“Aku mau kita putus.” Aku tersentak mendengar bisikkannya yang
begitu perlahan. Kata-kata itu terdengar amat lembut, selembut helaian rambut
hitam panjangnya. Tapi justru mampu membekukan tubuhku, meremukan jiwaku
menjadi berkeping-keping. Untuk pertama kalinya aku berusaha untuk tidak
mengerti apa yang ia katakan. Tidak ingin mengerti. “Kita harus putus.”
Ulangnya, kini lebih keras. mungkin berharap aku akan mendengar dan memberikan
tanggapan pada pernyataannya.
“Kau mau es krim lagi?” tanyaku dengan keceriaan yang dibuat-buat. Gadis
itu menatapku dengan mata indahnya yang begitu tulus. Pandangannya yang lembut
meleburkan hatiku, membuatku dengan mudah kembali jatuh cinta padanya lagi.
Kejernihannya menunjukan luka itu kepadaku, hingga aku bisa merasakan perih
yang dirasakannya.
“Aku mau kita putus.” Bisiknya lebih tegas. Cengkramannya di
tanganku mengerat. Membuatku yakin bahwa ia tidak ingin aku pergi.
Aku menyerah pada kepura-puraanku, kemudian duduk kembali di
sampingnya. Mataku nanar menatap hamparan padang rumput di hadapan kami.
Beberapa anak tampak asik bermain layang-layang, dua orang bocah perempuan
duduk di kotakan pasir sambil memainkan ember, membangun tumpukan-tumpukan
pasir yang menjulang, yang mereka pikir bisa menyerupai sebuah istana. Seorang
wanita dengan stelan Armani tampak sibuk di sisi lain taman, matanya yang
tertutup kaca mata memandang lurus layar laptopnya yang menyala, sedang
mulutnya sibuk mengunyah makan siangnya.
“Al…” gadis di sampingku meremas lenganku. Ia melirik tetesan es
krim yang mencair di tanganku. Aku bahkan sudah tidak bisa merasakan dinginnya
es krim itu, tubuhku mati rasa. “Maafkan aku…” bisiknya. Aku tersenyum mencibir
ketika melihat seorang bocah jatuh dari sepedahnya, dasar bodoh! Desisku
dalam hati.
Ya bodoh! Bocah itu sangat bodoh. Bagaimana mungkin ia bisa
berpikiran jika ia mampu mengayuh sepedah sampai ke puncak tumpukan pasir itu
dengan kaki-kaki kecilnya. Bagaimana mungkin dia tidak memperhitungkan betapa
sakitnya ketika ia terjatuh. Dan ketika bocah itu menangis, senyuman sinisku
melebar. Dia benar-benar bodoh, dan kini ia menangisi lukanya.
“Al…” panggil gadis di sampingku. Aku mendengarnya, namun sama
sekali tidak ingin menoleh. Tubuhku terlalu kaku, dan aku takut, jika bergerak
sedikit saja maka semuanya akan hancur. “Al… maafkan aku…” ia kembali meremas
lenganku. Tapi tatapanku masih kosong, jiwaku hampa, hilang entah kemana.
“Apa karena Bintang?” tanyaku setelah mampu menguasai seluruh emosi
yang berkecamuk dalam hatiku. “Apa karena Bintang kau ingin meninggalkanku?”
tanyaku datar. Gadis di sampingku terdiam. Namun aku bisa melihat tetesan air
matanya mulai mengalir. Aku tersenyum sarkastis, merasa muak pada diriku yang
teramat bodoh selama ini. Aku sudah tau sejak awal, jika keberadaan anak baru
di sekolahku itu hanya akan menambah peliknya hubunganku dengan Pricilia, gadis
lemah lembut yang ku pacari sejak seminggu kami duduk di kursi SMA.
“Kau tidak mengerti…” ujarnya di tengah isakannya.
“Apa kau mencintai Bintang?!” potongku. Gadis di sampingku kembali
diam. Aku memalingkan wajahku, mencibir sinis pada kenyataan itu. Aku masih
mengingat tulisan GALAKSI BINTANG yang tertulis dengan huruf besar di semua
buku pelajarannya seminggu belakangan ini. Dan mungkin inilah puncaknya. Puncak
segalanya! Mungkin mereka sudah tidak tahan untuk menunggu 3 bulan lagi sampai
kelulusan tiba, hingga harus menyakitiku!
Menyakitiku?!
Aku tersenyum sarkastis dengan pemikiran itu. selama ini aku selalu menjadi
pihak yang menyakiti, selama ini hingga akhirnya aku bertemu dengan bidadari
cantik itu. senyumannya yang menawan sudah menyita seluruh perhatianku sejak
pertama kali kami bertemu, tatapan matanya yang lembut sudah mengunciku dalam
kesenduannya, bahkan suaranya yang begitu merdu bagai dentingan lonceng itu
sudah membiusku sejak pertama kali aku mendengarnya berkata halo pada gadis
lain di sampingnya.
Pricilia Parrish, gadis rupawan yang akhirnya mengangguk pada kali
ketujuh aku menyatakan rasa cintaku padanya. Ya, di hari ketujuh kami duduk di
kursi kelas satu SMA. Sejak saat itu, hatiku terasa terkunci rapat-rapat. Tidak
ada satu gadis pun yang mampu mengalihkan perhatianku dari gadis itu,
kelembutannya, canda tawanya, wajah cantiknya… semua tentangnya telah
membiusku.
Bahkan kata-kata putus darinya mampu menyakitiku.
“Al… aku minta maaf.”
“Berhenti meminta maaf, sialan!” makiku kasar. Tubuh Pricilia
tampak menegang untuk sesaat. Air matanya kembali menetes deras. Dan aku muak
pada diriku sendiri yang ingin merangkulnya, menyeka seluruh air matanya,
meminta maafnya karena telah mengatakan perkataan buruk padanya.
Tapi di sini dia yang menyakitiku, menghianatiku. Dan dia
sudah meminta maaf, mengapa aku tidak memaafkannya saja?
“Aku ingin kita berpisah,” bisiknya.
Ah, aku mengerti sekarang. Kalau saja ia tidak memintaku untuk
berpisah dengannya, mungkin aku masih bisa memaafkannya, aku bisa berpura-pura
melupakannya, aku bisa berpura-pura tidak pernah mendengar pengakuannya. Tapi jika
ia ingin berpisah denganku untuk akhirnya bisa bersatu dengannya, aku tidak
bisa.
“Kau boleh membenciku…”
AKU MEMBENCIMU!
Teriakku dalam hati. Tapi sedetik kemudian aku sadar, aku tidak pernah bisa
membencinya. Gadis itu adalah cinta pertamaku, satu-satunya gadis yang
mengajariku bagaimana cara berbagi, bagaimana cara saling mengasihi. Dan kini
mengajariku bagaimana rasanya tersakiti.
“Aku minta maaf…”
“Berhenti meminta maaf, brengsek!” makiku gusar. Aku menghempaskan
cengkramannya dengan kasar. Memaki tidak jelas, menendang setiap kerikil yang
menghalangi langkahku dan berlalu pergi.
“Al…” panggilnya lirih.
Aku ingin berbalik, aku ingin berbalik untuk memeluknya dan
mengatakan bahwa aku tidak peduli dengan masalahnya bersama Bintang; bahwa aku
tetap mencintainya meskipun ia mencintai pria lain; bahwa aku tidak peduli jika
ia tidak mencintaiku!
Aku sudah hampir berbalik ketika gadis itu kembali berbicara,
“Tolong jangan sakiti Bintang, karena aku sangat mencintai Bintang…”
Dan aku mati.
***
7 years later
“Kau menangis?” cibirku ketika melihat wanita di sampingku menyeka
air matanya.
“Well, ini kisah yang cukup tragis.” Ujarnya sambil mengangkat
bahunya, berpura-pura tidak peduli. “Lalu bagaimana kabarnya setelah hari itu?”
Aku terdiam sejenak, pandanganku menerawang jauh, menembus setiap
dimensi waktu, mencoba menoleh pada kejadian 7 tahun yang lalu. Namun pada
akhirnya aku menggeleng. Menyerah pada memori yang tidak tersentuh itu. “Aku
tidak tau. Setelah kejadian itu ia pindah ke Bandung, dan sialnya bocah
brengsek itu pun ikut pindah. Sejak itu aku sudah muak. Aku sama sekali tidak
ingin mencari tau tentang mereka.” Ujarku datar, aku menghela nafas panjang
untuk menyamarkan emosi yang selalu muncul ketika aku memikirkan tentang masa
lalu itu.
Padahal sudah 7 tahun lamanya, aku sudah memiliki kehidupanku, aku
sudah sukses dengan segala cita-citaku sebagai pengacara. Aku sudah berhasil.
Namun 7 tahun lamanya juga jiwaku kosong, senyumanku palsu, semangatku hanya
sebuah kamuflase. 7 tahun lamanya aku terluka.
“Aku sangat membencinya,” bisikku tanpa sadar. Wanita cantik di
sampingku tersenyum tipis. Ia adalah satu-satunya wanita yang berhasil mengorek
memori emosiku yang terdalam. Patnerku dalam ruang persidangan.
“Kau tidak ingin mengetahui bagaimana keadaannya?” Tanya gadis itu.
Aku tersenyum mencibir dan menyeruput kopiku yang sudah kehilangan hawa
panasnya.
“Untuk apa? Untuk kembali menyadarkan diriku bahwa dia tidak lagi
mencintaiku?!”
“Bagaimana jika dia masih sangat mencintaimu?”
“Dia tidak mungkin mau meninggalkanku.”
“Dia tidak pernah mau meninggalkanmu, tapi dia harus… dan tidak
bisa menolak…”
Aku mengernyit sambil memandang wajah wanita di sampingku. Baru
kali itu aku melihat wajahnya dengan seksama, entah mengapa wajahnya terasa
begitu familiar di mataku. Seakan di sanalah aku menyimpan luka itu.
“Mungkin ini bisa membantu.” Bisiknya seraya meletakan sebuah surat
di atas meja kantin pengadilan negeri itu. Aku terdiam sejenak, mataku menatap
tulisan tangan di depan amplop itu dengan tatapan tidak percaya.
GALAKSI BINTANG
Tulisannya masih sama. Dan kebencian yang ku rasa pun masih sama.
Sialnya, cinta itu pun masih sama besarnya seperti 7 tahun yang lalu. Ketika ia
masih tersenyum karena memandangku, tertawa karena candaku, dan masih
mencintaiku sepenuhnya.
Aku menoleh kembali ketempat dimana wanita itu duduk di sampingku,
namun tempatnya sudah kosong. Ia meninggalkanku sendiri dengan sepucuk surat
itu. Memberikanku waktu untuk sekedar mengkaji bukti-bukti dari pembela. Rasa rinduku
kembali membuncah, hingga sesak dadaku dibuatnya.
GALAKSI
BINTANG, 2004
Hai.
Masih bisakah aku menyapamu? Menanyakan kabarmu?
Tapi kau tenang saja, aku sudah mengirimkan berjuta doa pada Tuhan
untuk keselamatanmu, untuk kebahagiaanmu. Dan Tuhan pasti mendengar itu… dia
harus mendengarnya.
Ingat ketika pertama kali kita terdampar di pantai ketika itu?
ketika rombongan yang mengikuti acara penutupan MOS itu tanpa sengaja
meninggalkan kita di sana, tanpa perbekalan, tanpa uang sepeserpun, dan tanpa
alat komunikasi.
Aku menangis keras, dan kau merangkulku, menenangkanku meski kau
sendiri tampak sangat cemas. Kau tau, itu adalah salah satu dari 7 saat
terindah dalam hidupku. Ketika kita sama-sama berbaring di atas hamparan pasir
yang hangat, memandang langit malam yang begitu indah, bertabur bintang-bintang
bagai berlian di atas meja hitam.
Sejak saat itu, aku menyukai bintang.
Aku menyukaimu.
Aku tidak tau, apakah aku berhak menerima maafmu atau tidak.
Tapi aku benar-benar meminta maaf…
Maafkan aku…
Aku sudah terlalu banyak menyakitimu, aku tau itu. dan kau harus
tau bahwa semua itu juga menyakitiku. Semua itu melukaiku sama dalamnya
sepertimu… bahkan mungkin lebih dalam.
Kau tau… terkadang Tuhan memberikan pilihan yang tidak mudah dalam
hidup ini. Mereka bilang ini adalah sebuah ujian hidup, sebuah jalan yang harus
kita lalui untuk menaiki satu tingkat lebih tinggi lagi. Mereka, orang-orang
itu, juga mengatakan bahwa Tuhan tidak akan memberikan ujian pada mahluknya
lebih dari batas kemampuan mereka…
Tapi nyatanya mereka salah. Atau mungkin aku yang terlalu lemah??
Aku terluka…
Aku juga terluka Al. tapi aku tidak bisa mengelak. Ini adalah jalan
yang diberikan Tuhan padaku, pilihan yang harus ku tentukan. Dan maafkan aku
karena telah memilih jalan itu. Jalan yang pada akhirnya menyakiti kita berdua.
Andai bisa memutar balikan waktu, aku ingin mengulang segalanya.
Mengulang setiap detikku bersamamu. Mengulang seluruh kisah itu, hingga kau
bisa tau betapa besarnya cintaku untukmu.
Dunia ini begitu luas… begitu indah…
Dan aku tidak ingin meninggalkanmu dengan luka, tapi pada akhirnya
aku tetap melukaimu. Maafkan aku…
Al, terkadang ada beberapa hal yang tidak bisa kita ingkari.
Seperti cintaku padamu.
Aku mencintaimu,
Aku sangat mencintaimu.
Tapi aku harus pergi…. Meski hal yang sebenarnya ku inginkan adalah
tetap bersamamu, duduk di sampingmu, menemanimu sampai tua menjemput kita.
Tapi Tuhan memaksaku untuk pergi.
Mereka bilang… melupakan seseorang karena rasa benci itu akan lebih
mudah. Dan aku ingin kau melupakanku… walaupun tentu saja itu akan menyakitiku
teramat dalam. Tapi aku tidak ingin menjadi kenangan untukmu, aku tidak ingin
membuatmu berandai-andai bahwa aku berada di sampingmu. Aku tidak ingin kau
menyesali pertemuan kita. Dan jika dengan membenciku kau akan lebih mudah untuk
melupakanku… aku rela…
Jangan bertanya tentang perih itu.
Aku sudah lelah menangis, aku sudah lelah menghitung hujan. Dan
kini aku sadar sekeras apapun usahaku untuk menghitung tetesan air itu, aku
tidak akan pernah mampu menemukan titik temunya. Aku sudah lelah menunggu
keajaiban.
Al… aku sakit…
Aku mengidap kanker. Dan aku akan mati….
Kau tau apa yang pertama kali muncul di benakku ketika mengetahui
hal itu?
Wajahmu… aku tidak ingin melihatmu menangis di samping makamku. Aku
tidak ingin… karena saat itu aku tidak bisa kembali untuk menghapus air matamu.
Ku mohon, jangan pernah menangis untukku.
Tetaplah membenciku, jangan pernah menangisiku…
Aku lelah… aku lelah merasa khawatir jika sewaktu-waktu jantungku
akan berhenti. Aku lelah pada rasa takut akan membuatmu terluka, aku tidak
ingin meninggalkanmu. Aku sama sekali tidak ingin meninggalkamu.
Tapi Tuhan begitu jahat Al…
Dia memaksaku untuk pergi darimu. Dia memaksaku untuk berhenti
berharap.
Aku tidak pernah merasa setakut ini untuk menghadapi kematian.
Tidak pernah. Tapi ketika melihat wajahmu, aku takut… aku takut kau akan
bersedih. Aku takut kau akan kesepian. Aku takut aku akan merasa kesepian
tanpamu.
Aku mencintaimu Al…
Tapi pada akhirnya… kita tidak bisa melakukan apapun. Hidup dan
mati ada di tangan Tuhan. Kau tidak boleh menyalahkan Tuhan akan kejadian ini.
Aku mengerti…
Tuhan mempertemukan kita untuk mengajariku bagaimana caranya
berbagi, bagaimana caranya saling mengasihi, dan menunjukan tentang keindahan
cinta.
Terima kasih Al, terima kasih atas seluruh cinta yang kau berikan
padaku. Terima kasih banyak. Kau adalah hal terindah yang pernah terjadi pada
hidupku. Kau adalah segalanya untukku. Dan aku sudah menghabiskan sisa hidupku
untuk terus mendoakan sisa hidupmu. Semoga kau bahagia Al…
Dan kisah bintang itu.
Aku tidak pernah mencintai orang lain.
Aku mencintai bintang karena dirimu, ketika pertama kali kita melihat
hamparan bintang itu di pantai. Ketika kau menunjukan tentang galaksi galaksi
bintang yang begitu menakjubkan. Konyol memang, tapi aku sampai menuliskan
kata-kata itu di setiap lembaran yang ku temui. Bahkan di Koran ayahku.
Berharap jika kita akan kembali bertemu di tengah kelamnya malam, saling
menyinari satu sama lain seperti bintang-bintang itu.
Galang… aku mencintaimu, seperti bintang mencintai rembulan. Meski
kadang bintang tak terlihat, tetapi ia selalu ada.
aku tidak tau apakah kau akan membaca ini atau tidak. Begitu banyak
hal yang ingin ku utarakan, namun begitu sempit waktu yang ku miliki. Berjuta
surat pun ku tulis takkan mampu mewakili rasa sayangku selama ini.
Aku pergi…
Membawa berjuta cinta itu…
Membawa berjuta kenangan itu…
Tetaplah bersinar Al… berikan cahayamu sebagai tanda agar aku bisa
kembali menemukanmu suatu saat nanti.
With
love Galaksi bintang
Pricilia
Parrish,
Galang and Sila love in the stars
Aku menutup surat itu dengan perlahan, begitu
hati-hati khawatir peninggalannya yang terakhir akan rusak karena air mataku.
Ku raba tulisan tangannya dengan ibu jariku, kemudian tersenyum tipis, sebelum
akhirnya memantapkan hati untuk menemui wanita yang ku yakini bernama Arianna
Parrish itu dan berterima kasih.
Kau lihat Pricilia, ternyata
Anna sudah tidak segendut dulu, batinku ketika akhirnya menemukan sosok cantik adiknya di ruang
sidang. Ia tersenyum tipis dan mengangguk untuk alasan yang sama-sama kami
tidak mengerti.
The end
0 komentar:
Posting Komentar