PROLOG
“Can
we pretending that we are alright?”
gadis itu bertanya dalam suara yang serak. Tidak ada jawaban, hening, meski ia
bisa mendengar desahan nafas orang disebrang sana dari balik ponselnya, entah
berapa mil jauhnya ia darinya. “Please… I
love you so much. You know it… please… don’t leave me…”
Klik.
Itu adalah kata terakhir yang ia
ucapkan, entah didengar atau tidak. Sambungan telepon sore itu menjadi
sambungan terakhir dirinya dengan orang yang sangat dicintainya selama ini.
Rasanya seperti menelan sebilah pisau. Bahkan bernafas pun ia merasa perih.
Ditatapnya ruangan kamar yang
membisu itu dengan perasaan hampa. Ia tidak percaya, masih tidak ingin percaya.
ruangan itu masih sama, masih penuh dengan barang-barangnya, masih tersemat
aroma parfumnya. Tidak ada yang berubah, kecuali kenyataan bahwa pemilik kamar
itu tidak akan pernah kembali untuk menginjakan kakinya lagi di sana. Tidak
akan pernah.
Fara, nama gadis yang terngah
menggenggam erat ponselnya itu, terduduk lemas di balik pintu kamar kontrakan
kekasihnya. Ia mencengkram celana jeansnya dengan sangat keras, sampai-sampai
buku jarinya memutih. Di dalam dadanya, ia masih berharap bahwa semua ini hanya
tipuan belaka, bahwa kekasihnya hanya sedang mengerjainya. Lalu setelah puas
melihatnya menangis, ia akan kembali. Kekasihnya akan kembali…
Sekali lagi Fara membuka ponselnya,
memeriksa pesan masuk di inboxnya. Pesan yang mampu meremukan hatinya yang
tulus mencinta.
0 komentar:
Posting Komentar