BAB TUJUH
Raka tersenyum sekilas padaku. Aku
membalasnya dengan mengaguk. Ia memberikan sekeranjang buah-buahan.
“Dari salah satu teman kantorku, tadinya
ia akan ikut kesini, tapi ia mendapat panggilan yang lain,” ujar Raka. Aku
mengaguk. Ini sudah minggu kedua komanya kakek. Om dan Tante Lia sudah kembali
ke Australia setelah aku mengaguk setuju pada permintaan mereka kala itu. mereka
masih rutin menelepon dan datang di akhir pekan. Sedangkan aku mulai kembali
berkuliah meski terasa begitu berat meninggalkan kakek yang mendapat perawatan
khusus dari rumah sakit. Raka sendiri selalu menyempatkan diri menemaniku di
rumah sakit sepulang kerja. Belakangan barulah aku tau bahwa ia adalah CEO
(chief executive officer) di suatu perusahan di Jakarta. Jadi selama ini ia
berada satu kota denganku??
Namun ini tidak bisa menjadi
alasan. Karena dari kabar yang aku dengar, selama ini Raka selalu berada di Jogjakarta,
dan lebih suka mengurus perusahaannya dari sana.
Raka melepaskan jasnya dan melonggarkan
darinya. Ia menyisir rambutnya tembaganya dengan jemarinya. Jantungku berdetak
kencang saat menyadari pemuda tampan ini adalah tunanganku –atau lebih tepatnya
calon tunanganku-. Aku selalu berbicara pada kakek tentang perasaanku ketika
hanya kami yang berada di kamar. Aku tidak terlalu yakin apakah kakek dapat
mendengarku atau tidak, hanya saja aku benar-benar butuh seseorang untuk
berbagi perasaanku.
“Kau sudah makan?” tanyanya lembut.
Aku mengaguk cepat, bahkan terlalu cepat. Ia tersenyum ramah, membuat hatiku
meleleh karenanya. Kini aku sadar mengapa kakek mendapat perhatian khusus dari
para suster. Ya tentu saja, pesona sahabat kecilku selalu membuat setiap orang
ingin bersamanya selama mungkin. “Tapi kau terlihat pucat, apa kau oke?” tubuhku
tersentak saat ia meraba keningku. “Kau dingin,” ia keheranan. Aku menggerutu
dalam hati. Siapa yang tidak membeku saat berada di sampingnya seperti ini?!!
Raka meraih bahuku, memaksaku
berdiri berhadapan dengannya. Ia begitu harum. “Astaga kau membuatku khawatir,”
ujarnya seraya memelukku erat. Aku kembali terlonjak kaget karena perlakuannya.
“Aku pikir aku kehilanganmu, namun rona wajahmu, menunjukan kau masih disini,”
ujarnya lega. Rona wajah??? Apa aku memerah??? Dan tunggu dulu, masih disini???
Dia pikir aku ada di mana lagi??
“A... aku... tidak bisa bernafas,”
bisikku tergagap. Refleks Raka langsung melepaskan pelukannya. Dan menatapku
meminta maaf.
“Maaf, sungguh...” ujarnya tulus.
“Sekarang kau ikut aku, kita harus makan. Aku tidak mau mom, dan semuanya
menyalahkanku tentang keadaanmu yang menyedihkan ini,” ia menatapku dramatis.
Aku memutar bola mataku. “lagipula kau pikir kakek mau melihat cucu
kesayangannya tampak seperti tokoh kartun Tim Borton??” tanyanya lagi. Aku menatapnya
tidak percaya. Corpse bride?? Yang benar saja. Itu tidak lebih dari tulang
berbalut kulit dengan bentuk-bentuk aneh.
“Aku suka ekspresi wajahmu,”
ujarnya seraya terkekeh. “Terlebih rona ini,” ia menyentuh pipi kiriku.
Membuatku semakin tersipu. “Tapi sekarang kita harus pergi,” ujarnya. Aku
mendesah panjang dan mengucapkan beberapa kata pada kakek.
Raka menggenggam jemariku di
sepanjang koridor rumah sakit. Aku bisa melihat tatapan orang-orang yang kami
lewati terpaku menatap kami. Mereka sepertinya begitu teropesona pada
ketampanan dan aura karismatik Raka. Dan akupun masih merasakannya. Aku masih
tidak percaya jika pemuda tampan ini adalah bocah yang dulu selalu menjahiliku
dan kini adalah calon tunanganku. Tuhan, kenyataan itu membuat tubuhku kembali
menegang bahagia.
Raka berjalan santai melewati
beberapa gadis yang jelas-jelas melongo menatapnya. Ia memang tampak seperti
pangeran. Dengan penampilan khas eksekutif muda lengkap dengan setelan jas
abu-abunya, meski kini ia melepas dasinya dan meninggalkannya di kamar kakek.
Namun ia masih tampak begitu menawan. Ditambah lagi wajah indonya, siapapun
akan berlutut di hadapannya.
“Kau mau apa?” tanya Raka ketika
kami sudah sampai disebuah restoran di bilangan Jakarta pusat. Aku melirik
menu.
“Aku benar-benar sudah kenyang,”
bisikku. Raka mendesah. “Mungkin aku bisa memakan sedikit chees cake dengan
Almond dan strawbery float,” ujarku akhirnya. Raka tersenyum. Senyum itu
lagi... oh God!
Raka menyebutkan pesanannya dan
kembali menatapku.
“Jadi bagaimana kuliahmu?” tanya Raka.
Aku mengangkat bahu berusaha terlihat cuek. Aku belum pernah menceritakan
tentang kehidupanku pada siapa pun selain kakek selama ini, dan oh ya tentu
saja pada Kirana juga. Kemarin ia mengirimiku email, mengabarkan ia akan segera
pulang. Aku menyambut dengan sangat gembira. Namun sepertinya aku melakukan
sebuah kesalahan dengan mengabarinya aku akan segera bertunangan, tentu saja ia
kaget bukan main. Aku berjanji akan menceritakan padanya sesampainya ia di
Indonesia. Dan itu membuatnya mempercepat kepulangannya 2 minggu.
“Kau hobi melamun,” tegurnya
lembut. Aku terkesiap dan menunduk malu. “Apa yang kau lamunkan?”
Kau!
Bawah sadarku berteriak. “Tidak ada,” dustaku. Baru saja ia akan menyangkal
namun pramusaji sudah datang membawa pesanan kami. Aku menghela nafas lega karenanya.
Aku menatap Raka tidak percaya saat
ia memarkirkan mobilnya di halaman butik.
“Apa?” tanyanya santai. Aku
bersidekap dan menghempaskan tubuhku kekursi penumpang. “Ayo turun,” ujarnya.
Aku memalingkan wajahku, enggan. Raka terkekeh pelan, kemudian melepas self
beltnya. “Jangan membuatku memaksamu turun,” ancamnya, namun aku masih bisa
mendengar senyum di bibirnya. Aku menahan nafasku ketika ia mendekati tubuhku
dan menekan tombol disampingku. Self beltku spontan terbuka. “Ayo turun,”
ujarnya. Dan entah mengapa aku langsung mengaguk. Aku bisa melihatnya kembali
tersenyum.
“Hai dear....” teriak Syasya ketika
melihatku memasuki pintu butik. “Akhirnya kau da...” kata-katanya terpotong
oleh keterkejutannya ketika Raka berjalan masuk tepat dibelakangku. “Oh
dear...” desisnya tidak percaya. Aku mengutuk diriku sendiri kali ini. Astaga,
bahkan seorang Syasa bisa terpaku tidak bergerak seperti itu.
“Hai,” sapa Raka sopan. “Sepertinya
kalian sudah saling mengenal,” aku tidak tau apakah itu pernyataan atau
pertanyaan.
“Ya,” jawabku akhirnya. “Dia salah
satu teman di kampusku,” ujarku.
“Hai, Aku Syasa...” ujarnya dalam
bahasa inggris yang terlalu dibuat-buat. Aku sampai geli mendengarnya. “Kau
pasti Edward, atau Demon, atau mungkin Chad...” ujarnya antusias.
“Sa, dia bisa bahasa Indonesia, dan
namanya bukan seperti yang kau sebutkan itu,” meskipun dalam hati aku mengakui
kemiripannya dengan tokoh-tokoh menakjubkan itu. “Dia Raka,” tambahku. Raka
tersenyum dan mengaguk. Syasa melongo.
“Tapi muka kamyu benar-benar
Top...”desisnya. aku bergidik melihat sahabat wariaku yang satu ini.
“Bisakah kau mencarikan setelan
yang cocok untuk gadis ini?” pinta Raka sopan.
“Oh ya, tentu. Tentu saja,” ujar
Syasa masih terkaget-kaget, kemudian berjalan mendahului kami ke sebuah ruangan
penuh gaun cantik.
“Nama aslinya Surya,” bisikku. Raka
terkekeh dan menggeleng-geleng. “Tapi kau lihat dia lebih fashionable dari pada
aku,”
“Ya, sangat terlihat,” balasnya
berbisik. Aku mencibir ketika menyadari maksud kata-katanya. Aku memang tidak
terlalu memikirkan brand dalam
berpakaian. Aku mengenakan apa yang membuatku nyaman. Ia tersenyum geli, dan
itu spontan menulariku. Setelah berhari-hari berkutat dengan kekhawatiran baru
kali ini aku merasa begitu relaks dan nyaman.
“Aku suka melihat ronamu ketika kau
seperti ini, kau terlihat lebih cantik,” aku menggigit bibir bawahku malu
setengah mati. Dia bilang lebih cantik?? Apakah sebelumnya aku cukup cantik di
matanya?
“Sayang, sepertinya kau kehilangan
bobot tubuhmu,” ujar Syasa. “Ayo kita lihat apa yang kita punya untuk menanggulangi
penampilanmu di depan pacarmu ini,” ujarnya. Wajahku memerah. “Astaga jadi
kalian benar-benar pacaran?” pekik Syasa dalam nada kecewa yang tidak
dibuat-buat.
Oh God!
“Baiklah-baiklah, ayo kita mulai
memperbaiki penampilanmu yang seperti zombi. Anyway, aku turut mendoakan
kakekmu sayang...” ujarnya. Aku tersenyum berterima kasih. Kemudian ia
mendorongku ke dalam sebuah bilik untuk mencoba beberapa pasang baju pilihannya.
Raka duduk tidak jauh dari sana sambil terus menatap layar handphonenya. Aku
bersumpah, beberapa saat yang lalu, aku sempat melihat wajah itu lagi. Wajah
yang menampilkan berjuta ketakutan yang tak terucap.
Pilihan pertama, red sweater dengan
black leggings. Belum memakainya saja aku sudah merinding. Aku memang suka
menggunakan sweater, namun bukan di hari yang panas seperti ini, yang benar
saja?!!
Pilihan kedua, cukup manis, Vest
denim dengan rok panjang yang sewarna. Namun aku sedang tidak ingin menggunakan
bahan denim hari ini. Aku ingin sesuatu yang lebih ringan dan santai. Sesuai
dengan suasana hatiku. Aku tersenyum tipis ketika melihat pilihan ketiga,
sebuah dotty chiffon dress berwarna nude dengan belt kecil berwarna coklat tua
dipinggangnya. Setidaknya ini ringan dan terkesan santai. Aku keluar dari ruang
ganti dan menatap Syasa dan Raka bergantian. Syasa mengeluh melihat pilihanku.
Namun aku merasa pandangan Raka tidak pernah berpaling.
“Kau seharusnya menyadari betapa
cantiknya dirimu,” bisiknya seraya berjalan mendekatiku. Nafasku tercekat. Ia
membalikan tubuhku hingga menghadap cermin besar di sisi kanan butik. Aku
tertegun melihat pantulan sosok tampan yang tengah berdiri di belakangku
memegang bahuku dengan lembut. “Jangan pandang aku,” ujarnya geli. Aku tersipu.
“Pandanglah gadis ini,” ia menyentuh daguku dengan telunjuknya. Aku mengikuti
pandangannya. Entah sudah berapa lama aku tidak melihat gadis itu. ia terlihat
begitu anggun di sana berdiri dengan kakinya yang indah. Tubuhnya memang
terlihat kurus namun kulitnya masih sehalus dulu, lembut dengan keharuman
avocado dan milk. Rambutnya hitam, panjang sepunggung, dan ikal lembut. Gadis
itu memiliki mata coklat indah, meski kini ada lingkaran hitam di bawah
matanya. Namun wajah pucat itu tampak bertambah indah ketika rona merah kembali
menghiasi pipinya.
“Cantik,” bisik Raka di telingaku.
Aku menggigit bibir bawahku. Malu. “Huss,” dia menyentuh bibirku dengan
jemarinya. “Jangan merusak suasana!” tegurnya. Aku langsung cemberut
menatapnya.
“Ehm...” Syasa berdehem pelan.
Kembali menyadarkan kami akan dunia nyata.
“Oke yang ini,” ujar Raka. Aku
menahan senyum geli. “Kau menertawakanku?!” desis Raka. Aku mengatupakan
bibirku dan menggeleng. Ia terkekeh pelan melihat senyumanku kemudian
merangkulku santai. Membuatku kaku karena terkejut atas sikap manisnya.
1 komentar:
Cherry, bab ini manisss banget!
Posting Komentar