Aku tidak pernah percaya pada
kekuatan cinta. Toh kata-kata itu akan kehilangan kekuatannya cepat atau
lambat. Lihat betapa banyaknya perceraian dari pernikahan-pernikahan berasaskan
cinta. Lucu bukan? Bukankah dulu mereka
saling mencintai? Lalu mengapa mereka berpisah saat ini?
Ups, jangan lupa, lihat kata ‘dulu’
di sana. J
Ya, aku masih tidak
mempercayai kekuatan cinta itu hingga akhirnya aku bertemu dengannya. Dengan sosok
tampan berkemeja biru yang memiliki senyum paling menawan di muka bumi ini,
senyum yang ramah dan menenangkan. Aku bahkan langsung jatuh cinta ketika
pertama kali tatapan mata kami bertemu. Dia bukanlah seorang pangeran, nope. Dia
tidak memiliki kastil dengan prajurit berkudanya. Ia tidak menunggangi kuda
putih yang berbulu indah, ia hanya pria biasa yang bekerja di kedutaan besar
Indonesia. Ia memiliki punggung yang tegap dengan gaya berwibawa yang sangat
membuatku tidak bisa lepas darinya.
Dan kisah cinta itu tidak
berhenti di sana. Kami berkencan, setelah perkenalan yang sedikit memalukan. Tapi
setidaknya kami bersama, berbagi canda dan cinta yang terasa begitu manis,
berbagi luka dan perih yang menguras persediaan air mataku.
Aku mencintainya, dan mulai
yakin atas kekuatan cinta itu. Aku menyayanginya bagai pantai menyayangi
lautan. Aku membutuhkannya untuk membuatku tetap utuh dan hidup dalam suka duka
di dunia ini. Aku sudah menetapkan sebuah keputusan besar dalam hatiku, bahwa
dengannya lah aku akan menghabiskan sisa hidupku. Mencintainya sampa aku tidak
bisa bernafas lagi.
Itu kisah tentang pangeran
dalam versiku, pangeran tampan dalam mimpiku. Cinta pertama dan terakhirku. Namun
ini bukan kisah dongeng, aku bukan seorang putri. Kisah hidupku pun memiliki
berbagai liku yang menyayat hati. Seperti ketika akhirnya aku kehilangannya di
hari itu… di hari berhujan yang begitu gelap…
Aku tersenyum manis dan
mengecup sayang nisan tua di hadapanku.
“Moma, ayo pulang. Sebentar lagi
hujan,” aku menoleh dan tersenyum pada putri cantikku. Tubuh tuaku bergetar
ketika aku bergerak. “Lihat, moma terlalu lama berjongkok,” katanya lembut
sambil membantuku berdiri. Aku kembali tersenyum.
“Tapi mom masih ingin
berbicara dengan mantan kekasih mom,“ kataku pelan.
“Moma, kita masih bisa menemui
ayah besok, sekarang ayo pulang.” Clara membimbing tubuhku melewati barisan
makam-makam yang tampak sunyi. Aku tak kuasa menolak, hingga akhirnya aku hanya
bisa mengucapkan selamat tinggal ‘sementara’ kepada pangeran hatiku, mantan
kekasih terindahku, suamiku, ayah dari putri-putriku, kekuatan cintaku.
Kini aku benar-benar
mempercayainya. Ya… kekuatan cinta itu, toh hingga saat ini, ketika tubuhku
mulai ringkih karena usia, aku tidak pernah kehilangan cinta itu, bahkan hingga
akhirnya ia meninggalakanku sepuluh tahun yang lalu.
Aku masih mencintainya, masih
sangat mencintainya, dan akan terus
mencintainya, selamanya. Pria terbaikku.
3 komentar:
this is really nice story.. Hanya terpisah oleh maut ;(
iya mba sila.. mudah2an kita menemukan mr.right kita yah.. *secepatnya* maksa.. hihihi
(-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩___-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩) (-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩___-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩)
Aamiinnnnnnn u doa'a zia n sila...
Posting Komentar