Hembusan
angin malam itu tampak begitu asing, tidak seperti malam-malam sebelumnya yang
berhembus lembut di antara dedaunan yang terdiam sunyi menunggu fajar. Seakan
menunggu akan datangnya sebuah keajaiban, malam pun turut membeku.
Jangkrik-jangkrik yang biasanya bersuara nyaring kini bersembunyi di balik
bebatuan, bahkan nyamuk-nyamuk pun lebih memiliki berkumpul dengan kelompoknya
dari pada harus keluar persembunyian mereka. Bukan, bukan karena mereka tidak
lapar, tapi mungkin mereka hanya enggan melihat gadis itu lagi, melihat air
mata itu lagi, melihat kekecewaan itu lagi.
Setetes air
mata mengiringi setiap kedipan gadis itu, sayangnya, sebanyak apapun ia sudah
menangis, air matanya takkan pernah mengering, dan lukanya tidak pernah
terobati. Rindu yang takkan pernah bertepi.
Sekali lagi
Mary menyeka air matanya, mengukir sebuah senyuman simpul di wajah manisnya,
dan memantapkan hatinya, bahwa masih ada purnama-purnama yang selanjutnya,
malam purnama di mana rindunya akan terobati. Ia meraih tasnya yang tergeletak
di kursi sebelahnya, kemudian bangun dari duduknya, bersiap untuk meninggalkan
taman yang sunyi.
Keningnya
sedikit berkerut ketika merasakan ponsel di saku jeansnya bergetar. Telepon
dari Rama, sahabatnya.
“Dimana
kau?” Tanya Rama sebelum Mary sempat mengucapkan kata Halo.
“Di rumah.”
Jawab Mary pelan.
“Bohong. Aku
di rumahmu sekarang, dan kau tidak ada.” Tukasnya geram. Mary mendesah lelah
dan menutup teleponnya. Ia menjejalkan ponselnya kembali ke dalam saku jeans,
berpura-pura tidak peduli pada getaran-getaran yang disebabkan oleh telepon
Rama yang selanjutnya.
***
“Kau sudah
dewasa, kau tidak bisa terus-terusan seperti ini. Rama mencintaimu, dan kau tau
itu, kita semua tau.” Ujar Ny. Lisa pagi itu. Mary yang tengah menyiangi
tanaman mawar kesayangannya terdiam sejenak, namun tidak menoleh. “Ibu tidak
pernah memaksamu untuk menikah. Ibu percaya padamu, ibu hanya ingin kau memberi
kesempatan pada Rama.” Tambah wanita berumur 56 tahun itu. Mary mendesah pelan
kemudian kembali menyibukkan dirinya dengan mawar-mawar itu. Ia memotong
setangkai mawar yang melayu, dan setangkai yang masih begitu segar. Namun
keduanya ia buang begitu saja di tempat sampah bersamaan dengan daun-daun
kering lainnya.
“Kenapa
kakak membuang mawar itu?!” Tanya Nila adiknya.
“Karena
mawar itu rusak,”
“Tapi dia
masih segar.”
“Tapi dia
rusak. Kalau dibiarkan dia akan merusak yang lainnya.” Ujar Mary sebelum
berlalu pergi ke kamarnya. Nila tertegun mendengar perkataan kakaknya. kemudian
merapihkan rok abu-abunya dalam diam, berusaha menutupi kegalauannya akan sikap
kakaknya yang tidak lagi bersahabat.
Baginya Mary
adalah kakak yang sangat sempurna, ia baik hati, pintar dan cantik. Sikapnya
yang lemah lembut membuatnya selalu merasa tenang, meski begitu ketegarannya
yang tak tergoyahkan juga berhasil membantu mereka semua keluar dari
keterpurukan ketika ayah mereka meninggal. Hingga hari itu tiba, ketika tanpa
sengaja malam bulan purnama berubah menjadi malam berhujan yang begitu kelam.
Mary yang dikenalnya pun menghilang, seperti rembulan yang ditelan kelabu malam
itu.
***
Mary
tersentak kaget dari lamunannya ketika ia mendengar pintu ruangannya dibanting dengan
keras. Seakan baru tersadar dari lamunannya, ia merasa tubuhnya mendadak
bergetar, menggigil kedinginan meski ac di ruangannya sudah dimatikan.
Kata-kata pria itu kembali terngiang di telinganya. Kata-kata yang entah
bagaimana mampu membius sosok muda Mary.
“Tunggu,
tunggu aku. Aku pasti akan segera kembali. Tepat di malam bulan purnama yang
selanjutnya, aku akan menemuimu. Di tempat ini, di taman ini. Tunggu aku,
karena aku mencintaimu.”
Ia
memejamkan matanya dengan perlahan, mencoba mengingat seluruh rentetan kejadian
yang manis itu. menjoba mengingat 7 menit yang paling indah dalam hidupnya, 7
menit yang paling berharga untuknya. Kemudian ketika kenyataan itu menghampiri,
ia akan jatuh menangid si depan meja nya, menutup matanya untuk menyembunyikan
air matanya yang tidak pernah mengering.
Entah sudah
kali keberapanya ia menangis di dalam ruangan kantornya yang sunyi, untuk
sesaat semuanya akan tampak bagai malam yang kelam, melengkapi sosok cantik
Mary dengan segenggam lukanya.
Mary menyeka
air matanya ketika mendengar sebuah ketukan di pintunya, seorang gadis
sebayanya tersenyum kikuk ketika muncul dari balik pintu itu, sadar bahwa
atasannya baru saja menangis. “Maaf Mar, ada telepon di line satu dari orang
yang bernama Hana,” ujarnya. Mary mengangguk dan langsung menyibukan dirinya
dengan gagang telepon di mejanya.
“MARRY!!!”
“Hai Han…”
sapa Mary lesu.
“Kau
kenapa?! Kau sakit? Atau habis menangis.”
“Jangan
bodoh, mana mungkin aku menangis.”
“Jangan
membodohiku Mary, aku sahabatmu!”
“Sahabat
yang tidak pernah bertemu.” Ralat Mary. Hanna meringis pelan.
“Tapi aku
tetap sahabatmu, meski kita sudah sepuluh tahun tidak pernah bertemu. Aku masih
menyayangimu, seperti ketika kita masih SD.” Tutur Hanna lirih. Mary terkekeh
pelan mendengar nada suara Hanna. “Dan sebentar lagi kita juga akan bertemu,”
ujarnya. Mary tersenyum tipis dan mengangguk, meski ia sadar Hanna tidak akan
melihat anggukannya.
“Iya aku
tau.” Ujarnya dengan sebuah senyuman simpul.
“Aku
menyayangimu Mary,”
“Sudahlah
Hanna, kita bukan pasangan lesbi, oke?!”
“Hahahaha,
kau benar. Kalau saja aku belum menerima pinangan pangeranku, aku pasti akan
menjadi pasangan lesbi terbaikmu.”
“Bodoh!”
desis Mary sambil tersenyum tipis.
“Aku hanya
ingin mengingatkanmu tentang hari pernikahanku!”
“Aku tidak
pernah lupa, kau meneleponku lima kali sehari untuk mengabari hal ini. Ku harap
pangeranmu itu benar-benar setampan yang kau ceritakan itu, ratu dongeng!”
“Hey! Kau
akan melihatnya sendiri. Kau juga pasti akan terpesona! Dia itu sangat teramat
menawan!!!” teriak Hanna bersemangat. Mary tersenyum tipis dan mengangguk
pelan. “Jangan lupa bawa pangeran Rama-mu!” tambahnya. Kening gadis itu
berkerut, bagaimana mungkin Hanna mengetahui tentang Rama? “Jangan
mengelak, Nila sudah menceritakannya padaku. Aku tidak habis pikir bagaimana
mungkin kau bisa menyembunyikan ini dariku?!” tudingnya geram.
“Aku tidak
ada hubungan apapun dengannya.” Ujar Mary perlahan.
“Ah, berhenti
berpura-pura. Bawa dia ke pernikahanku, aku tidak ingin sahabatku datang
sendiri di acara spesialku.” Tutur Hanna sebelum menutup teleponnya. Mary
mendesah lelah dan melirik kotak kecil hitam di atas mejanya dengan perih.
Kotak yang berisikan cincin yang tidak pernah bisa ia terima.
***
“Kau tidak
mengenaliku?” pertanyaan itu menghentakan jiwa gadis yang tengah membeku itu.
Matanya nanar menatap sosok tampan yang berdiri di hadapannya. Perlahan segores
senyuman terukir samar di wajah cantiknya. Ia menatap wajah di hadapannya
dengan penuh rindu. Kedua mata itu masih begitu indah dengan warna coklatnya
yang sangat cemerlang, rambutnya yang hitam tersisir rapih dengan gaya yang
elegan, membingkai apik wajah tampannya.
Tidak, tidak
ada yang berkurang dari pria itu. bahkan ia tampak bertambah tampan, dengan
stelan jas kasualnya, dengan senyuman hangatnya, dengan tatapan menyejukannya.
“Aku
sahabatmu, kau ingat? Kita pernah satu kelas dua tahun di SMA.” Ujarnya. Namun
Mary hanya terdiam. “Hm… kita pernah dihukum bersama-sama membersihkan gudang
karena bertengkar di perpustakaan.” Ujarnya mengingat-ngingat. Ia memijat
pangkal hidungnya sambil memejamkan matanya, mencoba mengorek memori lama yang
tampaknya sudah terlupakan. “Oya, ketika kelas satu kita juga pernah bertengkar
di lapangan basket. Ketika itu kau meminta timku untuk pergi karena ingin
menggunakan lapangan basket sebagai tempat penelitian kelompok kimia-mu.” Pria
itu tersenyum geli ketika mengingat masa lalunya. Ia berbalik ke arah pantai di
sampingnya, kedua tangannya tersembunyi di balik saku celananya.
“Kita bahkan
pernah tertinggal bus pariwisata ketika liburan kelas dua, hingga kita harus berjalan
lima kilometer untuk menyusul bis yang tengah beristirahat di pom bensin terdekat.
Dan sialnya tidak ada yang menyadari ketidak beradaan kita hingga kita datang,”
ia menggeleng-geleng pelan sambil terus tersenyum. “Oya, kita pernah menanam
pohon apel bersama. Hm… entah bagaimana kabarnya sekarang. Aku ingat kau selalu
bersikeras bahwa pohon itu akan mati karena suhunya tidak sesuai. Tapi akhirnya
kau tetap membantuku untuk menanamnya juga.”
“Kau adalah
murid teladan, dan semenjak kita bersahabat di kelas tiga, kau selalu terlambat
karena aku telat menjemputmu berangkat ke sekolah, maaf soal itu,” pria itu
mendesah pelan. Tampak tulus dengan permintaan maafnya. “Aku ingat ketika kita
menggabungkan perayaan hari ulang tahun kita di taman. Walaupun sedikit tidak
adil untukku, karena hari ulang tahunku masih berselang dua bulan lagi. tapi
itu adalah perayaan terindah yang pernah ku alami.”
Mary
menghela nafas panjang dan membungkuk untuk mengambil segenggam pasir. Matanya
nanar menatap birunya lautan di hadapan mereka.
“Sepertinya
kau mengingat hampir semuanya…” bisik Mary pelan.
“Ya, dan
sayangnya tidak ada satu hal pun yang kau ingat tentang kita.”
“Tentang
kita…” Mary tersenyum sinis. Ia mengulurkan tangannya yang menggenggam pasir,
kemudian membuka genggamannya dengan perlahan, hingga angin pantai sore itu
menerbangkan butiran pasir di genggamannya. “Kenangan itu… akan seperti ini…
menguap sedikit demi sedikit, hingga akhirnya hilang sama sekali…” bisiknya
sambil membuka jemarinya lebih lebar lagi, hingga butiran pasir itu menghilang
seluruhnya dari genggamannya.
Hembusan
angin bertambah kencang kala itu, menjemput pasang air yang mulai naik,
menjemput malam dengan segala kekelamannya. Mary berdiri di sana, dengan gaun
terindahnya, dengan penampilannya yang paling teristimewa, seakan ia sudah tau
jika ia akan menemui sosok sempurna itu hari ini. Ia tersenyum tipis melihat
warna senja yang perlahan menghilang, tergantikan oleh kemilau cahaya rembulan.
“Tentang
kita…” bisik pria itu pelan.
“Tentang
kita…” potong Mary cepat. “Aku hanya bisa mengingat 7 menit terindah dalam
hidupku. 7 menit teristimewa dalam hatiku. Sekaligus menjadi 7 menit kenangan
terbaikku. Dan kini terasa seperti 7 menit yang begitu menyakitiku.” Ia
tersenyum pahit pada malam yang menyapa dalam diam. “Kau lihat rembulan itu.
hampir bulat sempurna, namun belum sepenuhnya bulat. Ada sisi sisi yang masih
belum terlihat. Dan aku sangat mengharapkan jika suatu hari nanti aku bisa
melihat bulan dengan bulatan yang sempurna. Tapi nyatanya aku tidak pernah
bisa, sebulat apapun ia, ia akan selalu memiliki bagian yang terpotong oleh
kelamnya malam. Ia tidak pernah menjadi purnama di mataku.”
“Mary…”
“Purnama di
mataku.” Mary mengulangi kata-katanya dengan senyuman meremehkan. “Dan
bodohnya, meski aku tau rembulan itu tidak pernah menjadi purnama, aku tetap
menanti. Aku tetap duduk bodoh di sana, menanti sang rembulan memberikan
cahayanya sepenuhnya kepadaku.”
“Mary…”
“Kau…
ingatkah janji itu? janji manis yang kau ucap dengan sepenuh hati… janji bahwa
kau akan kembali… janji untuk menemuiku di malam indah ketika purnama hadir,
janji yang tidak pernah kau tepati..
“Kau
mengingat banyak hal, namun tidak dengan janji itu, karena kau memang sengaja
melupakannya. Melupakan 7 menit kenangan yang selalu ku ingat di sepanjang
hidupku. Melupakannya karena kau tidak benar-benar ingin kembali.”
“Mary… aku…”
“Sudahlah.
Itu hanya sebuah kisah kelam seorang gadis bodoh dengan rembulan di matanya.
Hanya sebuah kisah klise tentang cinta dan kenangan yang mengundang perih jika
dikenang. Kau tidak perlu merasa bersalah. Aku terluka karena kebodohanku
sendiri. Dan maaf, kau memang kenangan terindah dalam hidupku, tapi aku tidak
bisa terus mengingatmu, karena itu hanya menaburkan luka ketika akhirnya aku
sadar bahwa kisah kita hanya sebuah kenangan yang takkan pernah terulang. Maaf,
tapi aku harus melupakanmu…” Mary membalikan tubuhnya, bersiap pergi
meninggalkan pantai, meninggalkan rembulan, meninggalkan pangerannya.
“Aku tidak
bisa kembali… bukan tidak ingin…”
Setetes air
mata mengalir begitu saja ketika Mary mendengar kata-kata pria itu. ia menghela
nafas panjang dan tersenyum tipis, menertawakan dirinya yang begitu lemah di
hadapan kata cinta itu.
“Dan Adit,
aku ingin mengucapkan selamat untuk pernikahanmu dan Hanna besok. Sampaikan
maafku pada Hanna karena tidak bisa menghadiri pernikahan kalian.” Mary menyeka
air matanya perlahan. “Karena rasanya aku tidak sekuat itu…” bisiknya sebelum
berlalu pergi menuju hotel tempat pernikahan sahabatnya akan diadakan esok
hari.
The
end
3 komentar:
Huwwaaaa.. Sdih bgtt..:'(
Ckckck
Awalny ak bingung.. Tpi stelah tw...:'(
Oia mbak, ni critany ttg si cwok yg d jodohin ato si cwok yg pngkhianat? Ak bingung.. Soalny dia blg dia tdk bsa kmbali bkanny tdk ingin..
CherrrryYyyyyy....
Tanggung jawab!!!!!!
Membuat pagi butaku menangis....
ƪ(-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩__-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩)ʃ
Huaaa kenapa mesti begitu :'(
Posting Komentar