Matahari
pagi menyinari wajahku, membawa ke hangatan yang merasuk ke dalam jiwaku. Pagi
ini ku lewati seperti biasa. Berangkat ke kampus dan bertemu dengan banyak
orang, mengerjakan berbagai tugas dan bertemu dengan beberapa dosen. Dari
sekian banyak orang itu, ada satu orang yang sangat ingin ku temui.
Adinda
Paras
cantiknya khas gadis yang berasal dari suku jawa. Kulitnya yang sewarna sawo
matang selalu berkilau indah dan lembut beraroma kesegaran lotion yang ia
kenakan. Matanya bulat indah dan bibirnya penuh seakan menggoda untuk di kecup.
Hidungnya, Ya Tuhan, hidung itu... terbentuk sempurna seperti Kau memahatnya
dengan khusus, tercipta hanya untuknya. Rambutnya lembut berwarna hitam, lurus
dan panjang. Sesuai dengan apa yang ku
suka. Tubuhnya mungil dan berkelok layaknya gitar spanyol.
Kau
menciptakannya dengan begitu indah sehingga aku begitu menginginkannya.
Adinda
selalu bermanja-manja denganku, menceritakan berbagai hal yang terjadi di
kelas-kelasnya yang lain, memegang tanganku dan memainkan rambutku dengan
jemarinya yang lentik. Tipe gadis yang ceria dan manis idaman semua pria. Gadis
yang selalu menemani hari-hariku.
Ku
lihat Adinda berlari kecil dari kejauhan, melambaikan tangannya padaku. Dia
mengenakan kemeja berwarna cream dengan celana jeans hitam yang melekuk indah
mengikuti bentuk kakinya. Rambutnya yang tergerai bergoyang seirama dengan
langkah kaki kecilnya. Tak lama ia sampai di hadapanku yang sedang duduk di
bawah pohon rindang untuk menunggunya di taman seperti biasa. Ia duduk di sampingku dan menaruh tas dan
buku yang di bawanya ke atas tanah berumput. Nafasnya terengah.
"Capek,"
eluhnya sembari mengambil kaleng coke milikku dan menyeruputnya begitu saja
tanpa tedeng aling-aling.
"Siapa
suruh lari?"
Ku
lihat dirinya mengambil tissue dari dalam tasnya dan mengelap keringat di
dahinya. Bibirnya berkerut. Sepertinya ia tak mau menjawab pertanyaanku.
"Mau
kemana?" Ku coba untuk mengalihkan perhatiannya.
Namun
dia menggeleng
Adinda
memutar tubuhnya menghadap diriku, menatapku lama. Kemudian bibirnya yang manis
mulai terbuka. Jelas, dia akan segera berkicau.
"Ky,
aku ini lugu banget ya?"
Aku
tersentak.
"Idih,
narsis banget kamu!”
"Ihhhh,
Lucky... Aku serius!!!"
Ku
palingkan wajahku ke arahnya. Matanya bulatnya terbakar api, membara. Ku rasa
ia benar-benar serius. Ku akui, Adinda memang lugu, tak pernah sedikitpun aku
mendengarnya berprasangka buruk terhadap siapapun.
"Kenapa
kamu nanya begitu?"
Bibir
manisnya berkerut lagi, kali ini dia terlihat sedang memikirkan sesuatu.
"Nggak apa-apa sih. Cuma nanya aja," ucapnya sambil mengangkat kedua
bahunya. Ekspresinya muram, wajah cantiknya tertunduk lesu. Jemari lentiknya
memainkan gantungan telepon genggamnya.
Ku
genggam tangan kirinya dan meremasnya perlahan. Ku tatap ke dua matanya dalam
ketika ia memalingkan wajahnya ke arahku sekali lagi. Entah mengapa di saat
itu, aku merasa kalau aku bisa mengerti apa yang ia rasakan di dalam hatinya. Ingin rasanya ku buat ia tersenyum kembali.
"Kenapa?"
tanyaku sekali lagi sembari menatap ke dalam matanya.
Ia
terlihat ragu namun sepertinya memutuskan untuk membuka mulutnya.
"Aku
kan belum pernah ciuman."
Tawaku
meledak saat itu juga. Aku bahkan tak bisa menghentikannya hingga tak terasa
mataku mulai berair. Ketika sudah mulai lelah, ku lirik Adinda yang duduk dengan
ekspresi wajah lucu karena marah. Gadis itu diam dan hanya menatap ke depan.
Tak memperdulikanku yang menatapnya. Ku putuskan untuk memulai pembicaraan
untuk mencairkan suasana.
"Maaf,
maaf. Aku kebawa suasana," kataku sambil meringis.
Adinda
masih terdiam. Rupanya ia benar-benar marah.
Ku
genggam tangannya, "Adinda."
Hening.
Ku
perbaiki posisi dudukku dan bergeser mendekat padanya. "Adinda,"
panggilku lagi.
Ia
memalingkan kepalanya, "Apa?" ketusnya yang malah membuatku geli.
"Jangan
marah dong, Sayang," rayuku sambil meremas tangan kanannya. Adinda
memasang wajah tak acuh. Masih terdiam memandang ke depan.
Angin
semilir berhembus meniupkan rambutnya yang hitam terurai, melambai di depan
wajahku. Aroma Strawberry dari rambutnya memenuhi paru-paruku. Membutakan
mataku. Aku menelan ludah.
"Adinda."
Ku dekati wajahnya. Nafasku berhembus menyentuh pipinya yang merona merah
akibat marah dan malu.
Ia
menoleh ke arahku. Wajah kami hanya berjarah beberapa senti saja. Namun, ia tak
mau mundur. "Apa?" Masih ketus.
"Kenapa
tiba-tiba kamu bilang begitu?"
Dia
terdiam. "Aku... aku malu, Ky," di palingkan wajahnya.
"Malu?
Malu kenapa?"
"Aku
kan udah 20 tahun!" teriaknya. "Temen-temen aku juga selalu ngomongin
tentang bibir pacar mereka. Tentang kemesraan mereka. Bahkan seks biasa mereka
lakukan tuh!"
"Ini demi kebaikan kamu,"
jelasku.
"Kebaikan
apa??? Aku kan cuma mau di cium! Ciuman! Kaya yang lainnya!"
Wajah
Adinda masih saja cantik meskipun ia marah-marah. Rambutnya berkibaran
mengikuti gerakan tubuhnya yang mencak-mencak. Pipinya masih memerah. Ku akui
terlalu mengekangnya jika di umurnya kini ia belum merasakan ciuman. Ku lihat
Adinda sudah menyandarkan tubuhnya, lengannya di silangkan di dada, pertanda
marahnya yang belum reda.
"Jadi
kamu mau di cium?" tanyaku dengan nada bercanda padanya.
"Indeed!"
"Kalau
begitu, hadap sini," kutarik dagunya yang mungil dengan tangan kananku.
Menghadapkan wajahnya sejajar dengan wajahku. Jantungku berpacu.
Semoga pohon rindang ini bisa menutupi
tubuh kami dengan sempurna.
Perlahan
ku dekati wajahnya, menghirup nafas yang ke luar dari bibirnya yang merekah. Ku
tempelkan bibir kami, perlahan dan lembut. Bersentuhan. Kulihat mata Adinda
terbelalak, terkejut akan langkah yang ku lakukan. Namun tak lama kemudian, ia
memejamkan matanya, terlihat seperti menikmati tiap detiknya. Ku beranikan
diriku untuk memagut bibir bawahnya, mengecap manisnya dan membasahinya.
Lembut. Tak kan bosan aku mengecap bibirnya yang ranum.
Tak
kusangka ia melakukan hal yang sama.
Adinda
mengecap bibir atasku, memagutnya seperti anak kecil mengemut permen. Tangan
kanannya ku sampirkan ke leherku. Adinda memainkan rambutku dan menarikku lebih
mendekat. Nekat, ku paksakan lidahku masuk ke dalam rekahan bibirnya.
Mempertemukan ke dua lidah kami. Hangat dan basah. Kecupan lembut
sekonyong-konyong berubah menjadi French Kiss yang liar. Erangan kecil sempat
sampai di telingaku. Erangan yang keluar dari bibir manis Adinda membuatku
semakin bersemangat memagutnya.
Kami
memisahkan diri karena kehabisan nafas. Jantungku berdetak sangat cepat
seakan-akan ingin melompat keluar dari dadaku. Ciuman terbaik yang pernah ku
rasakan sampai sejauh ini. Mungkin karena perasaan cinta.
Ku
lihat Adinda yang rona di pipinya belum juga menghilang. Kini semakin cantik
dengan kilatan basah di bibir mungilnya yang berwarna kemerahan. Dadanya naik
turun menunjukkan bahwa ia sama bersemangatnya seperti diriku. Ku perhatikan
matanya masih tertutup pasca ciuman dahsyat kami. Ciuman pertamanya, jelas.
Adinda
membuka matanya dan mengalihkan wajahnya ke arahku, menatap mataku dalam.
Seakan meminta lebih.
Tak ku
lepaskan pandanganku darinya. Ku usap pipinya lembut dengan tangan kananku.
Menyapukan ibu jariku di atas bibirnya yang masih basah. Tak sadar ku tenggelam
dalam mata bulatnya yang indah. Tersesat di sana. Tak tentu arah.
"Adinda!"
Aku
tersentak. Ku jatuhkan tanganku dari pipinya.
Seorang
pria muncul dari balik pohon kami.
"There you are!"
Adinda
tersentak, namun sedetik kemudian ia kembali tersenyum manis dan merapikan
semua barang-barangnya. Lekas ia berdiri dan membersihkan celananya dari
kotoran yang menempel. Kemudian, dihampirinya pria itu.
"Aku
berangkat ya, Ky!
"Iya.
Hati-hati di jalan." Balasku cepat.
"Oke,"
Adinda tersenyum manis. "Kamu jangan lama-lama nongkrongnya!"
"Iya."
Adinda
melambaikan tangannya padaku. Begitupun dengan Vino, kekasihnya. Mereka pergi
menjauh dari pohon kami, bergandengan tangan.
4 komentar:
yo wis mas lucky, sm ak aj yach wkwkwk
ehhhh, ud punya pacar? (--_--)\('́⌣'̀ )
lanjuttt, kentng ini, mkasih y syng
whoaaa,,,,
Kereeenn,,,
Tapi setuju ma Tika & Helda,,,ni kentang goreng bangetz,,
Ihhh,,,si Lucky hebat,,ngambil ciuman pertamany Adinda,, *tepuk tangan Pramuka,, :)
nahhh ini dia kisah keren dari author keren *yang ga mau di sebutin namanya* thanks hunnn... :*
Posting Komentar