“KAMU
BISA DIAM?!!”
Bentakan
itu luar biasa keras, membuat seorang gadis remaja yang sedari tadi tengah
berbicara mengenai banyak hal langsung terdiam. Wajahnya langsung membeku,
kedua tangannya saling bertautan dengan erat, ketakutan dengan apa yang ia
lihat.
Seorang
pemuda berumur beberapa tahun lebih tua darinya tampak berdiri menjulang di
hadapannya. Matanya melotot, bulat, nyalang penuh kemarahan. Kedua tangannya
terkepal di kedua sisi tubuhnya, menahan gejolak amarahnya kepada gadis itu.
“Dari
tadi kamu tanya ini dan itu! sebenarnya apa yang sedang kamu kerjakan?! Kalau kamu
butuh informasi yang terpercaya kenapa kamu nggak tanyakan saja pada penjual
alat-alat itu?! atau pergi ke perpustakaan! Baca bukunya!” bentaknya kesal.
Suasana
kelas hari itu memang tidak terlalu ramai. Murid-murid yang lain sudah banyak
yang pulang. Hanya ada dua orang siswi dan satu orang siswa yang masih
mengerjakan tugas mereka, serta ia dan gadis itu. semua mata sontak tertuju ke
arah mereka, membuat sang gadis salah tingkah.
“Kamu
tau! Kamu adalah orang yang paling merepotkan yang pernah aku temui di muka
bumi ini! orang yang paling menyebalkan! Berhenti menanyaiku tentang hal-hal
aneh itu!” ujarnya sebelum menutup buku yang tengah ia baca kemudian menarik
ranselnya dengan asal, membuat sekotak kartu domino terjatuh begitu saja dari
dalam tasnya yang tertutup sebagian.
Lima
menit berlalu, gadis itu masih duduk di kursi yang sama, masih dengan ketakutan
yang sama, masih dengan air mata yang sama.
***
“Kamu
datang?” pertanyaan itu tak terjawab, dan memang tidak membutuhkan jawaban
apapun. Gadis itu kembali menatap langit-langit kamar rawat inapnya. Matanya terbuka
lebar, dengan usaha menahan air matanya yang sia-sia. “Maaf…” katanya dengan
lirih, terdengar samar di balik alat pernafasannya. “Maaf, karena selalu
merepotkanmu… tapi kamu pasti senang. Setelah ini, kalau aku mati…” ia terdiam
sejenak, perih menahan isak di dadanya. “… kamu nggak akan pernah diganggu lagi,”
tetesan yang lain, ia hampir terisak. “…kamu akan tenang kalau aku mati…”katanya
dengan rapuh.
“Kalau
kamu mati, aku juga akan mati…” itu pernyataan yang tidak pernah terduga
sebelumnya, baik oleh gadis itu, maupun oleh dirinya sendiri. Mereka tertegun
dalam kebingungan masing-masing. “Aku akan mati karena bosan.” Tambah sosok
itu. Ia menatap sepatu sekolahnya dengan mata berkaca-kaca. “Kamu harus sembuh.
Aku berjanji nggak akan membentakmu lagi.”
“Tapi
aku menyebalkan…”
“Aku
tau.”
“Tapi
mereka bilang, mereka akan mengambil ginjalku, aku akan bergantung dengan obat.
Aku nggak akan bisa berlari lagi, aku nggak akan bisa bernang lagi, aku nggak
akan sama lagi.”
“Aku
tau. Aku akan menjagamu, seumur hidupku. Akan ku jawab semua pertanyaan
konyolmu, siang dan malam. Akan aku lakukan apapun untuk menjagamu tetap hidup.
Aku akan menjagamu. Percayalah. Sembuhlah. Ku mohon…”
Senyuman
gadis itu perlahan tersungging tipis. Ia begitu menyukai pemuda itu. Pemuda
pintar yang terkadang menggunakan kaca mata di dalam kelas. Pemuda yang selalu
menjadi favoritnya ketika menonton pertandingan basket. Pemuda yang mempesona. Pemuda
yang sudah ia sukai sejak pertama kali ia berada di sekolah itu.
Gadis
itu mengangguk perlahan ketika seorang suster masuk ke dalam kamar rawat
inapnya. “Sudah saatnya sayang…” kata suster itu dengan ramah.
Lagi-lagi
gadis itu mengangguk. Pemuda itu turut berdiri dari kursinya, membiarkan sang
suster mempersiapkan segala sesuatu yang ia butuhkan untuk oprasi gadis itu.
“Tunggu…”
kata gadis itu dengan perlahan. “Ini…” ia mengulurkan tangannya dengan sekotak
kartu domino yang mulai lusuh. “Aku senang, kita tidak seperti domino. Aku menyayangimu,
dan kamu menyayangi orang lain.” Terangnya dengan lugu.
“Tidak
Raihana, aku hanya menyayangimu. Cepat sembuh.”
***