“Kita selesai!”
dan klik. Sambungan telepon
itu terputus begitu saja. Aku bahkan masih belum mencerna maksud dari
perkataannya dengan benar. Otakku kosong, mataku terbuka lebar tak berkedip,
keningku sedikit berkerut, bingung. Ada apa ini? Apa? Kenapa? Apa yang ia
katakan? Dan masih ada beribu tanda Tanya di dalam benakku, yang tampaknya
sedikit meragu untuk mendapat sebuah jawaban.
“Vey… kamu kenapa?” Tanya sahabatku
yang duduk tepat di sampingku, ia mengibaskan tangannya di depan mataku.
Membuatku sejenak tersadar.
“Aku harus pergi.” Ujarku
linglung, kemudian beranjak dari kursiku, tak ada satu bendapun yang ku bawa,
seluruh isi tasku masih berserakan di meja, bahkan buku pelajaran ku masih
terbuka lebar, tapi aku seakan lupa pada semuanya, yang ku ingat hanya
handphone di tanganku, bahkan aku pun melupakan sosok bu Tia yang tengah
menatapku geram dari balik meja guru.
Aku berjalan dengan kepala
kosong menuju perpustakaan. Satu-satunya tempat yang kosong ketika jam
pelajaran sedang berlangsung. Kemudian dengan cepat menekan tombol angka-angka
yang sudah ku hafas di luar kepala pada ponselku, “Dimas, ada apa?” tanyaku
ketika nada dering di sebrang sana berhenti. Dimas mendesah perlahan, tampak
lelah atau mungkin kesal, aku tidak terlalu menyadarinya.
“Dengar Vey, aku mau kita
putus.”
“Putus?!!?” pekikku kaget,
seakan baru saja mendengar kata-kata itu di sepanjang hidupku. “Kamu pasti
bercanda.”
“Aku serius. Aku muak, aku
lelah, aku butuh waktu untuk diriku sendiri.”
“Tapi aku sayang kamu…”
bisikku perih. Dimas tertawa mencibir di sebrang sana. “Kita baru saja jadian
kembali satu minggu setelah putus bulan lalu…” rengekku.
“Ya! Satu minggu, dan itu cukup
meyakinkan diriku sendiri, kalau aku memang sudah nggak sayang kamu Vey. Aku
muak dengan sikap kekanakan kamu yang selalu menuntut perhatian.”
“Aku minta maaf, aku janji
nggak akan menuntut apapun lagi dari kamu.”
“Ah bullshit. Aku tau kamu.
Kamu pasti akan selalu begitu, pengekang, manja dan super menyebalkan. Kamu
pikir aku nggak punya pekerjaan lain selain mengurusi rasa manjamu itu, hah?!
Aku adalah kapten basket, aku juga sibuk. Dan keberadaan kamu itu
menggangguku.”
“Dimas…”
“Kita putus!” teriaknya dan klik. Lagi-lagi ia memutuskan sambungan
teleponnya setelah mengucapkan kata menyakitkan itu. Tapi kali ini aku tidak
lagi ternganga bingung dengan kata-katanya. Aku tau betul apa yang ia maksud,
dan itu membuat dadaku terasa begitu
perih, begitu sesak. Berkali-kali aku mencoba kembali menghubungi handphonenya,
namun ia sama sekali tidak menjawab. Kelima kalinya aku menghubungi telepon
itu, ia mematikannya. Membuatku merasa terpuruk dan putus asa, putus harapan
hingga rasanya aku lebih memilih mati dari pada menjalani rasa perih ini.
***
Hari-hari indahku yang
singkat itu sudah sepenuhnya berakhir, tidak ada lagi pelangi di mataku,
semuanya berubah menjadi mendung yang menyelimuti pandanganku. Aku tau ini
berlebihan, tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku tidak bisa
berhenti mencintainya begitu saja. Dia adalah kekasih pertamaku, sosok yang
paling ku cintai sejak pertama kali aku mengenakan seragam putih abu-abu ini. Aku
tidak terbiasa tanpanya, aku merindukan semua kisah manis kami. Aku merindukan
pesan-pesan singkatnya yang terkadang tampak begitu romantis, aku merindukan
suaranya ketika memanggil namaku, aku merindukan senyumannya ketika menatapku.
Aku merindukannya!!
Beribu kali aku mencoba
menghubunginya, namun semuanya tampak sia-sia. Terakhir kali aku menghubungi
ponselnya, kakaknya lah yang mengangkat, mengatakan dengan sinis bahwa Dimas
tidak lagi ingin berbicara dan berhubungan denganku.
Jangan Tanya tentang perih.
karena rasanya aku sudah menghabiskan sebagian stok air mataku untuk
menangisinya, mengisi doa-doaku dengan namanya, menuliskan kisah-kisah penuh
air mata di buku diariku dengan sosoknya. Aku merindukannya!!!
Hari ini, tanggal 14
February, kami sudah merencanakan untuk merayakan hari valentine berdua, tapi
tentu saja itu tidak akan pernah terjadi. Kebetulan hari ini adalah hari ulang
tahun sekolahku, dan pihak sekolah selalu membuat festifal hari kasih sayang
untuk memperingati hari jadinya sekolahku. Sebenarnya ku rasa itu hanya sebuah
trik yang diadakan untuk memantau kegiatan siswa dan siswinya di hari
valentine. Aku tidak tau, dan aku juga tidak peduli.
Festival hari kasih sayang
itu dibuka untuk umum, dan tentu saja super menarik, karena selain mendirikan
stand-stan bazaar, kami juga menampilkan band sekolah, dan beberapa band indi.
Selalu meriah di setiap tahunnya. Sebagai siswi kelas 2 SMA aku bertugas
menjaga stand bazaar makanan di bagian samping panggung.
“Vey, lihat siapa yang
datang…” Risa menyikut tanganku ketika kami tengah merapihkan permen-permen
lollipop beraneka warna. Aku menegakan tubuhku dan mengikuti arah pandangannya.
Dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati sosok Dimas di depan meja kami.
Seorang gadis berambut panjang tampak bergelayut manja di lengannya, bagai
seekor monyet betina yang menggunakan terlalu banyak lipstick. Membuatku mual
setengah mati.
Mataku mulai memanas ketika
pandangan kami bertemu. Sebisa mungkin aku membuat air mukaku tetap datar,
tetap dengan mimic seorang penjaga stand bazaar yang ramah.
“Dimas…” panggilku lirih.
Gadis berambut panjang itu menaikan sebelah alisnya, kemudian melirik Dimas
dengan gerutuan manjanya.
“Kamu mengenal dia sayang?”
tanyanya dengan suara yang dibuat selembut mungkin. Aku menatap Dimas penuh
harap, berdoa agar ia segera mengangguk, dan melepaskan gelayutan gadis aneh
itu, kemudian meraih tanganku, menggandengku, membawaku kesebuah tempat dimana
aku bisa mengutarakan rasa rinduku padanya.
Tapi ia menggeleng, dan
hatiku hancur.
“Tapi dia mengenalmu…”
“Siapa yang nggak mengenal
aku? Aku kan kapten basket di sekolah kita, mungkin dia salah satu penggemar
fanatikku. Sudahlah Kamu mau apa, rasa stroberi atau melon?”
Aku ternganga tidak percaya,
telapak tanganku terasa perih karena terlalu keras mengepal, dadaku sesak
menahan tangis. Tiba-tiba Risa menarik lenganku, mendorongku dan membalikan
tubuhku. Menghadapkanku pada meja penuh dengan cupcake yang belum ditata.
“Ada yang bisa aku bantu?”
tanyanya sinis.
“Aku mau yang rasa melon
itu…” rengeknya manja.
“Oh, ini dua puluh ribu.”
Ujar Risa dengan senyuman miringnya, aku mengernyit di belakangnya. Bukankah
semua lollipop itu hanya berharga 5.000 rupiah??
“Yang benar saja, lollipop
ini 20.000?” Tanya Dimas terkejut. Risa terkekeh pelan.
“Ups maaf, aku tidak tau jika
seorang kapten basket tidak mempunyai uang sebanyak itu untuk membeli sebuah
permen lollipop. Sudahlah, anggap saja aku bersedekah. Kau, ambil saja ini. Aku
sedang baik hati, kalian segera pergilah, aku tidak ingin aura negative kalian
menyelimuti stand kami.”
“Kamu…” geram Dimas marah.
Namun bertepatan dengan itu salah satu guru kami datang, dan menciutkan kemarahan
Dimas.
“Dasar kambing.” Bisik Risa
sinis, dan aku terkekeh serta menangis di saat yang sama.
***
Aku menghela nafas panjang
untuk yang ketiga kalinya, mencoba menenangkan rasa gugupku. “Raveline, sudah
waktunya…” ujar seorang gadis berseragam hitam dengan earphone di telinganya.
Aku mengangguk dan tersenyum ramah padanya, kemudian berjalan mengikutinya ke
belakang panggung.
“Vey??!” panggilan itu
mendadak menghentikan langkahku, dua orang pria besar yang berjalan di kedua
sisiku turut berhenti dan menoleh ke belakang. Mataku menyipit ketika menyadari
siapa yang sudah memanggilku. Sosok itu sedikit membungkukan tubuhnya,
tangannya memegang dadanya, dengan nafas yang tersenggal-senggal, tampak ia
baru saja berlari jauh. “Vey… astaga, aku tidak bisa percaya kalau akhirnya aku
bisa bertemu denganmu lagi.”
“Lagi?” tanyaku bingung.
“Vey, aku Dimas…” ujarnya
penuh semangat.
“Kau mengenalnya?” Tanya
salah satu pria di sampingku. Aku menaikan sebelah alisku, dan menggeleng.
“Raveline adalah seorang
penyanyi terkenal, orang-orang sudah barang tentu mengenalnya, tapi ia belum
tentu mengenal mereka. Mungkin ia hanyalah salah satu penggemar fanatiknya.”
Ujar seorang gadis berkaos ungu muda yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku.
Aku menatap terkejut kepadanya, namun ketika melihat senyuman miringnya yang
khas, aku hanya bisa ikut tersenyum tipis.
“Tapi aku mantan kekasihmu 3
tahun yang lalu, bagaimana kau bisa melupakanku???! Vey, aku minta maaf… dulu
aku melakukan kesalahan yang fatal dan menyia-nyiakanmu. Itu adalah
kebodohanku, aku benar-benar minta maaf… tapi tidak bisakah kita kembali
bersama seperti tiga tahun yang silam?” tanyanya ketika aku berbalik dan
meneruskan langkahku ke panggung.
Aku tersentak kaget mendengar
perkataannya, kemudian menghentikan langkahku lagi. Risa menggeleng pelan
kepadaku, jelas tidak setuju dengan apa yang akan ku lakukan. Namun sebisa
mungkin aku menunjukan sebuah tatapan yang meyakinkan, hingga akhirnya ia
mendesah pelan dan melepaskan lenganku.
“Dengar, aku mungkin pernah
sebodoh itu, dulu. Tapi saat ini, aku tidak akan pernah kembali berhubungan
dengan seekor kedelai dan mengikutinya untuk jatuh ke jurang yang sama kesekian
kalinya.” Tuturku sinis. Dimas tampak terkejut mendengar penuturanku. Matanya
membulat, dengan mulut ternganga lebar. Apa dia benar-benar berpikir bahwa aku
masih gadis yang lemah seperti 3 tahun yang lalu?? Well konyol.
“Oya, dan satu lagi. Namaku
Raveline, bukan Vey.” Ujarku sebelum kembali berbalik dan meneruskan langkahku
menuju panggung besar tempatku mengadakan konser tunggal untuk yang ketujuh
kalinya di tahun itu.
***
Aku
pernah mencintainya, begitu dalam. Hingga membuatku terbiasa terinjak-injak
oleh keangkuhannya,
Tapi
saat ini, ketika waktu telah menamparku, aku berhenti. Merasa lelah tersakiti.
Aku
masih mencintainya, aku hanya tidak ingin lagi berhubungan dengannya, kemudian
menyeretku masuk ke dalam jurang yang sama dengan keledai yang sama pula untuk
kesekian kalinya.
***
I used to build
you up, to watch you tear me down
I always let u
in, and let you to kick me out
You used to make
me laugh, but now you make me sick
Thought you were
just so dope, but now you full of shit
Coz all day, and
all night, I would take all your shit.
Ya all day and
all night, but I’m over it.
It’s all good ya
Baby, it’s alright. I’m release you tonight
It’s all cool no
need to think twice.
I’M RELEASE YOU!
GOODBYE
You said you
need your space, how about a 1000 miles?!
How about I
change the locks, in case you change your mind.
I waited
patiently for you to come around,
I used to hold
it in, but now I’m freaking out!
Hey baby I know
I’m good without you
Hey baby I never
think about you!
MEGAN&LIZ-RELEASE YOU
0 komentar:
Posting Komentar