BAB LIMA
Om Arya berjalan tergesa sepanjang
koridor, ia bahkan hampir berlari. Ia mencium pipi istrinya sekilas, menepuk
pundak Raka dan memelukku erat. Aku bisa merasakan kegelisahan dan kekhawatiran
dari debaran jantungnya.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Om
Arya entah pada Raka atau tante Lia tanpa melepaskan pelukannya.
“Sudah stabil,” bisik tante Lia. Om
Arya melepaskan pelukannya dan bernafas lega. “Jaga dia, aku akan menemui
dokter,” ujar om Arya. Dengan sigap Raka kembali memegang bahuku seakan aku
hanya seonggok daging tak bertulang. Dan hal itu kurang lebih benar, tulangku
seakan menghilangkan fungsinya sebagai penopang tubuh.
Malam itu aku tidak pernah
memalingkan wajah dari sosok kakek. Aku tidak bisa menerima ketakutan seperti
siang tadi. Aku tidak bisa membayangkanya lagi...
“Kau sebaiknya istirahat,” ujar
tante Lia. Aku menggeleng kaku. Aku bisa mendengar suara berat om Arya yang
sedang menelepon di luar kamar.
“Tidak, batalkan semuanya! Aku
bilang batalkan! Aku tidak bisa kembali dalam waktu dekat. Ya... ya aku tau.
Aku akan mengurusnya dari sini,” aku menggigit bibir bawahku ketika om Arya
berteriak kepada seseorang di teleponnya. Meski ia menggunakan bahasa inggris
yang sempurna, akupun bisa memahaminya dengan baik.
“Hm... Om, Tante...” bisikku
setenang mungkin ketika om Arya memasuki kamar. “Aku akan baik-baik saja di
sini, kalian tidak perlu khawatir... aku akan baik-baik saja di sini
sendiri...” aku menekan kata-kata terakhirku. Mencoba meyakinkan diri sendiri
bahwa aku memang akan baik-baik saja.
“Jangan bergurau. Kami di sini
karena kemauan kami Kim, kau tenang saja, kau tidak perlu memperdulikan om mu,
dia bisa mengurus semuanya dengan baik,” ujar tante Lia seraya menegur om Arya
dengan tatapannya. Aku mengigit bibir bawahku, aku benar-benar merasa tidak
enak pada keluarga ini, dan sekarang bahkan Raka pun turut hadir di sini.
“Hm, om minta maaf atas teriakan om
tadi,” tidak!! Om tidak seharusnya minta
maaf. Namun tidak ada suara yang keluar dari mulutku.
“Kim, kami di sini karena kami
menyayangimu dan kakek. Kita adalah sebuah keluarga, kau tidak bisa memisahkan
sebuah keluarga,” kini suara tante Lia yang lembut. Ia membelai rambut hitam
ikalku perlahan. “Kau tidak perlu khawatir sayang...” ucapannya begitu lembut
membuatku benar-benar luluh lantah. Ku harap ayah dan ibu yang kini berada di
sampingku. Memelukku, menguatkanku bahwa mereka masih disini untuk menyiapkan
diri akan segala hal terburuk yang akan terjadi esok hari.
Aku terbangun lagi-lagi karena
suara bising ranjang dorong di koridor rumah sakit. Namun kali ini aku merasa
sedikit aneh. Aku tertidur di sofa?? Siapa yang memindahkanku??
Kakek??
Aku langsung tercekat ketika
menyadari sosok kakek tidak ada di jarak pandangku. Aku langsung berdiri
menghampiri ranjangnya, memeriksa segala sesuatunya dengan terliti.
Memastikannya masih bernafas. Barulah aku sadar akan seorang pemuda yang tengah
tidur dengan posisi duduk yang biasanya aku lakukan di samping ranjang kakek.
Wajah Raka begitu tenang dan
tampan. Aku tergelitik untuk menyentuhnya, memastikan apakah wajah itu sehalus
dan sedingin kelihatannya. Namun aku menarik lenganku lagi ketika kerutan di
dahinya perlahan muncul. Ia terlihat sedang berfikir kali ini. Kemudian wajah
itu tampak begitu cemas. Membuatku takut apakah ia baik-baik saja??
“Ah!” Raka terbangun dengan satu
sentakan nafas. Aku sampai mundur beberapa inci karena terkejut. Pandangan Raka
begitu dingin dan menusuk. Aku terpaku diam tak bergerak. Namun sesaat kemudian
semua itu mencair. Mata abu-abunya kembali nyata. Aku mulai kembali bernafas
lega. “Kau oke?” bukankah aku yang
seharusnya mengatakan itu? namun tanpa sadar aku mengaguk kaku. Kami berdiri
berserbangan di ranjang kakek. “Aku akan membeli kopi, kau mau?” tanyanya.
Lagi-lagi aku mengaguk pelan. Dan ia berlalu pergi. Aku menghela nafas lega
ketika ia menghilang dari balik pintu. dan barulah aku sadar begitu
mengintimidasinya aura ia hingga aku merasa begitu lega saat ia tidak ada.
Aku menggeleng perlahan. Mengusir
semua perasaan memuakan yang tidak pantas aku pikirkan saat ini. Tidak! Tidak
untuk hal itu lagi.
Kami duduk dalam diam menunggu
pagi. Baru kali itu aku merasa tenang tanpa harus menatap wajah kakek terus
menerus dan memastikan dirinya oke. Aku menatap cairan hitam di cangkir
kertasku.
“Bagaimana kuliahmu,” tanyanya
memecah keheningan. Aku terkesiap dan meliriknya dari balik bulu mataku.
“Baik,” jawabku terkesan gugup. Dan
itu memang benar. Ia menghela nafas panjang dan merebahkan tubuhnya ke punggung
sofa.
“Aku iri padamu,” bisiknya. aku
menatapnya tidak percaya. Ia memijat pangkal hidungnya sambil memejamkan mata.
“Aku ingin kembali kuliah, dan menjadi dokter sepertimu,” tambahnya. “Tapi
semuanya sudah terlambat, aku tidak mungkin sempat,” baru saja aku akan
menjawab, kalau tidak ada alasan usia dalam meraih mimpi, ia sudah kembali
berbicara. “Pasti menyenangkan bisa menyembuhkan orang,” aku tercekat. Terguncang
begitu dalam. Aku tersenyum pahit seraya menatap sosok kakek yang berbaring
lemah. Aku berjalan mendekatinya. Meletakan pipiku di keningnya.
“Itu sangat menyakitkan,” bisikku.
“Ketika kau menyadari, ternyata kau tidak bisa menolong orang yang kau sayangi.
Ketika kau sendiri begitu paham dengan masalahnya namun hanya bisa berdiri
menatap semua itu berlalu,” aku terdiam
sejenak, “ketika kau sadar saat kau kehilangan harapan...” ujarku seraya
mencium kening kakek yang begitu tenang. “Dan berpura-pura masih memiliki
harapan itu,” kini setetes air mata membasahi pipi kakek. Aku mengusapnya
dengan sayang.
“Kimi, maaf...” aku mengangkat
wajahku, menatapnya.
“Untuk apa meminta maaf?” tanyaku.
Aku merasa hangat bertatapan dengannya. “Aku tidak pantas menerima kata maaf
dari siapapun, bahkan dari takdir sekalipun. Meski ia telah meluluh lantahkan
kehidupanku. Aku tidak berhak...”
“Kimi, maafkan aku,” tanpa ku
sadar, aku sudah berada di dalam pelukan Raka. Aku terkejut, namun tidak
bergerak menjauh ataupun membalas pelukannya. Aku hanya merasa perih, kecewa,
dan ketakutan itu dalam waktu bersamaan memudar dan bertambah.
1 komentar:
masih belum paham apa sbnernya yang dialami kimi...? orang tuanya kmn?? knp tidak ada disaat spt ini??
Posting Komentar