RAIHAN
“Bangun!”
“Aku sudah bangun.”
“Tapi kau masih memejamkan
matamu!” aku mendesah pelan kemudian membuka sebelah mataku, mengintip wajah
cantiknya yang tampak lebih segar pagi ini. “Aku bilang bangun!” teriaknya
lebih kencang.
“Tapi ini masih terlalu pagi…”
gerutuku sungguh-sungguh. “Dan aku kurang tidur semalam.” tambahku, mencoba
memberikan alibi agar aku memiliki kesempatan untuk bisa memejamkan mataku
lagi.
“Kau seharusnya menerima sebuah
hukuman karena perkataanmu! Kau sakit dan malah sengaja tidur larut malam.
Sekarang aku tidak ingin mendengar alasan apapun. Kau harus bangun dan
menghabiskan sarapanmu sekarang juga, lalu minum obat-obatan ini.” Tutur Zahra
dalam satu tarikan nafas sambil membuka bungkusan obat-obatan bertuliskan
namaku. Aku meringis lelah melihat butiran kapsul yang cukup besar itu.
“Kau berlebihan, kemarin obat
ku tidak sebanyak itu. kau pasti salah.” Bisikku lemah. Sedetik kemudian aku
menyesali perkataanku, karena tatapan yang ku terima selanjutnya sangatlah
meresahkan jiwa. Mata bulat Zahra menyipit, bibir tipisnya membentuk sebuah
garis lurus yang tampak sangat kokoh, dagunya sedikit terangkat, dengan sebelah
alisnya naik. Benar-benar wajah sinis yang sempurna.
“Aku yang merawatmu. Apa kau
meragukanku?!”
“Tidak, tentu saja tidak. Tapi
kau benar-benar berlebihan. Bahkan perawat biasa pun akan membiarkan pasiennya
beristirahat sebanyak mungkin,” untuk pertama kalinya aku benar-benar merasa
gugup. Dan ini sungguh menggelikan, mengingat aku tidak pernah merasakan semua
rasa ini sebelumnya.
“Oh,” ujarnya datar. “Asal kau
tau, aku ingin agar kau segera sembuh. Karena aku juga masih banyak pekerjaan
selain merawatmu di sini! aku harus mengajar ke panti, menyelesaikan kuliahku.
Dan banyak hal lain yang lebih penting yang harus ku lakukan dari pada hanya
sekedar merawatmu!” tuturnya geram.
“Kalau begitu berhenti
merawatku!”
“Oh, tentu. Dengan senang hati.
Lagi pula sepertinya kau lebih nyaman dirawat oleh perawat biasa!” bentak gadis
itu sambil meletakan bungkusan obat yang tengah di bukanya. Kemdian meraih tas
tangannya yang tergeletak di atas lemari es. Aku terbelalak tidak percaya
ketika gadis itu benar-benar membuka pintu dan berlalu pergi.
Ya Tuhan!!!
Lagi-lagi aku menyesali
perkataanku beberapa saat yang lalu. Tapi, jika dia memang tidak pernah ingin
benar-benar merawatku, untuk apa ia mencegahku pergi beberapa hari yang lalu?!
Aku mengacak rambutku dengan
frustasi ketika otakku tidak bisa menemukan titik temu tentang gadis itu.
“Nasi sudah menjadi bubur, kau
tidak perlu menyesalinya, karena tidak ada yang bisa kau lakukan untuk
mengubahnya lagi menjadi nasi.” Aku menoleh kearah pintu, kakek berdiri di sana
dengan senyuman tuanya yang menunjukan sosok sok tahunya. Kedua tangannya
tersembunyi di balik saku celananya. Perut buncitnya menyembul sedikit di balik
jas hitam yang ia kenakan. “Tadi kakek lihat Zahra di tempat parkir.”
“Jadi dia benar-benar pergi?!”
tanyaku frustasi. Kakek terkekeh dan mengangguk.
“Gadis itu tidak pernah
main-main dengan perkataannya.” Ujar kakek sambil berjalan mengitari kamar
rawat inapku. Ia berdiri sejenak di samping meja kecil di depan sofa, sudah ada
vas baru di sana dengan buket mawar merah yang sangat cantik. “Ia benari
mengambil keputusan, bahkan yang terekstrim sekalipun.” Tambahnya, dengan
perlahan ia memetik daun yang mulai menguning pada salah satu tangkai mawar
itu. “Tapi di balik itu semua, ia juga seorang gadis biasa. Yang begitu rapuh…
dan butuh perlindungan. Ia hanya terlalu angkuh untuk sekedar menyadari
kerapuhan dirinya sendiri.”
Aku terdiam sejenak, mencoba
meresapi seluruh kata-kata pria tua yang biasanya selalu menjadi sainganku
dalam setiap hal itu. “Hanya pria bermental baja yang akan bisa bertahan dengannya.”
Ujar kakek dengan senyuman miringnya yang bijaksana. “Kalau saja kakek tidak
mencintai almarhumah nenekmu sedalam ini, mungkin kakek sudah mendekatinya.”
Aku terkekeh sarkastis. “Jadi
kakek merasa memiliki mental yang kuat?” ejekku.
“Wah, nenekmu tidak jauh
berbeda dengannya. Dia juga seorang wanita yang sangat keras kepala. Tapi dia
adalah wanita yang paling berharga.” Mata tua kakek menerawang jauh ke luar
jendela. Senyuamannya mengembang dengan mimic yang begitu tenang, mimic yang
selalu muncul ketika ia mengingat tentang nenekku yang sudah berpuluh-puluh
tahun yang lalu pergi dari muka bumi ini. Aku termenung sejenak, jika suatu
saat nanti Tuhan mengambil gadis itu dari muka bumi ini, bisakah aku tersenyum
tenang seperti yang kakek lakukan saat ini? Bisakah aku merelakannya?
Pemikiran itu langsung mengubah
suasana hatiku. Ketakutanku akan kehilangannya membuat seluruh tubuhku
menggigil. Tidak, aku bukan kakek, aku tidak mungkin bisa dengan tenang
melewati kelamnya malam tanpa sosok gadis itu. Jadi mungkin aku memang bukan
pria bermental kuat seperti yang dimaksudkan kakek.
“Apa yang seharusnya ku
lakukan?” bisikku pada akhirnya, mulai menyerah pada egoku yang biasanya ku
junjung tinggi. Namun ketakutanku akan kehilangannya membuat jiwaku menciut
ketakutan.
Sampai kapanpun aku tidak akan
pernah bisa hidup tanpanya. Sedang dia adalah gadis yang sangat kuat, dan aku
bersyukur karenanya. Karena jika pada akhirnya waktuku habis, dia pasti akan
tetap kuat menjalani hidupnya. Ya, dia harus kuat.
“Perjuangkan cintamu.” Ujar
kakek dengan tatapan penuh semangat. “Kau pasti bisa meluluhkan hatinya.”
“Bukankah kakek tau sendiri
jika ia adalah gadis yang sangat keras.” keluhku, kakek tertawa hambar sambil
menggaruk kepalanya yang hampir botak dengan perlahan.
“Kau benar juga…” ujarnya
miris.
“Lalu bagaimana?!” tanyaku
frustasi.
“Cari tau titik lemahnya,
masuki zona nyamannya.”
“Kakek tau?” tanyaku mulai
menemukan secercah harapan. Namun ketika kakek menyeringai sambil mengangkat
bahu, aku menyerah.
Aku berpikir sejenak sambil
menatap buket mawar merah itu. “Ah! Aku tau…” ujarku berapi-api.
***
1 komentar:
Gak terima cuma dikit, Zia tanggung jawab.. Hëhëhëhë piss beblau (⌒˛⌒)
Beb nda ksh tau aku, ini kan yg kutunggu2
ƪ(-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩__-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩)ʃ
Btw °·♡·♥τнänkчöü♥·♡·° ya beb... Even berasa ngeganjel gimana gitu ƪ(-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩__-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩)ʃ
Posting Komentar