#12 Tahun yang Lalu
"Diiiiiaannnn...." Teriak seorang
laki-laki dari belakang, membuat Dian yang sedang berjalan berhenti sebentar.
Dian melirik sesaat lalu mulai berjalan lagi.
'Uhh kenapa sih makhluk satu ini ngikutin gw terus. Gw kan bukan babysitternya
apalagi emaknya' sungut
Dian dalam hati sambil berlari kecil menghindarinya.
"Dian!!! Kenapa sih daritadi gw panggilin
lo diem aja sekarang malah lari lagi. Gw kan bukan debt collector yang mesti lo
takutin." Sekarang laki-laki itu sudah ada di depan Dian seraya berkacak
pinggang dan muka merah karena lelah. Mulut laki-laki itupun dikerucutkan, kesal. Dian hanya tersenyum
lalu berjalan lagi.
"Dian bisa gak sih tungguin gw?" Sekarang laki-laki tersebut menarik tangan
Dian keras. Dian tersentak.
"Lo tuh apaan sih Van? Kenapa harus
ngikutin gw terus. Mangnya ada apa sama gw? Gw kan bukan baby sitter apalagi
emak lo, Van." Teriak Dian tak kalah kesalnya.
"Dian kok lo gitu? Gw kan janji sama emak
lo bakal jagain lo." Jawab laki-laki itu dengan wajah memelas.
"Itu kan janji lo sama emak gw bukan sama
gw, Ivan. Lagi lo dah kaya hansip aja mau-mauan disuruh jagain gw." Kali
ini Dian tak membiarkan dirinya tertipu dengan wajah memelas laki-laki yang
ternyata bernama Ivan. "Gw tuh sebel sama lo, lo dah kaya semut yang
ngikutin kemanapun gula. Lo tuh lebih kecil dari gw. Jadi stop bertingkah kaya
gitu." Lanjut Dian sambil melangkah pergi.
"Diiiiaaannn... Berenti!!!!!" Teriak
Ivan lagi saat Dian telah melangkah sejauh beberapa meter darinya.
"Apa lagi sekarang Ivan?" Kemarahan
Dian sudah sampai puncaknya. Sementara Ivan hanya tersenyum melihat wajah Dian.
"Muka lo lucu kalo lagi marah gini,"
Ujar Ivan seraya menghampiri dan mencubit pipi Dian.
"Ivan!!!!" Bentak Dian yang semakin
kesal.
"Dah yuk ah kita pulang. Kasihan nyokap
kita berdua nunguin kita," ajak Ivan seraya mengenggam jemari Dian dengan
kuat. Dian berusaha melepaskan diri namun seberapa kuat usaha Dian tak membuat
Ivan melepaskan genggamannya. Dengan terpaksa Dian pun akhirnya mengikuti Ivan
dengan wajah ditekuk persis seperti cucian baju yang belom digosok.
*****
Ivan dan Dian, sepasang remaja yang
dipertemukan karena takdir yang begitu sederhana. Ivan seorang siswa yang
berumur 14 tahun namun telah duduk di kelas 3 SMA. Karena kepintarannya dia
mampu melewati beberapa tingkat sekaligus tanpa kesulitan berarti. Ivan yang mempunyai sifat pendiam, disiplin,
tegas, sulit bergaul dan percaya kepada orang lain, suka olahraga renang dan
catur.
Sedangkan Dian bukanlah siswi yang bodoh, hanya
karena salah pergaulan Dian menjadi anak yang pemalas dan kurang disiplin. Hal
ini dikarenakan Dian terlahir sebagai anak bungsu dari 3 bersaudara yang mana
kedua kakaknya adalah laki-laki. Dian sangat dimanja oleh keluarganya, apapun
keinginana Dian akan dituruti. Namun saat Dian sudah menginjak kelas 3 SMA
peraturan di rumahnya diperketat bahkan di sekolah juga. Setiap hari Dian harus
berangkat dan pulang bersama Ivan. Setelah pulangpun Dian masih harus belajar
bersama Ivan. Jika Dian tidak mau menurut dengan semuanya maka semua fasilitas
yang diberikan kedua orang tuanya harus ditinggalkannya, tanpa terkecuali. Dian
pun harus mau hidup di sebuah panti asuhan yang dikelola oleh keluarga
besarnya. Ancaman yang sukses membuat Dian ngambek berbulan-bulan dan mau tak
mau harus dipatuhi.
Dalam hati Dian tahu semua yang dilakukan kedua
orangtuanya tak lebih untuk masa depannya kelak. Maka dari itu Dian pun mau
melakukan semuanya dengan senang hati. Kebersamaan yang terjalin dengan Ivan
selama satu tahun menumbuhkan benih-benih cinta di hati Dian. Cinta yang tak
pernah dia sadari hingga perpisahan itu terjadi.
****
"I.. Van... lo kok ... tega sih sama gw?
Kenapa lo pergi? Kenapa lo mesti kuliah jauh-jauh? Terus nanti gw belajar sama
siapa? Katanya... katanya lo selalu ada untuk gw. Tapi apa buktinya? Lo malah
pergi ninggalin gw. Terus nanti yang jadi kacung dan algojo untuk gw siapa??”
rengek Dian manja saat mengantarkan Ivan di bandara Soetta. Ivan yang sedari
tadi memperhatikan Dian hanya bisa tersenyum. Dibelainya rambut Dian pelan,
penuh kasih sayang.
“Lo itu udah gede non masa masih nangis gini
sih malu tuh diliatin sama anak kecil daritadi. Jaman sekarang kan banyak cara
untuk tetap berhubungan bisa lewat telpon, internet bahkan kalo lo mau lo bisa
nyusul gw hehehehe. Lagian yang mau ngajari lo, yang mau jadi algojo dan kacung lo banyak kok dah pada
antri tuh temen-temen cowok kita,” jelas Ivan dengan sedikit candaan yang
bahkan tidak mampu memubuat Dian tersenyum.
“Bodo!!! Gak sama tau!!!” bentak Dian dengan
suara serak membuat Ivan tertawa.
“Udah ah... Gw janji bakal cepet balik kesini,
okey.” Janji Ivan seraya mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking
Dian.
"Janji jangan lama-lama disana, kalo perlu
besok lo udah disini lagi." Ujar Dian yang sukses membuat Ivan
terbahak-bahak. "Ivan... Kok ketawa, gw kan lagi marah." Ujar Dian
dengan mulutnya yang dikerucutkan dan juga muka yang memerah. Dian tak lupa
mendaratkan sebuah cubitan ke pinggang Ivan.
"AAAAWWWWWW!!!" Teriak Ivan
kesakitan. "Sakit tau," gerutu Ivan sambil terus memegang tempat
dimana Dian menyubitnya yang sekarang berwarna merah. Sementara Dian hanya
menjulurkan lidahnya, kepuasan tampak di wajahnya karena berhasil menyubit
Ivan.
Ivan yang tak dapat menahan lagi perasaannya
kepada Dian tanpa izin daria Dian, Ivan merengkuh Dian ke dalam pelukannya.
Dian tak dapat menyembunyikan keterkejutan di wajahnya namun ia bingung apa
yang harus diperbuatnya. Sehingga ia hanya membalas pelukan Ivan dengan ragu.
“Sally Ardiani Zalika, gw cinta lo. Lo
satu-satunya wanita yang pengen gw nikahin kelak...” bisik Ivan di telinga
Dian. Lagi, Ivan membuatnya terkejut dengan pernyataan cintanya yang tak pernah
Dian sangka-sangka. Lama mereka berpelukan hingga Ivan yang melepaskan
pelukannya terlebih dahulu.
Ivan memandang Dian yang hanya menatap kosong kearahnya, tak percaya dengan apa yang baru saja di
dengarnya. Ivan mendekatkan wajahnya, hidungnya bertemu hidung Dian, keningnya
bertemu dengan kening Dian. Satu langkah lagi, Ivan akan mencuri first kiss Dian.
Dengan sabar Ivan memperhatikan reaksi Dian namun Dian hanya diam, tak menolak
dan tidak juga menerima. Hanya keheningan yang tercipta diantara mereka berdua.
Keheningan yang mampu membuat keduanya dapat
mendengarkan debar jantung masing-masing. Debar jantung yang sekarang entah
memainkan irama apa yang jelas irama jantung mereka tak beraturan. Merekapun
seperti sedang berebutan oksigen yang ada. Hingga akhirnya lagi-lagi Ivan yang
memecah keheningan dengan satu hembusan nafas pelan lalu....
Ya Ivan mendekatkan mulut keduanya pelan dan
lembut namun mampu membuat Dian terkejut lagi. Mata Dian terbelalak melihat apa
yang Ivan lakukan. Senang, bingung, terkejut, kesal, semua rasa terkumpul
menjadi satu seperti nano-nano. Lidah Ivan kian lama kian memaksa mulut Dian
untuk terbuka. Ketika akhirnya mulut Dian terbuka, Ivan mengaitkan lidahnya
dengan lidah Dian. Terkadang bibir bawah Dian digigitnya hingga membuat Dian
mengerang. Inilah ciuman pertama Dian, sensasi baru yang ia rasakan bersama
seorang pria. Dian tak hanya menerima ciuman Ivan, beberapa kali ia melakukan
hal yang sama kepada Ivan. Walau dengan kemampuannya yang terbatas, Dian mampu
membuat Ivan mengerang juga.
Entah berapa lama ciuman itu terjadi, sedetik,
semenit, sejam entahlah. Mereka berdua tak ada yang menyadarinya hingga Ivan
melepaskan ciuman tersebut. Namun dahi dan hidung mereka masih menempel satu
sama lain, tangan Ivan masih menggenggam bahu Dian. Seakan mereka saling
berpegangan untuk mencari keseimbangan, menenangkan debar jantung mereka.
Menemukan kembali irama jantung yang dapat menentramkan jiwa mereka.
“Maaf... “ kata Ivan singkat. Dian menggeleng.
“Tak ada yang perlu dimaafkan.” Jawab Dian
masih dengan menyembunyikan wajahnya, rona merah masih jelas terlihat di
wajahnya. Senyum malu terukir di kedua wajah insan tersebut.
“Love you always my princess...” suara Ivan
terdengar sangat merdu di telinga Dian yang memang sedang dimabuk asmara. Dian
mengangguk. Ivan menunggu jawaban Dian dengan penuh ketidaksabaran. Tapi Dian
hanya diam saja, Dian bingung mesti menjawab apa. Karena Dian sendiri bingung
dengan perasaannya, ia tidak bisa mendefinisikan perasaannya sendiri.
“Dian...” panggil Ivan lembut sambil tangannya
mengangkat dagu Dian. Memaksa Dian untuk menatapnya, mencari jawaban di mata
Dian yang hijau. “Apa jawaban lo?” tanya Ivan yang merasa sudah tidak sabar
lagi.
Dian yang merasa canggung segera melepaskan
genggaman Ivan, tangannya dikaitkan di depannya. “Harus dijawab sekarang ya,
Van?” tanya Dian polos.
“Ya iyalah Dian masa nunggu tahun depan sih.”
Jawab Ivan kesal sambil mengacak-acak rambutnya. Dian tersenyum melihat tingkah
Ivan.
“Ng... mmm... Gak boleh besok atau gak kapan
gitu...” Dian masih berusaha untuk mengulur waktu agar tidak menjawab
pertanyaan Ivan. Ivan menggeleng, Dian mendengus pasrah.
“Perhatian-perhatian... Kepada para penumpang
tujuan Belanda segera.....” tiba-tiba suara pengumuman terdengar. Dian
benar-benar merasa diselamatkan oleh suara itu. Dian membuang nafasnya, bahunya
diturunkan sedikit, perasaan lega menghinggapinya. Ivan yang melihat reaksi
Dian makin frustasi.
“Ya udahlah percuma juga gw nunggu disini, lo
gak mau jawab juga. Mending gw masuk ke dalam.” Ujar Ivan seraya bangkit dari
tempat duduknya berniat untuk melangkah masuk ke dalam.
Tapi sebuah tangan menariknya, membuatnya
berputar menghadapi sang empunya tangan tersebut. Belum sempat Ivan
mengeluarkan kata-kata sebuah ciuman mendarat di bibirnya, lembut. Ivan secara
refleks mendekatkan tubuhnya, tangannya merengkuh tubuh mungil di depannya.
Tangan yang tadi berada di lengannya mulai naik ke atas, berada di
rambutnya. Keduanyapun akhirnya
melepaskan ciuman tersebut. Mereka saling memandang tanpa ada yang bersuara.
“Jadi?” tanya Ivan.
“Jawabannya nanti pas lo balik kesini.” Jawab
Dian dengan sebuah senyum rahasia untuk Ivan.
“Kenapa gak sekarang sih Di?” tanya Ivan kesal
yang merasa dipermainkan oleh Dian. Dian menggeleng, senyum rahasiapun masih
menghiasi bibir indahnya.
“Jadiin motivasi lo supaya cepet selesai kuliah
dan supaya lo cepet balik kesini.” Kata Dian seraya melepaskan pelukannya.
Tanpa sadar mendorong Ivan untuk segera berangkat.
“Okey gw bakal cepet nyelesein kuliah. Gw tagih
janji lo pas gw balik kesini.” Ivan menyerah, dia tau akan sia-sia jika
berdebat dengan Dian. Yang ada bukan jawaban yang diinginkannya justru ia akan
mendapatkan jawaban yang tidak diinginkannya. Dian mengangguk.
Ivanpun melangkah masuk namun sebelumnya Ivan
telah berhasil mencium bibir, pipi dan kening Dian. Dian hanya tertawa melihat
semuanya. Entah kapan cinta telah hadir di hati keduanya. Yang pasti perpisahan
ini teramat menyakitkan untuk keduanya. Airmata tak berhenti mengalir di pipi
Dian. Rona kesedihan tampak di wajah keduanya. Cinta yang baru disadari Dian
kini harus diuji kekuatannya oleh rentang jarak dan waktu.
3 komentar:
mb thyy ini cerita baru??
huaa.
ifil kapan dilanjuuut?
Gak Ka ini crta sampe disini aja hehehe...
Kiannya lagi ngambek jadi masih ngerayu dulu hihihihi....
Ƙǻªªªßoº°˚˚°ºoƦ sebelum dilempar cheery n eka
Cherry °·♡·♥τнänkчöü♥·♡·° ya non (˘⌣˘)ε˘`)
Kiss eka juga biar gak dilempar (˘⌣˘)ε˘`)
BABYHIUUUUUUUUUUUUUUUUU
ehem,,cium2an di bandara yahhhh
mau dongggggggg
awas ditangkep sekuriti tuh si Ivan,,ga jadi ke Belanda tapi dikawinin deh
hehehehee
nice story sayyy
Posting Komentar