Gelap mulai menggantikan senja,
namun aku masih belum tergerak untuk menyalakan lampu kamarku. Alih-alih
menekan stop kontak, aku malah berjalan mendekati lemari besar di kamarku.
Menatap pantulan close up tubuhku di cermin. Menerka-nerka adakah perubahan pada
diriku secara signifikan pada umurku yang beranjak 17 tahun ini.
Sepertinya tidak ada yang berubah.
Tubuhku masih setinggi mom, 157 cm dengan bobot tubuh yang mendekati ideal.
Mataku masih berwarna coklat terang, padahal aku berharap suatu saat nanti akan
berubah warna menjadi keemasan seperti milik edward cullen. Aku mendesah,
wajahku tidak mirip mom atau dad. Wajahku lebih menyerupai wajah nenek. Cukup
cantik.... nilainya 80-lah. Alisku?? Apa aku harus mencabutinya agar menjadi
terbentuk indah? Ah tapi aku pernah tidak sengaja mencabutnya dan itu sangat
sakit! Aku sama sekali tidak berminat mengulanginya. Rambutku? Apa yang bisa
kulakukan dengan ini? rambutku panjang sepunggung, mungkin aku bisa memotongnya
model bob seperti jessi J?? Atau mengeritingnya seperti Taylor Swift?? Tapi
mengingat wajah anehku ini, kurasa semuanya akan tampak sia-sia. Hm, mungkin
sedikit blow akan meningkatkan kesegaran wajahku. Oke, lalu apa lagi??
Senyuman, ya di umurku yang ke-17
tahun ini aku harus bisa bersikap dewasa. Tentu saja dengan senyuman yang
dewasa juga. Ku tarik sudut-sudut bibirku menjadi garis lengkung yang tipis.
Tidak! Aku tidak ingin memperlihatkan deretan gigiku. Aku ingin yang lebih
manis, dan feminim.
Prang!
Aku tercekat. Wajah dalam cermin
itupun seakan membeku. Kami saling menatap. Aku bisa merasakan perihnya ketika
suara pecah belah itu kembali terdengar. Tetapi aku tidak ingin bergerak. Aku
tidak ingin melerai. Untuk kali ini aku ingin menjadi dinding bisu yang selalu
menjadi pendengar setia teriakan-teriakan itu.
***
Aku sudah tidak sabar menunggu
pukul 12 malam. Besok, aku sudah akan menjadi gadis 17 tahun. wow!! Inikah
sweet seventeen itu?? perutku melilit karena bahagia. Aku tidak peduli dengan
apa yang akan di berikan teman-temanku nanti, aku hanya ingin tersenyum menjadi
gadis tujuh belas tahun.
Drrdd...
Aku tersenyum, pesan-pesan selamat
ulang tahun langsung datang dari sahabat-sahabatku. Aku menyeringai puas,
mereka memang tidak boleh melupakannya! Aku senang. Dan beranjak tidur dengan
memeluk handphoneku. Tiba-tiba mataku kembali terjaga. Astaga hampir saja lupa,
aku seharusnya menulis birthday wishes untuk ulang tahunku. Yep, sebuah
kebiasaan yang mulai kulakukan sejak kelas 5 SD. Meski tidak semua yang ku
tulis menjadi nyata, namun itu bisa menjadi target kehidupanku di tahun-tahun
berikutnya.
Tahun ini, aku berniat menulisnya
dalam bentuk naratif, tidak lagi menulis list panjang yang membuatku bosan
membacanya. Aku ingin mengurai perasaanku, hingga aku bisa mengenang sweet
seventeen ini dengan sangat baik.
***
September, 28-2009
Astaga! Akhirnya aku resmi menjadi
gadis berumur 17 tahun!! aku menatap pantulan tubuhku sekali lagi di cermin
sebelum keluar kamar. Perfect!
Desisku. diam-diam aku mengagumi gaya berpakaianku yang begitu santai, meski
banyak orang yang menganggapku sedikit childish, so what?! I feel ok. J
Aku tercekat menatap meja oval di
hadapanku. Tentu saja itu hanya salah satu kamuflase bodoh! Desisku sinis.
Namun kemudian aku menggeleng. Tidak ingin semua ini merusak mood indahku di
ulang tahunku yang ke-17 ini. aku harus bahagia, setidaknya untuk hari ini.
Aku melihat hidangan lezat itu
dengan santai. Seakan sudah biasa melihat mereka disana, tak tersentuh. Dan itu
memang benar. Aku hanya meminum setengah gelas susuku dan mengambil sepotong
roti lalu pergi. Dalam hati aku bertanya-tanya mengapa Bu Erna selalu memasak
makanan setiap hari, sedangkan ia tentu tau tidak ada jiwa di keluargaku yang
bisa makan dengan tenang di meja oval itu. alih-alih makan bersama, mereka
pasti akan segera merusak semua pecah belah lagi. Aku tersenyum getir. Tidak!
Hari ini aku harus bahagia.
Aku tersenyum lebar saat melihat
Luna dan Kirana, sahabat karibku sejak kelas satu SMP. Sekali lagi mereka
memberikan ucapan selamat ulang tahun padaku. Kami akan mengadakan pesta kecil sepulang
sekolah nanti. Aku benar-benar bahagia, harus!
Langkahku terhenti ketika kami
sampai di dekat lapangan sepak bola. Aku bisa mendengar suara ramai meneriaki
kedua tim yang sedang bermain. Biasanya aku berada diantara mereka. Berdiri di
baris terdepan, menatap kagum sosok rupawan yang selalu membuatku tegang. Namun
hari ini, aku ingin sedikit bahagia. Melupakan seluruh ketakutanku akan
kehilangannya. Well, bagaimana tidak, hampir seluruh siswi di SMA kami
tergila-gila padanya. Dan ajaibnya ia hanya menyukai gadis biasa sepertiku.
Aku tersenyum tipis mengingat semua
hal manis itu. “Hel,” Luna menghentikan langkahku. Aku tersadar dari lamunanku.
“Kamu baik-baik aja?” tanyanya. Aku meliriknya dan mengaguk, masih dengan wajah
kosong. Kirana berdehem pelan di sampingku. “Leo sedang menatap kita,” ujarnya.
Aku merasa wajahku memanas.
“Bisakah kita hanya memikirkan
pesta kecil kita hari ini?” pintaku sungguh-sungguh. Luna dan Kirana terdiam
sebentar kemudian mengaguk, berjalan mengapitku seakan melindungiku dari hal buruk
–yang tentu saja untuk saat ini tanpa mereka sadari diriku lah ancaman
terburuknya-.
Kami duduk di meja kantin dalam
diam. Aku memainkan jus alpukatku dengan tatapan kosong. Menantikan sebuah
keajaiban yang mungkin hadis di awal umurku yang baru. Aku tersentak ketika
ponselku berdering. Telepon dari mom.
“Kimi, kamu ada di mana?” tanya
mom, aku tidak bisa mengartikan nada suaranya. Namun jelas bukan kekhawatiran
yang ada di sana. Ia tidak lagi memiliki waktu untuk memikirkan hal lain. Termasuk
diriku, putri tunggalnya. “Mom sudah memintamu untuk tinggal di rumah bukan
hari ini?” tudingnya, kini terdengar marah. Aku hanya berdehem sebagai balasan.
“Cepat pulang, kamu harus hadir di pengadilan hari ini,” tambahnya. Aku membeku
dalam diamku, namun aku merasakan sesuatu di mataku mencair. Apa sudah waktunya?? “Kamu ingin pak Rudi menjemputmu?”
“Tidak,” potong ku cepat. “Aku bisa
pulang sendiri,” jawabku dengan ketenangan yang dibuat-buat. Mom mendesah
kemudian mematikan teleponnya. Luna dan Kirana menatap pilu kepadaku. Aku tersenyum
tipis pada mereka. Kemudian mengangkat bahu santai, mengutarakan kalau ini
sudah biasa. Namun rasanya aku tidak bisa mengusir rasa simpatik mereka. Hingga
akhirnya aku menyerah.
“Kamu ingin kami temani?” tanya
Luna. Aku mendelik dengan ekspresi, Yang
benar saja!
“Aku bisa pulang sendiri, tenang
saja” aku menepuk pundak Kirana pelan. Kemudian berlalu pergi.
***
Happy birthday to me,
Bukankah itu kata yang indah. Namun tentu saja
begitu miris, karena terasa tidak ada yang mengucapkan selamat di hari
bahagiamu, hingga akhirnya kau sendiri yang harus memberi selamat pada dirimu.
Aku tidak terlalu perduli sebenarnya. Toh tidak akan
ada hal yang istimewa yang akan muncul di hari ini. tapi tunggu dulu,
sepertinya aku salah. Ya aku salah besar. Setelah semua peperangan itu,
akhirnya mereka memutuskan berdamai. Orang tuaku...
Mungkin mereka mempunya pikiran yang berbeda
denganku dalam mendefinisikan perdamaian. Tapi toh setidaknya dengan ini aku
tidak lagi mendengar piring-piring pecah itu lagi.
Pagi-pagi sekali mom membangunkanku. Aku girang
bukan main, ternyata ia masih mengingat kalau hari ini adalah hari ulang
tahunku. Namun ternyata lagi-lagi aku salah. Mom memintaku untuk tidak pergi ke
sekolah hari ini karena aku harus menghadiri perceraian mereka di pengadilan. Sungguh
ironis.
Mom sama sekali tidak meminta pendapatku. Dan lagi
pula memang siapa yang mau memberikan pendapat. Aku juga sudah lelah dengan
semua ini. lelah dengan perselingkuhan dad, isak tangis mom, dan pertengkaran
mereka. Aku lelah!
Tapi mengapa harus hari ini? kenapa harus tepat
dihari ulang tahunku yang ke 17?
Pagi ini aku berjalan melewati dia lagi tanpa
berhenti. Namun setelah langkah kelima aku merasa hatiku begitu sakit hingga
akhirnya tubuhku membeku tidak mampu berjalan lagi. Dewi batinku memberontak. Namun
hatiku memaksaku untuk menoleh, setidaknya memandang punggungnya. Aku berkutat
dengan batinku sendiri, akhirnya menyerah dan menoleh. Betapa terkejutnya aku
ketika melihat dia disana, berdiri menatapku. Angin menerpa kami, memperlambat
jalannya waktu. Tuhan, aku ingin menyentuh wajah itu, memberikan sedikit
penjelasan padanya, mengatakan padanya bahwa aku sangat menyayanginya,
mencintainya. Namun kenyataan kembali menamparku. Membuatku terhuyung beberapa langkah
kebelakang. Tangannya terulur ingin menggapaiku. Namun aku menarik tubuhku
lebih jauh. Menatapnya sedih dan berlari, tanpa menoleh.
Kabar perselingkuhan dad sebenarnya tidak terlalu
mengagetkanku. Bahkan entah mengapa dewi batinku sudah menyadarinya sejak dulu.
Namun sisi diriku tidak ingin mempercayainya, aku masih ingin mempercayai bahwa
keluargaku adalah keluarga yang begitu harmonis. Itu masa lalu, begitu kata
dad. Dan aku tau itu benar adanya. Dad berselingkuh dengan seorang wanita
bernama Yolanda -tante Yola, begitu aku biasa memanggilnya- sebelum aku lahir. Aneh
memang ia berselingkuh di tahun awal pernikahan mereka. Namun yang aku dengar
Dad memang sudah mencintai tante Yola sebelum menikah dengan mom dan mereka
akhirnya pindah ke Australia.
Tapi sejujurnya aku tau mereka saling menyayangi. Kakek
selalu mengatakan hal itu padaku. Terkadang, aku menyesali keputusan kami untuk
kembali ke Indonesia beberapa tahun yang lalu. Terlebih setelah om Wisnu –suami
tante Yola- meninggal. Semua kabar perselingkuhan itu mulai terbongkar. Entah bagaimana
awalnya. Tapi aku sadar ini pun karena diriku. Karena dad mengetahui hubunganku
dengan pemuda paling fenomenal di sekolahku. Leopard Mahadewa.
Dan sejujurnya pula aku tidak pernah marah akan
keputusan mereka untuk bercerai, mungkin inilah yang terbaik. Aku juga tidak
pernah menyalahkan dad atas perselingkuhannya dengan tante Yola. Aku tidak
pernah menyalahkan apapun. Aku menyadari semuanya adalah takdir. Aku hanya
menyalahkan diriku sendiri yang tidak bisa bangun dari luka itu. bangun dan
menghadapi semua kenyataan ini. kenyataan pahit bahwa pada tahun awal mereka
menikah ayahku berselingkuh dengan orang lain. Kenyataan bahwa ia telah membuat
wanita itu hamil. Kenyataan bahwa aku mencintai putra ayahku sendiri. Ya,
Leopard Mahadewa.
***
Aku berdiri menatap lampu
lalulintas. Sudah tiga kali ia berganti warna dari hijau ke merah dan begitu
sebaliknya. Namun langkahku kaku, tubuhku menggigil, membeku di tempat. Mendadak
nafasku tercekat. Aku mulai manggapai-gapai kehilangan keseimbangan. Namun tidak
ada yang peduli. Semuanya hanya berjalan di sekelilingku tanpa menoleh. Aku mencoba
berteriak, namun tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Semuanya terkunci. Aku
takut! Aku terpencil. Dan BUG!!! Suara keras itu menghantam tubuhku. Aku merasa
tubuhku melayang bagai kertas. Semuanya tampak begitu ringan saat ini. ringan
dan gelap...
Aku terbangun oleh suara isakan Kirana. Aku mendelik,
ingin menanyakan apa yang terjadi hingga aku mendengarnya terisak seperti itu.
namun aku merasa kelopak mataku begitu berat, hingga aku tidak bisa
menggerakannya sama sekali. Aku bisa mendengar isakan Luna yang lebih halus. Sebenarnya
ada apa ini??
“Bangunlah sayang,” itu suara
kakek. Aku bisa merasakan lukanya. Astaga, apa yang terjadi?? Bangun, katanya??
“Rachel, kamu harus bertahan,” aku
berdenyit. Bertahan?? Untuk apa?? Persidangan orang tuaku?? Aku bahkan sudah
sangat siap.
“Kimi!!” itu suara mom. Astaga ia
bahkan menangis keras di samping tubuhku. “Kimi, kamu harus bertahan sayang...
jangan tinggalkan mom. Mom minta maaf,” aku merasakan tubuhku diguncang. Dan saat
itulah sadarku mulai pulih. Rasa remuk mulai memenuhi setiap senti tubuhku. Aku
ingin berteriak! Apakah benturan mobil itu membuatku seremuk ini? Ah ya, aku
baru ingat tentang tabrakan itu.
“Hel, please jangan pergi,” Luna
menggenggam tanganku. Aku mendelik. Tidak! Lagi pula siapa yang mau pergi? Apa mereka
bercanda?? Apa mereka pikir aku selemah itu?!
Semua tangis itu membuatku semakin
perih. Aku ingin membuka mataku, mengatakan pada mereka bahwa aku baik-baik
saja. Namun tubuhku terkunci. Aku bahkan tidak bisa merasakan paru-paruku. Desahan
nafasku...
Tiba-tiba pintu kembali terbuka. Aku
tersentak ketika sebuah tangan meremas jemariku perlahan. “Sepertinya ia sudah
tidak bisa bertahan,” bisik suara di sebelah kananku. “Namun sepertinya masih
ada suatu hal yang mengganjalnya pergi, dan kami khawatir itu adalah kamu,” aku
tersentak. Apa-apaan ini??!! dad tidak bisa menyerah seperti itu!!! dad tidak
bisa!!!!
“Rachel,” suara lembut itu
menghentikan pemberontakanku. “Aku disini,” aku bisa merasakan setetes air di
keningku. Air mata Leo, untukku. “Aku
mencintaimu, selalu dan selamanya. Tapi jika kau harus pergi, aku tidak akan
menahanmu,” Tidak!!!! “Aku selalu
mencintaimu, hanya itu yang perlu kau tau,” aku juga mencintainya! Dan aku
tidak ingin pergi meninggalkannya. tidak pernah!!! “Jika ini begitu
menyakitkan, kau bisa pergi. Percayalah padaku, kami disini ingin kau bertahan,
namun jika semuanya begitu berat...” Leo menghentikan ucapannya. Aku menggeleng
panik ketika ia melepaskan jemariku. “Aku sudah selesai,” bisiknya dan aku bisa
mendengar suara langkahnya menjauh. Aku menjerit! Tidak jangan pergi ku mohon!.
Aku ingin menggapainya. Menyentuhnya.
Namun aku bisa mendengar langkah itu menjauh dan hilang sama sekali. Sesaat kemudian
suasananya mulai terdengar gaduh. Penuh jeritan dan isak tangis. Aku mendelik
ketika rasa sakit itu perlahan menguap dari tubuhku. Inikah keajaiban yang
hadir di ulang tahunku yang ke 17?? Aku merasakan tubuhku begitu ringan, dan
saat semua rasa sakit itu benar-benar menghilang, aku bisa melihat sosok mereka
semua. Menangis di samping ranjangku. Aku ingin mengatakan pada mereka bahwa
aku baik-baik saja, namun cahaya putih itu terlalu menyilaukan. Hingga aku
hanya menutup mataku untuk selamanya...
1 komentar:
Huh? Ini beda cerita ama putri kelabu? Tp koq nama cast nya sama cyn?
Posting Komentar