BAB
LIMA
Hujan
Hari Itu
Aku
tersentak kaget ketika melihat Lena di dalam kamarku sepulang sekolah hari itu.
ia menoleh dan tersenyum kepadaku. “Jadi bagaimana acara dating mu kali ini?”
tanyanya. Aku mendelikan mataku.
“Kau
akan menginap?” tanyaku tidak percaya. Lena mengaguk, dan senyumanku melebar.
“Astaga Lena… aku sangat senang kau ada di sini.” Aku memeluk sosok sahabatku
erat-erat. Lena terkikik pelan kemudian melepaskan pelukanku. “Jadi sekarang
ceritakan semuanya! Lengkap dengan detail detail kecilnya.”
“Kau
tidak akan percaya!!” desisku penuh kebahagiaan, untuk saat itu aku kembali
lupa akan seluruh isak tangisku karena kak Sam.
Lena
menghentikan langkahnya ketika kami baru saja memasuki gerbang sekolah hari
itu. aku meliriknya heran. “Ada apa?” tanyaku. Ia memutar bola matanya kemudian
menyembunyikan ekspresi hatinya. Seakan bisa mengelabui kepekaanku akan suasana
hatinya.
“Kak
Stefan sudah pulang,” bisik Lena. Aku mendelikan mataku.
“Astaga…
kapan?? Mengapa kau tidak menceritakannya padaku?” tanyaku antusias.
“Harusnya
dia sudah datang semalam,” ujar Lena. Aku kembali mendesah. Dan semalam ia
malah bermalam di rumahku?? “Aku merasa sangat gugup, jadi aku kerumahmu, tapi
ternyata kau belum pulang, aku menunggumu dan akhirnya menginap,” ia
menjelaskan semuanya secara singkat. Aku meringis. Bukankah seharusnya ia
mengatakan hal ini semalam?? “Tapi aku sudah tidak sabar untuk bertemu
dengannya!!” pekiknya riang. Aku tersenyum lebar menatapnya. Ia memang sangat
menyayangi kakak semata wayangnya, yang selama ini melakukan studi di Amerika.
Aku juga cukup dekat dengan kak Stefan, ia adalah sosok kakak yang menyenangkan
dan baik hati. Ia begitu menyayangi Lena, dan itu adalah hal yang paling aku
sukai darinya.
“Kau
harus menemuinya juga,” bisik Lena. Aku mengaguk mantap. tentu saja!!
Aku
tersenyum tipis ketika melihat Ethan kembali memasukan bola ke dalam ring. Ia
memang hebat. Dan aku benar-benar menyukainya. Tapi sayangnya, bukan aku saja
yang tergila-gila padanya. Tetapi hampir seluruh siswi yang tenagh berada di
lapangan basket saat ini. Mereka meneriaki namanya, dan ini membuatku gerah
sekaligus kesal.
“Kak
Ethan sangat keren!!” bisik seorang siswi, aku meliriknya, sepertinya mereka
kelas kelas satu. Kedua gadis itu menatap Ethan penuh kekaguman. Aku mendesis,
lama-lama aku bisa gila jika terus seperti ini. Tetapi sialnya, aku tidak
memiliki wewenang untuk meminta diam dan berhenti menatap pangeranku. Aku
mencoba mengatur gemuruh hatiku setenang mungkin.
“Hm,
aku dengar dia itu dekat dengan kak Sazkia,” ujar gadis lainnya. Mataku spontan
melebar. Aku mulai tertarik dengan arah pembicaraan mereka.
“Yang
benar saja??!” pekik gadis kriting yang sepertinya sangat memuja Ethan. Ia
menatap sahabatnya tidak percaya. “Padahal dari yang ku dengar, Kak Ethan itu
lebih cocok dengan adik mantan ketua basket yang dulu,” ujar gadis kriting itu
lagi. Sahabatnya mengerutkan keningnya. “Kabarnya dia juga tampan, aku sudah
melihat agenda tahunan mereka, dan memang benar-benar tampan, andai saja dia
belum lulus,”
“Siapa
namanya?” Tanya sahabatnya, dan aku pun memiliki rasa penasaran untuk jawaban
gadis kriting itu. merasa sedikit terancam dengan sosok yang mereka pikir cocok
disandingkan dengan Ethan-ku.
“Stefan.”
***
Hujan
mendadak turun hari itu. aku mematung di kantor jurnalistik, menatap hujan dari
jendela yang berembun. Sekolah sudah bubar sejak jam 4, seperti biasa. namun,
aku memilih tinggal di kantor. Well, sejujurnya ini memang caraku untuk kembali
menghindari Lena. Aku tau ini sangat buruk, namun percakapan siswi kelas satu
di lapangan tadi membuatku merenung akan semuanya. Sosok Lena memang lebih
cocok bersanding dengan Ethan dari pada aku. Bagaimana aku bisa tidak
menyadarinya??
Aku
sangat bersyukur karena mendapati ruang kantor itu sepi sore ini. Aku tidak
ingin memulai perseteruanku dengan ketua Jurnalistik yang angkuh itu. tidak di
hari berhujan seperti ini. Dan tentu saja Ethan adalah orang kesekian yang juga
tidak ingin aku temui saat ini. Pengecut memang, namun hormone remajaku
memaksaku mendramatisir semua kisah konyol ini.
“Kau
disini?” aku tersentak ketika mendengar suara yang tidak asing di belakangku.
“Aku mencarimu,” aku mendesah, entah mengapa kata-kata itu memilin hatiku. Aku
menoleh dan mengangkat bahu.
“Aku
harus menyelesaikan beberapa artikel,” dustaku. Lena mengaguk pelan. wajah
cantiknya terlihat sendu. “Aku pikir kau sudah pulang,” ujarku mencairkan
suasana. Lena melirik tumpukan kertas di sampingnya.
“Aku
pikir kita bisa pulang bersama,” ujarnya. Aku tersenyum dan mengaguk.
“Tentu,”
bisikku kemudian meletakan kertas-kertas yang sedari tadi ku pegang.
Hujan
semakin deras. Dan malam akan segera datang, kami masih duduk di depan kelas
menunggu hujan mereda. Aku melirik Lena yang masih menatap hujan. Kalau bukan
karena keberadaannya di sini mungkin aku sudah menelepon mama untuk
menjemputku. Sejak kecil aku memang takut akan kegelapan. Dan Lena di sini
adalah sebuah lentera yang tak ternilai untukku.
Pukul
6.30, hujan tidak juga mereda, kami memutuskan meminjam paying di kantor
jurnalistik. Sudah terlalu larut untuk menunggu hujan itu mereda. Dan aku mulai
kedinginan.
Kami
berjalan perlahan di tengah temaram lampu jalanan. Suasana petang itu begitu
sunyi. aku merasakan cengkraman Lena di pundakku mengencang ketika kami
melewati sebuah kafe beberapa puluh meter dari sekolah. Aku tersentak dan
membeku menatap dua sosok di hadapan kami. Mereka baru saja keluar dari kafe
dan bersiap untuk pulang. Entah mengapa hatiku terasa begitu sakit dan marah.
Aku mengepalkan tinjuku. Aku tidak bisa menerima perlakuan menjijikan mereka
begitu saja. namun kemudian aku mulai menyadari sosok Lena di sampingku. Dia
seharunya lebih terluka dari pada aku.
Aku
melirik Lena yang menunduk di sampingku. Aku bisa melihat air matanya, namun
entah menyapa aku juga melihat goresan senyuman tipisnya. “Le…” bisikku pelan.
Lena mengangkat wajahnya, tatapannya lembut.
“Ayo
pulang,” bisiknya. Aku seperti terhipnotis, dan hanya mengikuti langkahnya yang
tertatih. Namun aku sadar, sampai kapanpun aku tidak akan bisa melupakan
kejadian di hari berhujan saat ini. Kebencianku pada kak Andrew sudah tidak
bisa ditoleri lagi.
“Kau
seharusnya marah padanya Le!!” teriakku kesal ketika kami sudah berada jauh
dari kafe itu. Lena menghentikan langkahnya, namun tidak menatapku. Ia hanya
tersenyum dan menggeleng. “Dia menghianatimu!” tambahku. Lena menatapku, dan
aku melihat kepedihan itu di matanya.
“Aku
yang meninggalkannya.” Ujar Lena. Aku tersentak. Sebuah reaksi yang seharusnya
tidak hadir dalam diriku. Tapi aku tetap menatapnya dengan keterkejutanku yang
perih. “Mungkin ini lah yang terbaik,” ujarnya lagi.
“Oke!”
bentakku. “Kalau begitu mulai sekarang kau harus berhenti mencintainya!”
“Tidak
bisa,” bisik Lena. Aku menatapnya kesal. Bagaimana mungkin ia bisa menahan rasa
sakit itu???
“Le!
Apa kau sudah gila?? Dia jelas-jelas berselingkuh di depanmu!”
“Tapi
aku yang meninggalkannya terlebih dahulu,” Aku mendelikan mataku. Aku
benar-benar membenci kata-katanya itu. “Aku yang meninggalkannya…” ulang Lena
lagi, kini berupa ratapan. Aku menangis, berjalan menjauh darinya. Aku tidak
ingin mendengar ratapannya lagi. Tidak ingin sama sekali!!!!
***
Mama
menghadang langkahku ketika aku berjalan masuk ke rumah. Tatapan matanya sendu.
Ia mengambil sehelai handuk dan mulai mengeringkan kepalaku dalam diam. Aku
hanya terdiam, meski hatiku terasa sakit menahan tangis. kemudian tangan
lembutnya menyeka air mata yang entah sejak kapan mengalir di pipiku. Aku
mengangkat wajahku, menatap wajah mama yang begitu sendu. Kemudian tangis itu
pecah. Tangis perih yang selalu ku rasakan ketika kenangan itu menghantui.
Tangis perih yang mengingatkanku pada hari berhujan kala itu.
0 komentar:
Posting Komentar