EMPAT
One
tears.
‘Jadi
bagaimana harimu ?’ tanya Riana saat kami sudah bersama lagi. Aku mendesah.
‘apa tidak berjalan baik ?’
‘Baik,’
jawabku singkat. Ia mengangkat kedua alisnya. Kemudian meneruskan kegiatannya
untuk mempercantik diri. Aku terlalu berbeda dengannya dalam hal ini. Aku
bahkan tidak mengetahui secara pasti nama barang-barang yang ada di meja
riasnya. ‘Trims buat gaunnya, dan emm jepitannya juga,’ Riana mengaguk sekilas. ‘Dan untuk hari ini
juga,’
‘Berhenti
berterima kasih,’ ujarnya, terlihat
jengkel. Aku tersenyum dan ia turut tersenyum. ‘Apa semuanya berjalan lancar ?’
tanyanya lagi.
‘Well,
lancar. Jika pandangan kita akan kata itu sama,’ jawabku. Riana memalingkan wajahnya.
‘Kita
tidak jauh berbeda,’ bisiknya. Aku mendesis. Kau salah Ri, bahkan kita terlalu
berbeda dalam banyak hal untuk di katakan memiliki hubungan darah sebagai kakak
dan adik. Tapi aku tidak ingin mengatakan hal ini kepadanya. Aku takut
menyakiti perasaannya.
‘Aku mengantuk,
kau siap untuk tidur?’ aku mengaguk. Well, seakan aku bisa menolak saja!!
***
Pagi
yang semu. Riana membuka sedikit jendelanya agar bisa melihat keluar. Mendung.
Ia menggerutu tidak jelas sebelum menghampiri mom yang masih sibuk dengan
tanamannya di halaman belakang. Sepertinya ia tidak menyadari kehadiran kami.
Riana berdehem pelan.
“Oh,
hai sayang…” selalu kata itu yang terucap. Mom tidak terlalu sering memanggil
kami dengan nama. Hanya sayang, cinta, honey dan kata-kata lainnya. Mungkinkah
terlalu menyakitkan untuk menentukan siapakah yang berada di hadapannya saat
ini?
“Dad
mana?” tanyaku pelan. Mom bangkit meluruskan punggungnya.
“Pagi-pagi
sekali ia sudah berangkat, kalian mau sarapan?” nah itulah masalahnya. Kata
kalian yang selalu mom pakai terkadang membuat Riana kesal. Ia merasa mom tidak
sepenuhnya berharap ia yang hadir di sana. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Memang apa lagi yang bisa ku perbuat. Berteriak kepada Riana, bahwa semua
pikirannya itu benar. Dan membuatnya semakin terluka? atau option ke dua,
membentak mom. Dan mengatakan bahwa Liana sudah lama mati dan takkan pernah
hadir kembali. Ah, baru memikirkannya saja hatiku sudah sakit.
Tiba-tiba
pintu di ketuk. Kami menoleh. Well, Riana menoleh dan langsung berlalu untuk
membukakan pintu.
‘Biar
aku saja,’ usulku. Riana tidak menjawab. Tapi kami tau apa yang sedang kami
takutkan. Romi berdiri di ambang pintu. ‘Sudah ku katakan biar aku saja,’
‘Aku
harus belajar menghadapi,’ ujar Riana tegas. Tapi aku memberontak.
‘Dia
pria brengsek Ri,’ ujarku mengingatkan. Romi perlahan maju. Tangan Riana
terulur memintanya untuk tetap diam di tempatnnya.
“Ada
apa?” tanya Riana setenang mungkin. Padahal aku tau betul bagaimana sakitnya ia
saat ini. Dan itu membuatku ingin mencabik-cabiknya.
‘Dasar
Srigala berbulu… ah berbulu landak,’ ujarku saat mendapatkan kata-kata yang
tepat. ‘Luar dalamnya menyakitkan, pria tidak tau diri!!’ makiku. Riana
mendesah.
‘Cukup
Li,’ sergah Riana.
‘Aku
tidak akan membiarkannya melakukan hal yang semena-mena terhadapmu lagi,’
tuturku tegas.
“Ri,
aku tau ini adalah kau,” ujar Romi lembut. Aku tertawa sinis.
‘Memang
dia pikir siapa lagi,’
‘Cukup
Li, dia tidak tau apa-apa, wajar saja ia beranggapan bahwa kita masih
memiliki…’ Riana tidak meneruskan pemikirannya. Romi menggenggam tangan Riana
erat. Refleks aku menariknya. Riana terlihat geram. Dan aku tidak peduli.
“Ri aku
benar-benar minta maaf, aku tidak pernah bermaksud begitu, aku bisa
menjelaskan,” Romi memohon dengan sangat. Aku bisa melihat pertahanan Riana
mulai hancur. Tiba-tiba sebuah mobil lain berhenti di depan rumah kami.
“Romi,”
panggil seorang gadis lantang. Riana menoleh. Dan kini aku bisa merasakan
emosinua memuncak. Kalau itu adalah aku, tentu aku akan segera mencabik-cabik
mereka berdua.
“Anes?”
geram Romi pelan. Anes menghampir kami dan langsung menggandeng tangan Romi
dengan mesra. Meski Romi langsung melepaskannya secara paksa, kami sudah melihatnya.
Dan aku tau hati Saudari
kembarku mulai hancur berkeping-keping.
“Cukup
menjelaskan!!” ujar Riana dingin dan sinis.
Brak…
Pintu
tertutup di depan kedua wajah menjijikan itu dengan kencang. Aku tersenyum
senang. Namun sedetik kemudian aku terhenyak melihat Riana menangis begitu
hebatnya. Baru kali ini aku melihatnya menangis seperti itu. Bahunya berguncang
hebat. Aku mencoba menenangkannya. Mom pun turut membantu. Namun percuma.
Saudariku sudah kepalang terluka.
***
0 komentar:
Posting Komentar