Pernikahan…
Betapa
indahnya kata itu ketika terdengar, betapa bahagianya bagi kedua mempelai,
betapa sempurnanya perjalanan akhir cinta mereka…
Tapi
mengapa kau memberikanku luka ini dalam pernikahanku ya Allah? Mengapa kau
memberikan perih ini??
20 desember 2004
Tepuk tangan langsung menggema ketika
akhirnya aku menganggukan kepalaku. Sosok tampan yang tengah berlutut di
hadapanku langsung mengangkat wajahnya, mata coklat indahnya menatapku dengan
pandangan tidak percaya.
“Aku tidak bisa mengatakan ‘tidak’ pada
seorang pangeran sepertimu.” Bisikku lembut. Dan senyuman itu mengembang tanpa
ragu-ragu lagi. Ia menggenggam tanganku dengan sangat erat, matanya berbinar
penuh kebahagiaan. Membuatku tak kuasa menahan air mata haru itu lagi.
“Alhamdulillah…” bisiknya penuh haru. Ia
kembali berdiri di hadapanku, matanya mengunci mataku, membuatku bisa menyelami
kebahagian yang tulus dari dalam dirinya. “Terima kasih Sarah. Terima kasih
banyak…” bisiknya begitu lembut, begitu tulus. Aku tidak sanggup berkata-kata
lagi, air mataku terlalu banyak menetes, hingga hatiku mulai terasa perih
karena tangis haru itu. orang-orang di sekeliling kami turut tersenyum penuh
haru, mengucapkan hamdalah dengan tulus atas apa yang mereka lihat.
“Kalian pasti akan menjadi pasangan yang
sempurna,” bisik Mia, sahabat baikku. Aku tersenyum penuh terima kasih padanya.
Ya
Allah…
Terima
kasih, terima kasih atas segala nikmat yang telah Engkau berikan pada hamba-Mu
ini. Terima kasih banyak karena telah menciptakan sosok baik hati ini untuk
hamba… terima kasih…
***
Agustus
2013
“Sarah…” panggilan itu mengejutkanku.
Dengan cepat aku menyeka genangan air mata yang mengalir di pipiku. “Apa yang
sedang kau lakukan?” tanyanya lembut seraya menyentuh pundakku dengan perlahan.
Aku tersenyum tipis dan menyentuh sebuah foto dari dalam album di hadapanku.
Foto kami berdua yang tengah tersenyum penuh haru, saling berpegangan tangan,
saling menatap seakan baru menemukan cahaya kehidupan kami masing-masing. “Hari
itu… aku sangat bahagia,” bisiknya di belakangku. Aku kembali tersenyum, namun
entah mengapa mataku terasa perih menahan tangis. “Aku tidak akan pernah bisa
melupakannya, anggukan lembutmu sebagai jawaban dari pinanganku adalah hal
terindah dalam hidupku.” Ujarnya penuh kasih. Aku terkekeh pelan di tengah
tangisku. Tiba-tiba ia memelukku dari belakang; meletakan kepalanya di atas
bahuku, kedua tanganya mendekap erat tubuhku yang mulai bergetar karena isak
tangis. “Tenanglah Sarah, Insya Allah kita bisa melewati semua ini. Insya Allah
kita bisa… kita bisa…” ujarnya menguatkan. Tapi hatiku terlalu lelah,
benar-benar lelah, hingga rasanya aku hampir saja menyerah.
“Tapi dia putriku…” bisikku perih. Sosok
di belakangku tak lagi berkata apapun, ia hanya mendekapku semakin erat,
menawarkan ketenangan yang mustahil tercipta, kemudian aku bisa merasakan
tetesan air matanya di atas bahuku.
***
“Hai
orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
salat; sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Al baqarah: 153)
***
Untuk kelima belas kalinya aku membaca
surat al fatihah pagi itu sambil menunggu dokter selesai memeriksa putriku.
Dokter paruh baya yang tetap tampak cantik itu mendesah pelan, kemudian melirik
kantung infuse di sampingnya. Ia mengernyit untuk sesaat kemudian menuliskan
sesuatu di buku catatannya.”Berikan terapi triparen lagi,” kata dokter Hana
pada perawat yang berdiri di sampingnya. Perawat itu mengangguk, dengan sigap
ia mencatat apa yang di katakana dokter itu padanya.
“Dokter, apa aku akan di suntik lagi?”
Tanya putri kecilku tiba-tiba. Dokter Hana menatap lembut gadis kecilku, ia
membelai kepalanya dengan sangat perlahan, seakan ia memang diciptakan untuk
memberikan ketenangan pada mahluk-mahluk kecil yang malang ini. Aku menggigit
bibir bawahku keras-keras untuk menahan lonjakan rasa perih di dalam dadaku.
Aku harus tegar, aku harus kuat untuk putriku. Putri kecilku yang baik hati.
Putri Salsabila Ramadhani.
“Tidak sayang,” ujar dokter Hana lembut.
Putriku tesenyum tipis kemudian menoleh kepadaku, tangan kecilnya terulur,
ingin menggapaiku. Dengan cepat aku langsung menghampirinya, menggenggam tangan
mungilnya dan tersenyum menenangkan. “Baiklah, dokter pergi dulu yah sayang,”
ujar dokter Hana.
“Terima kasih dokter,” bisikku tulus.
Dokter Hana mengangguk dan berlalu pergi bersama dua perawat lain di
belakangnya. Meninggalkan aku dengan gadis kecilku berdua lagi. Aku menatap
kedua mata indah putriku dalam-dalam, berusaha untuk menyelami seluruh rasa
yang dialaminya beberapa hari belakangan ini. “Apa ada yang sakit sayang?”
tanyaku pelan. Gadis kecil itu menggeleng.
“Maafkan Bila mama, gara-gara Bila mama
harus tidur di sofa rumah sakit…” bisiknya pelan, aku tercekat mendengar
kata-katanya. Ya Allah… gadis ini, ia
malah mengkhawatirkan tidurku, saat sakit yang dirasakannya terkadang sampai
membuatnya kehilangan kesadarannya.
Aku menggeleng perlahan dan membelai
kepalanya, “Mama baik-baik saja sayang, kamu tidak perlu mengkhawatirkan
apapun.” Balasku seraya mengecup keningnya, mengujaninya dengan tetesan air
mataku yang jatuh begitu saja.
***
Pernikahanku adalah pernikahan terindah
pada tahun itu, semua orang yang hadir selalu memuji kami sebagai pasangan yang
paling serasi. Aku tidak bisa berhenti tersenyum kala itu, hingga keesokan
harinya aku merasa wajahku keram karena terlalu banyak tersenyum. Sebelumnya,
aku pernah merasakan perih yang teramat dalam ketika mengalami kegagalan bahkan
sebelum pernikahan itu diadakan. Ya, sosok yang ku anggap sebagai kekasih
hatiku selama 3 tahun lamanya ternyata menghianatiku dengan wanita lain, dan
semua itu terbongkar satu bulan sebelum pernikahan kami. Aku tidak tau harus
menganggap itu sebuah keberuntungan atau kepedihan. Mereka selalu mengatakan,
ini lebih baik dari pada aku mengetahuinya setelah kami sah menjadi suami
istri. Dan aku tidak bisa menyalahkan pendapat itu, hanya saja aku tidak tau
bagaimana cara agar bisa kembali berdiri setelah itu. Luka yang tertinggal
begitu dalam dan pedih, hingga akhirnya aku menyerah pada kata klise bernama
cinta itu.
Pertemuanku dengan sosok Adrian bukanlah
sebuah kebetulan, kami bukan secara tidak sengaja bertabrakan di lorong-lorong
perpustakaan seperti yang diputar di film-film romansa itu. Tapi pertemuanku
dengannya sudah diatur sedemikian rupa oleh Mia, sahabatku. Aku, yang lelah
kepada cinta, hanya mengangguk pelan ketika Ia mengenalkan seorang pria yang
mengatakan ingin melakukan taaruf denganku.
Hanya berselang 3 bulan, dan ketika
Adrian meminangku di hadapan seluruh teman-teman kantorku, aku mengangguk
dengan sepenuh hati. Seakan aku sudah mengenalnya selama tiga tahun lamanya,
bukan tiga bulan; seakan kami memang sudah dekat sejak kecil bukan karena
taaruf yang direncanakan oleh Mia dan suaminya. Tapi aku mengangguk, aku
mengangguk dengan keyakinan yang bahkan tidak pernah ku dapatkan dari siapapun
sebelumnya. Sosok itu, sosok rupawan bermata coklat itu mampu membiusku
sedemikian rupa, ia mengajarkanku untuk kembali menemukan sisi lain dari balik
kata cinta itu, ia membantuku kembali menemukan tujuan hidup yang lebih mulia;
membangun sebuah mahligai rumah tangga yang indah, membangun sebuah keluarga
yang insya Allah akan menjadi bekal kami di akhirat kelak.
Aku mencintai Adrian, seperti bintang
mencintai Rembulan, seperti ombak mencintai lautan, aku mencintainya karena
Allah, karena aku yakin di sanalah jalan menuju surgaku akan terbuka,
kepadanyalah aku akan mengabdikan sisa hidupku untuk meraih ridho sang Khalik.
Hingga tiga tahun kemudian akhirnya Allah
mempercayakan seorang putri mungil kepada kami, seorang putri yang menjadi
jawaban dari do’a-do’aku di setiap sepertiga malam. Putri Salsabila Ramadhani.
Putri kecil yang lahir tepat di malam penuh bintang, malam indah di hari
terakhir ramadhan datang, malam menuju hari fitri yang penuh berkah.
“Aku ingin menjadi bintang…” rengeknya
suatu malam, ketika hanya ada kami berdua di rumah. Aku mengerutkan keningku tidak
mengerti. Ku pikir ia sudah terlelap sejak sepuluh menit yang lalu, ketika aku
memutuskan menghentikan ceritaku tentang nabi Musa karena merasakan nafasnya
sudah bergerak teratur, menandakan ia sudah terlelap tidur. Dengan perlahan aku
membalikan tubuhnya hingga menghadapku, aku menatap wajah mungilnya dengan
penuh kasih. Ia baru berumur 6 tahun saat itu, namun ia sudah sangat ahli dalam
menggambar benda lima sudut yang disebut bintang.
“Kau adalah bintang hati mama,” bisikku
penuh kasih. Namun wajah mungil putriku tidak tersenyum sama sekali, matanya
nanar menatap langit-langit kamarnya yang gelap.
“”Tapi aku ingin menjadi bintang di
langit.” Ujarnya pelan. Aku terdiam sejenak, bingung harus menjawab apa.
“Kau akan menjadi bintang terindah.”
Ujarku akhirnya, kemudian memeluk tubuh mungilnya lebih erat lagi.
Jika tau malam itu adalah sebuah pertanda
darinya, mungkin aku tidak akan pernah melepaskan pelukanku darinya. Aku akan
terus memeluknya sepanjang malam, hingga pagi menjelang, hingga jika ia membuka
mata keesokan paginya, ia akan tetap merasa tenang melihatku di sampingnya.
Namun semua itu hanya perandaian. Pada kenyataannya, aku pergi meninggalkannya,
berangkat pagi-pagi buta karena alasan meeting di kantor, lalu menitipkan gadis
kecilku pada pembantu rumah tangga kami.
Hari itu berjalan normal seperti
hari-hari biasanya, hingga aku mendapatkan sebuah telepon dari sekolah
Salsabila tepat pada pukul sepuluh pagi. Salsabila muntah hebat, hingga membuat
guru-guru panic dan membawanya ke rumah sakit. Aku menghubungi Adrian saat itu
juga, kemudian melenggang pergi dari kantor, melupakan seluruh jadwal meeting
lainnya pada hari itu. pikiranku mulai di penuhi oleh hal-hal yang berkaitan
dengan putriku. Apa yang ia makan kemarin, apa yang ia kenakan saat tidur
semalam, apa dia masuk angin? Apa aku telat memberikan obat cacing padanya? Apa
aku lupa memeriksa tanggal kadarluasa pada masakan yang ku masak kemarin? Apa
dia jajan sembarangan di sekolahnya? Apa ia terasa panas kemarin? Dan masih
banyak apa-apa lain dalam benakku. Menghantuiku bagai kunang-kunang bercahaya
terlalu terang.
Salsabila masih berada di ruang IGD
ketika aku sampai, dokter memberikan cairan infusan sebagai pengganti cairannya
yang hilang. Hatiku langsung jatuh begitu saja ketika melihat wajah pucatnya,
kepanikan langsung menghujamku. Melisa, wali kelasnya, langsung menceritakan
kronologi dari sudut pandangnya. Tapi aku tidak benar-benar mendengarkan.
Otakku terlalu sibuk memikirkan sosok putriku yang tampak begitu lemah di atas
ranjang dorong rumah sakit ternama itu. kemudian seorang dokter yang bertugas
hari itu menghampiriku dengan catatan di tangannya. Ia mendesah pelan, kemudian
sekali lagi memeriksa mata putriku yang masih terpejam dengan senter kecilnya.
“Bagaimana keadaan putri saya dok?”
tanyaku. Pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang dilontarkan berjuta
ibu-ibu lainnya ketika cemas melihat buah hatinya terbujur lemah di hadapan
mereka, pertanyaan yang sudah berjuta kali terucap, pertanyaan yang seharusnya
sudah familiar di telinga setiap dokter di rumah sakit, pertanyaan yang
seharusnya dengan mudah di jawab oleh setiap dokter.
Tapi dokter itu malah terdiam cukup lama,
seakan meragu pada analisanya sendiri. Sebenarnya aku tidak butuh jawaban apapun,
aku hanya ingin mendengar dokter itu berkata bahwa putriku baik-baik saja.
Bahwa ini hanya masalah spele yang berkaitan dengan makanan yang di makan oleh
putriku. Setengah jam lagi, setelah cairan observasi itu habis maka putriku
akan kembali baik-baik saja. Aku akan bisa membawanya kembali pulang bersamaku.
Aku akan bisa kembali memeluknya dengan tenang. Putri kecilku… pelita hidupku…
“Kami masih belum bisa mendiagnosa
penyakit putri anda, tapi kami menyarankan agar ia dirawat. Kami menemukan
edema pada pupilnya, mungkin ia harus melakukan beberapa tes,”
Kepalaku pening ketika mendengar
penuturan dokter itu. Aku benar-benar ingin focus mendengar apa yang di
katakannya, tapi entah bagaimana istilah-istilah itu membuatku bingung karena
perasaan cemas yang mulai bertambah kuat. “Tes?” tanyaku berusaha setenang
mungkin.
Dokter itu mengangguk, “Ya, tes darah dan
urin. Dan… MRI scan,” tambahnya. “Kami khawatir ada perkembangan sel abnormal
di dalam dirinya.” Aku tercekat. Tepat pada saat itu pintu ruang IGD terbuka,
dan Adrian berdiri di sana. Tepat ketika aku merasakan jantungku berhenti
berdetak untuk beberapa saat.
***
Ketika
duduk di sekolah SD, pelajaran yang paling ku sukai adalah pelajaran IPA dan
Bahasa Inggris. Pelajaran yang sahabatku bilang paling membosankan dan sulit.
Aku tidak pernah mengingkari bahwa kedua pelajaran itu memang sulit. Sering
kali aku hanya mendengarkan penjelasan guru tanpa mengerti dengan apa yang
tengah ia katakan. Tapi aku menyukainya, terlebih tentang tata surya di dalam
IPA. Aku menyukai penjelasan pak Denias tentang perputaran matahari, bulan dan
bumi. Aku menyukai semua kisahnya, seperti aku menyukai ayat-ayat indah yang
kerap dibacakan oleh ibuku di malam hari.
“Demi
matahari dan cahayanya di pagi hari (1). Dan bulan apabila mengiringinya (2).
Dan siang apabila menampakkannya (3). Dan malam apabila menutupinya (4). Dan
langit serta pembinaannya (5). Dan bumi serta penghamparannya (6). Dan jiwa
serta penyempurnaan (penciptaannya) (7). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (8). Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang menyucikan jiwa itu. (9). Dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya (10).” (As syams : 1-10)
Bukankah itu sebuah janji yang indah.
Janji yang tidak akan pernah teringkari, satu-satunya janji yang membuat hatiku
selalu tenang. Janji bahwa Allah akan memberikan kebahagiaan bagi orang-orang
yang berbuat baik.
Menginjak masa-masa SMP dan SMA,
kecintaanku pada bidang biologi semakin mendalam, aku menyukai bab anatomi
tubuh manusia, meskipun karena masalah lemahnya ingatanku, aku tidak pernah
bisa menghafal istilah-istilah ilmiah itu dengan benar. Ketika umurku 8 tahun,
ibu mengatakan bahwa aku sempat demam hingga kejang, yang akhirnya kini
menyebabkan ingatanku melemah, membuatku harus belajar sepuluh kali lebih giat
agar bisa menyamakan taraf pemahamanku dengan siswa-siswa lain pada umumnya.
ketika sampai ke tahap perguruan tinggi,
aku berhasil masuk ke jurusan Biologi Sains di sebuah perguruan tinggi negri di
Jakarta melalui jalur PMDK. Namun sayangnya takdir berkata lain, entah
bagaimana akhirnya aku malah terjebak disana, di tengah-tengah sekelompok mahasiswa
yang mendalami masalah advokat, hingga akhirnya kini aku malah menjadi
konsultan hukum, bukan seorang ahli biologi.
Belakangan aku mulai berpikir, apakah
jika dulu aku tetap mengambil jurusan biologi, maka aku tidak akan mengalami
ini? Aku tidak akan menjadi seorang konsultan hukum; aku tidak akan pernah
bertemu dengan sosok manis sahabatku, Mia; aku tidak akan pernah melakukan
taaruf dengan Adrian; aku tidak akan pernah memiliki Salsabila; dan gadis kecil
itu tidak akan pernah sakit?
***
Aku tersentak bangun dari tidurku dalam
sekali tarikan nafas. Tubuhku tegang, penuh oleh keringat dingin. Untuk
beberapa detik pertama otakku masih kosong, meski jelas terasa dadaku di penuhi
kesesakan rasa takut yang menggebu-gebu. Detik kedua, aku baru menyadari apa
yang terjadi. Aku menoleh pada Adrian yang sedari tadi sudah berdiri waspada
menatapku. Kedua tangannya mencengkram lengan atasku, matanya menyiratkan
kekhawatiran yang teramat sangat. Bahkan rasa aman yang biasanya ku lihat di
matanya pun menghilang, terkubur oleh kabut ketakutan itu. Aku tidak yakin
sudah berapa kali ia meneriaki namaku, namun ketika aku kembali mendapatkan
kesadaranku ia langsung mendesah lega.
“Alhamdulillah Sarah… syukurlah…” ujarnya
seraya memeluk tubuhku yang masih membeku. “Kau membuatku cemas.”
“Dimana Salsabila?” tanyaku perih. Mataku
menatap langit-langit putih di atas ku dengan pandangan kabur karena genangan
air mataku sendiri. Adrian melepaskan pelukannya dan menatap wajahku.
“Dia sudah dipindahkan ke ruangan biasa.”
Ujar Adrian.
“Mengapa kau tidak menemaninya?” tanyaku
seraya beranjak bangun, namun tangan kekar Adrian menahanku. Ia menatapku
dengan pandangan khawatirnya.
“Kau tenanglah dulu. Ibu dan ayah sudah
menemaninya. Sekarang lebih baik kau menghabiskan infuse ini dulu, baru kita
pergi bersama-sama ke kamarnya.” Aku meringis ketika melirik tangan kiriku yang
terpasang jarum infuse. Aku memang memiliki fobia terhadap rasa sakit, bahkan
meski itu hanya tertusuk sebuah jarum kecil sekalipun. Mendadak kepalaku
kembali terasa pusing, mual langsung menghujam tubuhku. Aku mendengar Adrian
meneriaki suster dan dokter di ruangan IGD itu, kemudian aku mendengar suara
tirai-tirai ditarik, dentingan-dentingan peralatan rumah sakit, lalu sunyi.
***
Banyak hal yang terlewatkan oleh
memoriku, bukan oleh diriku. Aku melewati seluruhnya, namun memoriku tidak bisa
menyimpan keseluruhannya, bahkan mungkin hanya seperenam dari rentetan-rentetan
kejadian itu. Aku lupa berapa banyak rumah sakit yang kami datangi hanya
sekedar untuk memastikan bahwa yang diderita putriku adalah kanker otak. Aku
lupa berapa banyak dokter yang mengatakan bahwa kami masih memiliki harapan.
Aku juga lupa berapa banyak dokter yang pada akhirnya menggeleng lemah,
menyerah pada takdir, tanpa merasa malu pada gelar yang mereka miliki. Aku
melupakan hampir semua kejadian itu. Kecuali satu hal, hal kecil yang selalu
membuatku kuat, senyuman gadis kecilku yang mengembang ketika yang dirasakannya
saat itu adalah sakit yang teramat sangat.
Berkali-kali aku menitikan air mata
ketika melihat berbagai treatment yang dokter-dokter itu lakukan pada tubuh
lemah putriku, dan berkali-kali juga aku kembali dikuatkan oleh senyumannya. Ia
tau aku fobia rasa sakit, ia mengerti, hingga dengan tegarnya bocah berumur 7
tahun itu memintaku keluar dari ruangan tempatnya diperiksa. Aku masih merasa
pusing satu dua kali, tapi beberapa bulan belakangan ini aku tidak pernah lagi
ingin meninggalkannya sendiri. Aku selalu ingin bersamanya di setiap
kesempatan, di setiap kemungkinan yang ada.
6 bulan berlalu, kini aku hanya tidak
bisa mengingat berapa banyak dokter yang menggeleng, menyerah pada nasib putri
kecilku. Aku mulai merasa lelah, tapi aku tidak ingin menyerah. Tidak peduli
pada kenyataan memilukan yang tidak bisa lagi ku ingkari. Putriku mengidap
kanker otak stadium akhir.
Malam itu, malam ke 25 bulan ramadhan,
aku bisa bernafas sedikit lebih lega ketika melihat senyuman putriku yang mengembang
dengan indahnya. Seluruh saudarinya datang berkunjung, bahkan teman-temannya
juga, awalnya aku merasa hatiku terpilin amat perih ketika melihat kedatangan
mereka. Seakan mereka tau jika hidup putriku tidak lagi lama, hingga mereka
datang berbondong-bondong untuk mengucapkan selamat tinggal.
Aku tau, aku salah. Persepsiku pada
mereka salah. Orang-orang itu sungguh baik hati hingga bersedia menjenguk
putriku, mengukir segores senyuman yang jarang sekali terlihat karena
keperihannya menghadapi sel-sel kanker yang semakin mengganas itu.
Rambut Salsabila sudah rontok sepenuhnya
karena beberapa kali melakukan kemoterapi. Namun wajah mungilnya tetap terlihat
cantik di balik kerudung pemberian ibu mertuaku. Paman dan bibinya pun turut
datang membawakan baju baru untuk lebarannya kali ini. Aku menatap perih
baju-baju cantik itu, entah kapan putriku bisa kembali mengenakan busana
muslimah yang manis itu, bukan hanya piyama rumah sakit lagi dan lagi.
“Mengapa mama tidak memberi tahu Bila
kalau sebentar lagi idul fitri?!” tudingnya marah dimalam terakhir bulan
ramadhan. Aku yang saat itu tengah mengupas sebuah jeruk untuknya hanya mampu
tersenyum.
“Kamu kan sudah mendapatkan banyak baju
baru. Apa masih kurang? Kalau begitu nanti akan mama belikan lagi yah sayang.”
Bisikku lembut. Salsabila menyilangkan kedua tangannya di dada, wajahnya
merengut kesal.
“Bukan masalah baju baru! Bila nggak mau
baju baru. Bila mau puasa!” ujarnya lantang. Aku tersentak kaget mendengar
kata-katanya. “Kata ibu guru, orang muslim itu harus puasa di bulan ramadhan,
itu hukumnya wajib Ma. Kalau kita nggak puasa, nanti dikasih dosa sama Allah.
Bila nggak mau masuk neraka…” ujarnya dengan suara bergetar. Aku merasa air
mataku kembali tergenang.
“Tapi Bila sakit, Allah pasti ngerti.”
Bujukku. Namun gadis kecil itu masih dengan kekeras kepalaannya. Hingga
beberapa saat kemudian Adrian memasuki kamar rawat inap putri kami. Ia mengecup
kening Salsabila dengan sayang.
“Loh, ada apa ini putri papa kok
cemberut?” goda Adrian. Salsabila memalingkan wajahnya tak acuh, membuat Adrian
menatapku penuh Tanya.
“Bila mau puasa!” ujarnya ketus. “Bila
nggak mau masuk neraka!” rengeknya, kemudian ia menangis. Aku sendiri sudah
tidak kuasa menahan air mataku. “Bila sebentar lagi dipanggil Allah papa, kalau
Bila nggak puasa, nanti Allah marah dan Bila pasti masuk neraka.” Ujarnya penuh
ketakutan. Aku menggeleng dan langsung memeluknya.
“Bila nggak akan kemana-mana sayang… kamu
akan tetap ada bersama papa dan mama.” Ujarku sungguh-sungguh. Aku memeluk erat
tubuh mungil itu, mencoba menenangkannya, mencoba meyakinkannya bahwa aku
sangat mencintainya.
“Bila putri papa yang solehah, kalaupun
Allah mau mengambil Bila, Allah pasti menempatkan Bila di surga.” Ujar Adrian
pelan. Tubuhku menegang kaku ketika mendengar ucapannya, merasa tidak terima
akan kepasrahan yang tersirat dari kata-katanya.
“Mah…” rintih Salsabila di pelukanku. Aku
langsung terjaga, dengan seksama aku meneliti wajahnya. Mencari tau dimana
letak sakitnya. Putri kecilku meringis perih sambil mencengkram kepalanya.
“Pah, panggil dokter Hana!” teriakku
kalut. Adrian mengangguk dan berlalu pergi.
Aku menangis sesenggukan di samping tubuh
mungilnya, menggenggam erat tangannya yang bebas. “Mama Bila nggak apa-apa. Ini
nggak terlalu sakit, sebentar lagi pasti hilang.” Ujarnya sambil tersenyum
tipis, tapi aku bisa melihat cengkraman tangan kecilnya menguat, ia meringis
kesakitan. Dan kini malah tersenyum menenangkanku yang kalut. “Bila sayang
mama…” bisiknya lemah.
Dan ketika dokter Hanna datang, putriku
tak lagi bergerak.
***
“Putriku…”
aku membulatkan mataku ketika melihat seorang gadis kecil yang sangat ku
rindukan. Putri kecilku, bintang kehidupanku…
Tangan
mungilnya terulur kepadaku, senyumannya begitu lembut dengan binar mata yang
begitu indah. aku merasakan keperihan yang teramat sangat karena rasa rinduku
kepadanya. Gadis kecilku yang sempat bersemayam dalam rahimku selama 9 bulan, dan
memberikan cahayanya selama 7 tahun lamanya kepadaku. Gadis kecil yang begitu berarti dalam hidupku,
yang membuatku percaya atas keberadaan Tuhan. Buah cintaku dengan kekasih
hatiku.
“Sayang…
mama sangat merindukanmu,” bisikku dengan deraian air mata. Gadis kecil itu
mengangguk dan menatapku, menunjukan kerinduannya pada diriku.
“Aku juga
rindu mama,” balasnya dengan suara seorang bocah yang begitu lucu.
“Kemarilah
nak…” bisikku, dan ia menghampiriku dengan perlahan. aku memeluknya erat-erat,
khawatir ia akan kembali menghilang.
“Ma…”
bisiknya seraya menyentuh kedua pipiku yang basah dengan jemari kecilnya.
“Jangan bersedih, aku baik-baik saja di sini,” ujarnya, namun air mataku tidak
bisa berhenti menetes. Kerinduanku pada sosok mungil ini membuat jiwaku
terguncang sedemikian dalamnya. Aku mencintainya, aku bersedia untuk melakukan
apapun agar memiliki kesempatan kedua bersamanya… bersama bintang kecilku…
“Maafkan
mama, tapi mama tidak bisa berhenti menangis ketika mengingatmu yang menutup
mata ini,” aku menyentuh sisi mata kanannya dengan ibu jariku. Mencoba merasakan
guratan-guratan lembut kulitnya. Kemudian dengan perlahan ku kecup keningnya,
mencoba merasakan dirinya dalam diriku.
“Mama… aku
bahagia disini. Dan justru dengan mata tertutup itulah aku bisa melihat surga,”
ujarnya pelan. Tubuhku tersentak sesaat, air mataku terus menetes ketika aku
mengangguk kepadanya.
“Iya sayang,
mama tau…” ujarku seraya membelai kepalanya dengan perlahan. “Titipkan salam
mama kepada Allah, sampaikan rasa terima kasih mama kepada –Nya karena sudah
menitipkan permata seindah dirimu ke dalam kehidupan mama…”
“Allah
menyayangi mama…” bisiknya perlahan. Aku memeluk tubuh mungilnya erat-erat.
Mencoba kembali meraih sisi logisku.
Ya Allah… terima kasih karena anugrah
terbesar yang telah Kau berikan pada diriku yang lemah ini… terima kasih…
Aku tau, ia sudah bahagia bersamamu. Ia
sudah terbebas dari perihnya kanker yang menggerogoti tubuh kecilnya, dan dia
sudah bisa melihat surgamu, terima kasih…
Aku terus
memeluk putri kecilku. Menghirup aromanya yang lembut sebelum akhirnya aku
merasakan kehampaan dalam diriku. “Mama menyayangimu Nak…” bisikku sebelum
semuanya menghilang.
***
“Sarah…
sst…. Tenanglah,” aku masih memejamkan mataku ketika sepasang tangan itu
memelukku dalam kegelapan malam. Tubuhku menggigil karena tangis yang begitu
menyesakan dada. Mimpi itu terasa sangat nyata, hingga aku masih bisa merasakan
kerinduanku kepadanya.
“Putriku…”
isakku parau. “Dia sudah bisa melihat surga,” tambahku. Sosok di hadapanku
mendekapku semakin erat, menawarkan kehangatan di dadanya, memberikan
ketenangan yang susah payah ia pertahankan.
“Iya sayang…
aku tau, dia juga sudah mengatakannya padaku,” ujar Adrian. Aku tersenyum di
dadanya. Mencoba menenangkan gemuruh hatiku, meyakinkan diriku bahwa ia sudah
bahagia di sana. Bintang kecilku… putri terkasihku… mama mencintaimu nak…
***
Itu
putriku. Pelita kecilku, hadiah terindah dalam kehidupan kecilku. Kau tidak
perlu menanyakan sebesar apa cintaku padanya. Karena kau tau, tidak ada yang
bisa mengukurnya, begitu pula aku sendiri.
Itu
putriku. Gadis mungil bermata indah seperti ayahnya. Kami menantinya selama
bertahun-tahun, jadi kau tidak perlu meragukan kerinduan kami akan kehadiran
sosok mungilnya.
Itu
putriku. Ia penyuka benda langit bernama bintang. Awalnya aku tidak sadar jika
coretan yang ia buat ketika mulai bisa memegang pensil adalah cikal bakal
sketsa bintang yang begitu indah. Tapi kemudian waktu menunjukannya padaku.
Ketika teman-temannya menggambar gunung dengan sekotak sawah dan jalanan
panjang, ia tetap bersikukuh dengan bintang-bintang cantiknya.
Itu
putriku. Bintang hatiku. namun ia ingin menjadi bintang di langit. Untuk
pertama kalinya aku tidak menuruti permintaannya. Ia sudah bersinar, ia tidak
perlu menjadi bintang di langit itu.
Namun
ketika malam menjemput, hembusan angin membisikan sebuah kisah padaku. Kisah
putri dan bintang, bulan dan bintang, atau bahkan hanya bintang itu saja.
Putriku semakin mengaguminya, dan aku tidak kuasa menahannya ketika binar
bahagia terpancar dari matanya setiap kali menyebutkan nama benda berkilauan
itu. Aku hanya mengangguk dan menyembunyikan air mataku darinya. Menjanjikannya
bahwa ia akan segera menjadi bintang di langit. Merelakannya…
Tapi
aku tidak pernah memperkirakan jika perihnya sedalam ini. Aku tidak pernah tau,
karena memang tidak ingin tau.
Itu
putriku. Bintang terindah di langit yang kelam. Berkilauan bagai berlian,
bersinar bagai pelita. Bintang paling rupawan yang pergi di malam terakhir
ramadhan tahun itu.
***
“Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada kami kamu
dikembalikan.” (al ankabut : 57)
***