“Ku pikir
kau menyukai hujan.”
Aku
tersentak mendengar suara merdu yang menyejukan itu, dan tersesat sejenak di
kelamnya mata indah miliknya. Kemudian ketika otakku kembali menampar jiwaku
yang lemah, aku menundukkan kepalaku lagi. Menatap genangan hitam dalam hatiku
yang terasa semakin akrab dan jelas menyakitkan. Pemuda di hadapanku menghela
nafas pelan, wajah tampannya menatap hujan dari balik jendela besar yang
memisahkan kami dengan dunia luar. Tetesan-tetesan hujan itu terus membesar, menyerbu
daratan Jakarta yang penuh debu.
“Aku selalu berpikir kau menyukai hujan,” aku
bisa mendengar senyuman simpul dari suaranya. Ia menyesap kopinya sekali,
kemudian kembali menatap hujan. Seakan hanyut dalam setiap tetesannya yang
indah. “Aku ingat kau selalu berteriak kegirangan ketika bertemu hujan, dan aku
selalu menggodamu dengan memanggilmu katak.” Ia terkekeh pelan. “Wajahmu akan
langsung tersenyum sumingrah ketika mencium aroma tanah yang di guyur hujan,
bahkan saat tetesan pertama kali itu muncul kau sudah tersenyum.”
Aku masih
terdiam, dengan susah payah aku menjaga air mataku agar tidak kembali mengalir
di pipiku.
“Lalu
ketika kelas usai, kau akan segera berlari ke luar kelas. Mengulurkan tanganmu
untuk menyentuh tetesan hujan itu. Matamu akan terpejam dan senyummu akan
merekah indah. Kau akan berdiri disana untuk beberapa saat, seakan menikmati
hujan, seakan berbicara pada hujan,” Ia terdiam sejenak, kemudian kembali
melanjutkan. “Kau bahkan membeli payung transparan agar bisa melihat hujan
dengan sesuka hati. Saat itu, aku selalu berpikir jika kau adalah putri katak
atau mungkin dewi air.” Guraunya.
Aku bukan seorang putri, batinku.
Seakan
bisa membaca pikiranku, Ia tampak tersentak, dan diam untuk sejenak. Menyesap
kopinya namun sama sekali tidak menatapku. Matanya masih terfokus memandang
hujan yang semakin besar.
“Kau
benar,” bisiknya pelan seraya meletakan cangkir kopinya di meja. “Sudah Lima
tahun… sepertinya kau banyak berubah.” Lanjutnya lagi. Aku mengerutkan
keningku.
Berubah katanya? Aku? Aku tidak pernah
berubah. Dia yang berubah.
“Kau
adalah gadis yang paling unik yang pernah ku temui selama ini. Kau tersenyum
bahagia dalam kesendirianmu, ketika gadis-gadis lain menangis karena cinta
monyet mereka. Kau benar-benar menakjubkan.”
Lagi-lagi
aku terdiam, mulai merasa jengah dengan semua yang ku dengar dari mulutnya.
Mulai merasa muak pada diriku sendiri yang tidak bisa menahan gemuruh hatiku
yang semakin tak menentu.
“Kau
gadis yang tidak bisa disentuh,” ujarnya sambil tersenyum. “Kau begitu jauh
dari raihan semua tangan di sekelilingmu. Kau seakan memiliki duniamu sendiri,
kau tersenyum bahagia di setiap harinya. Seakan kau tidak pernah memiliki rasa
perih dalam jiwamu. Atau mungkin kata kesedihan bukanlah kata yang terdapat di dalam
kamus kehidupanmu?” nadanya terdengar seperti pertanyaan. Namun aku sama sekali
tidak ingin menjawabnya. Karena ia pun tidak menunggu jawabanku.
“Aku
selalu bertanya-tanya apa hubunganmu dengan hujan. Mengapa kau tampak begitu
bahagia ketika melihatnya,” suaranya terdengar ragu dan mengambang di
sekeliling ruangan itu. “Tapi aku tidak berani menanyakannya padamu, sudah ku
katakan bukan jika kau adalah sosok yang sangat sulit di sentuh. Aku selalu
merasa takut setiap kali ingin berjalan mendekatimu, aku tidak tau mengapa.
Namun hati kecilku khawatir jika kehadiranku hanya akan menghapus senyuman
indahmu.”
Ya Tuhan… kumohon… jagalah hatiku.
Bantulah aku untuk terus menjaga air mata itu. Aku sudah lelah menangis, aku
sudah lelah…
“Setiap
hujan itu datang, secara diam-diam aku akan mengintipmu dari balik jendela
kelas kita. Aku akan berdiri di sana selama kau berbincang dengan hujan. Aku
senang melihat senyumanmu. Wajahmu yang tenang akan langsung mendamaikan
hatiku. Hembusan angin yang menemani hujan kala itu akan mengantarkan aroma
harum tubuhmu sampai ke tempatku berdiri. Dan saat itu aku akan menghirupnya
dalam-dalam, menyimpannya di memori khusus dalam otakku.”
Aku
merasa tubuhku mulai menegang, dadaku benar-benar perih menahan isak tangis
yang menumpuk hingga ke tenggorokan.
“Kau
terlihat sangat cantik ketika tersenyum bersama hujan, langkahmu tampak seperti
tarian di bawah hujan. Kau sama sekali tidak peduli dengan lumpur yang
menciprati sepatu hitammu. Kau akan tersenyum lebar ketika gadis-gadis lainnya
mengeluh karena hujan. Kau akan dengan tenang berjalan di bawah serbuan hujan.”
Aku
tersentak ketika mendengar kegetiran dalam kata-katanya.
“Kau
ingat ketika kita bertemu di perpustakaan hari itu? kau tidak akan pernah tau
betapa aku bahagia melihatmu berdiri dengan tumpukan buku di tanganmu. Matamu
yang indah membulat ketika melihatku datang, keningmu sedikit berkerut dan
salah satu alismu naik. Tampak jelas jika kau heran melihatku di sana.” Ia
mengusap peluhnya dengan punggung tangannya. “Dan sejujurnya aku juga merasa
sangat heran dengan kedatanganku ke tempat itu. Aku adalah kapten basket, orang
yang mereka panggil sebagai pangeran lapangan,” ia mendengus pelan. “Tempatku
bukan di perpustakaan, tapi tepat di hadapannya, di lapangan basket yang tidak
pernah sepi penonton ketika aku bermain.”
“Tapi aku
sama sekali tidak menyesali kedatanganku hari itu ke perpustakaan. Aku bahkan
tidak merasa malu. Aku justru merasa sangat bahagia ketika tau kau selalu duduk
di tempat yang sama, di dalam perpustakaan. Di kursi yang terletak di sudut
ruangan, tepat di depan sebuah jendela besar yang menghadap ke lapangan basket.
Kau tau apa yang ku harapkan saat itu? konyol memang, namun aku berharap selama
ini permainanku sedikit menarik perhatianmu, dan setidaknya kau menontonku dari
dalam sana.”
Aku
merasakan hatiku perlahan pecah. Bagai bongkahan es yang terlempar dari
ketinggian, dan pecah berkeping ketika menyentuh daratan. Namun aku sudah
berjanji pada diriku sendiri, aku tidak lagi menangis untuknya. Tidak akan
pernah lagi.
Aku bisa
mendengarnya mengehla nafas lelah. Kemudian tangannya tidak lagi menyeka
peluhnya, tapi ia menyeka air mata yang entah sejak kapan membasahi pipinya.
Aku meringis perih menyadari kenyataan itu.
“Aku tau,
aku adalah sosok yang paling pengecut di muka bumi ini. Aku bahkan tidak pernah
bisa menyapamu, meskipun setiap hari aku akan berjalan di belakangmu, secara
diam-diam tentu saja. Kau pasti akan bertanya-tanya siapa yang menyelipkan
permen gula-gula manis ke dalam lokermu setiap usai pelajaran olah raga. Ya,
itu aku. Aku ingin kau memiliki energi lagi. Dan dari yang ku dengar gula-gula
itu akan memberikanmu beberapa persen energy tambahan untuk harimu.
“Kau juga
pasti bertanya-tanya siapa yang selalu mengirimkan bunga-bunga itu di hari
valentine dan ketika hari ulang tahunmu. Ya, itu juga aku. Aku benar-benar
seorang pecundang. Aku bahkan akan berpura-pura tidak melihatmu ketika tanpa
sengaja kita berjalan berpapasan di lorong sekolah yang sunyi. Aku akan dengan
angkuh mengangkat wajahku, berjalan santai tanpa mempedulikanmu ketika yang
sebenarnya ku rasakan dalam hatiku adalah gemuruh yang tak menentu.
“Aku pikir
aku sudah mulai gila saat itu. Bahkan ketika akhirnya aku mulai memimpikanmu,
memimpikan wajah indahmu ketika tersenyum bersama hujan. Ketika tanganmu
terulur untuk meraih hujan yang seakan ikut tersenyum bersamamu. Tapi sekali
lagi, aku adalah pecundang. Sebesar apapun rasa itu, aku akan selalu mengelak.
Menutup mataku dari kenyataan itu.
“Dan hari
itu, ketika pertama kali aku melihat tetesan air mata di kedua sisi wajahmu,
aku sangat ingin memelukmu, menenangkanmu, mengingatkanmu jika masih ada aku di
sini. Ada aku yang akan selalu menemanimu. Ada aku…” ia terdiam sejenak,
mengatur nafasnya yang terdengar tak menentu. “Tapi aku terlalu takut. Aku
takut kau justru tidak membutuhkanku. Aku takut kau justru akan menghindariku,
dan akhirnya meninggalkanku, menutup kemungkinan untukku duduk diam-diam
menatapmu dari balik jendela kelas kita.”
Aku sudah
tidak tahan. Hatiku terpilin perih ketika mendengar luka dari dalam
kata-katanya.
“Aku tau,
kau sangat terpuruk ketika kedua orang tuamu meninggal. Aku tidak pernah
melihat tatapan menyakitkan itu sebelumnya, aku tidak pernah. Dan sejujurnya,
itu juga menyakitiku. Tapi bodohnya aku karena terus menjunjung tinggi egoku.
Bodohnya aku!”
Tidak… ku mohon…
“Aku
hampir saja membunuh diriku karena muak ketika akhirnya pemuda itu merangkul
pundakmu, mengangkat lukamu. Menemanimu meneruskan hari, menyongsong esok yang
tidak pernah terprediksi. Aku sangat menyesali kebodohanku. Kau tidak pernah
tau betapa aku ingin membunuhnya, betapa aku ingin merebutmu dari pelukannya,
betapa aku ingin memilikimu, memilikimu secara ekslusif untukku seorang.
“Tapi
kemudian aku sadar. Aku bukanlah sosok yang baik untukmu, aku bahkan tidak
pernah membuatmu tersenyum. Aku selalu memalingkan wajahku darimu, aku selalu
menghindarimu, aku selalu menyakitimu dengan kata-kata ketusku. Aku akan selalu
meninggalkanmu, tidak peduli berapa kali kau memanggilku kala itu.”
“Aku
mencintaimu Elena…”
Air
mataku menetes perlahan, hancur sudah seluruh bendungan yang selama ini ku jaga
rapat-rapat. Hancur sudah seluruh dinding yang menahan hatiku agar tetap kokoh
dan membeku dalam kesunyian itu. hancur sudah semuanya…
Aku ingin
merengkuh wajahnya, mengatakan bahwa aku juga mencintainya. Namun kenyataan
tentang kepergiaannya kala itu kembali menampar diriku.
Dia tidak akan pergi meninggalkanmu
jika dia mencintaimu…. Teriak
otakku dengan angkuh.
Aku ingin
menggeleng dan menyangkal, namun sisi logisku tidak bisa di bohongi. Ia pergi
tepat sebulan setelah kepergian orang tuaku. Ketika langkahku kian gontai di
setiap harinya, ketika semua yang ku butuhkan adalah sebuah penopang lain agar
aku tidak terjatuh dalam jurang duka yang semakin dalam. Namun pada
kenyataannya ia pergi juga. Pergi meninggalkanku, meninggalkan sekolah kami,
kenangan kami, meninggalkan hujan kami.
Ia tidak
pernah tau betapa itu sangat menyakitkan hatiku. Dia salah jika selama ini
beranggapan telah melukaiku dengan sikapnya yang dingin. Aku sama sekali tidak
keberatan, aku tidak pernah terluka, asalkan bisa melihatnya, asalkan ia berada
dalam jarak pandangku, aku akan selalu tersenyum, aku akan selalu tersenyum
bahagia.
Tapi pada
akhirnya ia tetap pergi meninggalkanku.
Dan hujan
itu, semuanya terasa hambar ketika akhirnya ia berlalu pergi. Semuanya terasa
semu, dan dingin. Hujan itu kembali menjadi hujan yang semua orang rasakan
tanpa kehadirannya. Hujan itu akan sama menusuknya dengan hujan-hujan yang
gadis lain rasakan!
Aku
memang menyukai hujan, namun hanya ketika ia bersamaku. Karena senja berhujan
kala itu lah aku pertama kali melihat sosok tampannya. Ketika ia berdiri
mendengus sambil menutup pintu ruang kepala sekolah di belakang tubuhnya. Ia
adalah orang asing yang langsung membuat hatiku terketuk. Orang asing yang
mengubah senja berhujanku yang dingin terasa begitu hangat dan manis. Dan sejak
saat itu aku tau, aku menyukainya.
Aku
menyukai pemuda itu. Pemuda tampan yang menjadi murid baru di kelasku, duduk
berselang tiga kursi di belakang kursiku. Sosok rupawan yang selalu menjadi
pusat fokusku ketika duduk di dalam perpustakaan dengan buku terbuka di
hadapanku.
Aku
hanyalah gadis biasa, dan ketika merasakan hal aneh itu, aku hanya bisa terdiam
seribu bahasa. Tersenyum diam-diam dalam setiap kedipan mataku. Mencuri pandang
sosoknya dalam kesunyian ruang perpustakaan. Mengaguminya sepenuh hati tanpa
sekalipun menyentuh sosoknya.
Tapi aku tau.
Aku mencintainya.
Sangat.
“Aku
sudah melakukan banyak kesalahan Elena, aku sudah sering kali mengambil langkah
yang salah. Aku sudah sering merasa terpuruk karena egoku sendiri. Dan saat
ini, aku tidak ingin menyia-nyiakan waktuku lagi. Aku ingin bersamamu, aku
bahkan akan memaksamu untuk tetap tinggal bersamaku, tidak peduli apakah kau
suka atau tidak. Tapi aku akan tetap memaksa. Aku akan melakukan berbagai macam
cara untuk mendapatkanmu. Aku sungguh-sungguh.”
Tubuhku
membeku mendengar pengakuannya. Tidak!
Ia tidak perlu memaksaku, karena aku akan senang hati berjalan menghampirinya.
Aku sangat mencintainya, dan tidak ada alasan untukku, untuk tetap berdiri dan
akhirnya menjauh darinya. Tidak lagi.
“Jadi ku
mohon Elena… sadarlah…”
DEG…
Kepalaku seakan
terbentur begitu saja, membentur segala kenyataan yang sejenak terlupakan.
Dadaku mulai terasa sesak karena tersesat dalam kegelapan itu. Aku ingin
menggerakan tubuhku, atau mungkin sekedar menggerakan tanganku untuk dapat
menyentuhnya, menggenggam tangannya dan merasakan keperihannya. Meringankannya,
menyeka air matanya.
Tapi
tubuhku kaku tak bisa bergerak. Kedua tanganku membeku di kedua sisi tubuhku
yang terbalut selimut rumah sakit. Bibirku diam, terkunci rapat. Bahkan kelopak
mataku tetap tertutup tak bergerak. Aku ingin berteriak, aku ingin memanggil
namanya, dan mengatakan bahwa aku juga mencintainya!!! Aku ingin hidup
bersamanya, selamanya.
“Ku mohon
Elena… bangunlah…” bisiknya pelan. Aku bisa merasakan semburan ketakutan dari
suaranya.
Ya, Danies… aku akan sadar untukmu…
“Berusahalah
Elena, bertahanlah… ku mohon,”
Tidak. Kau tidak perlu memohon. Aku
akan terus bertahan. Aku akan terus bertahan di sini untukmu dan untuk diriku
sendiri.
“Aku
mencintaimu Elena,” ia mengecup punggung tanganku dengan perlahan. Membuat
hatiku jatuh begitu saja, meninggalkan tubuhku yang kaku tak bergerak karena
kecelakaan dua atau tiga hari yang lalu.
Aku juga mencintaimu Danies melebihi
apapun di dunia ini. Aku mencintaimu!
Tiba-tiba
aku merasakan sentuhan hangat di keningku, lalu turun ke bibirku. Ia menciumku
dengan sangat lembut, membuatku bisa merasakan seluruh duka yang tersembunyi di
balik jiwanya.
“Tapi
jika memang sudah waktunya, aku tidak akan menahanmu lagi. Sudah banyak
kesalahan yang ku lakukan selama ini. Dan aku tidak ingin melakukanya lagi,
tidak untuk menyakitimu.”
Apa?!?!
Dia pasti bercanda.
“Aku
menyayangimu Elena, aku takkan bisa hidup tanpamu. Dan keputusanku untuk pergi
saat itu adalah hal terburuk yang pernah ku lakukan. Aku minta maaf,”
Kalau begitu jangan biarkan aku pergi
saat ini.
“Tapi aku
tidak akan menahanmu sekarang.”
TIDAK!
“Kau
berhak pergi sesukamu, aku pantas mendapatkan ganjarannya.”
TIDAK DAN TIDAK! Aku tidak ingin pergi
kemanapun Danies, tidak sama sekali!!!!
“Kau
hanya perlu tau, cintaku untukmu tidak akan pernah hilang. Sampai akhirnya aku
pergi menyusulmu. Tapi kau tau, itu tidak akan memakan waktu lama. Aku akan
terus memohon pada Tuhan agar segera menyabut nyawaku.”
Tidak Danies… ku mohon…
“Selamat
tinggal Elena. Aku mencintaimu,” bisiknya pelan.
Dan air
mataku menetes semakin dalam, bisa ku dengar suara hujan di luar sana semakin
membesar, bahkan kini petir tampak saling bersahut-sahutan. Menemaniku yang
terjerumus semakin dalam ke dalam lukaku. Jika sosok yang menjadi penyemangat
hidupku sudah menyerah, apa lagi yang bisa ku lakukan? Apa lagi yang bisa ku
lakukan selain ikut menyerahkan diri dan jiwaku untuk masuk semakin dalam pada
kelamnya jurang kepedihan itu sendiri.
Danies
mungkin benar, aku memang merasa lelah. Aku lelah menghitung hujan, dan mulai
menyadari bahwa yang ku lakukan hanyalah sia-sia belaka. Aku tidak akan pernah
bisa menghitung hujan sekeras apapun aku berusaha. Seperti cintaku pada sosok
Danies, mungkin sudah waktunya aku berhenti berharap, dan menyerahkan jiwaku
pada sisi kelam lain dalam dunia ini. Kematian…
***
4 komentar:
tisu mana tisu? :')
Thanks cherry... Love this story... :D
hiks hiks.. *tarik tisu :'(
Crta'y bagus.. Bkin air mata meleleh..
Cherry thanks ya.. ;)
ini mba tisunya...
*mulai sekarang jadi penjual tisu juga* hihihihi
makasii juga mba nisa mba sila.. :*
Cherry aku juga jualan tissu. Kalo cherry 5000 satu tissue, aku 10000 satu tissu :D ☺ Ђƺђƺ ☺ :D
Thanks Ɣª sayang 4 the story, lope it very much...
Posting Komentar