“Mengapa kau tidak pernah
mengatakan sebelumnya kepadaku?” tudingku sambil menyeruput jus alpukatku. Pemuda
di sampingku menoleh dengan kerutan di keningnya.
“Mengatakan apa?” tanyanya
dengan wajah polos. Aku mendengus, apa yang harus ku katakan?! Sial. Wajahku langsung
memerah malu. “Mengatakan apa?” tanyanya lagi, dari mimik wajahnya aku bisa
membaca dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang ku katakan. Aku menghela
nafas lelah dan menguatkan hatiku, toh aku sudah melalukan banyak hal yang
memalukan selama ini, jadi mengapa aku harus ragu untuk menambahkan satu lagi
kelakuan bodohku di hadapannya?
“Mengatakan bahwa kau
mencintaiku.” Kataku tak acuh. Elvan tertegun, bibirnya membentuk senyum miring
yang luar biasa indah. Kemudian dengan perlahan ia menoleh padaku, matanya
menampakan kegelian dan kasih sayang. Membuat hatiku bergemuruh tak tentu arah.
Hampir saja aku menjatuhkan gelas jusku ketika ia mendekatkan wajahnya padaku.
Lima senti lagi, dan wajah
kami akan benar-benar menempel. Namun Elvan berhenti di sana, matanya mengunci
mataku, tatapan gelinya masih memonopoli, senyuman jahilnya yang indah masih
terukir, namun hembusan nafasnya yang lembut seakan menunjukan betapa ia sangat
mencintaiku dengan cara yang tidak bisa ku ungkapkan.
Jangan menertawakanku! Tapi aku
benar-benar merasakannya, entah bagaimana caranya, tapi aku tau jika ia benar-benar
mencintaiku. Benar-benar menginginkanku, seperti aku yang takkan pernah bisa
hidup tanpanya.
“Harus ku jelaskan atau ku
buktikan?” tanyanya, dengan wajah yang masih lima senti dari wajahku. Ia tercium
seperti tumpukan mint yang segar, dan cologne yang lembut namun memabukanku. Hati
kecilku menjerit-jerit kegirangan. Namun otakku terus menampilkan poster-poster
besar bertuliskan ‘Dia Musuk Kecilmu’.
“Aku bertanya ‘mengapa’ jadi
kau tinggal jawab alasannya.” Ujarku susah payah. Susah payah dalam artian yang
sebenar-benarnya. Dengan wajahnya sedekat itu, bagaimana mungkin aku bisa
berbicara dengan tenang. Ia terkekeh. Ya Tuhan… bahkan tawa kecilnya –yang jelas-jelas
menertawakanku- mampu membius tubuhku untuk kembali memajukan wajahku. Tanganku
mulai gatal ingin merengkuh wajah tampannya, aku ingin membelai tulang pipinya
yang kokoh, aku ingin menyatukan hidungku dengan hidungnya yang indah, aku
ingin menempelkan keningku dengan
keningnya, mencoba merasakan asanya, berharap bisa membaca pikirannya.
Ia menarik wajahnya kembali,
duduk tegak di hadapanku dengan wajah menghadap jendela besar di samping tempat
duduk kami. Sejenak matanya tampak menerawang, keningnya berkerut, membuat wajahnya
terlihat begitu berbeda dari yang selama ini selalu ku kenang dalam memori masa
kecilku yang terbatas.
Sudah lima belas tahun, dan
sosok pemuda di hadapanku tampak sudah banyak berubah. Tubuhnya terlihat
memiliki perkembangan yang sangat baik, ia tampak sangat tinggi, mungkin 170
-180 aku tidak terlalu yakin. Wajahnya yang kekanakan kini sudah tergantikan
dengan wajah penuh wibawa khas seorang eksekutif muda yang bekerja di pusat
kedutaan besar. Namun, terlepas dari semua perubahan itu, ada banyak hal yang
tetap sama dalam dirinya. Senyuman jahilnya, tatapan gelinya, candanya, bahkan
tatapan penuh cintanya.
“Karena aku takut,” bisiknya
pelan. Aku mengerutkan kening, mencoba memikirkan lagi apa yang tengah ia katakan.
Suara music di kafe itu membuatku semakin kehilangan kata-katanya. Tawa teman-temanku
yang tengah berbagi kisah selama mereka tidak bertemu sejak lima belas tahun yang lalu itu memperburuk keadaan. Aku tidak yakin dengan apa yang ku dengar.
“Takut?” tanyaku ragu. Ia menunduk
dan menyapukan tangan kanannya kebelakang kepalanya, tersenyum kikuk sambil
menatap lantai di bawah kaki kami. Aku mendengus tidak percaya. “Kau takut?! Sulit
dipercaya!” desisku sinis. Ia mencibir dan menatapku dengan kesal.
“Kau itu adalah gadis kecil
yang sangat menyebalkan, keras kepala, suka mengatur, dan jahil!”
“Hey tunggu! Itu seharusnya
menjadi kalimatku!” ujarku balas berteriak. Elvan menaikan sebelah alisnya.
“Itu akan selalu menjadi
kata-kataku. Karena selama ini kau memang gadis yang menakutkan, kau selalu
membuatku ketakutan setengah mati! Kau selalu membuat tubuhku merinding!”
“Tapi aku bukan hantu!!”
“Aku tidak bilang kau hantu!”
“Lalu mengapa kau takut
padaku, hah?!”
“Karena setiap kali aku
melihat foto kecilmu, aku takut tidak akan bisa bertemu denganmu lagi. Setiap kali
aku memimpikanmu, aku takut akan terbangun dan kehilanganmu. Setiap aku
meyakinkan diriku bahwa aku mencintaimu, aku takut semua itu hanya akan
membuatku kehilanganmu!” teriaknya menggebu-gebu.
Mataku membulat menatapnya,
mulutku ternganga, wajahku berubah-rubah warna bagai lampu disko yang sudah
uzur, putih pucat – merah padam – merah merona – putih pucat. Susah payah ku letakan lagi hatiku yang
sempat jatuh menggelinding, kemudian kembali menatap matanya yang masih menyiratkan
emosi dan setitik cinta yang aneh namun indah.
“Kalau kau takut
kehilanganku, seharusnya kau tidak pernah membiarkanku pergi,” bisikku pelan. Dengan
perlahan ia mengangkat wajahnya. Menatapku dengan pandangan tidak percaya. “Selama
ini juga aku menyimpan sebuah ketakutan. Takut jika ternyata cintaku bertepuk
sebelah tangan.”
Lalu ia tertawa, Elvanku yang
menawan namun menyebalkan lagi-lagi menertawakanku. Tapi aku selalu senang
ketika ia menarikku kedalam pelukannya, membuatku merasakan gemuruh dadanya
ketika ia tertawa. Aroma tubuhnya yang menyejukan membuatku ingin terus berada
di sana, berada di dalam pelukannya.
“Bodoh! Ketakutanmu tidak
beralasan!” katanya sambil mengecup puncak kepalaku dengan gemas dan penuh
kasih. "Aku sangat mencintaimu Clara, bahkan sejak kita pertama kali bertemu, lima belas tahun yang lalu." ujarnya lembut dan sungguh-sungguh. Aku tersenyum tipis, untuk pertama kalinya aku tidak menyesali kedatanganku ke acara reuni bersama teman-teman SDku itu.
2 komentar:
prok prok prok..
Mreka bersatu..
Cher Love runion sma Fearless berhub'an kan yah??
Berhub'an jg g' ma Mr. Right?
niatnya sih mau di buat kisah yang berdiri sendiri2 mb sila, tapi yahh... ternyata aku masih belom bisa. hihihihih
Posting Komentar