BAB EMPAT
Melbourne, Australia 1996
“Raka, kenalkan ini Kimi,” ujar
tante Lia. Aku menatap mata biru dihadapanku dengan takut. Kalau bukan karena
dorongan mama, aku mungkin tidak akan pernah membalas uluran tangan pemuda
kecil berpakaian koboi di depanku.
“Hai,” katanya. Aku membalas dengan
kata hai yang tidak bersuara. Tiba-tiba aku merasakan telapak tanganku basah.
Lengket dan lembek dibawahnya. Aku mendelik dan mendapatinya nyengir nakal. Aku
menarik telapak tanganku. Nafasku tercekat ketika melihat sosok lembek mungil
ditelapak tanganku.
“MAMA!!!!” teiakku histeris ketika
menyadari cicak kecil itu terus menatapku. Aku menjerit dan menangis kencang. Cicak
itu terasa begitu lembek. Membuatku mual setengah mati. Dan lengket, tentu saja
karena bocah pirang itu memberikan banyak lem di punggung cicak itu hingga
menempel erat di telapak tanganku. Ekornya dan empat kakinya juga dilem hingga
hanya berupa gumpalan bola lembek yang memuakan.
Ia tertawa keras melihatku
menangis. Namun sedetik kemudian aku bisa melihat tangan om Arya menamparnya
keras. “Kau...” desis om Arya marah. Mata bocah itu membulat marah. Namun tidak
berani membalas. Ia melirikku sinis sebelum berlalu pergi. Tidak pernah
berbalik meski ayahnya meneriakinya beribu kali.
Jakarta, masa kini...
Aku terkesiap ketika tante Lia
memanggilku beberapa kali. Mengembalikanku dari lamunan menakutkan itu. sosok
Raka masih berdiri di hadapanku, mengulurkan tangannya. Tubuhku langsung
membeku. Melirik sedikit pada telapak tangannya, memastikannya kosong tanpa
hewan-hewan melata seperti dulu. Tante Lia tersenyum tipis ketika menyadari
ketakutanku.
“Tenanglah Kimi, dia sudah
berubah,” ujar tante Lia. Aku tersipu malu karena tertangkap basah memikirkan
masa kecil kami. Raka tersenyum sedikit, dan aku bertanya-tanya dimana ia
mempelajari senyuman miring yang begitu mempesona itu. aku kembali terpaku.
Namun kali ini tidak terlalu lama. Karena sedetik kemudian aku sudah menjabat
tangannya. Terasa besar, hangat namun dingin secara bersamaan.
“Hai, aku harap kau baik-baik
saja,” ujarnya. Suaranya begitu tegas namun lembut. Aku pikir dengan wajah
luarnya sangat mustahil ia bisa sefasih itu berbahasa indonesia. Aku lupa
bagaimana kerasnya tante dan om Arya meng-indonesiakan
putra dan putrinya, namun tentu saja aku bisa melihat mereka hanya berhasil 30
persen. Dari penampilannya, Raka tidak memiliki potongan Indonesia, ia
benar-benar Australia, dengan rambut coklat tembaga, kulit putih dan mata
abu-abu. Ya, kapan mata biru itu memudar hingga menjadi abu-abu?? Apa dulu aku
salah melihat warna matanya??
Aku bertanya-tanya tentang Vero.
Teman mainku sekaligus penghiburku ketika kakaknya menggangguku dengan senang
hati. Apakah gadis itu masih memiliki rambut pirang strowberi seperti nenek
Hudgens, ibu tante Lia. Atau kini berubah warna juga seperti milik Raka?
“Apa kau baik-baik saja?” tanya
Raka. Aku terjaga dan menganguk cepat. Sesaat kemudian hatiku mencelos melihat
darah segar mengalir dari hidung kakek.
“DOKTER!!” teriakku seraya menekan
tombol darurat di samping ranjang kakek.
Aku terpaku menatap beberapa dokter
dan suster berjalan mondar mandir di kamar kakek. Tante Lia memeluk pundakku,
menarikku menjauh untuk memberikan akses lebih luas untuk para dokter. Tubuhku
menegang ketika sebuah cawan berisi kasa jatuh. Seorang dokter menegur perawat
disampingnya dengan tatapannya.
“Sebaiknya kita keluar,” ujar Raka.
Tante Lia menganguk di balik bahuku. Namun aku tidak ingin beranjak. Aku
ketakutan. “Mom, sebaiknya mom keluar sekarang, biar aku yang menemani Kimi,”
ujar Raka. Aku hampir lupa jika tante Lia menderita phobia akut pada darah. Tante
Lia ragu sesaat, menatapku, namun kemudian menyerah juga. Aku menganguk,
berusaha sekuat mungkin, namun saat rangkulannya terlepas, aku baru menyadari
jika kakiku sudah selembek jeli. Raka cepat-cepat mengambil tubuhku dan
menopangnya. Ia mengaguk sekali pada tante Lia sebelum wanita itu pergi dengan
wajah pucat.
Air mataku perlahan mengalir lega
saat nafas kakek mulai terlihat teratur. Kini aku mulai menyadari betapa
takutnya diriku kehilangan satu-satunya tujuan hidupku.
1 komentar:
sebenarnya kakek sakit apa? smg aja bs cpt sembuh. kasian kimi...
Posting Komentar