Seharusnya
Fara tidak pernah mempercayai kedua sahabatnya. Karena pagi itu, ketika ia
tengah berjalan sendirian di lorong sekolah dengan setumpuk buku di tangannya,
ponselnya tiba-tiba bergetar. Serentetan kata-kata selamat menempuh hidup baru
langsung memenuhi inboxnya. Fara menepuk keningnya dengan pelan, menertawakan
kekonyolan pagi itu. Tapi ia tidak bisa marah, entah bagaimana justru hatinya
semakin tersanjung. Semakin dibuai kebahagiaan.
Fara
memasukan ponselnya ke dalam saku, sebelum memasuki kelas yang harus diajarnya
pagi itu, kelas Danisa, kelas 2-b.
Danisa
adalah seorang gadis kecil dengan rambut panjang kusut berwarna kemerahan
karena terpapar sinar matahari. Baju seragamnya berwarna kekuningan, terlalu
sering dicuci, atau entah karena tidak pernah dicuci. Kuku-kukunya hitam, terisi
pasir dan tanah yang ia mainkan. Danisa lebih senang duduk menunduk,
sampai-sampai terkadang Fara harus berdiri untuk memastikan gadis kecil itu ada
di kursinya di bagian paling belakang. Tidak ada yang mau duduk satu kursi
dengan Danisa, dengan alasan ia jorok dan bau. Dan fara tidak bisa menyalahkan
kejujuran mereka.
Tapi
dimata guru seperti Fara, Danisa adalah sebuah mutiara dari kedalaman samudra
yang selalu ingin ia ambil, selalu menarik perhatiaanya, selalu menimbulkan
rasa ingin tahunya yang tinggi. Terlebih menurutnya Danisa adalah murid yang
cerdas, dan Dimas setuju mengenai hal itu.
Fara
membagikan kertas bergambar kepada seluruh murid. Ada delapan gambar di dalam
kertas itu, dengan huruf-huruf yang tertulis secara acak. Fara menjelaskan,
mereka hanya perlu menuliskan nama benda-benda dalam gambar, dan memperbaiki
hurufnya. Tanpa menunggu lama lagi, Danisa yang merasa sudah cukup mengerti
dengan apa yang Fara katakana, langsung tenggelam dalam kertasnya. Dimas benar,
Danisa adalah siswi yang menarik.
Bippp…
Ponselnya
bergetar. Fara berjalan ke meja guru, mengecek ponselnya dari balik buku.
Mas Dimas 08787xxxxxx
Hai ibu guru cantik…
Fara
tidak bisa menahan senyumannya. Pesan kedua muncul sebelum Fara sempat membalas
pesannya yang pertama.
Mas Dimas 08787xxxxxx
Aku tau kamu kangen aku, makanya
aku sms kamu.
Fara
terkekeh, membuat Ana yang duduk di barisan terdepan meliriknya sekilas. Fara
mengangkat ponselnya dengan hati-hati, lalu memotret suasana kelasnya yang
masih hening dengan cepat, kemudian mengirimkannya kepada sosok disebrang sana
via aplikasi whatsapp.
F. Fara
: (Pict) Maaf, aku lagi kasih tugas anak-anak, aku sibuk.
Tulis
Fara sebagai caption di bagian bawah fotonya. Balasannya datang dengan cepat.
Dimas F. : Ah,
you make me crazy girl!!! Bisa kirimin foto ibu guru cantiknya?
F. Fara : Aku
lagi ngajar mas!! Nggak mungkin aku selfi kan??!
Dimas F. : Oke,
gimana kalau minta murid kamu fotoin kamu.
F. Fara : Euughh! Mas Dimaass!!!
Dimas F.
:
:* I truly deeply miss you.
F. Fara : Aku
tersanjung. Tapi sekarang aku harus balik
ke muridku. Bye-bye sayang.
Dimas F. : Sayang… tunggu…
Dimas F. : Aku kangen kamu, masa kamu nggak
bilang kangen balik atau apa gitu.
Dimas F. : (09:40) Sayang….
Oya, aku mau bilang keluargaku
datang minggu depan…
Dimas F. : (09:51) Sayang… jadi aku terabaikan gara-gara
anak-anak murid kamu? oya gimana
Danisa?
Hari ini ada cerita apa?
Dimas F. : (10:12) Fara, aku jemput kamu jam 4 yah, aku akan
pulang on time! Aku kangen kamu.
kita
dinner diluar hari ini. Love you :* telepon aku kalau sudah free.
Ketika
murid-muridnya keluar untuk makan siang, Fara baru sempat membuka ponselnya,
dan langsung terkikik ketika membaca sederet pesan dari Dimas. Ia langsung
memencet nomor Dimas melalui ponselnya.
“Ah ibu guru cantik, akhirnya ada
juga waktu buat penggemarnya yang buruk rupa ini…”
Fara
terkekeh. “Lebay ih. Nggak inget umur yah, udah mau kepala 3 tuh!” seloroh
Fara. “Inget loh, aku suka cowok yang dewasa.”
“Ah ehm.”
Dimas terdengar sedang memperbaiki duduknya, ia berdehem pelan. “Ya sayang,” katanya, dengan suara
baritone yang karismatik. “Gimana hari
ini?”
Fara
tersenyum. “Aku bahkan baru lewatin setengah dari hari ini mas.” Ujarnya,
seraya merapihkan buku di atas mejanya, lalu berjalan keluar kelas menuju ruang
guru dengan ponsel masih menempel di telinganya. “Gimana kerjaan kamu? beres?”
“Aku kan pinter sayang, kamu nggak
usah khawatir.”
Fara
mencibir, namun tetap tersenyum. Ia tau betul bahwa Dimas adalah pria yang
sangat cerdas. Itulah mengapa ia sangat mencintainya.
“Pede
banget yah…” sindir Fara.
“Ah, calon istri aku juga mengakui
kok.”
“Ahhh…
pede banget!!”
“Yang penting calon istriku cinta
mati sama aku!!”
Bingo!
Fara memang jatuh cinta setengah mati kepadanya. “Ya ampunnn kepedeannya udah
keterlaluan ini!!”
Dimas
tertawa di sebrang sana. “Aku kangen kamu
sayang.”
Fara
mendesah. Ia sudah sampai di ruang guru. Fara mengambil bekal makan siang yang
ia beli di rumah makan dekat sekolah. “Mas udah makan siang?”
“Udah, kamu udah makan?”
“Ini
baru mau makan…”
“Kamu nggak mau nawarin aku, atau
gimana gitu?”
“Lho
tadi katanya udah makan, gimana sih??” gerutu Fara sambil menyuap makannanya.
“Hehehehe iya sih.”
Tawa Dimas. “Oya, minggu depan orang
tuaku mau datang yah.”
“Cepet
banget mas.”
“Loh, lebih cepet lebih baik kan?
lagian aku nggak mau jadi cowok pengecut yang ngambil anak orang tanpa sopan
santun. Aku mau jadi cowok gentle yang datang langsung sama keluargaku sebagai
saksi buat meminang kamu.”
Fara
bisa merasakan hatinya meleleh. Ia sangat mencintai pria ini.
“Ya
udah, sebagai cewek aku nggak bisa ngepain-ngepain kan? Cuma bisa nunggu…”
“Tapi kamu setuju kan? nanti kamu
malah nggak ngakuin aku sebagai calon suami kamu.”
“Hahahaha…
tergantung…”
“Tergantung?”
“Iya,
tergantung sejauh apa cinta kamu buat aku mas.”
“Fabian Fara… apa aku harus terjun
dari lantai 20 buat buktiin rasa cinta aku?”
“Ahhh
lebay!! Mana berani!!!” mana berani aku
liat kamu mati mas… tambah Fara dalam hati.
“Kamu kan suka cuek? Gimana
kalau kita nikah nanti terus kamu tiba-tiba nyuekin aku?”
“Fara… aku nggak cuek dalam segala
hal. Buktinya aku selalu ada buat kamu.”
Kurang
lebih itu memang benar. Sebelum mereka memiliki hubungan, Dimas sangat cuek
kepadanya. Namun ketika akhirnya mereka memiliki hubungan resmi, Dimas tidak
pernah membiarkan hari-hari Fara terbebas dari perhatiannya yang luar biasa.
Fara
mengulum senyum, sisa istirahat hari itu ia habiskan dengan terus tertawa
karena lelucon yang terdengar dari pria di balik teleponnya.
***
Tegang.
Mencekam. Itulah yang bisa Fara gambarkan mengenai situasi sekolah siang itu.
Ia harus menarik nafas panjang berkali-kali untuk menjaga kewarasannya. Ia
memberikan tugas tertulis kepada murid-muridnya lagi, yang seharusnya ia
berikan minggu depan, setelah mengajari mereka menulis latin. Tapi ia
benar-benar tidak bisa fokus mengajar sejak kepala tua Abraham muncul dari
balik pintunya dengan Wanda di belakangnya.
“Kami
membutuhkan Danisa, Miss Fara.” Ujar Abraham tanpa berhiaskan gurauan sama
sekali. Fara menahan nafasnya. Ia merasa sebuah godam batu baru saja meremukan
rongga dadanya. Seluruh muridnya langsung menatap kepala sekolah mereka tanpa
berkedip. Gadis kecil yang dipanggil langsung berdiri tanpa diminta dua kali.
Kakinya
yang sedikit menyerupai leter o, bergerak perlahan. Fara harus berjuang sangat
keras untuk memaksa tubuhnya tetap diam di tempat. Tapi ia tidak ingin
membiarkan gadis kecil itu berjalan sendiri.
“Saya
akan temani Danisa.” Ujar Fara, tidak tahan dengan ketidak berdayaannya.
Kepala
tua Abraham menggeleng. Tatapannya yang seindah senja seakan menjanjikan
sesuatu yang lebih baik, meski bibirnya tetap terkatup rapat. “Murid-murid
anda, lebih membutuhkan anda di sini Miss Fara.” Ujar Abraham.
Fara
menelan ludah susah payah ketika melihat mereka membawa Danisa.
***
Berjalan
mondar-mandir, Fara menggigiti kukunya tanpa sadar. Sebuah kebiasaan ketika ia
gugup. Ia sudah tidak fokus mengajar, sampai-sampai akhirnya ia meminta Sandra,
guru piket hari itu, untuk mengisi kelasnya di sisa mata pelajaran siang.
“Dia akan baik-baik aja Fara…”
suara di sebrang sana berusaha untuk menenangkannya.
“Tapi
hampir 2 jam mas! Hampir 2 jam!!! Mereka bukan introgasi penjahat. Ya ampun!!
Mereka Cuma introgasi anak kecil! Kelas 2 SD!!! Seharusnya nggak akan selama
ini!”
“Oke tenang sayang. Pasti sebentar
lagi selesai. Kamu harus tenang, aku on the way ke sekolah.”
Fara
tidak bisa tenang. Ia berjalan-jalan di depan ruang kepala sekolah dengan wajah
yang lebih pucat dari pada mayat. Suara ketukan dari sepatu hak tingginya
semakin berirama tidak sabar. Ia tidak bisa bertahan seperti orang bodoh,
menunggu introgasi itu selesai.
Ketika
pintu tiba-tiba terbuka, Fara merasa seperti tengah menunggu di depan ruang
operasi. Dimana ia akan sangat menantikan dokter yang tengah mengoprasi keluar
dari ruangan, untuk mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.
Wajah
Wanda merah padam ketika ia keluar dari ruangan kepala sekolah. Tangannya
terkepal, dengan beberapa helai rambut yang sudah keluar dari sanggulannya.
Fara tidak sempat bertanya, karena Wanda hanya memberikan tatapan sinis. “Masuk.”
Katanya dengan ketus. Segera Fara memasuki ruangan yang sudah sangat ia hafal
itu. Ruangan 6x4 meter dengan satu set sofa kulit berwarna biru tua, dan
dinding yang dilapisi rak kaca tempat menyimpan piala sekolah.
Danisa
duduk di sofa dengan wajah tertunduk. Jemarinya tertaut di atas rok merah
sekolahnya.
“Danisa…”
bisik Fara seraya berjongkok di samping Danisa.
“Nah,
ini ada bu Fara,” ujar seorang wanita yang lebih tua. Alena, salah satu guru
Bimbingan Konseling di yayasan itu. sekolah tempatnya mengajar memang sekolah
swasta yang didirikan oleh sebuah perusahan rokok untuk menunjukan kepeduliaannya
kepada pendidikan. Namun Fara selalu bersikeras bahwa itu hanya sebuah
pencitraan belaka.
Ketika
menyadari keberadaannya, Fara langsung berdiri dan menyalami wanita dengan
wajah bijak di sebrang meja. Abraham berdiri di belakang sofa. Disampingnya seorang
pria yang baru pertama kali Fara lihat mengangguk santun.
“Dia
nggak mau bicara sama sekali.” Suara berat Abraham mengambil fokus Fara.
Fara
menatap Danisa dengan pandangan sedih. Gadis itu masih terduduk dengan tubuh
yang membungkuk, mungkin sebentar lagi ia akan menjadi bulatan tulang belulang.
Rambut kusutnya hampir menutupi seluruh wajahnya. Fara tidak bisa melihat wajah
gadis itu, ia tidak tau apa yang sedang dirasakannya. Sekali lagi Fara
berjongkok di samping sofa yang diduduki Danisa.
“Nisa,
ini ibu guru…” katanya seraya membelai lembut lengan kururs gadis kecil itu.
Awalnya Danisa sama sekali tidak merespon, ia seperti ranting kering yang mati,
tidak bergerak, hanya sesekali mengambil nafas dengan gerakan samar. Tapi
akhirnya, jemari gadis kecil itu bergerak. “Nisa, ini ibu guru sayang…” Fara
mengulangi kata-katanya.
Pelan-pelan
bocah itu sedikit mengangkat wajahnya, ia mengintip sosok ibu gurunya dari
balik poni kusutnya.
Fara
sangat ingin memeluk tubuh ringkih itu. Ia terlihat sangat lemah, namun matanya
begitu jernih, dan kuat. Di sebrang meja, Alena menatapnya tidak percaya.
sedang Abraham hanya tersenyum samar.
“Danisa,
semuanya akan baik-baik aja sayang. Kamu nggak akan kenapa-napa.” Ujar Fara
lembut namun sungguh-sungguh. “Sayang, ingat apa yang ibu bilang kemarin? Kamu
nggak perlu berpikir, kalau kamu bicara jujur, ingat sayang?” Dalam gerakan
sangat samar kepala kecil Danisa mengangguk. Fara tersenyum tulus. “Sayang, ibu
Alena, pak Abraham, dan semua yang ada di sini mau denger cerita kamu soal
korek itu...” Fara menggenggam jemari Danisa yang dingin. “Kamu nggak perlu takut, ada ibu di sini.
Kamu nggak akan kenapa-kenapa.” Janji Fara. Wajah Kurus Danisa kembali
tertunduk.
Fara
mengangkat wajahnya, meminta pendapat pada Alena dan Abraham, hingga kedua
kepala itu mengangguk. “Nisa… ada ibu di sini sayang. Kamu cukup bilang iya
atau nggak aja. Bisa sayang?” tanya Fara. Danisa mengangguk. Fara menarik nafas
panjang, mempersiapkan dirinya. “Danisa, korek itu punya kamu nak?” tanya Fara
lembut. Kepala mungil Danisa menggeleng. “Punya siapa sayang?” tanyanya lagi,
namun ketika menyadari mulut Danisa tidak akan terbuka, ia memilih mengganti
pertanyaannya. “Kamu bawa korek itu dari rumah?” ragu-ragu Danisa mengangguk.
Fara melirik Alena dan Abraham, meminta pendapat. “Kamu sengaja bakar Koran itu?”
tubuh Fara sedikit terhenyak ketika mendengar kata-katanya sendiri.
Lama
Danisa tidak menggeleng atau mengangguk, membuat Wanda yang berdiri di dekat
pintu mengetuk-ngetukan hak sepatunya dengan tidak sabar. Ia bersidekap dengan
pandangan sinis.
“Danisa,
korek itu punya ibu kamu?” Tubuh kecil Danisa menegang. Ia semakin menundukan
kepalanya, hampir melesak kedalam dadanya sendiri. Dan Fara tau yang ia katakan
adalah benar adanya. “Danisa, kenapa kamu bawa korek ke sekolah nak?” Oke. itu
adalah pertanyaan yang salah, tapi Fara sendiri sudah mulai frustasi dengan
pemikiran-pemikirannya sendiri. ia yakin Danisa tidak pernah berniat
mencelakakan orang lain. Hanya saja Fara tidak memiliki alasan lain yang lebih
masuk akal. Di saat-saat seperti ini ia sangat merindukan Dimas yang selalu
bisa membantunya menilai masalah dari sisi lain.
“Danisa itu seperti kamu, dia
tangguh.” Diam-diam Fara tersenyum ketika mengingat kata-kata
Dimas di suatu petang ketika mereka tengah membicarakan Danisa dan kelasnya
yang kacau.
Fara
menatap gadis kecil itu dengan bingung. Ia adalah gadis kecil yang kuat.
Ayahnya pergi meninggalkan keluarga kecil mereka dengan perempuan lain,
sehingga ibu Danisa harus berusaha menghidupi dirinya sendiri dan putri semata
wayangnya.
“Ibu
kamu baik-baik saja sayang…” Fara menyentuh jemari Danisa yang kaku dan basah
oleh keringat. Pelan namun pasti, Danisa mengangkat wajah kurusnya. Fara ingin
memeluk Danisa saat itu juga, namun tetap ia tahan. Entah bagaimana ia akhirnya
tau apa yang sebenarnya terjadi. “Kamu melakukan hal yang benar Danisa.” Ujar
Fara, membelai lembut rambut gadis itu.
“Miss
Fara!” tegur Wanda kesal. namun Fara sama sekali tidak memperdulikannya.
“Tapi
orang-orang di sini mau dengar alasan kamu sayang. Atau kamu mau ibu yang
cerita?” tanya Fara.
Danisa
menggeleng. Kepalanya kembali tertunduk, namun tidak terlalu dalam. “Aku…”
terpotong cukup lama. “… nggak suka ibu merokok…” tambahnya dalam bisikan.
“Aku… nggak mau…” terlalu serak, Fara tau gadis ini tengah menahan tangisnya.
“Aku… nggak mau… ibu mati…”
Betapa
sucinya jiwa itu. Betapa berharganya. Fara tersenyum tipis sambil membelai
punggung gadis kecil itu. “Ibu suka merokok…” katanya, suaranya seperti cicitan
tikus yang ketakutan dikelilingi oleh kucing ganas yang kelaparan.
Alena
menatap iba gadis kecil itu, namun masih menjaga sikapnya agar tetap formal.
“Koran
itu?” tanya Fara. “Kamu bawa dari rumah juga?”
Danisa
menggeleng pelan. Untuk pertama kalinya dalam petang yang sangat menegangkan
itu, Danisa mengangkat wajah kurusnya. Mata jernihnya menatap kedua mata ibu
guru di hadapannya.
“Itu punya Kemal.” Jawabnya, sebuah pemberontakan menghiasi
keningnya. “Kemal bilang… ibu kaya cewek di Koran itu…” amarah tersirat dari
nada suaranya. “Dia panggil ibuku perek…”
Hening.
Ruangan
itu mendadak terlalap sunyi. Bahkan mungkin bocah kelas dua SD di hadapannya
belum mengerti apa makna sebenarnya dari kata-kata itu. Ia mungkin belum
memahaminya, namun sesuatu dalam jiwanya yang murni tetap tidak menyukai kata
itu, terlepas dari apapun arti kata tersebut di dalam benaknya.
“Oke
sayang, udah cukup.” Fara tersenyum lembut. “Kamu bisa pulang sekarang…”
tambahnya tanpa meminta persetujuan dari siapapun di ruangan itu.
“Ibu
guru nggak marah?” tanya Danisa lugu.
Fara
menggeleng dan membelai rambut kusutnya. “Nggak sama sekali,” jawabnya
sungguh-sungguh.
“Kamu
juga boleh pulang Miss. Fara,” ujar Abraham, yang disertai anggukan Alena.
Wanda menatapnya sinis namun tidak menahan mereka berdua. “Miss. Fara…” langkah
Fara kembali terhenti, ia menoleh sejenak. “Danisa akan baik-baik saja.” Tambah
Abraham dengan senyuman bijaknya.
Fara
merasakan dadanya dipenuhi perasaan lega yang luar biasa. Air matanya tergenang
ketika ia mengangguk penuh terima kasih, lalu pergi bersama murid
kesayangannya. Ketika sampai di luar ruangan kepala sekolah, ponselnya kembali
bergetar. Telepon dari Dimas. Ia sudah tidak sabar untuk menceritakan semuanya.
Berbagi kebahagiaannya.
“Ayo
Danisa, kamu ikut ibu dulu. Kita makan es krim!” Fara mengamit tangan mungil
muridnya. Dan meski dengan wajah penuh tanya, Danisa sama sekali tidak berusaha
untuk melepaskan genggaman tangan wali kelasnya, yang terasa lebih hangat dari
genggaman ibunya sendiri.
***
0 komentar:
Posting Komentar