ZAHRA
“Kau pasti bercanda!” pekikku keras ketika
mendengar penuturan salah satu sahabat baikku pada jum’at siang itu. Andhini
tertunduk malu-malu, kemudian dengan perlahan menyentuh tanganku.
“Aku benar-benar minta maaf, aku tidak bisa
menunggumu. Kau dan Reynaldi benar-benar lambat. Kalau saja kau lebih cepat
menyadari rasa cintamu padanya, mungkin aku tidak harus melakukan ini, aku
tidak harus menikah mendahuluimu…”
“Ergh… aku tidak mencintai dia!” elakku geram. Namun
sosok cantik di hadapanku tampak tidak peduli dengan bantahanku. Ia mengangkat
bahunya tak acuh, kemudian berpaling memandang Hanna yang duduk di sampingku.
“Sebenarnya aku ingin memberitahukan ini pada
kalian sejak awal, tapi aku khawatir kau akan melarangku untuk menikah!”
ujarnya seraya melirikku. Mataku terbelalak menatapnya.
“Apa kau gila?! Aku tidak akan marah. Ini adalah
masa-masa bahagiamu, dan tentu saja aku juga akan ikut bahagia karenanya. Kau
adalah sahabatku…” tuturku lebih lembut. Risa turut tersenyum di sampingku.
“Kau benar-benar tidak marah?” Tanya Hanna
dengan mata membulat.
“Apa-apaan kalian, memangnya aku siapa yang bisa
melarang sahabatku sendiri untuk menikah dengan orang yang dicintainya. Aku
akan sangat bahagia jika melihat kalian bahagia.” Ujarku bijaksana. Dalam hati
aku terkikik geli mendengar kata-kataku sendiri, merasa kata-kata itu terlalu
tua untuk kepribadianku.
“Jadi kau juga tidak akan marah padaku karena
pertunanganku kan?” Tanya Hanna tiba-tiba. Keningku mengernyit, dan menatapnya
penuh rasa ingin tau. Tubuh besar Hanna beranjak dari ruang tamu rumah sewaan
kami, memasuki kamarnya, dan ketika keluar ia membawa sebuah kotak kecil
berwarna hitam. “Maaf aku sudah menyembunyikannya pada kalian.” Ujarnya seraya
membuka kotak kecil itu, membuatku dan kedua sahabatku yang lain terperangah
menatap cincin cantik bertahtakan mutiara berbentuk air mata itu.
“HANA!!!!!!” teriak kami bersamaan, sebelum
melemparinya dengan bantal sofa.
***
Aku tidak bisa berhenti tersenyum ketika
mengingat kejadian beberapa jam yang lalu, ketika kami semua berkumpul di ruang
tamu rumah sewaan kami yang sempit, dan pada akhirnya mereka mengakui hal-hal
itu. Sebagian dari diriku merasa sangat tersanjung atas sikap mereka yang
benar-benar ingin menjaga perasaanku. Pada awal perkuliahan kami memang
berjanji untuk menikah bersama, well, janji yang konyol memang, tapi kami tetap
mengingat janji itu hingga hari ini. Tapi sebagian lain dari diriku juga
sedikit sedih karena setelah beberapa bulan ini aku akan menjadi satu-satunya
orang yang tidak akan bisa mengikuti arah perbincangan mereka jika sudah
menyangkut topic pernikahan. Namun aku tetap bahagia atas kebahagiaan mereka. Ya,
aku bahagia. :)
Ternyata Hana sudah menyembunyikan
pertunangannya dengan sosok pengusaha asal Palembang itu sejak tiga bulan yang
lalu. Jadi, tidak ada yang bisa menyalahkan kami jika marah pada gadis berbadan
besar itu. Berkali kali aku menggenggam tangannya dan tersenyum bahagia padanya,
membayangkan kebahagian yang dialaminya ketika akhirnya kekasih hatinya melamar
untuk menikahnya. Kini ia tidak perlu lagi menyembunyikan cincin cantiknya, dan
bahkan rona wajahnya pun tampak lebih indah dari biasanya. Ah… bagaimana
mungkin kami bisa tidak menyadari perubahannya selama ini?!
Sentuhan Risa di pundakku membangunkanku dari
lamunan sesaat tentang kedua sahabatku. Ia tersenyum padaku, kemudian berbalik
menatap pantulan sosok cantik di cermin besar di hadapan kami. Aku tersenyum
tipis ketika mengikuti arah pandangannya. Aku, Risa dan Hanna berdiri
bersampingan di depan cermin, mengenakan kebaya berwarna coklat keemasan yang
begitu anggun, sedangkan sosok cantik Andhini mengenakan kebaya putih yang luar
biasa cantik.
“Aku sangat bahagia kalian mau menjadi
pendampingku di hari pernikahanku nanti,” bisik Andhini penuh haru.
“Kami merasa sangat terhormat atas permintaanmu
ini sayang…” ujar Risa lembut. Aku dan Hana mengangguk setuju.
“Ah! Kalian benar-benar cantik, bisakah kalian
berpose sebentar, aku ingin mengabadikan momen ini. Kalian benar-benar indah…”
pekik Jean, pemilik butik yang kami datangi siang itu. ia menyeka air matanya
dengan perlahan, aku sampai melongo menatapnya, tidak percaya jika ia sampai
menangis. “Cepat… cepat bergeserlah ke sini, di depan rak-rak gaun ini,
tersenyumlah terus seperti ini, kalian tampak sangat bahagia, kalian membuatku
terharu. Kalian sangat cantik… aku tidak bisa mempercayai ini…”
“Jean… kau sangat manis…” bisik Andhini tulus.
Kami mengikuti apa yang Jean katakan, dan ia
mengambil beberapa gambar kami. Aku tersenyum manis ketika melihat foto itu,
aku bahkan hampir tidak mengenali sosok-sosok dalam foto itu, rona bahagia
mereka seakan membuat foto itu bercahaya indah. Membuatku terus ingin
memandangnya.
Sekali lagi jiwaku tersenyum ketika memikirkan
kata itu… pernikahan dan cinta…
***
Aku tidak yakin dengan apa yang sedang terjadi
pada diriku, namun entah mengapa aku benar-benar ingin segera pulang ke panti.
Perjalanan pulang yang hanya memakan waktu tiga jam itu terasa seperti tiga
tahun lamanya. Aku hampir saja menangis kesal ketika akhirnya terjebak macet di
tengah-tengah perjalanan, aku bahkan tidak bisa duduk dengan tenang sama
sekali, berkali-kali aku mengubah posisi dudukku, namun aku tetap tidak bisa
merasa nyaman. Aku sudah mencoba untuk tidur, berharap ketika terbangun aku
sudah berada dipanti, dan bertemu dengannya.
Astaga, apa yang sebenarnya aku pikirkan. Aku
pasti sudah gila. Berhenti memikirkan hal-hal
aneh! Bentak otakku kesal. Aku mengerutkan bibirku, kesal pada diriku
sendiri.
Aku berlari-lari kecil ketika akhirnya sampai ke
gerbang panti. Aku sudah berusaha sekeras mungkin untuk menyembunyikan senyuman
itu, tapi aku tidak bisa. Seakan wajahku sudah di bentuk dengan bentuk bibir
yang terus tersenyum lebar seperti orang idiot.
“Assalamualaikum…!” salamku riang ketika membuka
pintu. Namun tidak ada siapapun di sana. Aku mengernyit dan memandang
kesekeliling, benar-benar sepi. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kamar,
mengganti pakaian, baru setelahnya mencari semua orang.
Kerutan di keningku semakin terukir dalam ketika
menemukan selembar kertas terlipat di atas mejaku, dengan ragu aku membuka
kertas itu. Entah mengapa aku mulai merasakan gugup ketika menyadari pemilik
tulisan tangan itu.
Zahra,
Aku
harus pergi, tapi aku akan segera kembali. Bisakah kau menyimpan rindumu untuk
beberapa saat? Aku tau itu akan sangat sulit, tapi untuk kali ini kau harus
menahannya. Untuk sementara waktu aku tidak akan bisa menghubungimu, aku
memiliki urusan serius yang tidak bisa ku tinggalkan, ku harap kau mengerti.
Tenang saja sayang, aku akan baik-baik saja, kau tidak perlu mengkhawatirkanku.
Percayalah padaku.
Aku mencibir sinis sambil melempar kertas itu ke
atas meja. Rindu katanya?! Khawatir padanya?! Apa dia gila?!! Dia pikir siapa
dia? Untuk apa aku merindukannya?! Untuk apa aku mengkhawatirkannya!! Aku
bahkan tidak peduli dengan apa yang ia lakukan. Aku tidak peduli!!
Aku merebahkan tubuhku ke atas kasur, merasa
kesal pada emosi aneh yang memenuhi relung hatiku. Wajahku mulai terasa memanas,
dan aku sangat membenci hal itu! lihat kan, semua kisah itu tidak akan pernah
terjalin indah!
“Pergi jauh jauh dan jangan pernah kembali!!!”
Teriakku sebelum menangis dan tertidur karena kelelahan.
Aku tidak yakin sudah berapa lama aku tertidur,
namun ketika terbangun aku merasa tubuhku keram dan kaku. Wajahku kuyu dengan
mata yang sembab. Dengan segera aku beranjak ke kamar mandi kemudian menunaikan
shalat ashar. Ya Allah, aku bahkan lupa menemui bibi. Apa yang sebenarnya
terjadi pada diriku?!!
Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku mengulurkan
tanganku ke atas meja, meraihnya. Telepon dari nomor baru. Setelah berdeham dua
kali, dan memastikan bahwa tenggorokanku tak lagi serak, barulah aku menekan
tombol yes.
“Zahra…” suara di sebrang sana begitu pelan,
namun bisa membekukanku dalam sekejap. Detik itu juga aku merasa wajahku
kembali memanas, pandanganku mulai kabur karena tertutup air mata.
“Aku pikir kau tidak akan menghubungiku.” Ujarku
ketus.
Sosok di sebrang sana mendesah pelan. “Aku
merindukanmu,” bisiknya tulus, suaranya yang sangat pelan membuat hatiku
bertambah perih. “Aku benar-benar ingin bertemu denganmu, tapi aku tidak bisa
kembali sekarang.” Tambahnya. Ku genggam erat-erat ponsel di telingaku,
berusaha menahan gemuruh hati yang kian tidak menentu.
“Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan?”
tanyaku, berusaha sekuat mungkin memunculkan nada suara dingin.
“Ada beberapa pekerjaan yang harus ku tangani,
kau tau… terkadang kita tidak bisa mempercayakan segala hal pada orang lain.”
Ujarnya lelah. “Maafkan aku.”
“Untuk apa?” tanyaku seraya mengusap air mata
yang tiba-tiba mengalir.
“Karena telah membuatmu menangis, karena telah
membuatmu merindukanku.” aku ternganga mendengar perkataannya, saat itu juga
hilang sudah rasa perihku. Aku menaikan wajahku, menatap pantulan wajahku di
cermin dengan angkuh.
“Kau pasti sudah gila!” desisku sinis. “Aku sama
sekali tidak merindukanmu! Dan aku tidak juga menangis karena mu! Kau pergilah
jauh-jauh. Jangan pernah menghubungiku lagi! Aku tidak peduli dengan apapun
yang kau lakukan pria sombong!” tuturku kejam.
Raihan terkekeh pelan, dan entah bagaimana suara
tawanya yang merdu mampu menggetarkan hatiku. “Tentu nona angkuh, aku juga
mencintaimu!”
“Kau—“
“Aku akan menghubungimu lagi nanti, sampai
jumpa.” Ujarnya sesaat sebelum terdengar suara klik, dan sambungan telepon itu
terputus. Aku masih membeku untuk beberapa detik setelahnya, kemudian tersenyum
dan menangis secara bersamaan. Dengan perlahan aku bisa melihat kemilau indah
warna pelangi yang dibiaskan air mataku sendiri, lalu turut menari dengan
sekumpulan kupu-kupu cantik di dalam perutku.
***
“Aku yakin kau akan kerasukan jin jika terus
melamun seperti ini.” Aku tersentak kaget dari lamunanku, wajahku memerah
karena tegurannya. Raka duduk di sebelahku dan tersenyum sambil terus memandang
anak-anak panti yang tengah bermain bola di lapangan tidak jauh dari panti.
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, mencoba
mencerna kejadian ini, meyakinkan diriku sendiri bahwa ini bukanlah mimpi.
Kami, aku dan Raka, duduk berdua di bawah pohon yang rindang, menikmati hari,
menikmati angin, menikmati kasih. Wajah tampannya tampak begitu tenang, tidak
ada kerutan sama sekali di antara kedua matanya, seakan sepoi angin itu
mengusir semua asa dalam pikirannya. Tenang dan nyaman. Aku tersenyum tipis dan
mengikuti arah pandangannya, menangkap bayang-bayang anak-anak panti yang
tengah berlari mengejar bola dengan tawa riang mereka. Semilir angin sore itu
menerbangkan ujung-ujung jilbabku, dan aku mulai merasakan ketenangan yang luar
biasa. Merasakan damai yang indah.
Aku pernah mencintai sosok itu, bahkan mungkin
masih sangat mencintainya. Tapi kini aku mengerti, ia memang bukan untukku.
Well, aku sadar, hal tersulit dalam hidup ini adalah ketika kau harus
meyakinkan dirimu sendiri bahwa kau sudah merelakan orang yang kau sayangi
bersama dengan kekasih pilihan hatinya, dan bukan dirimu. Aku sudah melewati
fase itu, melewatinya dengan berbagai luka dan air mata. Terkadang aku masih
tidak bisa menerima keadaan, aku masih tidak rela melihat Raka menggenggam
jemari Anna, bukan jemariku. Lalu aku akan merasakan sakit yang luar biasa,
terlebih ketika aku sadar, sebesar apapun cintaku padanya, hal itu tidak akan
pernah mengubah keadaan ini. Akan selalu menjadi aku yang terluka dan tak tersentuh
cinta. Lalu aku menyerah.
Lelah akan kekalahan, dan mulai berhenti
bermimpi. Aku hanya berpikiran, jika jatuh cinta hanya menyisakan luka seperih
ini, maka aku tidak akan pernah lagi jatuh cinta. Aku akan berdiri sendiri
menghadapi hidup, dan akan membuat diriku sendiri bahagia sepenuhnya. Meski
pada akhirnya aku tau, itu salah.
“Kak Zahra, kak Raka!” panggil koko, baik aku
maupun Raka langsung menoleh kearahnya. “Kak Amy sudah pulang!” teriaknya lagi.
Aku tersentak tidak percaya, begitu banyak kata yang ingin ku rangkai dan ku
ucapkan kepadanya, begitu banyak bulir-bulir rindu yang ingin ku berikan
kepadanya. Dengan cepat aku bangun, kemudian berlari menuju panti, menyambut
sahabatku dan undangan pernikahannya. Lupa sudah akan semua rasa yang
tertinggal di bawah pohon rindang itu.
2 komentar:
Zzzzziiiiiiiaaaaa (⌣˛⌣")ƪ(˘-˘) thuk!!! (⌣˛⌣")ƪ(˘-˘) thuk!!! (⌣˛⌣")ƪ(˘-˘) thuk!!! (⌣˛⌣")ƪ(˘-˘) thuk!!!
Posting nda blg2... Mayah aku...
Raihan (y) lope it... Teruskan perjuanganmu...
Zahra yeeaaayyy akhr'a mengakui juga dirimu cinta Raihan...
°·♡·♥τнänkчöü♥·♡·° ya zia cantik...
Ditunggu kelanjutank'a (˘⌣˘)ε˘`)
waahhh bangun bangun liat blognya, udah update,,
hehe
makasiii yaa :D
Posting Komentar