ZAHRA
“Hujan lagi…” keluh seorang gadis di sampingku
sambil terus menepis-nepiskan air yang menetes dari sebagian rambut hitamnya. Tetesan
hujan itu juga menyisakan jejak bulat-bulat kecilnya di blus hijau toska wanita
itu. aku tersenyum tipis dan mengulurkan sekotak tisu kepadanya. Untuk sejenak
wanita itu terdiam, ia langsung menatapku dengan kedua mata abu-abunya.
Meneliti wajahku. Aku mengangguk santun dan kembali tersenyum.
“Ini,” bisikku sambil memberikan tisu itu
kepadanya. Dan tepat pada saat itu, bis yang ku nanti datang, dengan cepat aku
mengucapkan selamat tinggal pada wanita itu dan berlalu menaiki bis. Ia masih
terbengong-bengong dengan tangan yang memegang tisu yang ku berikan. Aku sudah
tidak memiliki waktu untuk berbasa-basi lagi. Aku sudah harus segera berangkat
ke kampus, atau aku akan kehilangan jam kelasku yang berharga.
Aku tidak mengenal wanita itu sama sekali, dan
mungkin ini adalah kala pertama dan terakhir kalinya aku akan melihat sosok
wanita berblus hijau toska itu. tapi aku tau, ada satu hal yang membuatku
terpaku melihatnya sejak pertama kali ia berlari-lari kecil ke halte tempat ku
berdiri menunggu bis datang, hingga akhirnya hujan itu turun mengguyur raya.
Tapi, aku tidak tau apa.
***
“Zahra!!!” teriak seorang gadis berjilbab hijau
muda sambil menubruk tubuhku. Kemudian di susul oleh dua gadis lain di belakangnya.
Aku mendesis jengah sambil mendorong tubuh tambunnya menjauh.
“Apa?!” tudingku sambil meletakan tanganku
sebagai batasan buku yang tengah ku baca.
“Ada yang mencarimu.” Ujar Hana, gadis sebayaku
yang memiliki hobi makan dan makan, hingga tidak heran rasanya jika melihat
sosoknya tumbuh subur seperti ini.
“Siapa?” tanyaku pada Risa, satu-satunya sosok
yang paling dewasa di antara dua sahabatku yang lainnya.
“Pangeran tampan itu lagi.” Goda Andhini sambil
menyenggol bahuku. Aku meringis, menatap sosok Risa meminta bantuan.
“Sepertinya kau harus menemuinya, kau tau…
kedatangannya selalu mengundang perhatian banyak orang.” Ujar Risa. Aku
melongo, bahkan sosok Risa pun menyuruhku untuk menemuinya!!!
Aku tidak yakin dengan apa yang ku lakukan. Tapi
akhirnya aku tetap berjalan menuju lift, turun ke lantai bawah, menelusuri
lorong panjang yang memberikan pandangan monoton; pintu kelas berjajar dan
sebuah taman di tengah-tengah gedung fakultasku. Ketika mataku sudah bisa
menatap sosok itu dengan jelas, aku menghentikan langkahku. Tampaknya dia
tengah berbincang dengan seorang bapak paruh baya. Seorang dosen mungkin, aku
tidak yakin, aku belum pernah melihatnya sebelum ini, atau mungkin karena jam
kelasku yang masih terbilang baru.
Ia berdiri dengan tegap, rambut hitamnya
tersisir rapih, namun tidak selicin bapak tua di hadapannya. Dengan anak
jenggot yang mungkin ia sengaja biarkan tumbuh, ia memang terlihat cukup seksi.
Apalagi, dengan senyuman menawannya, jadi tentu saja sangat tidak mungkin jika
kedatangannya tidak mengundang berjuta perhatian.
Aku mendesah ketika menyadari bahwa bukan hanya
aku yang tengah menatap kearahnya, secara sembunyi-sembunyi atau bahkan
terang-terangan. Mereka masih berbincang, tampak jelas kalau bapak itu
benar-benar kagum kepadanya, aku bisa melihat pancaran matanya. Dan, meski aku
sangat yakin ia merasa bosan, tapi anehnya ia tetap terlihat nyaman. Hingga
akhirnya ia melihatku berdiri di balik tiang besar yang menopang bagian depan
gedung berlantai lima, gedung kelasku sejak dua minggu yang lalu.
Di depan gedung yang biasa ini, di parkiran yang
biasa juga, sosok itu tersenyum padaku, melambaikan tangannya dengan wajah yang
sepertinya terlihat lega. Tanpa sadar aku menaikan sebelah alisku, dan
membentuk wajahku untuk menunjukan rasa malas yang muncul dari hatiku ketika
melihatnya. Tapi entah mengapa ego ku merasa sedikit senang ketika melihat
beberapa mahasiswi menatapku tidak percaya, kemudian jelas mereka kecewa karena
pemuda itu ternyata mengenalku, dan memang datang untukku. Hilang sudah harapan
mereka untuk sekedar berkenalan dengannya.
Untuk sesaat aku tersenyum licik.
“Astagfirullah…” bisikku pelan. Apa yang sudah
ku lakukan, bagaimana mungkin aku bisa memiliki pemikiran seperti ini. Apa yang
akan di katakan bibi jika beliau sampai tau tingkahku.
Aku berjalan melewati lima atau enam anak
tangga, hingga berada di parkiran yang berjarak dua meter dari anak tangga
terkahir. Ada tiga mobil di sana, dan mobil hitamnya yang paling mencolok, atau
sebenarnya tidak juga. Tapi sosok itulah yang membuat mobilnya tampak paling
terlihat di antara dua mobil lainnya. Sebuah pohon besar tumbuh di rerumputan
tepat di depan gedung fakultasku. Memayungi sebagian besar area parkir dan taman
buatan di sekelilingnya. Sepoi angin yang lembut mengibarkan ujung-ujung
jilbabku ketika akhirnya aku sampai di depan mereka.
Bapak paruh baya itu langsung menoleh padaku
dengan tatapan tidak suka, namun mulutnya tetap menyunggingkan senyuman palsu
yang menunjukan seakan-akan ia begitu senang melihatku.
Aku membalasnya dengan senyuman simpul dan
mengangguk santun setengah hati.
“Ini pak Rudi, salah satu dosen di fakultasmu.”
Tuturnya. Aku langsung menaikan sebelah alisku dengan pandangan ‘oh ya?’, yang jelas meragukannya.
“Ah mungkin dik Zahra tidak mengenal bapak.
Bapak mengajar anak-anak S1 semester awal.” Ujarnya menjawab tatapan meragukanku.
Lagi-lagi aku tersenyum simpul, menjaga kesopananku sebisa mungkin.
Tunggu, tadi apa katanya? Dik Zahra?! Dia bahkan
sudah mengetahui namaku!
Aku melirik sinis pemuda di sampingku yang masih
tersenyum maklum pada bapak itu. “Tapi bapak yakin kita akan sering bertemu.”
Ujar pak Rudi, dan kini aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa raguku
lagi.
“Terima kasih pak, mohon bimbingannya, dia
adalah mahasiswi baru di sini.” Tuturnya. Aku melotot kepadanya, aku tidak
butuh bantuan siapapun! Aku bisa melakukannya sendiri!
Kemudian sambil tersenyum lebar-aneh, ia sedikit
membungkuk dan berlalu pergi dari hadapan kami. Aku menjawab salamnya perlahan,
dan berbalik untuk menghadapi langsung sosok yang membuatku terpakasa turun
dari lantai 4 kelasku hingga ke parkiran.
“Ada apa?” tanyaku ketus.
“Tidak apa-apa, aku hanya ingin menemuimu.”
Ujarnya santai, semilir angin yang menerpa tubuh kami, menebarkan aroma
maskulinnya yang membuatku menutup hidungku rapat-rapat. Aku pernah hampir
dimabukan oleh aromanya, dan untuk saat ini, aku tidak ingin terpeleset lagi.
Aku masih membencinya dengan berjuta alasan, yang sepertinya bisa ku mengerti,
namun ketika ingin menuliskannya aku merasa otakku kosong.
Aku menaikan sebelah alisku, “Aku sedang di
kampus, dan aku ada kelas!” ujarku datar. Ia tersenyum tipis. Telingaku mulai
gatal ketika mendengar suara bisikan dari sekelilingku. Bukan… bukan suara
bisikkan setan atau apapun yang tak kasat mata. Tapi suara bisikkan mahasiswi
yang menonton kami. Menonton kami!!
Astaga!
Ya
Allah…
Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling
lapangan parkir itu. Ada dua gadis yang tengah berdiri di parkiran motor tidak
jauh dari tempat kami berdiri, mereka berpura-pura menyibukan dengan motor
mereka ketika aku melirik kearah mereka. Dan sekelompok mahasiswi yang duduk di
kursi-kursi beton di tengah taman juga tampak terang-terangan menonton kami.
Jantungku mencelos, aku tidak berani berbalik ke belakang, ke arah gedung
fakultasku yang sudah barang tentu tengah rama oleh para penonton. Bahkan
rasanya aku bisa mendengar suara melengkin Andhini dari jendela kelas kami.
Aku tidak melebih-lebihkan. Sama sekali tidak,
dan aku sudah sangat bersyukur karena tidak ada mahasiswi bodoh yang
menghampiri kami untuk sekedar meminta foto bersamanya atau mungkin tanda
tangannya. Masya Allah, aku menggeleng-geleng pada pemikiran konyol itu.
setidaknya beberapa menit yang lalu, dosen yang katanya mengajar juga di
fakultasku menghampirinya terlebih dahulu.
“Aku akan menunggumu, dan mengantarmu pulang.”
Aku mendengus kesal. “Kau bukan supirku.”
“Aku tidak mengatakan kalau aku supirmu.”
Ujarnya dengan wajah datar.
Aku menggertakan gigiku ketika melihat wajahnya.
“Kalau begitu kau tidak perlu menungguku di sini!” pekikku kesal.
“Kau bukan ibuku.” Ujarnya masih dengan wajah
tenang. Namun aku bisa melihat kilatan geli di matanya.
“Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku adalah
ibumu.” Ujarku sengit. Ia menunjukan senyuman miringnya dan mengangguk.
“Kalau begitu kau tidak bisa menentukan apa yang
boleh dan tidak aku lakukan.” Ujarnya, kini mimic gelinya tampak jelas. Aku
melongo menatapnya, berjuta sial! Berani-beraninya dia.
“Terserah!” desisku sinis, kemudian berbalik
untuk berlalu pergi. “Tapi kalau kau ingin mengganggku dengan melakukan semua
hal konyol ini, kau tidak akan pernah bisa.” Tuturku sebelum melangkah.
“Aku melakukannya karena aku mencintaimu.”
Langkahku berhenti sejenak, namun sedetik
kemudian aku meneruskannya, berlalu menaiki anak tangga, melewati lorong-lorong
kelas, masuk ke dalam lift, dan kembali berjalan ke dalam kelasku dengan hati
hancur.
Kata cinta itu begitu menyakitkan. Masih terasa
meremukan hatiku, meski aku sudah berusaha berdiri setegar mungkin. Dan
tidakkah ia mengerti itu?! apa selama ini aku terlihat begitu bahagia, tertawa
terbahak hingga hampir menangis?! Apakah aku terlihat baik-baik saja?! Hingga
tidak ada sebuah rangkulan datang, yang sebenarnya paling ku butuhkan saat ini.
Tapi pada akhirnya aku malah menemukan sosok
yang siap menumpahkan air garam pada lukaku yang bahkan belum pernah mengering
sama sekali.
***
Tetesan hujan itu turun dengan perlahan. Aku
masih mengikuti kelas bu Aini yang terkenal membosankan, namun menurutku cukup
penting. Keningku berkerut sambil menatap gumpalan awan kelabu yang menjadi
pemandangan utama jendela di sampingku. Padahal beberapa saat yang lalu
matahari masih bersinar dengan sangat terang, memberikan panas yang membuat
orang-orang membuat kipas dadakan dengan kertas, buku, atau apapun yang mereka
pikir bisa menghilangkan panas itu.
Aku mencibir pada diriku sendiri ketika
pikiranku melayang kepada sosok pemuda yang ku temui dua jam yang lalu di
parkiran. Ah bodoh, dia pasti sudah pergi. Lagi pula, ini bukan serial FTV,
tidak ada mahluk berjenis kelamin laki-laki yang bersedia menunggu di bawah
guyuran hujan. Ini adalah kehidupan nyata, dimana kaum pria lebih takut pada
air dari pada berharap mendapatkan decakan kagum penuh kasih dari pasangan
mereka ketika melihat bahwa prianya rela menunggu di tengah guyuran hujan.
Ini kehidupan nyata. Aku mendesah pasrah pada
pemikiran itu. kehidupan nyata yang kini terasa sedikit membuatku lemah. Tidak.
Aku sudah berjanji pada bibi untuk bertahan. Aku adalah Zahra, aku bukan gadis
lemah, aku akan baik-baik saja meski mungkin akan menangis sekali atau dua
kali. Tapi aku akan baik-baik saja. Harus.
Hanya saja aku tidak yakin, akankah pintu hatiku
kembali terbuka dan menerima sekelebat bayangan cinta yang mungkin suatu hari
nanti hadir di dalam hidupku. Tapi aku meragukannya. Karena rasanya sampai saat
ini, aku sudah kehilangan hati itu. Gumpalan daging itu sudah membusuk karena
di banjiri air mata duka, jadi bagaimana cinta itu akan tumbuh jika tidak ada
tempat untuknya? Hanya seperti bagiamana mungkin janin akan tumbuh jika wanita
itu tidak memiliki rahim.
Aku selalu merasa ingin menangis, dan muak pada
diriku sendiri yang masih tidak bisa menahan gemuruh hatiku. Bukankah ini
adalah keputusanku? Ini adalah hal yang ku inginkan. Lalu mengapa aku masih
belum bisa mengikhlaskannya?
Ikhlas…
Ya, ratusan kali aku mengucapkan kata itu, namun
satu titik pada diriku. Titik yang mungkin tersisa dari daging busuk yang
mereka bilang hati itu, memaksaku untuk memberontak.
Tapi bagaimanapun caranya, aku akan tetap
bertahan. Aku akan bertahan, aku harus.
3 komentar:
hmm... ini ceritanya si Zahra yah setelah ditinggal Raka sepertinya ... lam kenal yah semua
Senang dech.. Ada lanjutan cerita cinta Zahra. ✽̶┉♏∂ƙ∂șîħ┈⌣̊┈̥-̶̯͡♈̷̴.. Cherry.
@ rafa sazkia : hehe ceritanya sih begitu...
salam kenal juga, :) terima kasih sudah mampir...
@mba nira : makasi juga mba nira... :) :) selamat menikmati... :*
Posting Komentar