BAB DELAPAN BELAS
Cinta untuk Cinta
Hembusan angin menerpa wajahku. Mata sebamku
terasa perih karena belum tidur sejak semalam. Berkali-kali ku hirup nafas
dalam-dalam untuk menenangkan gemuruh hatiku. Kemudian menatap penuh kasih
makam di hadapanku. Aku berjongkok di samping nisannya, membelai lembut penuh
kerinduan.
“Le, apa kabarmu?” bisikku. “Kau benar, kak Sam
tidak pernah sama seperti kak Stefan. Dia tidak pernah menganggapku sebagai adiknya.
Tapi dia mencintaiku Le,” aku meraba goresan namanya yang mulai kabur termakan
waktu. “Dan kau benar, aku memang mencintainya,”
Kemudian aku menangis.
****
Petang itu mendung masih terus menemani gerimis
rintik-rintik yang membuat suasana rumah sakit semakin menegangkan. Aku berdiri
disamping kak Lolita yang terus merangkulku, menguatkanku. Dokter Harun
tersenyum kepada kami.
“Ini adalah sebuah keajaiban,” bisiknya.
Kemudian kelopak mata pria yang tengah berbaring itu terbuka perlahan,
menunjukan mata coklat muda yang indah di baliknya. Aku mendesah penuh
kebahagiaan.
“Dimana aku?” tanyanya.
“Jangan bodoh, kau di rumah sakit!” ujar Galang
ketus. Namun aku bisa melihat ia berkali-kali menyeka air matanya. “Bodoh!
Sekali lagi kau melakukan ini, aku akan benar-benar membunuhmu dengan kedua
tanganku sendiri,” ujarnya. kak Lolita menarikku mendekat. Mata coklat kak Sam
melebar.
“Isabella,” desisnya.
“Ya, Isabella. Terkejut, hah?!” tuding Galang.
“Lita…” tangan kak Sam terulur untuk menyentuh
tangan kak Lolita.
“Ah, Tidak lagi Sammuel, aku tidak lagi
menyewakan istriku untuk menjadi pasangan palsumu lagi,” kata Galang seraya
menarik sosok kak Lolita. Mata kak Sam langsung membulat marah.
“Sam, kami senang kau sudah siuman, kami pergi
dulu,” ujar kak Lolita lembut sebelum berlalu pergi meninggalkan kami. Dokter
Harun tersenyum tipis dan berlalu tepat dibelakang mereka.
Kak Sam melirik tangan kirinya yang dibalut
perban, kemudian menatap keluar jendela. “Untuk apa kau disini?” tanyanya
sinis. Aku meraba kerutan di antara kedua matanya, membuatnya sedikit
terperanjat. “Isabella…” gumamnya pelan.
“Sstt…” aku meletakan telunjukku di bibirnya.
“Kau tidak boleh terlalu banyak berbicara, kau harus beristirahat.” Kubelai
lembut rambutnya. “Mengapa kau tidak pernah mengatakan kalau kau menyayangiku?”
kak Sam terdiam sejenak.
“Aku tidak ingin membuatmu terluka ketika aku
mati,” bisiknya. Aku tersenyum perih padanya. “Dan lagi pula, bukankah selama
ini kau selalu mengharapkan memiliki seorang kakak seperti Lena?” tanyanya. Aku
tertegun. Ia memang benar, selama ini aku memang selalu iri pada Lena yang
memiliki kak Stefan untuk menjaganya.
“Maafkan aku,” bisikku.
“Aku sakit Isabella, aku mengidap hemophilia
yang diturunkan oleh ayahku. Aku sakit, tapi aku tidak bisa berhenti
mencintaimu. Aku ingin melindungimu, tapi untuk menjaga diriku sendiri saja aku
terlalu lemah. Aku senang melihatmu bahagia. Aku senang melihatmu tersenyum,
tetapi ketika akhirnya kau kehilangan Lena, aku ingin berada di sampingmu,
menjagamu, menenangkanmu. Tapi kemudian aku sadar, hal itu mungkin hanya akan
membuatmu semakin sedih ketika akhirnya aku mati kelak. Aku…”
“Sttt….” Aku memotong perkataannya. Ia sudah
terlalu banyak berbicara. Kuletakan keningku diatas keningnya. Membiarkan air
mataku menetes diatas wajahnya.
“Aku tidak selemah itu, kau tau?” bisikku. “Aku
bisa menjaga diriku sendiri, tapi aku tidak akan bisa hidup tanpamu,”
“Isabella, tapi aku akan mati…”
“Berhenti mengucapkan kata itu. kita semua akan
mati kak, kita semua. Hanya tidak tau kapan dan dimana. Mungkin saja setelah
ini aku mati tertabrak mobil, atau…”
“Tidak…” potongnya. Aku tersenyum tipis.
“Aku menyayangimu,” kupeluk erat tubuhnya yang
terbaring lemah. “Aku menyayangimu,” ulangku. Dan itu memang benar adanya. Aku
pernah menyesal sekali karena kehilangan seorang sahabat, namun kali ini aku
tidak akan kembali mengambil resiko untuk penyesalan yang kesekian kalinya.
Tidak akan pernah!
*****
Aku tersenyum manis ketika melihat pelangi
perlahan muncul di balik temaram warna senja petang itu. Di sampingku, kak Sam
memejamkan matanya sesaat, kemudian menatapku penuh kasih. Ia mengencangkangkan
rangkulannya dibahuku, membuatku semakin merapat kedadanya.
Aku senang mendengar suara detakan jantungnya
yang berirama, aku senang menyandarkan kepalaku di dadanya yang bidang,
menikmati setiap desahan nafasnya yang teratur.
Sudah dua minggu kak Sam keluar dari rumah
sakit, dan dengan rekomendasi dokter Harun, ia diperbolehkan meneruskan
perawatan di rumah dengan aku sebagai dokter pribadinya. Tentu saja kami berdua
menyetujuinya dengan senang hati.
“Izzi…” bisiknya, aku berdeham pelan. “Tidakkah
kau ingin belajar melukis?” tanyanya. Aku melirik kanvas-kanvas yang bertebaran
di sekitar sofa putih yang sedang kami duduki.
“Kurasa kanvasnya sudah penuh dengan wajahku,”
gerutuku. Kak Sam terkekeh pelan, membuat gelombang lain di dadanya. Aku
tersenyum tipis. “Lagi pula untuk apa aku belajar melukis jika kau sudah sangat
pandai melakukan hal itu, kau bahkan bisa melukis wajah konyolku dengan sangat
baik,” desisku sinis.
“Karena wajah itulah yang selalu kau tunjukan
ketika bersamaku,” ujarnya tanpa basa-basi. Aku langsung mendongkak menatap
wajah tampannya.
“Astaga! Kau melukai egoku!!” aku berpura-pura
menatap marah kepadanya. Namun ia sama sekali tidak menanggapi amarahku. Ia
menghela nafas panjang dan menatap sendu kepadaku.
“Isabella aku serius, kau tau… lukisan itu akan
sedikit membantumu meredam rindumu kepadaku saat aku pergi nanti,”
Aku terdiam. “Jangan bodoh!” bisikku kembali
menunduk, membenamkan wajahku kedadanya. “Jangan tersinggung, tapi aku tidak
akan merindukanmu. Karena sampai kapanpun kau akan selalu ada di sampingku. Kau
tau itu,” ujarku bersikeras. Kak Sam tersenyum dan mencium puncak kepalaku
dengan sayang.
“Aku tau,” bisiknya.
“Oya kak, sejak kapan kau tau kalau Ethan dan
kak Stefan itu…” aku tidak bisa meneruskan kata-kataku lagi. Mengingat hal itu
membuatku benar-benar mual.
“Sejak Stefan berhenti menghubungiku,” jawab
kak Sam santai.
Aku melotot menatapnya. “Kau??!” desisku tidak
percaya.
Ia terkekeh. “Wajah konyol lagi,” gumamnya. Aku
tidak peduli dengan wajahku saat ini, otakku terlalu sibuk mencerna
kata-katanya.
“Jelaskan padaku, apa kau dan kak Stefan…”
lagi-lagi kalimatku menggantung.
“Isabella dengar.” Ia menarik tubuhku kembali
merapat pada tubuhnya. Aku ingin memberontak namun tangannya terlalu kuat. “Stefan
memang menyukaiku, dia pikir aku tidak seperti pemuda lain yang suka berkelahi,
atau berolahraga. Kau mengerti maksudku?” tanyanya. Aku mengaguk perlahan
meskipun sebenarnya tidak terlalu mengerti apa yang ia katakan. “Padahal aku
hanya sedang melindungi diriku sendiri.” Bisik kak Sam. “Tapi dia selalu ingin
melindungiku, menganggapku selemah itu,” ia mendesis jijik.
“Tapi kau masih berhubungan dengannya.”
Tudingku. “Kau pasti mempunyai perasaan kepadanya,” bibirku bergetar ketika
mengatakan semua itu. Namun aku tidak berani menatap wajahnya. Hatiku perih
memikirkan semua kemungkinan menjijikan itu.
“Mungkin jika aku tidak mencintai gadis bodoh
disampingku, aku sudah berpaling padanya,” guraunya. Aku mencibir.
“Bohong!” pekikku.
“Oh Izz… ayolah…”
“Buktikan!” teriakku keras. “Buktikan kalau kau
lebih mencintaiku dari pada dia,” aku mendesis muak. “Kau tau, ini benar-benar
memuakan! Tidak bisakah kau mencintai wanita lain??!! Mungkin itu lebih baik
daripada aku harus bersaing dengan seorang pria untuk mendapatkan cintamu,” air
mataku mulai tergenang. Kak Sam membulatkan matanya padaku.
“Isabella, aku akan membuktikannya sesegera
mungkin, tapi bukan seka…”
“Buktikan saat ini juga. Atau aku akan pergi!”
potongku. Kak Sam mengacak rambutnya kesal.
“Baiklah Isabella Kimberly, tapi kau akan
menyesalinya suatu saat nanti,” bisiknya. Kemudian berlutut di hadapanku. “Nona
Cheryl Isabella Kimberly, will you marry me?”
Aku terhenyak menatapnya tidak percaya. Ia
mengeluarkan sebuah benda berkilau dari kantongnya. “Kak Sam… aku tidak
bermaksud…”
“Jangan katakana kau akan menolakku sekarang.
Atau mungkin kau sebenarnya menyukai wanita lain,” aku melotot kepadanya,
kemudian ia terkekeh pelan. “Kalau tidak, maka buktikanlah!” aku menatapnya
kesal.
“Perlu bukti, huh?!” tanyaku kesal. Kak Sam
mengangkat bahunya tak acuh, seakan menyepelekan. Aku mendesis kemudian
merengkuh wajah angkuh itu, menciumnya tepat di bibirnya. Aku tersenyum puas
ketika melihat mata kak Sam terbelalak karena serangan mendadakku.
“Wow,” ia menaikan salah satu alisnya. “Well,
cukup jelas, namun tetap saja aku tidak yakin sebelum kau mengatakan ya pada
permintaanku,” ia mengangkat wajahnya penuh keangkuhan. Aku memutar bola mataku
padanya.
“Tidakkah kau mengerti bahwa itu adalah sebuah
kata Ya!” pekikku frustasi. Kini giliran kak Sam yang melongo. “Wow, wajah
konyol itu…” bisikku. kemudian kak Sam kembali memperbaiki mimik wajahnya,
menunjukan sisi dinginnya yang begitu tampan. Aku terkikik ketika ia merengkuh
wajahku, meredam suaraku dengan bibirnya.
“Terima kasih,” bisiknya penuh cinta.
the end
4 komentar:
"tapi aku tidak akan merindukanmu. Karena sampai kapanpun kau akan selalu ada di sampingku"
quote favoritku ;)
yaaayyyyy happy endiinggg bab terahkirnya romantis bangetttt :D
akhir yg romantis...
:)
whoaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...............
aq dapat apa nigh Zia karena tebakanku tepat??
@mba shanty... masih kurang romatisnya klo di banding damian ama serena... hihihihi
@mba naoki terima kasih mba.. :)
@mba riska... hehehe iya, aku sampe bingung loh nerusinnya gmana... hihihihi
4 jempol untuk mba... :) :)
Posting Komentar