“Sialan! Kalau berani kesini
kamu!” teriakku keras, mataku melotot pada sosok yang tengah menjulurkan
lidahnya sambil menggoyang-goyangkan pantatnya bagai bebek buruk rupa yang
benar-benar menjijikan. Wajahku memerah
karena marah, aku menghentak-hentakan kakiku yang telanjang, kemudian ketika ia
telah pergi aku mendongkak, menatap sepatu olah ragaku yang tergantung di atas
ranting pohon yang tinggi, lalu aku menangis.
Aku terkikik dan
menggeleng-geleng ketika ingatan akan kejadian lima belas tahun yang lalu itu
kembali menghampiriku. Wajahku akan memerah Karena malu pada diriku sendiri,
betapa bodohnya aku sampai menangis ketika itu, mengapa aku tidak naik saja ke
pohon itu, dan mengambil sepatuku. Mengapa aku malah menangis?
Well, mungkin saat itu aku
sedikit lelah. Dia, pemuda kecil, brandalan sialan itu sudah sering
menjahiliku. Dan mungkin aku sedikit lelah.
Aku mengangkat bahuku tak
acuh pada memori itu, kemudian kembali mengaduk jus alpukatku yang mulai terasa
hambar.
Sudah lima belas tahun
lamanya, dan kini aku masih tidak bisa berhenti tersenyum ketika mengingat
potongan-potongan kejadian menyebalkan yang tentu saja memalukan yang pernah
kami lakukan bersama.
“Hey, kok melamun?” Tanya Mel
sahabat masa kecilku. Aku tersentak dan langsung terbangun dari lamunan semuku
akan masa lalu itu. Kemudian mulai kembali menapaki dunia nyata, ikut tersenyum
menatap sahabat-sahabat semasa SDku yang tengah berkumpul setelah 15 tahun
lamanya kami berpencar.
Jantungku berdetak kencang
setiap kali pintu kafe tempat kami mengadakan reuni itu terbuka, dan sialnya
aku mengharapkan sosok ia lah yang muncul. Memalukan bukan?
“Menungguku?” aku tersentak
ketika mendengar suara itu, aku mengerjap dua kali ketika sosok asing yang luar
biasa tampan itu duduk di hadapanku. “Wah… sudah lima belas tahun yah. Kamu sudah
besar, tapi masih tetap sama,” katanya sambil menatapku lekat-lekat. Membuat wajahku
memerah. “Bahkan kamu masih memiliki rona
lucu itu. Dan tatapan yang sama,”
Aku mendelikan mataku,
apa-apaan dia, tatapan seperti apa? Aku bahkan tidak yakin siapa dia.
“Apa maksudmu?” tanyaku
ketus.
“Well… jangan pura-pura
mengelak. Kamu memiliki tatapan yang tidak pernah ku lihat dari gadis lain
manapun selama ini. Dan setelah lima belas tahun ini, aku mulai mengetahui arti
tatapanmu itu. Aku senang sorot matamu tidak pernah berubah,” ujarnya, kini
lebih lembut. Aku mengerutkan keningku semakin dalam.
“Tatapan apa?” tanyaku
singkat. Ia tersenyum tipis dan menatap lekat-lekat mataku.
“Tatapan yang menunjukan
betapa bahagianya kamu melihatku, betapa inginnya kamu selalu bersamaku, sebenci
apapun kamu padaku. Tatapan bahwa kamu-mencintai-ku.”
Aku tersentak kaget. Wajahku panas,
dadaku bergemuruh penuh emosi.
“Maafkan aku, aku tidak
menyadarinya, hingga hari ini. Ketika aku melihat tatapan matamu sekali lagi,
aku ingin memastikannya, memastikan bahwa tatapanmu sama seperti tatapan mataku
selama ini padamu, bahkan pada foto SD mu yang jelek,”
“Elvan!!!” teriakku keras.
“Hahahaha… maaf, aku
mencintaimu,” ujarnya seraya menarikku kepelukannya begitu saja, membuat semua
teman kecilku melongo menatap kami. Tom and jerry itu akhirnya bersatu, saling
berpelukan dengan tatapan bahagia di wajah mereka.
Aku meringis perih, kemudian
membalas pelukannya ketika menyadari betapa aku sangat mencintainya, dan mulai
lelah menyembunyikannya.
Untuk sejenak melupakan tatapan heran teman-teman SDku, yang perlahan namun pasti mulai tersenyum dengan tatapan mereka, seakan mereka sudah tau bahwa suatu saat nanti kami memang akan berpelukan seperti ini. :)
6 komentar:
xixixixi ah.. Cinta masa kecil yg b'akhr indah ~
hem... aku berharap kisah masa kecilku juga berakhir indah... *mengehela nafas pasrah*
@Cherry : someday you will find your true love honey,,,,
Keren.... Happy ending :)
Cantiq, kamu emang KEREN kalo lg nulis cerpen :*
suka suka suka!
Posting Komentar