Mentari
itu begitu indah, berwarna jingga dengan latar biru langit yang mempesona.
Beberapa saat yang lalu baru saja hujan berhenti turun menyerbu bumi,
menyisakan kesejukan yang menenangkan beberapa hati. Namun tidak untuk beberapa
hati yang lainnya, hati dari orang-orang yang tengah menunduk di depan ruang
ICCU. Mereka terdiam, namun hati mereka terus berteriak, memberontak, menuntut
keadilan untuk setetes kehidupan putri yang mereka sayangi.
Seorang
ibu paruh baya menangis di rangkulan suaminya. Ia terisak perih memikirkan
nasib putrinya. Gadis itu bukanlah gadis penurut seperti yang diharapkannya
ketika mengandung, namun gadis itu adalah pelita pertamanya, penghias harinya
ketika ia gundah, pengukir tawanya.
Sudah
lima jam mereka di duduk di tempat yang sama, hingga akhirnya ketika dokter itu
keluar, mereka langsung terjaga dari kebisuan yang memilukan itu.
“Masa
kritisnya sudah berlalu,” bisik dokter itu. desahan nafas lega langsung
terbebas keluar dari dada orang tua sang putri. “Tapi, virus ini sudah
menggeroroti persendiannya, ia terancam lumpuh, terutama bagian kakinya. Kami
sudah berusaha sebaik mungkin. Namun sampai sekarang kami belum bisa
menghentikan virus itu.” ujar sang dokter pelan, dan lagi-lagi air mata itu
mengalir.
Warna
senja itu begitu indah, begitu lembut dan mempesona, begitu kontras dengan
warna sendu yang terbiaskan dari air mata seorang ibu untuk putrinya.
***
Tania
mengerjapkan matanya beberapa kali. Sudah seminggu ia terbaring di rumah sakit
itu. Tubuh yang sebelumnya sehat kini mulai tampak kurus tak bertenaga. Ia
begitu lemah hingga tidak bisa menggerakan jemarinya. Namun entah mengapa
matanya tidak pernah lelah meneteskan air mata.
Hari itu,
10 januari 2012, Tania mengernyit ketika melihat sosok lain dari keluarganya
memasuki kamar rawat inapnya. Sosok itu mengenakan pakaian kasual, jeans dan
t-shirt. Jaket hitam berada di genggaman tangan kananya. Ia mengenakan ransel
besar, dengan sepatu kets yang tampak sedikit lusuh.
“Siapa
kau?” Tanya Tania lemah. Sosok itu mendekatinya perlahan, menjatuhkan jaketnya
begitu saja, kemudian mengulurkan tangannya pada Tania.
“Aku
Reza,” bisiknya. Nafas Tania tercekat ketika mendengar nama itu. Nama yang
selama ini selalu ingin di dengarnya, nama yang selama ini menghiasi
mimpi-mimpi semunya. Nama sahabat kecilnya yang pergi bertahun-tahun lamanya.
“Terima
kasih sudah datang,” bisik Tania pada pemuda itu, ia memejamkan matanya dan
membiarkan setetes air mata mengalir dari matanya.
***
Tidak
pernah ada yang tau apa yang terjadi pada hembusan angin itu, seakan rahasia
yang tertutup rapat, namun jelas mempesona. Seperti cinta aneh yang mengalir
pada mereka yang tidak pernah bertemu bertahun-tahun lamanya. Namun jelas
terikat pada seutas benang yang tak terputuskan. Semenjak hari itu, Reza tidak
pernah meninggalkan sosok Tania barang sejenak pun, bagai magnet yang saling
menarik. Tania bergerak, ia akan turut bergerak.
“Kau
harus pulang,” bisik Tania di minggu kedua ia dirawat. Sore itu begitu hening,
hingga rasanya Reza bisa mendengar berbagai gurat perih dari kata-kata Tania.
Ia masih berdiri di samping jendela, kedua tangannya tersembunyi di balik
kantong jeansnya. “Kau punya pekerjaan di Makasar,” tambah Tania mencoba
terdengar logis. Pemuda itu menoleh, matanya mengunci mata Tania, kemudian berjalan
mendekat, dan duduk di kursi samping ranjangnya.
“Aku
tau,” bisiknya perih. “Tapi aku akan segera kembali.”
“Kau
tidak perlu kembali.” Ujar Tania lembut. Reza menatap Tania tak berkedip. “Aku
ingin kau pergi dengan kenangan indah ini. Dengan keadaan aku yang masih hidup.
Aku tidak ingin kau pergi ketika akhirnya aku mati kelak.”
Reza
mengepalkan tangannya diatas pangkuannya, wajah tampannya berpaling begitu
saja.
“Kau
memiliki kehidupanmu sendiri, pekerjaanmu, kekasihmu—“
“Dari
mana kau tau tentang itu?” potong Reza. Dengan lemah Tania tersenyum.
“Aku
hanya menebak, dan jika itu benar, ia pasti sangat mengkhawtirkanmu. Kau sudah
7 malam bersamaku, pergilah. Aku tidak ingin kau melihatku mati.” Suara itu
begitu lemah, begitu pelan. Hingga walaupun Reza marah dengan perkataannya, ia
hanya bisa terdiam memendam amarahnya sendiri.
Reza
bangkit dari kursinya ketika gadis itu memejamkan matanya kembali, bergerak ke
sofa yang berada tidak jauh dari ranjang Tania, memasukan barang-barangnya
kedalam ransel dan meraih jaketnya.
“Kak Reza
mau pergi?” Tanya seorang gadis kecil yang baru saja membuka pintu. Wajahnya
mendadak diliputi kesedihan. “Jangan pergi…” rengeknya pelan, tampak jelas
menahan isakan yang mungkin bisa membangunkan kakaknya jika mendengarnya.
Reza
berjalan perlahan ke arah gadis berumur 9 tahun itu, ia membungkuk dan mengecup
keningnya perlahan. “Tenanglah Elena, jaga kakakmu baik-baik.” Bisik Reza
sebelum berlalu pergi. Gadis kecil itu menggigit bibir bawahnya keras-keras,
jemarinya memilin ujung bajunya, mencoba menahan tangis itu lagi. Namun ketika
ia melihat mata yang tengah terpejam itu meneteskan air mata, isakkannya pun
pecah.
***
Tania
memandang hujan dari balik jendela kamarnya, entah sudah berapa banyak hujan
itu turun, namun tampaknya tidak setara dengan deraian air matanya. Setiap
hari, setiap detik hatinya akan terus terpilin perih ketika melihat sorot
ketakutan dari orang-orang di sekitarnya. Mereka mencoba mengabadikan setiap
detik dengan berbagai kamera, mereka datang mengelilingi Tania dan menceritakan
kisah konyol yang membuat mereka semua tergelak, tenggelam dalam tawa palsu
yang mereka harap bisa menyembunyikan keperihan itu. Namun Tania sangat
menghargai semua uasaha itu, ia terus tersenyum manis ketika mereka datang satu
persatu, ia tau, ini adalah kesempatannya meminta maaf atas semua kesalahannya sebelum
akhirnya virus mematikan itu merenggut kehidupannya.
Kini,
setelah dua minggu berlalu sejak kepergian Reza, dua lembayung hitam tampak
menghiasi mata cekung Tania. Ia hampir tidak bisa beristirahat, matanya akan
terus terjaga untuk menatap pintu kamar itu, berharap jika suatu saat sosok itu
akan kembali membuka pintu kamarnya, dan hadir kembali untuknya. Namun ia tau,
hidupnya tidak akan lama lagi. Virus yang dideritanya masih menjadi bahan
penelitian di berbagai tempat. Virus mematikan yang baru saja dialami beberapa
orang di seluruh belahan dunia.
Tania
sudah menyerah, ia menyerah pada pengobatan itu. Ia mulai lelah berharap.
Karena baginya, semua harapan itu sia-sia belaka, seperti usahanya menghitung
tetesan hujan.
***
“Tania… Tania…”
suara itu menggelitik kesadaran Tania. Kemudian terdengar petir dan derasnya
hujan. Tania tersenyum miris dalam kegelapan, bahkan kini hujan menggodanya
dengan menirukan suara yang paling dirindukannya. “Tania, aku datang,” suara
itu begitu lembut, begitu tenang. Membuat hati Tania yang membeku pun mulai
kembali mencair. Dan kemudian, kecupan lembut di keningnya mengetuk hati Tania,
setetes air mata mengalir dari sudut matanya yang terpejam, perlahan bibirnya
membentuk goresan senyum tipis, ia tau, pangerannya sudah kembali, tepat di
hari berhujan ke tiga belas.
“Kau
lihat, aku sudah memakai jas.” Kata Reza keesokan paginya. Tania mengernyit.
“Aku masih ingat kau pernah menuliskan kalau kau menyukai pria ber-jas di
emailmu.” Ujarnya, Tania mendesah geli. Selama ini, selama bertahun-tahun
lamanya mereka berdua memang terus berhubungan dengan segala macam tekhnologi
terbaru. Belanda-Indonesia. Hingga akhirnya, hubungan indah itu terputus,
ketika Tania didiagnosa mengalami kelumpuhan. “Aku mendapatkan pekerjaan di
sini. Kau tidak bisa mengusirku, aku adalah seorang direktur baru perusahaan
elektronik di kota ini.”
Lagi-lagi
Tania tersenyum lemah padanya. “Kau pantas mendapatkannya,” bisik Tania lemah.
Ia tau pemuda di hadapannya memang pemuda luar biasa, ia bahkan bisa
menyelesaikan S2nya dengan begitu cepat di Belanda.
“Sekarang
kau tidak bisa memintaku pergi lagi. Aku sudah memiliki pekerjaanku di sini,
aku sudah membeli sebuah apartemen, dan aku juga sedang membangun rumah.
Kehidupanku di sini Tania, kehidupanku adalah dirimu.” Tania tercekat mendengar
kata-kata pemuda itu, ia sempat melihat sosok orang tuanya yang tersenyum dan
menangis secara bersamaan di balik pintu kamarnya, sebelum akhirnya mereka
kembali berlalu meninggalkannya bersama Reza.
“Tapi aku
bukanlah gadis yang sempurna. Aku bahkan belum menyelesaikan tugas akhir
perkuliahanku, aku belum bekerja.”
“Ssst…”
Reza meletakan jari telunjuknya di sisi bibir Tania. “Aku akan membantumu
menyelesaikannya. Kau tau, aku adalah murid yang pintar.” Tania menatap geli
sekaligus perih padanya. “Dan kau mendapatkan undangan wawancara dari
lamaranmu, kau akan menjadi editor di sebuah perusahaan penerbitan sesuai
keinginanmu.” Ujar Reza dengan binar penuh harapan di matanya.
“Tapi aku
sakit. Aku bisa mati kapan saja. Aku hanya akan mengecewakanmu, aku hanya akan
menyulitkan kehidupanmu…”
Reza
terdiam. Ia menggenggam erat jemari gadis yang paling dicintainya. “Aku adalah
pria yang tangguh Na, aku pintar, aku sukses. Namun aku tidak akan berarti
tanpamu. Kita akan kuat jika terus bersama. Tidakkah kau mengerti itu?”
tanyanya perih. Tania tidak menjawab. Ia tau Reza adalah pria terbaik yang
pernah di temuinya. Ia tidak mengingkari hal itu, namun ia meragukan dirinya sendiri,
pantaskah ia untuk pria terbaik itu.
“Kalau
begitu, cium aku.” Bisik Tania. Reza hampir saja tersentak karena terkejut. Ia
masih menggenggam jemari Tania. Wajahnya yang tampan mendadak linglung,
khawatir jika dirinya salah mendengar. “Apa kau tidak—“
Kata-kata
Tania terpotong ketika Reza mendekatkan wajahnya, dan mencium kening gadis itu,
kemudian mencium kedua matanya yang terpejam, dan berakhir di bibirnya yang
lembut.
“Tapi aku
ingin memiliki suami seorang mentri.” Ujar Tania pelan.
“Kau akan
mendapatkannya.” Bisik Reza penuh janji.
***
16 February 2012.
“Kakak!!”
teriak Elena ketika memasuki kamar rawat inap Tania. Wajahnya yang cantik
tampak berseri-seri, tangan kanannya mengangkat sebuah benda kotak bersampul
kuning. Tania yang tengah menyantap makan siangnya langsung mendelik. “Lihat,
aku di belikan Barbie yang baru…
lihat… lihat… dia bisa menari, rambutnya panjang seperti kakak,” ujarnya riang.
Ia memainkan boneka itu, menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri. Tania melirik
sosok ibunya penuh Tanya.
“Itu
dibelikan oleh Reza. Bahkah Riana juga di belikan handphone terbaru. Tapi layarnya terlalu besar,” ujar ibu paruh
baya itu. Tania mengernyit, apa yang dilakukan Reza?
“Aku juga
sekarang diantar kesekolah pakai mobil baru kak Riana!” sorak Elena lagi.
Kerutan di dahi Tania semakin dalam, ia menatap kesal pada ibunya.
“Belakangan
kan sering hujan, Reza mengajari Riana mengendarai mobil. Dan ketika dia bisa,
Reza membelikannya mobil berwarna pink itu. jangan salahkan ibu. Ibu sudah
menolaknya, tapi Reza seakan-akan tidak mendengar kata-kata ibu.” Ujar ibu itu
lagi. Tania mendesah pelan, mencoba meredam kemarahannya untuk sementara.
“Apa yang
kau lakukan?” tuding Tania ketika Reza datang sore harinya. Ia melepaskan dasi
dan jasnya, kemudian duduk di samping Tania. “Apa yang kau lakukan pada
keluargaku?” Tanya Tania lagi. Seakan baru mendengar perkataan Tania, wajah
Reza mendadak membeku. “Apa kau pikir aku adalah wanita murahan, hah?” Tanya
Tania marah. Tangannya yang sejak lima hari yang lalu sudah bisa di gerakan
terkepal di kedua sisi tubuhnya.
“Tidak Tania,
tidak seperti itu.”
“Lalu
apa?”
“Kau
justru adalah wanita yang sangat mahal, hingga kalaupun aku mempertaruhkan
hidupku untuk dapat bersamamu, itu tidaklah cukup. Aku hanya ingin mereka
bahagia, aku ingin kau melihat orang-orang disekelilingmu bahagia.” Bisiknya
perih, amarah Tania yang sebelumnya menggebu-gebu mendadak surut. Wajah tampan
itu begitu lelah, begitu perih.
“Maafkan
aku,” bisik Tania, ia membelai wajah pemuda itu dengan perlahan.
“Kau
tidak perlu minta maaf,” ujar Reza, matanya menatap penuh kasih gadis yang
terpaut 8 tahun itu dengannya. “Lagi pula, itu memang sebuah sogokan agar
mereka mau mengizinkanku membawamu malam ini.” Sebuah kilatan geli terlihat
dari tatapan Reza. Tania mengerutkan keningnya penuh curiga. “Aku ingin
membawamu ke suatu tempat,” ujarnya seraya berdiri dari kursinya, ia meraih
kursi roda di sudut kamar Tania, mengambil ponsel dan kunci mobilnya, kemudian
menggendong Tania ke kursi rodanya.
***
Tania
mendelikan matanya tidak percaya. Ia terus menatap hamparan indah lampu-lampu
yang berkelap kelip di bawah mereka. “Belakangan ini, sangat sulit menemukan
bintang karena mendung yang selalu datang. Dan aku tau kau sangat ingin melihat
bintang. Ku rasa, meski tidak seindah bintang asli, tapi kelipan lampu itu—“
“Ini
sangat indah.” potong Tania cepat. Mereka ada di ketinggian atap gedung pencakar
langit di kawasan Jakarta pusat, memandang kemilau indah lampu-lampu kota
metropolitan yang seakan tidak pernah mati.
“Aku
senang kau menyukainya.” Reza membungkukan tubuhnya hingga bisa mengecup pipi
kiri Tania. “Dan… um… satu lagi…” bisiknya. Tania menoleh padanya, kemudian
langsung menoleh kebelakang ketika Reza berbalik.
“HAPPY
BIRTHDAY!!!” sorak sorai itu membekukan Tania, mendadak suasana malam itu
langsung ramai dan terang menderang oleh lilin dari kue yang mereka bawa. Tania
ternganga tak percaya. Seluruh keluarganya, sahabatnya, semuanya menyatu di
hadapannya.
“Selamat
ulang Tahun yang ke dua puluh satu, Tania,” bisik Reza lembut di telinga Tania.
Tania menatap sosok tampan itu dengan pandangan tidak percaya. Tiba-tiba Reza
berlutut di hadapan kursi roda Tania, tangannya membuka sebuah kotak hitam
kecil berisi cincin berlian yang begitu indah.
“Tania,
hari ini, di hadapan semua orang. Aku ingin memintamu menjadi pendamping
hidupku. Memintamu menjadi satu-satunya wanita teristimewa dalam hidupku.
Memintamu untuk bersamaku menghadapi apapun yang terjadi di masa depan,
memintamu untuk menjadi istriku.”
Hening.
Tania
terdiam cukup lama, namun ketika air mata itu menetes, ia menganggukan
kepalanya pada pemuda itu. “Ya,” ujar Tania lantang.
Sorak
sorai itu kembali terdengar dan pesta itu pun dimulai. Begitu banyak orang yang
tidak ia ingat namanya, namun jelas ia kenali. Bahkan ada sahabat-sahabat taman
kanak-kanaknya dulu. Selama pesta itu berlangsung tidak sedetikpun Reza melepas
rangkulannya dari sosok lemah Tania, membuat beberapa gadis berdecak iri
padanya.
“Jadi kau
dengan dia?” cibir Tika salah satu teman masa kecilnya. Tania melirik sosok
Reza malu-malu. “Aku pikir kau sangat membencinya,” ujar Tika lagi. Tania
tersenyum tipis, dulu ia memang sangat membencinya. Ketika ia duduk di kelas
nol kecil bersama teman-teman barunya, dan bertemu bocah angkuh yang super
menyebalkan yang ternyata adalah putra tunggal pemilik yayasan taman
kanak-kanak itu. Bocah itu selalu mengganggu kelasnya, bahkan hingga akhirnya
ia sekolah SD dan bocah itu memasuki masa SMPnya, ia terus mengganggu Tania.
“Dia tidak pernah berhenti mengganggumu,” ujar Tika dengan senyuman penuh arti.
Tania terkekeh dan menggeleng, diremasnya jemari Reza yang berada di
pangkuannya, hingga pemuda itu menoleh.
“Kau mau
berdansa?” Tanya Reza. Tania langsung menggeleng, namun sosok itu tidak
memperdulikannya, ia mengangkat tubuh Tania dengan begitu mudah, menggendongnya
bagai benda tak bermassa. Tania terpekik dan langsung melingkarkan tangannya di
leher Reza.
“Turunkan
aku,” pinta Tania, malu sekaligus takut.
“Hus.
Diamlah, atau kau akan jatuh. Ayo kita berdansa.” Ujar Reza seraya terus
menggendong Tania menuju sisi yang sudah di hias seperti lantai dansa darurat
yang manis. Sedetik kemudian Tania menyerah dalam dekapan Reza, ia menyandarkan
kepalanya pada dada bidang Reza, tangannya masih melingkari leher pemuda itu,
meski ia tau ia tidak akan terjatuh. Dengan perlahan Tania mengangkat wajahnya
dan mencium leher Reza.
Tubuh
Reza mendadak membeku. Matanya melebar dengan sorot aneh yang belum pernah
dilihat Tania sebelumnya.
“Apa?”
Tanya Tania cemas.
“Itu
adalah bagian sensitifku,” ujar Reza dengan seringai lebar. Matanya menatap
dalam mata Tania. Wajah cantik itu langsung bersemu merah.
“Sudah ku
catat.” Bisik Tania pelan seraya kembali menyandarkan kepalanya di dada Reza. Ia
tersenyum manis kemudian memejamkan matanya, mencoba merasakan irama jantung
Reza yang berirama.
Reza
mengecup kepala gadis itu penuh kasih, ia masih bergerak perlahan dengan Tania
dalam dekapannya. Sudah setengah jam mereka seperti itu, namun ia sama sekali
tidak lelah, kehangatan tubuh Tania menenangkan batinnya. Hingga akhirnya hujan
itu datang dan menawarkan berjuta hawa dingin, Reza hanya terdiam. Ia menghela
nafas panjang kemudian mempererat dekapannya.
“Terima
kasih untuk pesta yang dimajukan 10 hari ini.” Bisik Tania pelan, Reza bisa
merasakan senyuman gadis itu. Dan mau tidak mau ia pun turut tersenyum meski
akhirnya air matanya menetes ketika rangkulan tangan gadis itu dilehernya
terlepas begitu saja.
***
10 tahun kemudian.
Seorang
gadis cantik mendesah lelah seraya menyeka peluhnya yang memenuhi setiap sudut
tubuhnya. Ia benar-benar lelah berorasi di tengah hari seterik ini, namun
sebagai mahasiswi yang menjungjung keadilan, ia tidak akan pernah menyerah
untuk memperjuangkan kehidupan orang-orang yang terbelakang di sekelilingnya.
“Ada
bapak Reza Chairil!” pekik gadis berambut kriting di sampingnya. Gadis itu
langsung menoleh, dan saat itu pula tatapannya bertemu dengan tatapan bapak
mentri pendidikan itu. "Beliau kan mentri pendidikan," gumam gadis itu.
"Beliau memang mentri pendidikan, namun beliau juga manusia yang hatinya turut terpilin ketika melihat ketidak adilan di negara kita,"
“Kau kenal beliau Elena?” Tanya Sonia sahabatnya, ketika
melihat sosok berwibawa itu mengangguk pada Tania.
“Dia
mantan kekasih kakakku,” jawab Tania pelan.
“Mentri
itu?! mantan kakakmu! Maksudmu kak Riana?” tanyanya takjub. Elena memutar bola
matanya kepada gadis itu.
“Bukan.”
Ujar Elena gemas. Namun ia tidak bisa menyalahkan ketidak tahuan gadis yang
baru menjadi sahabatnya selama beberapa bulan itu. “Dia mantan kekasih kak Tania,”
“Tapi aku
dengar dia belum menikah,”
“Dia
sudah hampir menikah dengan kak Tania.” Ujar Elena, matanya menerawang jauh ke
langit yang tak berhujan. Sedetik kemudian hujan itu turun, mengguyur raya yang
gersang, mengguyur emosi yang memenuhi setiap senti kota Jakarta itu.
“Hampir?”
Tanya Sonia penuh rasa ingin tau. Elena memutar matanya pada gadis itu.
“Ya. Hampir,
sebelum akhirnya kak Tiana meninggal di hari ulang tahunnya yang ke duapuluh
satu kurang sepuluh hari.” Tuturnya gemas. Sonia ternganga menatapnya, namun
gadis itu sudah tidak peduli.
Lagi-lagi
Elena tersenyum pada sosok paruh baya itu. Ia mengangguk santun dengan senyuman
lebarnya. Reza memabalas anggukannya, kemudian turut berorasi untuk memberantas
ketidak adilan yang berada di sekelilingnya. Menemani sahabat mahasiswanya
menuntut hak-hak bagi mereka yang tertindas.
Sekali
lagi Elena tersenyum, namun kini bukan pada siapapun di sekelilingnya, tapi
pada hujan itu, pada sosok kakaknya yang tak kasat mata. “Kau lihat kak, kak
Reza sudah menjadi mentri. Kau harus bangga memiliki mantan kekasih seperti
dia, kau harus bangga menjadi istrinya. Ia mentri yang bijaksana dan jujur,
berbahagialah kau di sana.” bisiknya penuh kasih.
_the end_
3 komentar:
good .salam kenal
Ziaaaaaaaaa,,,,,
Betapa mengharukanny kisah nie,,,
Ziaaaa,,,makaaaaasssiiiihhhh,,,,
salam kenal juga mba Nira Lovesket... :) aku cherry dr kebun sebelah...
makasii mba Riskaa.... :) :)
Posting Komentar