“Aku
nggak percaya akhirnya semuanya selesai mas…” gumam Fara sambil memainkan
jemari kekasihnya yang lebih besar dua kali lipat dari jemarinya sendiri. Ia
menyandarkan kepalanya di dada bidang Dimas, bergelayut manja di atas sofa.
“Akhirnya Pak Abraham mau pertahanin Danisa.”
Dimas
tersenyum sambil mengganti chanel tv dengan tangannya yang bebas. “Itu semua
berkat kamu, ibu guru cantik…” katanya seraya mencium puncak kepala gadisnya.
“Kamu itu hebat sayang. Cuma aja kamu kadang pesimisnya luar biasa.”
Fara
mencubit lengan kekasihnya dengan kesal. “Aku Cuma coba buat realistis mas…”
“Tapi
bayangan kamu itu selalu berlebihan Fara,”
“Lho,
lebih baik gitu kan, bayangin yang terburuknya dulu, jadi nanti kita nggak
perlu kaget sama apapun yang terjadi akhirnya. Toh kita udah mempersiapkan diri
buat hal terburuk.”
“Tapi
itu bikin kamu jadi pesimis sayang…”
Fara
cemberut. Ia malas berdebat dengan Dimas.
“Ya
udah sih, terus kamu nggak suka?” tuding Fara.
Dimas
terkekeh. “Aku nggak suka sifat kamu yang pesimis. Kamu itu tangguh sayang,
kamu itu luar biasa hebat. Kamu pasti bisa terbang lebih tinggi dari pada yang
otak kamu bayangkan.”
“Lebay
ah…”
“Lho,
serius…”
“Oya
mas, tadi kenapa mas nggak mau ketemu pak Abraham? Dan pak Abraham juga, waktu
aku bilang mas mau jemput, dia nggak bilang apa-apa.” padahal biasanya dia
selalu bersemangat ketemu kamu… lanjut Fara dalam hati. kedua pria beda
generasi itu memang seperti cucu dan kakek.
“Hm…
mungkin pak Abraham masih sedikit kecewa,” Kening Fara berkerut tidak mengerti.
“Kita bahas yang lain aja oke?”
Fara
menggeleng dengan tegas.
Dimas
menghela nafas panjang. “Sebenernya aku nggak mau bilang ini dulu. Tapi, yah
apa boleh buat. Kamu nggak akan bisa dialihkan perhatian kalau udah begini.”
fara bersidekap di sofa, menunggu penjelasan Dimas. “Aku berhasil masuk ke
kementrian luar negeri, dan sebentar lagi ikut diklat prajabatan untuk
diplomat.”
Fara
melongo. Otaknya sibuk mencerna kata-kata pria di hadapannya.
“Yah
kamu tau kan, untuk jadi diplomat, kamu harus bersedia ditempatkan di Negara
manapun yang udah ditunjuk. Dan aku… rencananya, kalau kamu bersedia… kalau
kamu bersedia yah, aku nggak maksa kok. Aku mau kamu ikut dampingi aku. Mungkin
itu yang bikin pak Abraham kecewa. Padahal aku belum tanya kamu, dan kamu juga
belum tentu bilang iya.” Dimas menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak
gatal.
“Akuu
mauuuuu!!!!” teriak Fara histeris, membuat Dimas meggeleng-geleng.
“Oke,
mungkin kata-kata lamaran aku harus di revisi. Fabian Fara, kamu bersedia kalau
harus tinggal di luar Indonesia, dan jadi satu-satunya wanita yang damping
hidupku sampai akhir hayat nanti?”
Hati
Fara meleleh. Ia sudah tidak bisa berkata apapun lagi. Ia menghambur untuk
memeluk kekasih hatinya. mencurahkan kebahagiaanya dalam derai air mata haru.
0 komentar:
Posting Komentar