10 tahun
kemudian.
Hari itu
hujan turun dengan begitu derasnya, menemani petir yang seakan ingin berlomba
menunjukan suaranya yang paling memekakan telinga.
Aku
berdiri sendiri memangdang hujan dari balik jendela kamarku yang usang.
Jemariku menggenggam erat pegangan kursi yang ku duduki. Mata rabunku menatap
tetesan hujan itu dengan hati perih.
“Hujan
lagi,” bisik suara di belakangku. Aku tersenyum, namun tidak menoleh. Bahkan
ketika ia duduk di sampingku, dan menarik tubuh tuaku ke dalam pelukannya aku
hanya bisa tersenyum tipis. Mencoba menyesapi aroma tubuhnya yang membaur
dengan aroma hujan. “Aku masih ingat ketika hujan kala itu, ketika aku hampir
saja menyerah dan kehilanganmu,” bisiknya di telingaku. Aku tersenyum tipis dan
terus menatap hujan. “Itu adalah hari yang paling buruk dalam hidupku.”
“Tapi aku
sangat menyukai hujan,” bisikku di dadanya. Aku bisa melihat segores
senyumannya dari balik bulu mataku. “Karena hujan mengingatkanku padamu. Pada
hari pertama kedatanganmu, pada kala pertama aku melihat sosokmu mendengus di
depan ruang kepala sekolah, pada luka yang juga kau berikan ketika akhirnya kau
pergi untuk mengambil beasiswa itu.”
“Maafkan
aku…” bisiknya tulus. Aku menggeleng di dalam dekapannya.
“Tapi toh
akhirnya aku bersyukur, karena hujan jugalah aku mengalami kecelakaan itu dan
membawamu kembali kepadaku.”
“Jangan
berkata bodoh. Tidak ada hal baik dari kejadian yang hampir menewaskanmu itu!”
ujarnya sungguh-sungguh. Aku terkikik pelan di dadanya.
“Tapi
jika bukan karena itu, kau tidak akan mengakui betapa kau mencintaiku.”
“Aku
mencintaimu,”
“Aku
tau.”
“Aku
tidak membutuhkan kejadian itu lagi untuk meyakinkan diriku betapa takutnya aku
kehilanganmu.”
“Aku
tau.” Balasku sambil tersenyum. Sosok itu mendekapku semakin erat.
“Ayo
tidur.” Ajaknya, dan aku berjalan mengikutinya menuju ranjang yang sudah kami
tempati bersama selama sepuluh tahun lamanya. Seperti biasa ia akan mendekapku
dalam tidurnya, mencium keningku sepanjan malam, menghangatkanku dengan
pelukannya.
“Aku
mencintaimu.” Bisikku pelan. Ia tersenyum dan mengangguk dengan mata terpejam.
“Aku tau,
sekarang ayo tidur.” Ujarnya.
“Aku
senang kau tau, tapi kau tetap tidak akan pernah menyadari seberapa besarnya
cinta itu.”
“Elena…”
bisiknya menegur. “Aku tau, karena akupun memiliki rasa yang sama besarnya
denganmu,” tuturnya sambil menatap kedua mataku dalam-dalam. Aku tersenyum
tipis dan mengecup bibirnya perlahan.
“Terima
kasih.” Bisikku kemudian membenamkan wajahku di dadanya, menghirup dalam-dalam
aroma tubuhnya yang menenangkan.
Sudah
sepuluh tahun lamanya sejak kejadian di rumah sakit senja berhujan kala itu,
dan semuanya tampak terus membaik. Aku memiliki keluarga kecil yang sangat
manis. Dengan Clara dan Sara sebagai buah hati kami. Aku benar-benar bahagia,
dan tidak membutuhkan lain untuk hidupku.
Saat itu,
aku pikir aku yang akan meninggalkannya terlebih dahulu. Dan kami akan terpisah
begitu saja, namun ketika aku membuka mataku pagi itu, aku sadar, aku tidak
akan pernah bisa meninggalkannya sebenci apapun aku padanya. Selalu ia yang
meninggalkanku, seperti saat ini. Ketika dengan tenang wajahnya terpejam di
sampingku, aku mulai merasakan kedinginan dan kekosongan dalam hatiku. Namun
melihat wajahnya yang begitu tenang, yang bisa ku lakukan hanya tersenyum
tipis, kemudian mencium keningnya perlahan. Mengucapkan selamat pagi dan selamat
tinggal – untuk yang terkahir kalinya.
Ya, pada
akhirnya selalu ia yang meninggalkanku, namun kali ini aku tidak merasakan
keperihan sama sekali. Karena ketika hujan itu datang, aku masih tetap bisa
merasakan kehangatannya seperti dulu.
***
“Moma…”
bisik putri cantik di sampingku. “Sebentar lagi hujan, sebaiknya kita segera
pulang.” Ujarnya lagi. Aku mendongkak untuk melihat langit yang mendung kemudian
mengangguk padanya. Tanpa ia sadari aku memang menunggu hujan itu datang,
karena hanya dengan kehadirannya lah aku bisa merasakan kehadiran pria
terbaikku.
“Tapi—“
“Moma,
Clara sudah menunggu di mobil. Kalisa sudah mengamuk.” Tegur Sara dengan senyuman
kikuknya. Aku terkekeh pelan. Ah Danis, kau lihat, semuanya tampak begitu indah
bukan?
Sara
memiliki dua mata indah sama seperti matamu, dan Clara mewarisi struktur
wajahmu yang sempurna, dan bahkan sekarang cucu kecil kita, Kalisa, juga
mewarisi bibir indahmu. Kau harus berbahagia di sana, karena aku juga bahagia
di sini, dan aku tidak ingin mendengar keluhanmu akan hujan kala itu lagi.
Aku
mencintai hujan. Kau tau itu. Seperti aku mencintaimu, dulu, sekarang dan
selamanya.
THE END
6 komentar:
Aku terenyuh bgt baca kisahnya sist...
Ceritanya berlanjut ya mbak dari cerpen cerpen di bawaaaah . Huuh hebaaaaaat :D
tapi sedih yang refrain dari part satu sampai dua , apa lagi yang terakhi .
bagus mbakkkk.....
sukaaaaaa......
cher ini kisah nyata apa fiksi???
Ato terinspirasi dr kisah nyata yg di kembangin??? Ato hanya skdar fiksi imajinasi qmu?? crta yg bgussss...!
Ah bner2 ngena di hati..
Thanks cherry ;)
wahhh aku merasa sangat tersanjung...
terima kasih semuanya yang udh mau baca coretan asalku ini... :) :)
mba Ashia Shila, mba Ara, mba Zuzhy.. makasii yahh :) :)
iya mba Ara, tapi tadinya mau di buat kisah potongan2 aja, jadi nulisnya klo lagi mud doang, hihihi
mba Sila, ini kisah fiksi...
kalo kisah nyata, ga yakin deh bisa sesabar itu... *nangis di pojokan*
makasi juga mba sila.. :*
( '́⌣'̀)/(´._.`) cherry, sila, ara, ashia, zuzhy, msh butuh tissue?? :)
Ending Чªήğ bagus cherry sayang keep writing yah cantik...
Posting Komentar