Aku seharusnya bahagia melihatnya tersenyum. Aku
seharusnya bahagia mendengar kabar itu. aku seharusnya bahagia melihat semua
ketercapaiannya. Aku seharusnya bahagia, karena aku adalah sahabatnya. Namun nyatanya
tidak. Aku terluka. Meski masih bisa menunjukan sebuah senyum palsu yang
menjijikan.
Aku terluka, meskipun rasanya sangat tidak
wajar. Tapi aku jelas kecewa ketika membaca pesan terakhirnya. Berkali-kali aku
membacanya, berharap semua itu salah. Namun berkali-kali pula aku mendapati kebenaran
hal itu. aku menangisi kelemahanku. Aku mengecewai seluruh nasibku. Tapi bukankah
aku harus bahagia untuknya?? Tidak!! aku tidak bahagia sama sekali! Aku terluka
dan kecewa! Aku iri padanya!! Ya, aku
iri padanya yang bisa mendapatkan semua yang tidak bisa ku dapatkan.
Luna berdiri mematung di halte, tidak untuk
menunggu bis, tapi menungguku. Wajahnya tersenyum sumingrah. Menunjukan betapa
bahagianya ia hari ini. aku bergeming, mengatur gemuruh hatiku dan tentu saja
senyuman palsuku juga. Senyumannya bertambah lebar ketika melihatku berjalan
kearahnya. Aku melirik lampu lalu lintas dan kembali meliriknya. Ia ikut
melirik kearah lampu 3 warna itu.
Kami berdiri bersebrangan, menunggu lampu
merah datang. Namun ketika lampu hijau untuk pejalan kaki itu muncul, aku sama
sekali tidak bergerak. Kaku menatapnya yang tampak bingung. Ia meneriaki namaku
beberapa kali, namun aku masih tidak sadar. Kepalaku penuh dengan rasa aneh
yang tidak bisa ku kendalikan. Kemudian ponselku bergetar. Luna meneleponku.
“Hel, apa yang kamu lakukan disana? Ayo sudah
lampu merah, kamu bisa menyebrang sekarang,” tuturnya. Aku mengerjap beberapa
kali. Kerongkonganku sedikit sakit.
“Aku takut,” bisikku. Luna tersenyum di
sebrang sana.
“Oke, aku akan jemput kamu,” ujarnya lembut. Dewi
batinku memekik karena jijik pada diriku sendiri. Ia begitu baik dan aku begitu
jahat. Inikah kebenaran dari cerita devil
and angel??
Luna berjalan perlahan dengan ponsel masih di
telinganya. Ia kembali menceritakan hal itu. hal yang membuatku muak setengah
mati. Ia tersenyum lebar ketika menceritakannya. Ia begitu bahagia. Tidakkah ia
lihat aku begitu kecewa karena kebahagaiaannya?? Sedetik kemudian aku menyadari
suatu hal. Ya, senyum palsuku tampak begitu mengelabuinya rupanya. Aku mendesis
kemudian menghilangkan seluruh kepura-puraan itu dari wajahku. Ia terlihat
begitu tercekat. Terhenti beberapa meter di depan bahu jalan, di depan tempatku
berdiri. Luna sudah tidak memerlukan handphone lagi untuk mendengar suara
bisikkanku. Namun ia masih menempelkannya di sana, di telinganya- entah sadar
atau tidak.
Aku bisa membaca wajah penuh pertanyaannya
dengan mudah. Bingung dan sedikit takut atas ekspresi dinginku. “Ada apa?”
bisiknya. aku terdiam menatapnya. Memikirkan seluruh hal dalam satu waktu. Hitam
atau putih, putih atau hitam? Aku bergeming, akankah aku bahagia jika aku
memilih hitam itu?? aku tidak tau, namun aku tidak punya waktu lagi untuk
memikirkan kemungkinannya. Tapi aku ingin mencobanya.
Tampaknya ia begitu kalut melihat diriku
hingga tidak memperhatikan sekelilingnya. Bahkan ketika lampu merah itu
berganti hijau diiringi klakson mobil yang bersahut-sahutan ia masih tetap berdiri
disana. Membuat beberapa orang mengumpat kepadanya yang masih menatapku. Aku meletakan
ponselku di telingaku. Dengan perlahan namun pasti aku membisikan sebuah
kalimat.
“Ada mobil tepat di sampingmu,” bisikku
dingin. Tubuh Luna membeku, kemudian menoleh. Semuanya terasa seperti tayangan
slow motion. Teriakan itu terdengar nyaring memekakan telinga. Aku melihat
tubuh Luna melayang di depanku, kemudian terlempar jauh di aspal. Darah mengalir
deras dari beberapa bagian tubuhnya. aku bisa melihat jemari itu perlahan kaku
melepaskan genggamannya pada ponsel yang masih menyala.
Untuk sepersekian detik aku masih mematung di
tempat. Tidak peduli akan kerumunan orang di sekeliling tubuh Luna yang
bersimbah darah. Mengapa selalu ia yang mendapat perhatian? Mengapa selalu
Luna???
***
Jum’at, 30 Januari
“Beasiswa??” Luna mengulangi kata-kataku. Aku
mengaguk cerah. Kirana mengganti-ganti saluran tv dengan tidak sabaran. “Kita
harus ikut,” ujarnya lagi. “Ini pasti keren kalau kita bisa sekolah SMA di luar
negeri,” tambahnya. Aku mengaguk setuju. Meski sejujurnya aku tidak terlalu
antusias untuk sekolah di luar negeri, toh aku baru saja pindah ke Indonesia
ketika kelas 6 SD dari Australia. Tapi jika pergi bersama teman-temanku, itu
akan berbeda lagi rasanya. Kirana mengendus kesal kemudian mematikan Tv.
“Buat apa sih bermimpi kalau tidak bisa
dicapai?” tanyanya ketus. Aku dan Luna saling pandang.
“Ki, kita sedang berusaha,” ujar Luna. Aku mengaguk
setuju.
“Memang kalian yakin akan berhasil?” Kirana
mencibir.
“Aku yakin,” bisikku. Luna tersenyum penuh
semangat. Akhirnya setelah membujuk dengan susah payah Kirana mau ikut mencoba.
Setidaknya kami tidak akan tau apakah ini akan berhasil atau tidak jika kami
tidak mencobanya.
Beasiswa ini di peruntukan kepada siswa SMP. Tentu
saja aku sangat berminat. Beasiswa full untuk 100 orang siswa terbaik dari
seluruh indonesia. aku sedikit ngeri membaca kata-kata seluruh indonesia itu.
tentu saja akan ada beribu-ribu orang yang akan menjadi sainganku. Namun aku
tidak ingin menyerah. Tidak saat semangat Kirana mulai muncul. Beberapa aplikasi
persyaratan harus kami isi. Sebuah bundel yang begitu tebal dan HARUS BERBAHASA
INGGRIS. Aku mendesah. Meskipun aku menyukainya tapi aku tidak bisa merangkai
kata dalam bahasa inggris seperti Kirana dan Luna. Kami juga harus melampirkan
foto kopi raport, tes kesehatan dari dokter, persetujuan tertulis bermaterai
dari orang tua dan lain-lainnya.
Yang terberat untukku adalah saat menulis
essay. Namun aku rasa aku bisa melewatinya dengan baik. Ya tentu saja, lagi
pula aku memang bukan murid yang bodoh di sekolah. Bahkan kami bertiga terkenal
sebagai triple angel yang cerdas. Menarik bukan!
Aku bisa melihat siswi lain menatap kagum
sekaligus iri pada kami. Padahal, dalam hati meskipun bangga aku tidak suka
akan pandangan mereka. Ini akan menjadi sangat sulit ketika kami kalah. Mom dan
dad bahkan lebih bahagia dari pada yang ku duga. Sejenak aku menjadi
benar-benar senang.
“Hel,” panggil seseorang ketika aku berjalan
di koridor utama. Aku berbalik. Betapa terkejutnya aku mendapati sosok tampan Andika
yang diam-diam ku taksir. Andika bertubuh tinggi sedikit kurus, matanya coklat
indah dengan senyuman manis yang begitu ramah. Aku membalas sapaannya dengan
senyuman termanisku. “Kamu sedang sibuk?” tanya Andhika lagi. Aku melirik buku
sejarah yang ada di tanganku sekilas. Tidak cukup sibuk jika ia yang bertanya. Kemudian
menggeleng. “Bagus, ada yang mau aku tanyakan kepadamu,” aku melongo ketika
wajah itu memerah. Astaga... apa yang sebenarnya mau ia tanyakan??? “Gimana
kalau kita masuk keperpustakaan?” tanyanya. Aku mengaguk dalam keterpesonaan.
“Ada apa?” tanyaku. Andhika mengangkat
wajahnya perlahan. Memandangku dari balik bulu matanya yang indah. Mama.... dia
benar-benar tampan!! Jerit dewi batinku.
“Hm, menurut kamu, sebagai seorang perempuan,
kado apa yang paling indah yang ingin perempuan dapatkan?” hatiku mencelos. Wajahku
ikut memerah. Apa dia sebenarnya ingin memberikanku kado, namun tentu saja
ingin memberikan yang sesuai dengan keinginanku? Tapi ini terasa menggelikan. Tapi
ah, ini romantis.
“Benda berkilau,” jawabku tanpa sadar.
Andhika memandangku bingung. Apa dia pikir benda berkilau itu...
“Lampu?” tanyanya. Aku sampai tersedak
keterkejutanku sendiri. Sejak kapan lampu menjadi benda berkilau? Dan lagi
disukai wanita?
“Bukan, tapi seperti ini,” aku menyentuh
cincin di jari tengahku. Ia mebulatkan matanya, mengerti. “Tapi mungkin untuk
permulaan kamu bisa memberikan gelang atau anting,” ujarku penuh harap. Andhika
mengaguk-ngaguk.
“Oke, terima kasih Rachel atas bantuan kamu,”
ujarnya. Aku mengaguk bahagia ketika ia berlalu meninggalkanku. Akhirnya!!! Pekik
dewi batinku senang.
Hari ini adalah pengumuman kelulusan basiswa
itu. aku begitu antusias. Kebetulan hari ini hari minggu, jadi aku memutuskan untuk mengeceknya di rumah. Langsung
ke situs SMA yang bersangkutan di AS. Mom membantuku, kakek terlihat begitu
bahagia dan penuh harap. Baru kali ini aku melihatnya sebahagia itu setelah
nenek meninggal. Dad bahkan rela meninggalkan olahraga favoritnya untuk
merayakan keberhasilanku.
Aku mengetikan nama lengkapku. Rachel
Valerina Kimberly. Namun hasilnya kosong. Mom yang berdiri di belakanku meremas
pundakku perlahan.
“Coba lihat ke pengumuman kelulusan itu,
mungkin namanya di tulis di situ,” usul dad. Aku mengaguk dan mengikuti apa
katanya. Ada seratus nama di sana , namun aku tidak menemukan namaku.
Drrd.... tiba-tiba ponselku bergetar. Pesan dari
Luna
From : Luna
AKU MASUK!!!
Dan semuanya itu pecah berantakan. Seperti kristal
yang dibanting begitu keras hingga jatuh berkeping. Aku merasakan wajahku
memanas ketika mendapati namanya di antara nama-nama itu. Luna Fayrish. Begitu mengagumkan,
dan menyakitkan. Sedikit kelegaan ketika aku menyadari nama Kirana Aghata Lubis
juga tidak tertulis disana.
“Sudahlah, kita bisa pergi kesana tanpa
memerlukan beasiswa,” ujar kakek riang. Namun aku bisa merasakan kekecewaan di
matanya. Aku bergeming, kemudian berdiri dari kursiku. Sesuai janji setelah
mengetahui pengumuman ini kami akan bertemu di taman kota. Dan sudah waktunya
aku pergi.
“Kamu mau kemana?” tanya mom. Aku menjawabnya
singkat. Dan mereka tidak bertanya lagi. Aku bisa melihat kekecewaan mereka.
Di perjalanan aku mendapatkan pesan dari
Kirana. Dan aku hanya membalasnya untuk membahas semua itu di taman nanti. Namun
Luna malah meneleponku. Aku ingin menghindarinya tapi aku tidak bisa. Ia begitu
riang di sebrang sana.
“Hel, aku turut kecewa kamu dan Kirana tidak
masuk,” ujarnya tulus. Namun sisi jiwaku mencibir jijik mendengarnya. “Tapi aku
janji saat aku sampai di sana aku akan mencarikan informasi beasiswa yang lebih
akurat lagi. Siapa tau kita bisa bersama lagi.” Ujarnya, begitu riang, begitu
menjijikan. Namun diriku adalah aktris yang ulung. Aku sendiri merasa terkejut
dengan nada suaraku yang terdengar begitu bahagia atas keberhasilannya. “Wah,
mamaku juga sangat bahagia,” ujarnya. Dan aku kembali teringat atas wajah
kecewa keluargaku. Setelah mengucapkan beberapa hal lagi ia memutus teleponnya.
Dan saat itu aku sudah bisa menatap sosoknya di sebrang jalan.
Ia tersenyum, lebar dan bahagia. Aku menunjukan
kepalsuanku dengan sangat baik. Jarak diantara kami tidaklah terlalu jauh,
hingga rasanya aku bisa melihat sosoknya dengan jelas. Luna mengenakan dress
selutut cantik berwarna kuning lembut. Rambutnya tergerai sebahu dengan jepit
di sisi kiri telinganya. Dan sesuatu mengusik pandanganku. Baru saja aku akan
mendelikan mataku telepon kembali bergetar. Luna meneleponku –lagi-. Memintaku menyebrang
karena lampu merah. Aku membeku dan berbisik pelan “Aku takut,” aku tidak
percaya bahwa ia percaya pada kata-kataku. Dan sejujurnya itu memang tidak
mengada-ngada. Aku memang takut menyebrang. Tapi tentu saja tidak saat lampu
merah menyala. Apa lagi yang perlu aku takutkan jika mobil dan motor itu berhenti
takluk di depan lampu merah??
Namun ia tidak mengerti, atau terlalu baik. Ia
berjalan mendekatiku, masih dengan ponsel di telinganya. Aku mendelikan mataku
ketika mendengar ia terus berbicara sepanjang jalan. Beberapa kalimat lolos
dari pendengaranku, namun tidak untuk yang lainnya. Aku tercekat menatap
anting-anting indah itu kagum. Baru kali ini Luna mengenakan anting berkilauan
seperti itu. “Hel, tadi Andhika kerumahku,” aku masih tidak mendengarkan kata-katanya.
Terlalu sibuk dengan pandangan baruku. “Dia mengucapkan selamat, dan memberikan
sepasang anting cantik. Kamu tidak akan percaya kalau dia mengatakan banyak hal
padaku, Hel.” Aku bergeming. Saat itulah aku tersadar. Terpaku padanya kemudian
memutuskan untuk menghilangkan semua kepalsuan wajahku.
Luna membeku, rasanya seperti itu. karena ia
diam di tempatnya berdiri dengan wajah pucat. Memandangku, ketakutan. Apa dia
baru mengetahui siapa aku sebenarnya?? Apa dia baru menyadari sifat obsesif ku??
Aku menatapnya tidak bergerak. Lalu aku mendengar suara itu. suara raungan
mobil dari arah berlawanan. Aku ingin berteriak, menariknya ke bahu jalan. Namun
aku hanya terdiam memandangnya. Dewi batinku meronta. Memintaku bergerak. Namun
otakku lumpuh. Otakku lumpuh oleh kekejian yang tertanam dengan baik di hatiku.
Semuanya seperti bom waktu. Meledak begitu cepat namun menyisakan luka begitu
lama.
Aku baru tersadar ketika tubuh tak bergerak
itu hilang dibawa ambulance.
Isak tangis itu terdengar memilukan. Aku berdiri
di sudut ruangan dengan Kirana yang masih menangis di pundakku. Sedang aku
hanya bisa menatap kosong kedepan. Tiba-tiba tante Indah mendekati kami. Ia adalah
ibu Luna. “Rachel, Kirana... maafkan semua kesalahan Luna, dia sangat
menyayangi kalian,” aku tercekik. Dadaku sakit menahan tangis. “Dia bahkan
tidak ingin mengambil beasiswa itu dengan alasan kalian tidak masuk,” tidak! Tapi
dia akhirnya mengambil itu semua. “Namun setelah ayahnya menjelaskan tentang
kemungkinan besar ia akan mendapatkan informasi akan beasiswa selanjutnya, ia
menjadi bersemangat. Ia benar-benar ingin mencari beasiswa untuk kalian, agar
kalian bisa pergi bersama lagi,” Kirana menangis keras di sampingku. “Dan ini,”
tante Indah menyodorkan sebuah kotak kecil padaku. “Ini dari Andhika untuk
Luna, tapi dia tau kamu menyukai Andhika jadi dia meminta tante memberikannya
padamu. dia sendiri membeli yang mirip dnegan ini untuk menghargai perasaan
Andhika, dan setelah itu mengatakan padanya tentang semua ini,” jantungku
seakan berhenti berdetak. Aku menatap gadis itu dengan pandangan kabur karena
air mata.
Aku menangis sesenggukan di samping Luna. Membelai
keningnya yang dibalut perban.
“Na, maafkan aku,” bisikku tercekat. Aku sudah
tidak peduli lagi dengan beasiswa sialan itu. atau kisah cinta monyetku dengan
Andhika. Aku sudah tidak peduli!!! Aku hanya ingin bisa memutar waktu,
menariknya kembali dalam keselamatan yang aku hilangkan. Aku ingin orang yang
ku sayangi ini kembali membuka matanya. Tersenyum bodoh seperti biasa. Kirana
menangis memandangku. “Maafkan aku,” bisikku tercekat. “Aku ada di sana. Aku seharusnya
menolongnya. Aku seharunya...”
“Hel.. stt... sudah tidak ada gunanya,”
Kirana mendekapku erat. Ia benar, sudah tidak ada gunanya lagi. Sudah tidak ada
gunanya lagi... aku merasakan tubuhku melemas, bahkan aku tidak mampu lagi
menangis, menakjubkan bukan?? Namun sedetik kemudian aku merasakan kepalaku
melayang dan gelap.
“Kamu sudah sadar?” suara itu menggelitikku. Aku
terhenyak dan menatap wajah-wajah cemas di hadapanku tidak percaya. Terlebih sosok
itu, tampak begitu cantik dan pucat dengan balutan perban di keningnya.
“Kamu sudah sadar??” aku balik bertanya. Gadis
di hadapanku mengaguk.
“Luna sudah sadar keesokan harinya. Yang kami
khawatirkan itu justru kamu. Kamu pingsan selama 3 hari. Dokter sampai terpaksa
memasang infus padamu,” terang Kirana. Aku menatap Luna tidak percaya,
sepertinya ia sudah benar-benar sehat. “Aku berhutang padamu,” ujarku perih. Luna
menggeleng.
“Tidak. Ketika aku tidak sadarkan diri, aku
bisa mendengar suara tangisanmu, dan saat itu pulalah aku merasa begitu sehat
ketika merasakan air matamu di wajahku. Kamu memberikaku semacam kekuatan,” aku
benar-benar terharu. “Aku seharusnya berterima kasih padamu Hel, karena air
mata kamu sudah menyadarkan aku,” ia memelukku erat. Aku menangis di
pelukannya.
“Mungkin itulah yang dinamakan air mata
cinta,” ujar Kirana. Aku dan Luna hanya tersenyum penuh arti.