan pembahasan ini besok. Bu
Manda, saya sudah menerima semua buktinya, dan rekaman cctv juga, akan saya
perlajari. Miss Fara, kita akan bahas ini besok.” Ujar Abraham tua menengahkan.
Manda melirik sinis Fara yang masih terduduk, sebelum berpamitan dan pergi.
“Pak…”
bisik Fara ketika wanita itu benar-benar sudah menghilang.
“Sudah
Fara, saya akan pelajari ini, kita bahas besok.” Ujar Abraham, membungkam Fara
dalam ketidak puasan.
Ia
berjalan keluar ruang kepala sekolah dengan perasaan gundah. Lorong sekolah
yang panjang sudah sepi. Murid-murid sudah pulang sejak jam 3. Ekstrakulikuler
sudah selelsai sejak jam 4, sekarang hanya tersisa segelintir orang di sekolah,
dan itu membuat semuanya semakin hening.
***
“Ngelamun
lagi…” tegur seorang pria berumur 28 tahun sambil membawa dua cangkir teh di
tangannya. ia meletakannya di atas meja, lalu merangkul kekasihnya yang terngah
duduk memeluk lutut di atas sofa.
“Aku
lagi nonton tv…” gumam gadis itu sambil mengganti chanel tv di hadapannya.
“Fara…”
pria itu meraih remote di tangan Fara, membuat gadis itu mendesah pelan.
“Kenapa? Coba cerita sama aku.” Ia mengarahkan tubuh mungil Fara hingga
menghadap kearahnya. “Aku nggak suka ada kerutan di sini,” ia meraba kerutan di
antara kedua mata Fara dengan ibu jarinya. “Apa lagi kalau mata ini nggak
bersinar kayak biasanya.” Mengecup kedua mata itu dengan lembut, Fara terkekeh
pelan. “Nah, gitu dong, kan cantik kalau senyum.” Fara manyun. Namun matanya
mulai kembali bersinar. “Masalah di sekolah lagi?” tanyanya dengan lembut.
Fara
mendesah, lalu mengangguk samar. “Hari ini Danisa ngebakar ruang penyimpanan di
belakang kelas.”
“Hahahahaha…”
tawa pria itu meledak.
“Serius
masss… kenapa malah diketawain sih??” Fara mencubit pinggang pria di sampingnya
dengan gemas.
“Hahahaha
abis kayaknya makin hari dia makin hebat aja.”
Fara
memutar matanya. “Iya hebat. Tapi kali ini hampir aja ngebahayain murid yang
lain. Dan si
Wanda ngotot banget mau keluarin dia!”
“Hahahaha
dan kamu kalah argument sama Wanda?”
Fara
menatap sinis pria di sampingnya. “Jangan panggil aku Fabian Fara kalau aku
nggak bisa pertahanin Danisa!” katanya dengan angkuh.
Pria
di sampingnya mengulum senyum bangga. “Aku tau, kamu nggak mungkin jadi Fabian
Fara calon istri Dimas Fahryan, kalau kamu nggak tangguh.”
Fara
terkikik pelan. Lalu ketika Dimas menariknya kedalam pelukannya, ia tidak
menolak. Fara menyandarkan kepalanya ke dada Dimas yang bidang. Membiarkan pria
itu memeluk tubuhnya dengan santai, meletakan dagunya di atas rambut Fara,
sambil sesekali mencium puncak kepalanya. Meringkuk di sofa, dalam pelukan pria
itu, adalah hal yang paling disukai Fara. Ia bisa tahan berjam-jam dalam
keadaan seperti itu, mendengarkan irama konstan jantung kekasihnya.
“Tapi
Sayang…” bisiknya perlahan, “Kalau kamu capek. Kamu bisa keluar dari sekolah.”
Suara baritone Dimas terdengar samar.
“Aku
masih menikmati mas,” jawab Fara di dalam pelukan pria itu.
“Hm…”
Dimas mempererat pelukannya. “Iya, tapi setelah dua bulan ini, kamu harus lepas
yah. Aku mau istriku tinggal di rumah. Cari nafkah itu urusan suami. Kamu nggak
perlu pusingin kepala kecil kamu sama urusan yang lain.” Dimas mencium puncak
kepala gadis di dalam dekapannya itu dengan penuh sayang, menghirup aroma sampo
yang selalu menjadi kesukaannya. Fara menarik nafas panjang, lalu mengadah
untuk menatap kedua mata indah Dimas.
“Kalau
aku nggak kerja, nanti aku kerjaannya Cuma ngabisin uang mas.”
“Aku
nggak keberatan kok.” Dimas menatap kedua mata mungil Fara dengan
sungguh-sungguh. “Itu emang tanggung jawab aku sebagai suami. Tanggung jawab
kamu sebagai istri ya ngurus aku sama rumah kita. Aku akan lakuin apapun asal
kamu bahagia. Itu komitmen aku. Aku akan coba jadi suami yang baik, dan ayah
yang baik buat anak-anak kita nanti.”
Wajah
Fara bersemu merah. Dadanya hangat, penuh perasaan berbunga-bunga. Tapi ia
masih belum lelah berargumen. “Kalau aku bosen gimana?” tanyanya lugu.
“Kan
ada aku, kamu berhak telpon aku kapanpun kamu mau.” Ujar Dimas sebelum
mendekatkan wajahnya, lalu mengecup bibir tipis Fara. “Aku akan selalu ada buat
kamu.” katanya sungguh-sungguh, lalu menciumnya lebih dalam lagi.
***
“Lo
bakal merit???!!!! Astagaa Faryunn!!!!! Gue seneng banget dengernya!!!” Fara
menutup telinganya ketika mendengar teriakan dari sahabatnya, Camela. “Hahahaha
gue pikir nggak akan ada cowok waras yang mau nikahin cewek angkuh kayak elo.”
Katanya lagi diiringi tawa yang sangat keras.
“Oh,
Thanks Cam.” senyum Fara berpura-pura sinis.
“Ya
ampun Far… gue juga seneng banget loh.” Kalisa, gadis hitam manis yang duduk
semeja dengan mereka menyeka air mata harunya. “Gue pikir lo udah nggak peduli
sama cowok.”
“Hihihihi
rese. Emang gue lesbi?!” gerutu Fara.
“Jadi
akhirnya Dimas mau juga nikahin lo?” masih dengan nada tidak percaya, Cam
menatap sinis sahabatnya. didalam lubuk hatinya yang terdalam, ia sangat iri.
Namun ia tidak mungkin mengatakannya.
“Yah…
gitulah…” Fara tersenyum malu-malu. Hatinya masih penuh dengan perasaan
bahagia. “Gue juga nggak nyangka.” Katanya sungguh-sungguh. Selama masa kuliah,
Dimas adalah seniornya, dan ia jatuh cinta pada pria cerdas itu. seluruh
kata-katanya mampu mengalihkan dunia Fara, hingga ia bertekuk lutut pada sosok
Dimas Fahrayyan. “Tapi jangan kasih tau yang lainnya dulu yah. Gue nggak mau
jadi pada heboh.”
“Hahahahaha
berita penting masa kita tahan-tahan?” goda Cam.
“Serius…
gue nggak mau mereka pada rame. Lo tau sendiri lah.”
“Hahahaha
okay. Jadi apa yang bisa kita bantu?” tanya Cam lagi. “Prawedding, udah tentuin
mau tema apa? undangan? Tempat? Tanggal?”
“Hahahaha
belummm… ternyata ribet banget yah… hahaha.”
“Ya
iyalahh… merit kan sekali seumur hidup Far!” ujar Kalisa penuh semangat.
“Gue
sebenernya Cuma mau akad aja sama Dimas.”
“Seriusss
lo??!!! Tanpa resepsi?” pekik Cam tidak percaya.
Fara
mengangkat bahu. “Nggak tau deh, tapi rasanya akad juga udah cukup. Yang
penting sah.” Katanya dengan senyuman manis. “Itu lebih dari cukup.”
Kalisa
menggenggam jemari Fara di atas meja. Matanya ikut tersenyum menatap wajah
indah Fara. “Gue bener-bener bahagia liat lo bahagia Far.” Ujarnya
sungguh-sungguh. “Lo berhak bahagia.”
“Thanks
Lis.” Balas Fara. “Gue juga nggak nyangka ternyata gue bisa sebahagia ini sama
Dimas.
Rasanya kayak mimpi. Gue masih nggak percaya kalau Dimas ngelamar gue.
dia manis banget. Dan dia cerdas! He’s hot as hell!!”
Mereka
tertawa.
“Tetep
aja nggak ada yang ngalahin keseksian Mike.” Seloroh Cam, menyebutkan pacar
terbarunya, seorang bankir muda yang sangat seksi bagi Cam.
“Ah
Faraaa… gue jadi pengen nangis…” ujar Kalisa seraya memeluk tubuh Fara.
“Hahahaha
lebay ah Lis!”
“Hahahaha
jadi sekarang udah siap nih jadi nyonya Fara Fahryan?”
Fara
terkikik pada panggilan itu. Nama itu terasa sangat pas bersanding dengan
namanya, seakan Tuhan memang sudah menyiapkan nama itu untuknya. “Lebih dari
pada sekedar siap.” Katanya dengan mantap. Ternyata cinta bisa mengubah
segalanya.
***
0 komentar:
Posting Komentar