Langkah Anna terhenti, bukan karena memang ia harus
berhenti di sana, namun tubuhnya mendadak kaku, hatinya sedikit bergetar, dan
entah sadar atau tidak ia tampak kehilangan jiwanya untuk sesaat, melanyang
begitu saja, kemudian kembali hadir dalam sosok yang berbeda.
“Assalamu’alaikum,” bisik Anna pelan, membuat
orang-orang yang ada di dalam ruangan itu langsung menoleh kepadanya. Bagai slow motion dalam film-film aksi,
detik-detik setelah itu tampak begitu lambat, seakan Tuhan sengaja meminta
mereka kembali memikirkan apa yang akan mereka lakukan setelah ini.
“Walaikum salam,” Aisah yang pertama kali tersadar
dari keterkejutannya, namun tidak seperti biasanya, kini wajah tenangnya
sedikit menghilang.
“Anna…” Amy yang sedari tadi mengamit lengan Zahra
melepaskannya begitu saja, matanya terpaku menatap sahabat baiknya yang tengah
berdiri di ambang pintu. Ia berjalan tertatih melewati sofa-sofa di ruang tamu,
matanya mulai berair karena kerinduannya pada sang rembulan selama ini. “Ya
Allah Anna…” bisiknya tidak percaya. Ditatapnya lekat-lekat sosok cantik
berjilbab biru muda itu penuh kasih.
Anna masih mematung di sana, berdiri-diam tak
bergerak, meski hatinya tentu saja memberontak, meneriakan berbagai kata asing
untuknya. Ia mulai merasa lelah, namun ia ingin berlari, meninggalkan seluruh
kisah ini, meninggalkan kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginannya, berpura-pura
tidak pernah mendengar kata-kata itu, namun tubuhnya membeku.
Ia mendengar suara sahabatnya, ia tau Amy sudah berada
tepat di hadapannya, namun mata indahnya sama sekali tidak bisa terlepas dari
sosok itu, sosok jangkung yang berdiri tepat di tengah ruang tamu, wajah
tampannya begitu sulit terbaca, namun dengan jelas menampakan perasaan lega
yang luar biasa. Di sampingnya Arya masih ternganga tidak percaya jika akhirnya
ia bisa kembali melihat sosok indah itu menginjakan kakinya lagi di panti ini.
Anna merasakan dadanya mulai sesak, tatapan hangat
pemuda itu entah bagaimana mampu membius dirinya untuk semakin tenggelam dalam
jurang yang tidak pernah ia ingin sentuh lagi. Namun ia juga tidak ingin
meninggalkan jurang itu, terlalu banyak harta karun yang tersimpan di sana, dan
ia tidak ingin meninggalkannya, ia tidak ingin membaginya. Tatapan mata Raka
mulai melembut, kemudian menyiratkan sebuah kepedihan yang tak terucap, begitu
rapuh dan tak berdaya. Hati kecil Anna memberontak, ia ingin menenangkannya, ia
ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ia terhenyak ketika merasakan hatinya jatuh begitu
saja dari tubuhnya, berlari mendahului raganya untuk memeluk Raka. Namun
selangkah lagi hati itu sampai di tempatnya berdiri, sebuah batu runcing
menghancurkannya, meremukannya dalam sekali gerakan. Seorang gadis cantik entah
sejak kapan, berdiri di belakang Raka. Dengan perlahan ia menggenggam tangan
kanan Raka yang membeku di sisi tubuhnya. Membuat Raka tersentak, dan langsung
menoleh pada gadis itu.
Zahra tersenyum tipis, namun jelas matanya menyiratkan
lebih dari hanya sekedar senyuman simpul yang sopan. Genggamannya semakin erat
di jemari Raka, seakan menyentaknya untuk kembali ke dunia nyata, menghadapi
kenyataan dan melupakan semua mimpi semunya.
“Anna…” bisik Amy pelan seraya menyentuh lengan atas
gadis itu. Bagaikan robot, Anna menoleh dengan kikuk padanya. Amy menggigit
bibir bawahnya untuk menahan tangis ketika melihat luka yang telukis jelas di
kedua mata Anna.
“Maaf.” Bisik Anna pelan, kemudian dengan wajah
dinginnya ia menatap ke arah Raka, lalu berpaling lagi ke arah Aisah. “Ummi
maaf, ada yang ingin aku bicarakan,” ujarnya pada wanita tua itu.
“Ya Anna, kita bisa bicara di ruangan ummi,” ujar
Aisah lembut, Anna tersenyum sopan dan mengangguk.
“Maaf mengganggu kalian,” bisik Anna, entah mengapa
hatinya merasa sakit. Seakan merasa terhianati. Raka masih mematung dengan
tangan Zahra di genggamannya. Matanya menatap sosok Anna yang berjalan pelan
melewati ruang tamu, melewati mereka tanpa menoleh.
“Anna…” panggil Raka sesaat sebelum Anna masuk ke
dalam ruangan Aisah di sayap kiri gedung tua itu. Anna terdiam sejenak. Hatinya
benar-benar terasa sakit, ia ingin menoleh untuk melihat sosok pemilik suara
itu, namun ia tidak yakin apakah ia bisa menahan sakit melihat sosok gadis lain
di sisi Raka. Mampukah ia?
***
“Anna…” Hati kecil Raka langsung bersorak ketika
panggilannya menghentikan gerakan Anna membuka pintu ruangan Aisah. Ia sudah
tidak bisa menahan dirinya untuk tetap berdiri di sana, berdiri beberapa meter
dari sosok yang sangat dikhawatirkannya. Ia hanya ingin memastikan Anna sudah
benar-benar merasa lebih baik. Tubuh kokohnya mulai bergerak maju, namun
remasan pelan dari jemari yang untuk sesaat ia lupakan ada di genggamannya,
seakan menjatuhkan tubuhnya, menariknya bagai jangkar kecil yang memiliki
kekuatan super, mengembalikannya pada kenyataan yang ada di depan matanya.
“Raka,” bisik Zahra di sampingnya, wajahnya sedikit
pucat dengan tatapan mata yang memperlihatkan ketakutan dan jelas terluka,
membuat Raka meringis pilu dan memaki dirinya sendiri. Sosok itu begitu
ringkih, begitu rapuh di balik pribadinya yang pemberontak dan keras kepala,
begitu butuh perlindungan. Dan jiwa Raka ingin melindunginya, ia ingin
membimbing gadis itu menemukan cahayanya kembali, mengembalikan kepercayaan
gadis itu sepenuhnya.
Remasan tangan Zahra kembali menyadarkannya dari
segala pemikiran semu yang memenuhi otakknya, kemudian dengan perlahan ia
kembali menatap sosok Anna yang kini sudah berbalik menghadap mereka,
membelakangi pintu ruangan Aisah yang terbuka sedikit.
“Aku senang kau sudah lebih baik,” ujar Raka dengan
senyuman tipis di wajahnya yang sendu. Anna membalas senyuman Raka dan
mengangguk sopan, kemudian berbalik masuk ke ruangan Aisah. Hatinya benar-benar
terpilin perih ketika melihat sorotan mata ketakutan dari gadis itu, gadis yang
pernah ditemuinya beberapa waktu yang lalu, gadis yang memintanya meninggalkan
Raka-nya.
Aisah sudah duduk di belakang meja tuanya ketika Anna
mengambil kursinya, duduk dengan wajah tertunduk menatapi tautan jemarinya di
atas pangkuannya, bagai bocah kelas lima yang ketahuan menyontek di ruang
ujian. Hening untuk beberapa saat. Hingga akhirnya di menit ke-7, Anna
mengangkat wajahnya ketika Aisah berdeham pelan.
“Ummi pikir kau ingin mengatakan sesuatu,” ujarnya
lembut. Anna mengedarkan pandangannya ke sisi lain meja tua Aisah, dan
mendapati sebuah undangan berwarna biru berada di tumpukan teratas
kertas-kertas lainnya. Secepat kilat Anna menutup matanya, dan berusaha keras
menjaga emosinya, melenyapkan seluruh pemikirannya tentang semua hal itu.
“Iya ummi, aku kesini untuk meminta Aisah. Aku
bermaksud untuk mengadopsinya ummi.” Tutur Anna ketika bisa mengendalikan
gemuruh jantungnya. Ummi tersenyum lembut penuh kasih. “Aku ingin menjaganya,”
tambahnya pelan, dan ia tau itu adalah sebuah kebohongan. Bukan ia yang akan
menjaga gadis kecil itu, tapi Aisah kecil lah yang akan menjaganya tetap
berdiri di atas semua luka ini.
“Anna… Allah menciptakan makhluknya dengan sangat
sempurna, begitu adil dan bijaksana dalam penempatan bagian-bagiannya. Begitu
pula mata indahmu, mereka terlalu indah nak, terlalu jernih, hingga rasanya
ummi bisa melihat segores luka yang kau sembunyikan dari setiap kata-katamu,”
Anna terhenyak di kursinya. Kedua tangannya meremas bahan yang membungkus tubuh
indahnya. “Ummi tau kita sudah lama tidak bertemu, tapi kau tetaplah putri
ummi, gadis kesayangan ummi. Kau sudah banyak membantu panti ini, membantu
bintang-bintang kecil itu. Ummi sangat mengenalmu Zainna. Ummi tidak memaksamu
untuk bercerita pada ummi, mungkin itu adalah sebuah ketidak sopanan, tapi ummi
sudah menganggapmu sebagai putri ummi sendiri, ummi menyayangimu, dan ummi juga
terluka saat kau terluka—“
Tanpa berkata-kata lagi Anna langsung berlari memeluk
sosok ummi, menumpahkan seluruh luka yang selama ini dipendamnya. Ia
membenamkan wajahnya di atas pangkuan Aisah. Aisah tersenyum perih sambil terus
membelai kepala gadis cantik itu, mata tuanya menerawang jauh menatap kelamnya
malam yang tak berhias cahaya rembulan sama sekali. Pikirannya melayang,
membuka kembali memori lamanya ketika ia menangis perih di balik pintu
kamarnya, begitu terluka ketika melihat orang-orang itu membawa jasad suaminya
yang sudah tak bernyawa.
“Ummi akan memanggilkan Aisah,” bisiknya pelan seraya
terus membelai kepala gadis itu, membuat tangannya terlalu sibuk, bahkan hingga
tidak bisa menghapus tetesan air mata yang mengalir dari mata tuanya.
***
Aisah kecil berjalan perlahan ke kantor Panti,
sesekali ia memainkan ujung-ujung kerudungnya, bersenandung pelan sambil
menghentak-hentakkan langkahnya, mengingat-ngingat nada yang tadi ia nyanyikan
bersama Anisa di dalam kelas mereka. Ia tampak terlalu sibuk dengan lagu itu,
hingga ia tidak menyadari wajah sendu ibu guru baiknya, ibu Amy yang terkenal tidak
pernah bisa berhenti tersenyum ramah, yang kini tengah berjalan sambil menangis
di sampingnya.
Ketika sandalnya menapaki lantai ruang tamu gedung
kantor panti itu barulah ia tersadar, suasana tegang di dalam sana sampai membuat
sosok gadis 8 tahun itu merinding tanpa alasan yang dapat ia mengerti. Aisah
mendongkak menatap Amy yang masih mematung di sampingnya, dan betapa
terkejutnya ia ketika melihat mata cantik itu tampak basah. Baru saja Aisah
ingin menyentuh tangan Amy, namun panggilan lain langsung mengalihkan fokusnya.
“Aisah,” Aisah menoleh pada asal suara itu, matanya
menyipit untuk memastikan siapa yang memanggilnya, kemudian senyumannya
langsung mengembang ketika mengenali sosok cantik berbusana biru itu, dengan cepat
ia berlari memeluk Anna yang duduk di samping ummi Aisah di ruang tamu bersama
Arya, Zahra dan Raka.
“Kak Anna, aku kangen!!!!” teriaknya penuh kerinduan,
sedih sekaligus senang. Anna memeluk sosok mungil itu dengan sangat erat, ia
baru tersadar betapa ia sangat merindukan anak-anak itu, bintang-bintang kecil
terindahnya. Namun ia sudah menumpahkan seluruh air matanya di ruangan Aisah
beberapa saat yang lalu, hingga kini ia hanya bisa memeluk erat sang gadis
kecil.
“Kakak juga sangat merindukanmu sayang,” bisiknya
lembut. Aisah melepaskan pelukannya dan menatap lekat-lekat wajah cantik Anna.
Ia membelai lembut pipi Anna, mata jernihnya menyiratkan cinta dan kerinduan
yang luar biasa, membuat Anna merasa sangat menyesal karena telah
meninggalkannya selama ini.
“Kakak kembali?” tanyanya lembut. Anna menggeleng
perlahan.
“Kakak kesini untuk menjemputmu. Kakak ingin kau ikut
pulang bersama kakak.” Belaian tangan Aisah langsung berhenti di kedua sisi
wajah Anna, matanya membulat menatap Anna, merasa tidak percaya dengan apa yang
ia dengar. “Apa kau mau sayang?” Tanya Anna lembut. Aisah memundurkan
langkahnya beberapa senti, dengan kikuk melirik sosok ummi yang menatapnya
penuh harap.
“Kau tidak bisa membawanya,” ujar Zahra tiba-tiba.
Semua mata langsung tertuju padanya, menatap heran dan penuh Tanya. “Dia
memiliki sahabat disini, Anisa.” Ujarnya lagi. Aisah kecil menundukan wajahnya,
menatap lantai putih tak bernoda di bawah kaki kecilnya. Menghitung suara
detakan jarum jam sebelum air matanya menetes.
Aisah menatap keponankannya dengan pandangan tidak
percaya, bagaimana mungkin Zahra bisa berkata seperti itu. Tapi ia sendiri
tidak bisa menyalahkan diri Zahra secara keseluruhan, gadis itu mengalami
semacam kerusakan emosi yang tidak disadarinya. “Zahra kau tidak bisa berkata
seperti itu,” tegur Aisah.
“Tapi itu benar adanya bi. Aisah dan Anisa bersahabat,
ia tidak bisa datang begitu saja merebut salah satu dari mereka dan
menghancurkan persahabatan mereka!” tutur Zahra tegas. “Sampai kapanpun mereka
akan terus bersahabat.”
Tiba-tiba hujan turun cukup deras di luar sana, hingga
membagikan sedikit aroma tanah yang begitu menyejukan. Seorang bocah berlari tertatih melewati
pekarangan yang menghubungkan kantor panti dan asrama putri. Nafasnya
tersenggal-senggal ketika ia sampai di ambang pintu, kerudungnya sedikit basah
karena menerobos hujan.
“Aisah, aku dapat ini…” ujarnya riang, matanya
terfokus pada sosok Aisah yang masih mematung di depan Anna. Tangan kecilnya
mengangkat sebuah buku kecil berwarna ungu muda. “Kak Anna?” tanyanya tidak
percaya ketika melihat sosok cantik itu. Anna tersenyum ramah dan membuka lebar
kedua tangannya untuk menyambut pelukan gadis berkerudung jingga itu. Ia tidak
seantusias Aisah, namun tetap menyiratkan kerinduan yang sama dalamnya. “Kakak
kembali?” tanyanya riang.
“Kak Anna kesini untuk menjemput Aisah,” ujar ummi
pelan. Anisa langsung melepaskan pelukannya. Ia mengerutkan keningnya, menatap
Aisah dan Anna dengan bingung. Kemudian wajahnya memerah menahan tangis,
menunduk menatap ujung-ujung jari kakinya yang kotor terkena lumpur. Ia tidak
berani menatap sahabat kecilnya yang berdiri hanya sejengkal di sampingnya.
“Oh, ya sudah kalau begitu aku pergi ke kamar dulu.”
Ujar Anisa pelan, kemudian tubuh kecilnya berbalik menuju pintu.
“Anisa…” panggil Raka pelan. Anisa tidak mengentikan
langkahnya hingga akhirnya Raka terpaksa menahan pergelangan tangannya. Ia
menggeleng pada gadis kecil itu.
“Anisa sayang, tenanglah… kakak rasa, keputusan kakak
kali ini tidak benar, kakak tidak bisa memisahkan kalian. Dan kakak memang
tidak pernah berniat untuk memisahkan kalian, kakak menyayangi kalian berdua,”
Anna tersenyum tipis, kemudian menghela nafas panjang. “Ummi,” katanya kepada
Aisah. “Aku rasa sebaiknya aku pergi, Assalamu’alaikum, terima kasih untuk
nasihat ummi.” Ujarnya seraya beranjak dari kursinya, dan berpamitan pada Arya,
Zahra, Raka dan Amy yang masih membeku dan berkutat dengan segala pemikiran
mereka masing-masing.
Anna mengeluarkan kunci mobilnya dari dalam tas,
matanya menatap hujan dari ambang pintu. Sosok-sosok di dalam ruangan itu masih
terdiam. Hingga akhirnya seseorang merebut kunci mobil dari tangannya dengan
perlahan. Anna tersentak kaget dan langsung menatap sosok tampan Raka yang
berdiri di sampingnya.
“Aku akan mengantarmu, sudah terlalu larut. Kau tidak
baik berkendara sendiri.” Tuturnya seraya terus menatap hujan, rahangnya yang
keras tampak semakin kaku, menatap lurus pada tetesan air yang kian membesar
itu.
“Kau tidak perlu mengantarku,” ujar Anna kikuk seraya
melirik sedikit kebelakang, melihat Zahra yang berdiri dari sofanya. “Sudahlah,
aku bukan gadis sembrono seperti dulu Raka,” ujar Anna seraya hendak merebut
kembali kunci mobilnya.
“Tidak. Biarkan aku yang mengantarmu, aku bisa pulang
menggunakan bis,” ujarnya begitu dingin dan angkuh. Anna langsung terdiam
ketika mendengar nada suara Raka yang begitu dingin kepadanya.
“Biarkan dia mengantarmu Anna.” Tambah Aisah.
“Bibi…” desis Zahra, tampak tidak terima.
“Sudahlah, aku bisa pulang sendiri.” Ujar Anna mulai
tidak tahan dengan seluruh scenario itu.
“Diam, dan masuk mobil. Aku akan mengantarmu pulang.”
Raka mencengkram pergelangan tangan kiri Anna, menatapnya lekat-lekat,
menegaskan seluruh makna kata-katanya. Membuat Anna kembali merasakan mual dari
dalam perutnya.
“Tunggu kakak,” panggil Aisah. “Apa kakak bisa
menunggu sebentar? Aku harus mengambil beberapa barangku di asrama.” Ujarnya
dengan senyuman tipis di wajahnya yang cantik. Anna menatap sosok itu tidak
percaya.
“Tapi… kau dan Anisa…”
“Kakak, kami akan tetap bersahabat. Ya walaupun kami
tidak lagi tinggal sekamar,” ujar Anisa pelan, ia menyeringai pada sahabatnya.
“Ayo kakak bantu membereskan barang-barangmu,” ujar
Anna setelah diam sejenak. Aisah tersneyum dan mengangguk senang.
***
Sudah sampai pertengahan jalan, dan suasana di dalam
mobil itu masih tetap sama, tetap bersikukuh dengan kesunyiannya yang
menyisakan kecanggungan. Aisah sudah tertidur di pangkuan Anna di samping kursi
kemudi. Bocah 8 tahun itu meringkuk, menyandarkan kepalanya di leher Anna,
menikmati kelembutan dan aroma sang rembulan. Anna sendiri tidak pernah
mengalihkan pandangannya dari jalanan yang gelap dan basah. Tangannya memeluk
erat sosok mungil di pangkuannya.
Raka menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya, ia
benar-benar tidak bisa menahan gemuruh hatinya. Menatap sosok mungil Aisah yang
tengah tertidur di pangkuan Anna membuatnya mulai merasa frustasi. Selama ini,
sejak kecil, ia selalu mengagumi sahabat kecilnya itu. Sosok Anna yang lembut
yang baik hati jelas memikat hatinya. Namun selama ini ia tidak pernah ingin
merusak persahabatan mereka. Ia hanya ingin melindungi Anna, memastikan ia akan
tetap tersenyum, dan bahagia bagaimanapun caranya.
Kemudian, ketika akhirnya mereka sudah sampai ke
saat-saat menuju kedewasaan mereka, Raka mulai tersadar jika ia memang tidak
akan bisa hidup tanpa Anna. Namun saat itu, ia begitu munafik hingga menolak
cinta Anna. Tapi sejujurnya, ia memang tidak memiliki pilihan lain. Ia hanyalah
pria buta yang tidak bisa melakukan apapun. Ia hanya pria biasa, begitu berbeda
dengan calon suami yang sudah dipersiapkan untuk Anna oleh bibinya.
Impian Raka tidak pernah berubah; membahagiakan
ibundanya dan menjadi orang yang berguna. Dan ketika ia tau jika ibunya sangat
menyayangi Anna, ia sudah bersumpah untuk menjaga Anna. Ia bahkan pernah
bermimpi memiliki keluarga kecil yang manis bersama Anna, duduk memegang
kemudi, melewati jalanan gelap yang basah diserbu hujan, dengan Anna duduk di
sampingnya, memeluk erat putra atau putri mereka, hanya seperti yang sedang
mereka lakukan saat ini.
Raka menggeleng perlahan, menertawakan pemikiran
konyolnya. Ia memarkirkan mobil Anna di depan rumahnya. Hujan sudah lama
berhenti, hingga hanya menyisakan tanah yang basah. Raka bergegas keluar dari
pintunya, kemudian membukakan pintu Anna. Gadis cantik itu menggeleng perlahan
ketika Raka berniat menggendong Aisah yang masih tertidur. Akhirnya ia hanya
membawakan tas-tas berisikan pakaian Aisah.
Anna langsung membawa Aisah ke kamar yang sudah di
persiapkannya. Merebahkan tubuhnya dengan perlahan, dan mendaratkan kecupan
lembut di keningnya. Kemudian kembali ke ruang tamu untu mengambil tas Aisah
yang ada bersama Raka. Namun langkahnya terhenti di ujung anak tangga teratas
ketika ia mendengar keributan dari lantai bawah, dengan perlahan ia menjulurkan
lehernya untuk melihat apa yang terjadi di sana.
PRANG.
Anna terhenyak ketika mendengar suara barang pecah,
yang ia yakini adalah guci besar di ruang tamu. Kemudian di susul suara-suara
aneh lainnya, suara pukulan, terjatuh, tendangan, suara perkelahian. Matanya mendelik ketika melihat Raihan melemparkan
tendangan telak kepada Raka.
“Raihan hentikan!” teriak Darmawan. “Kau tidak bisa
melakukan ini kepadanya!” tambah kakek tua itu.
“Hah?! Bukan kepadanya? Lalu kepada siapa? Kepada
tubuh tuamu itu, hah?!” tuding Raihan. Kemarahannya tampak begitu jelas dari
nada suaranya. “Dengar kakek tua! Kau tidak akan pernah bisa melakukannya! Kau
tidak akan pernah bisa menggantikan kak Alan dengan siapapun! Kau tau itu?!! Kau
bukan Tuhan. Kau tidak bisa menentukan kapan kak Alan akan mati!!” teriaknya
lagi. “Dan sampai kapanpun aku tidak akan membiarkanmu melakukan hal buruk
padanya!”
“Kau tidak mengerti.”
“Apa yang aku tidak mengerti hah?!!!” Tanya Raihan
penuh emosi. “Oh, benar juga. Aku memang tidak pernah mengerti cara pikir orang
busuk sepertimu. Kau bahkan tega mempersiapkan pengganti cucumu yang belum
meninggal. Demi Tuhan, kau benar-benar brengsek.”
“RAIHAN!”
“Jangan kau anggap aku tidak mengetahui apapun tentang
rencana busukmu, kakek tua. Kau sengaja memilih pemuda itu sebagai mengganti
Alan di perusahaan dan sekaligus mewakili sekolah itu. Sebuah jabatan yang
hanya bisa diberikan pada keluargamua, bukan orang asing sepertinya. Dan
lucunya lagi, kau juga mempersiapkannya untuk menjadi pengganti suami Anna.
Cih!”
Anna merasakan hatinya remuk. Kepalanya mulai
berdenyut-denyut penuh duri dari kenyataan itu.
“Bahkan kak Alan belum mati… belum mati… belum…”
Raihan menggeleng-geleng sambil jalan mundur perlahan.
Anna menggenggam erat pembatas tangga yang terbuat
dari kuningan untuk menyeimbangkan tubuhnya yang mendadak lemah tak berdaya. Ia
menatap tiga pria yang masih tersulut emosi itu dengan pandangan nanar penuh
luka, merasa sepenuhnya terhianati.
“Pergi.” Desis Darmawan. Raihan tertawa keras dan
mengangkat kedua tangannya.
“Kau lihat itu Anna?! Lelaki tua ini sudah
merencanakan semuanya, ia bahkan menyiapkan pengganti kak Alan sebagai
suamimu.” Teriak Raihan lagi.
BUG.
Raka melayangkan sebuah tinju tepat di pelipis Raihan,
membuat pemuda itu tersungkur jatuh. Raihan menatapnya jijik seraya kembali
berdiri.
“Cukup! Ku mohon, hentikan semua ini. Ku mohon…” pinta
Anna, mulai terisak. Ia sudah muak melihat tetesan darah yang muncul dari
setiap luka. Tatapan mata Raihan melembut menuh rasa bersalah ketika matanya
bertemu mata Anna. “Pergilah…” bisik Anna penuh keperihan. Dan tanpa mengatakan apapun Raihan berlalu
pergi.
Anna menyeka air matanya, dan dengan cepat berlalu
untuk mengambil kotak obat. Luka di pipi dan bibir Raka harus segera di
bersihkan atau itu akan menyebabkan infeksi. Anna menarik tubuh Raka agar mau
duduk di hadapannya, dengan telaten ia membersihkan luka Raka dan mengobatinya.
Ia tau Darmawan duduk di sofa tidak jauh dari sofa mereka.
“Apakah yang dikatakan Raihan itu benar kek?” Tanya
Anna seraya mengoleskan obat pada luka terakhir Raka. Darmawan terdiam, tampak
bingung dengan jawabannya sendiri. “Kakek…” bisik Anna tanpa melihat sosok
kakeknya di belakang. “Apa benar kek?” Tanya Anna.
“Anna kakek hanya ingin kau bahagia. Maafkan kakek
sebelumnya karena tidak memeberi tahukan hal ini kepadamu,” suara tenang
Darmawan mendadak hilang, ia terdengar begitu gugup dan takut. Anna menutup
kotak obatnya dan membereskan seluruh peralatannya, berjalan perlahan ke rak
berpintu kaca di dinding sebelah kiri ruang tamu, meletakan kotak obatnya di
sana. Kemudian terdiam sejenak.
“Kakek tidak suka meliatmu selalu bersedih, dan kakek
tau kau juga mencintai Raka, kakek ingin kalian bersama.”
Setetes air mata menghiasi sudut-sudut mata indah
Anna.
“Kakek,” bisiknya pelan. “Raihan benar, kakek bukan
Tuhan. Kakek tidak bisa membuat scenario dalam kehidupan ini, dalam kehidupanku
dan kak Alan.” Ujarnya lembut, kemudian berpaling menatap Raka yang masih
membisu. “Terima kasih sudah mengantarku.” Ujarnya sambil mengangguk santun,
kemudian berjalan menaiki tangga.
“Tapi kalian saling mencintai.” Ujar Darmawan ketika
Anna menapaki anak tangga ke tiga.
“Aku tidak mungkin jatuh cinta pada pria yang akan
menikah dengan gadis lain kek,” Bisik Anna. “Assalamu’alaikum.”
***