Aku mendesah panjang ketika music dalam
playlistku mulai menyanyikan sebuah lagu yang lembut, atau lebih menjurus pada
lagu sedih. Aku tau lagu ini, dan aslinya lagu ini adalah lagu yang mampu
membuat pendengarnya menari sambil menghentakan kaki. Namun entah mengapa aku
lebih menyukai versi ini, versi akustik yang dinyanyikan oleh seorang bintang
youtube.
Temponya lambat, dengan iringan gitar yang entah
bagaimana mampu membiusku, menemaniku terdiam lama bersama lamunan-lamunan semuku.
Sepoi angin menyapu wajahku yang tengah menatap lurus di depan jendela kelasku
yang terbuka setengah. Kedua tanganku bertautan di atas meja, menggenggam erat handphone yang masih memutar lagu yang
sama untuk kesekian kalinya.
We find
love
Bukankah itu hal yang indah, menemukan cinta
sejatimu, belahan jiwamu. Bukankah semuanya terasa begitu manis, namun mengapa
hal yang terjadi padaku ketika akhirnya menemukan cinta itu justru sangat
bertolak belakang.
Untuk pertama kalinya, sosokku yang angkuh menangis
tersedu karena satu kata itu. Aku bahkan hampir kehabisan harapan hidupku. Aku
menyerah pada takdir, menyerah pada luka itu.
Aku tersenyum sarkastis ketika merasakan mataku
kembali basah. Selalu seperti ini jika aku tengah mengingat kenangan yang dibawa
oleh kata cinta versiku, selalu mengundak gemuruh hati yang tak menentu, dan
sialnya air mata itu seakan tidak pernah ingin tertinggal di belakang. Dengan
cepat ia akan langsung menggenangi mataku, bersemayam tenang di balik
sudut-sudut mataku, menunggu waktu yang menurut mereka tepat, lalu menetes
begitu saja.
Langit di luar sana tampak mendung, dan dalam
hitungan detik hujan pasti akan turun. Aku tersenyum getir, aku memang selalu
menantikan kelabu itu, kemudian menunggu hingga tetesan hujan terakhir
berhenti, lalu menunggu cahaya matahari yang muncul perlahan dari balik
awan-awan kelabu setelah hujan. Hal yang paling ku sukai adalah sessat
setelahnya, ketika dengan piawai cahaya matahari membiaskan sisa-sisa air di
udara, menciptakan goresan-goresan warna indah yang mereka sebut sebagai
pelangi.
Indah
bukan??
Satu hal yang luput dari pemikiran indahku
adalah waktu. Ya… bagaimana mungkin aku bisa mengharapkan pelangi itu datang
jika sang hujan muncul di malam hari?
Bodoh memang, namun seperti itulah. Rembulan juga
memiliki cahaya, bahkan lebih lembut dan indah. Namun bukan cahaya itu yang
kubutuhkan untuk pelangiku. Bukan cahaya yang hanya akan menyinari tetesan air
mataku yang menanti pelangi.
Bukan itu…
0 komentar:
Posting Komentar