ZAHRA
Purnama malam itu tidak seindah biasanya, ia
memang menunjukan bentuk bulatnya yang sempurna, bersinar terang tanpa
awan-awan tipis yang menghalangi. Lingkaran cahaya mengelilinginya, melingkar
bagai halo yang cantik. Bertemankan bintang, tentu saja, namun tetap tidak
membawa kedamaian untukku, untuk kami.
Sudah tiga jam sejak kepulangannya Amy tidak
juga berhenti menangis. Anna dan ummi terus mendampinginya, tapi aku tidak
bisa. Aku tidak bisa setegar itu untuk siapapun, bahkan untuk diriku sendiri.
Begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam benakku, namun aku tidak
memiliki kesempatan untuk bertanya sedikitpun. Dan itu membuat dadaku mulai
terasa sesak. Aku mulai merasa frustasi pada keadaan yang memberikanku banyak
tanda Tanya ke dalam otakku, tanpa sedikitpun petunjuk untuk membantuku
memecahkan tanda Tanya itu.
Ketika aku berlari dari lapangan menuju panti,
aku sudah menyiapkan berjuta kata selamat untuknya dan Arya, menyiapkan diriku
agar turut bahagia atas rencana indah yang mereka bawa, menjaga rasa iriku
ketika akhirnya melihat undangan yang bertuliskan nama mereka berdua. Namun
semuanya mendadak berubah ketika aku melihat sisa-sisa air mata kering di kedua
sudut mata indah sahabatku. Tidak ada yang berubah dari sosok cantiknya, ia
tetap menjadi gadis yang lemah lembut seperti yang ku kenal, hanya saja kini
lebih terlihat pucat. Kedua matanya terlihat lebih sayu, dengan dua lembayung
hitam di setiap sisinya, dan binar indah yang biasanya terpancar pun
menghilang.
Bibi tidak mengizinkanku untuk menghubungi Arya,
meski itu adalah hal yang paling ingin ku lakukan saat ini. Aku sudah hampir
gila karena rasa ingin tahuku, namun semuanya nihil jika berkaitan dengan kata
cinta dan pernikahan. Lihat kan, bagaimana kata itu bisa mengundang berjuta
luka. Lalu mengapa orang-orang masih berharap untuk segera mendapatkan cinta
itu? tidak mengertikah mereka bahwa di dunia ini tidak pernah ada cinta
sejati?!
Aku mendesah pelan ketika merasakan ponselku
bergetar untuk yang kesekian kalinya hari itu. telepon dari Raihan, aku tau.
Aku hanya tidak tau bagaimana cara untuk menyikapi semuanya. Sebagian dari
diriku mulai merasa takut kepada kata yang menyesakan dada itu, dan itu membuatku
kembali meragu untuk menyentuhnya.
Getaran ponselku akhirnya berhenti. Aku
memejamkan mataku perlahan, mencoba mencari celah dalam benakku untuk sekedar
menenangkan jiwaku.
“Zahra…” aku menoleh ketika tiba-tiba Anna masuk
ke kamarku dengan ponsel di telinganya. “Raihan ingin berbicara denganmu…”
ujarnya, mengulurkan ponselnya kepadaku. Aku ingin kembali menggeleng, kembali
menghindarinya, namun pandangan Anna membuatku mengulurkan tangan untuk
menerima ponselnya, dengan perlahan meletakannya di telingaku. Anna tersenyum
tipis kepadaku, namun senyuman itu sama sekali tidak menyentuh matanya, lalu ia
berlalu dan menutup pintu kamarku dengan perlahan di belakangnya.
“Zahra!!! Astaga, ada apa denganmu?! Apa kau
baik-baik saja?! Mengapa kau tidak mengangkat teleponku???!!! Aku sudah ratusan
kali meneleponmu!!” teriak suara di sebrang sana dengan kecemasan yang tidak
dibuat-buat. Tubuhku mendadak lemas, bahkan lidahku terasa terlalu kelu untuk
sekedar mengatakan halo. “Zahra… apa kau baik-baik saja?!”
Aku ingin mengatakan ‘ya’, tapi tidak ada satu
katapun yang keluar dari mulutku. Aku terlalu lelah.
“Zahra… ku mohon bicaralah, aku sudah hampir
gila karenamu. Aku tidak bisa terus begini, aku ingin mendengar suaramu, aku
ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja, ku mohon…”
Air mataku perlahan menetes mendengar suaranya
yang putus asa. Aku merindukannya, dan yang kuinginkan saat ini adalah
keberadaannya. Keberadaannya untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa cinta itu
masih memiliki eksistensi dalam kehidupanku.
“Zahra… aku sangat merindukanmu…” isaknya pelan.
“Aku akan segera kembali…”
“Tidak.” Bisikku tercekat. “Jangan kembali
lagi…”
“Demi Tuhan Zahra… aku sangat lega mendengar
suaramu… kau baik-baik saja kan? Aku akan segera kembali untukmu…”
“Jangan kembali.” Desisku dengan penekanan di
setiap kata yang ku ucapkan. “Tidak kah kau mengerti?! Aku tidak ingin kau
kembali!!” dan membuatku lemah karena
cinta itu.
“Tapi aku mencintaimu…”
Tapi
cinta itu tidak pernah ada di dalam kehidupanku! Cinta itu hanya akan
menyesakan luka, hanya akan menyakitiku!
“Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu,” bisiknya
lebih pelan. “Jangan memintaku untuk melupakanmu, karena sebelum kau
memintanya, aku sudah pernah mencoba melakukan itu. Aku tidak pernah ingin
jatuh cinta. Karena itu hanya akan membuatku lemah. Tapi ketika bersamamu, aku
merasa hidup, aku merasa kekosongan yang selama ini menghantuiku mulai
menghilang. Aku merasa menemukan jiwaku lagi.” Ia terdiam sejenak, kemudian
berdeham, membersihkan tenggorokannya dan kembali berbicara, “Aku sudah mencoba
menghindarimu, tapi semakin aku mencoba, semakin aku tidak bisa berhenti
memikirkanmu, lalu pada akhirnya aku menyerah, karena aku tau… kaulah yang ku cari
selama ini…”
Tidak!
Ku mohon… cinta itu hanya akan membunuhku…
“Aku minta maaf…” bisiknya teramat pelan. “Tapi
aku tidak bisa berhenti mencintaimu…”
“Kalau begitu cepatlah kembali,” bisikku.
“Zahra?!” panggilnya tidak percaya.
“Cepat kembali, temui aku, karena aku juga
merindukanmu…” sosok di sebrang sana terdiam cukup lama, mungkin terkejut
dengan apa yang baru saja ku katakan. Dan aku tidak bisa menyembunyikan
senyumku dari pemikiran itu.
“Tentu!” ujarnya bersemangat. Aku tersenyum geli
ketika membayangakan wajahnya yang penuh semangat, matanya yang berbinar indah,
senyumannya yang mengembang lebar. Ya Tuhan bagaimana mungkin aku bisa sangat
merindukannya seperti ini???
“Aku akan segera pulang. Sesegera mungkin!!! Kau
tunggulah aku di sana, aku akan membawakan bunga mawar yang paling indah
untukmu.”
“Aku tidak ingin bunga mawar.” Gerutuku. “Aku
ingin bunga tulip ungu,”
“Zahra tapi…”
“Kau akan mendapatkannya untukku kan?” tantangku
geli. Raihan mendesah pelan.
“Ya, apapun itu, akan ku dapatkan untukmu!”
ujarnya kembali penuh semangat. Ah… aku sangat merindukan sosok itu. bahkan
kupu-kupu di dalam perutku mulai menyiapkan tarian baru untuk menyambutnya.
“Maaf untuk hari ini,” bisikku setelah terdiam
cukup lama. “Dua hari yang lalu Amy pulang…”
“Amy?”
“Ya, salah satu pengurus panti juga. Dia baru
saja kembali dari Aceh, pergi bersama Arya tapi kembali sendiri.” Aku memandang
rembulan yang bersinar enggan dari balik jendela kamarku. “Aku tidak tau apa
yang terjadi, tapi ia tidak pernah berhenti menangis. Bibi dan Anna melarangku
menghubungi Arya. Pada awalnya aku pikir mereka akan kembali dengan sebuah
undangan pernikahan, tapi kini semuanya terlihat tidak mungkin.”
“Apa Arya meninggalkannya?”
“Bukan Arya yang meninggalkannya, tapi cinta
yang mencampakkannya.”
“Zahra-“
“Untuk sejenak keadaan Amy saat ini membuatku
takut. Arya sangat mencintai Amy, begitu pula sebaliknya. Tapi pada akhirnya
Amy tetap menangis seperti ini. Bagaimana mungkin kata cinta itu bisa
dipercaya? Bukankah cinta pada akhirnya hanya menimbulkan luka yang akan
menyesakan dada?”
“Zahra aku-“
“Itu membuatku takut.” Bisikku pelan.
“Aku tidak akan pernah menyakitimu. Aku tidak
akan meninggalkanmu. Kau harus percaya padaku. Aku mencintaimu. Apapun yang
terjadi nanti, kau harus tau bahwa aku sangat mencintaimu. Aku tidak akan bisa
hidup tanpamu.”
“Tidakkah kau berpikir mungkin dulu Arya juga
mengatakan kata-kata yang sama seperti itu kepada Amy?”
“Zahra-“
“Sudahlah, segeralah kembali. Buktikan
kata-katamu tuan angkuh.” Ujarku mencoba terdengar seriang mungkin. Raihan
masih terdiam hingga di detik ke tujuh, lalu ia menghela nafas panjang.
“Aku akan segera kembali.” Ujarnya, dan setelah
mengucapkan salam aku menutup ponselku, meletakannya di pangkuanku, lalu
kembali meneliti rembulan. Kau lihat… dia
akan kembali, dia akan kembali menemuiku… karena dia mencintaiku… karena dia
benar-benar mencintaiku…
4 komentar:
selamat ya Rai akhirnya Zahra nyerah juga yuhuu
Akhir Πγª Zahra mau jujur jga sma perasaan Πγª dgn Raihan..
Zahra akhirny nyerah jga sma Raihan.. Wkwkwk.. Congratz..:D
Btw, ad ap dgn Arya dan Amy???:(
@Mendy...
Ada apa ayo?? Cari tau yukss... Sedih sama Amy :'(
Posting Komentar