Aku
tidak pernah bermimpi menjadi seorang putri. Aku menyukai kehidupan
sederhanaku, yang bagiku sungguh sangat indah. Mendapatkan pekerjaan yang layak
dan bersanding dengan orang yang kucintai. Tidak, aku tidak pernah meminta
lebih padamu Tuhan… namun kali ini, berikanlah aku pengecualian untuk kali ini
saja…
Kumohon, katakan
padanya bahwa aku menyayanginya…
***
Petang
itu, Serang 20 Januari 2008, aku duduk sendiri di kantor guru, membaca beberapa
buku tentang biologi, salah satu mata pelajaran favoritku. Seorang guru bahasa
inggris mendatangiku tiba-tiba. Wajahnya terlihat sedikit pucat. Ia membawa sebuah
buku yang terbuka di tangannya.
“Ini
gawat bu,” ujarnya, jelas sangat gawat jika dinilai dari nada suaranya. Aku
mengerutkan keningku dan menunggunya bercerita. “Lihat,” ia menyodorkan buku
itu padaku.
‘aku
ingin membakar seluruh rumahku. Dan ketika polisi itu menangkapku, aku tidak
akan menolak. Aku akan dengan senang hati mengatakan pada mereka, jika, Ya. Itu
ulahku, dan itu disengaja. Aku memang ingin membakar semuanya, aku ingin
menghanguskan semuanya. Dan jika mereka ingin memenjarakanku, dengan senang
hati aku akan ikut dengan mereka. Karena rasanya mungkin lebih menyenangkan
tinggal di dalam penjara itu, dari pada berada diantara orang-orang yang ku
benci.’
Aku
membaca tulisan pendek itu dua kali kemudian mengangkat wajahku, menatap wanita
yang sepertinya lebih tua lima tahun dariku. “Apanya yang gawat?” tanyaku tidak
bisa menyembunyikan keheranan di nada suaraku. Wanita itu mendesah.
“Bu,
lihatlah dia akan membakar rumahnya sendiri, dan juga keluarganya. Tidakkah ini
gila?” tanyanya ngeri. Aku kembali mengerutkan keningku. Ini hanya sebuah
tulisan, tulisan labil siswa SMA yang tentu saja tidak serius. Aku bahkan
pernah mendapatkan yang lebih buruk di kota asalku, Jakarta. Atau mungkinkah
aku memang tidak bisa lagi menyamakan keadaan antara kota ini dan kota
terdahuluku? Tapi tetap saja, ini hanya hal biasa, dengan hormon remaja yang
masih begitu kuat, bukan tidak mungkin seorang anak akan melampiaskannya dalam
sebuah tulisan. Dan hanya tulisan.
Tidak lebih. “Kemarin dia baru saja memecahkan vas bunga di kelasnya. Dia bisa
saja melakukan hal buruk lainnya.” Tambah bu Lia saat melihat keraguanku. Aku
mendesah dan kembali mempelajari tulisan pendek itu sesaat kemudian aku
mengaguk pelan. entah agukan untuk apa. Namun setidaknya aku ingin bertemu
dengan pemilik tulisan itu.
***
Petang
itu adalah kala pertama aku bertemu dengannya, di minggu kedua kepindahanku ke
sekolah ini, di minggu kedua aku menjabat sebagai guru Bimbingan Konseling yang
baru. Gadis itu, Naura Alnerra, sepintas tidak ada yang tampak salah dengannya.
Ia begitu manis dan tampak rapuh. Wajahnya sedikit ketakutan, namun itu wajar,
siapapun akan merasakan gelisah ketika menghadapi persidangan. Tapi tetap saja
aku tidak menemukan setitik kesalahanpun dari dirinya. Yang tampak aneh justru
kedua orang tuanya yang menatapku ketakutan. Aku mulai bingung, apakah
ketakutan itu diciptakan oleh gadis semanis ini?
Aku
bukanlah psikiater, dan aku baru menjadi guru BK selama 2 minggu. Aku tidak tau
harus memberikan tindakan apa. Terlebih ketika hati kecilku merasakan semuanya
baik-baik saja. Namun nasihat
ayahku kembali terngiang di telingaku,
‘Nak, dewasa kelak, sebelum kau memutuskan suatu tindakan, lihatkah keseluruhan
masalahnya dalam setiap sudut pandang, lihatlah dan pelajarilah dengan baik,
agar kelak kau bisa menentukan jalan terbaik’. Dan hal itu pula lah yang
akan ku lakukan saat ini.
***
Aku mulai mendekati gadis berambut panjang itu
semenjak kejadian penemuan catatan mengerikannya. Aku masih tidak bisa percaya
jika mereka merasa takut pada gadis itu, dan pendekatanku padanya pun bukan
untuk mengorek masalahnya, aku merasa lebih berkeinginan untuk merengkuhnya,
melindunginya dari rasa sakit. Memang sedikit konyol, namun aku tidak bisa
mengabaikan perasaanku begitu saja. Yang oleh suamiku disebut sebagai insting
keibuan.
Nerra gadis yang manis. Salah satu siswi dari
kelas 2-3. Ia tinggal di perumahan Ciceri Indah dengan kedua orang tuanya dan
seorang adiknya. Ayahnya seorang Notaris dan ibunya seorang dokter di rumah
sakit Sari Asih Serang. Secara keseluruhan hidup Nerra tentu akan sangat
berkecukupan dan menyenangkan. Ia pintar dan aktif di kelasnya, meski tidak
pernah sampai masuk ke kelas excellent, tapi dia memang menyenangkan. Sikap
simpatiknya, empatinya, dan rasa humornya begitu menghibur. Ia pantas dijadikan
sahabat.
Ah ya… sahabatnya, belakangan aku mengetahui
bahwa Nerra bersahabat dekat dengan lima siswi di kelasnya; Vita, Kayna,
Alisha, Airin dan Raya. Mereka adalah siswi yang baik, jauh dari masalah, malah
kerap menjadi fokus guru karena keaktifannya. Lalu apa yang salah dengan gadis
itu?
Bukankah seharusnya ia bahagia? Dan ya, dia
tampak begitu bahagia dan ceria di mataku. Dia begitu pandai bergaul, dia bisa
menempatkan posisinya dengan baik. Kami mulai dekat semenjak pertemuan petang
itu. aku menyayangi Nerra, ia memang tampak kuat dan ceria, namun jauh dari
semua itu aku merasa dirinya begitu rapuh.
Nerra adalah gadis yang sangat terbuka. Aku
senang mendengar cerita dari mulut mungilnya. Begitu terbuka dan mudah dibaca.
Namun belakangan aku baru sadar bahwa semua itu manipulasinya yang begitu
hebat. Nerra bukan gadis yang mudah. Dia memaksa orang lain untuk mendengarkan
dirinya dari pada mencari tahu tentang dirinya sendiri. Ia memaksa aku untuk
mendengarkan buku itu dari versinya, hingga aku tidak berkesempatan
mengetahuinya dari sudut pandangku. Sayangnya, itu ku ketahui hanya beberapa
hari belakangan ini. Saat semuanya terasa mulai terlambat.
Aku tidak akan percaya dengan apa yang diakan
orang lain tentang Nerra jika tidak melihatnya sendiri. Gadis itu, dengan
mudahnya menghancurkan hati-hati orang
yang mencintainya. Namun awalnya aku merasa itu karena ia masih begitu labil
dan muda, hingga masih belum bisa mencintai seseorang. Namun kemudian aku mulai
menyadari kelabu itu. kelabu yang entah dari mana datangnya, dan mulai menutupi
cahaya indah Nerra.
Semakin aku ingin mengabaikan, kelabu itu terlihat
semakin pekat. Sosok Nerra mulai menampakan jati dirinya yang lain. Yang selama
ini membuat beberapa pasang mata menatapnya ketakutan. Namun sekali lagi aku
menyangkalnya. Tidak, gadis semanis ia tidak mungkin memiliki kepribadian
ganda.
“Ibu terkejut?” tanyanya suatu hari. Aku baru
memergokinya merokok di belakang sekolah. “Well, ibu pasti heran melihat
pribadiku yang gelap seperti ini. Semua orang juga begitu, mungkin aku memang
memiliki kepribadian ganda. Tapi sayangnya, aku yang jahat adalah aku yang
sebenarnya.”
“Kamu tidak seperti itu.” sangkalku. Nerra
membalikan tubuhnya hingga membelakangiku.
“Ibu tidak pernah tau.” Katanya sebelum
berlalu pergi meninggalkanku dan air mataku.
****
Keesokan harinya, semua kelabu itu seakan
hilang. Gadis mungil itu sudah kembali dengan cahaya pelanginya. Begitu ceria
dan… normal. Aku mendapatinya tersenyum riang bersama sahabat-sahabatnya. Perasaanku
mulai bingung, bahkan bukankah sahabatnya tau tentang perlakuan buruk Nerra.
Bahkan dari cerita salah satu dari mereka, aku mendengar jika Nerra pernah
menyakiti Airin hingga menangis dan tidak sekolah untuk beberapa hari. Itu
memang tidak sepenuhnya kesalahan Nerra, namun tidakkah mereka merasa sedikt
takut pada gadis itu? bagaimana mungkin mereka masih bisa tertawa seperti itu
bersamanya?
Aku kebingungan, namun hati kecilku mulai
kembali berteriak. Aku ingin kembali melindunginya. Aku tidak pernah melaporkan
kejadian kemarin pada siapapun. Dan tampaknya itu berdampak baik untukku juga
Nerra. Gadis itu dengan santainya kembali menyapaku, seperti hari-hari
sebelumnya. Ia juga mulai kembali mengunjungi rumah baruku di daerah
Bayangkara. Aku benar-benar bingung dengan gadis ini. Satu hal yang mulai ku
sadari adalah Nerra memiliki berjuta nuansa bayangan dalam dirinya. Kelabu dan
nuansa pelangi.
Kemudian aku sadar, ia akan tersenyum bahagia
ketika aku memanggilnya adik, seakan panggilan itu membuatnya berarti. Dalam
hati aku mulai bertanya-tanya, tidakkah selama ini ia menyadari kasih sayang
kami? Tidakkah selama ini ia menyadari bahwa banyak orang yang menyayanginya
meski segelap apapun warna kelabunya?
Dan jawabannya tentu dengan mudah ditebak.
Tidak, ia selalu merasa tidak berguna dan tidak berarti. Ia merasa selalu
diambaikan di tengah-tengah orang yang menyayanginya?? ini konyol, tapi aku
mulai mengerti dirinya. Terlebih ketika kabar tentang Putri, adiknya, mulai
menguak. Putri mengalami kelainan hati sejak kecil, dan tentu saja semua orang
sibuk mengurusnya. Ah… ternyata memang
begitu…
Minggu pertama di bulan Maret, aku mendapatkan
sebuah kejutan yang begitu menyenangkan. Aku positif hamil. Dan Nerra
benar-benar terlihat begitu bahagia. Bahkan suamiku juga memuji antusiasmenya.
Aku benar-benar menyayangi gadis yang kini selalu ada di rumahku sepulang
sekolah. Ia membantuku melakukan apapun, aku membantunya belajar. Dan ketika
Rafi pulang dari kantornya, kami akan mengantarkan Nerra pulang ke rumahnya.
Tidak jarang Nerra tinggal dan menginap. Dan ajaibnya, selama itu ia tidak
pernah mendapatkan telepon khawatir dari orang tuanya.
Aku dan Rafi mulai terbiasa dengan
keberadaannya. Bahkan kami akan merasa kesepian jika tidak ada gadis itu. ia
sangat perhatian dan baik hati. Aku mulai bisa melihat sosok indahnya kembali.
Hingga hari itu…
Rabu, 13 Maret 2008, Nerra tidak masuk
sekolah. Aku sedikit khawatir, dan dari kabar yang ku dengar Putri, adiknya,
kembali masuk rumah sakit. Aku mulai resah di hari ketiga ketidak hadirannya di
sekolah. Aku mengunjungi rumahnya di daerah Ciceri indah, dan seharusnya aku
tidak terkejut dengan ketidakberadaannya disana. aku mulai berpikir mungkin dia
berada di rumah sakit. Dan hatiku kembali ketakutan ketika tidak mendapatinya
di manapun. Tentu saja aku tidak mengatakan pada orang tuanya jika aku sedang
mencarinya. aku beralasan sedang berada di Mall Of Serang, ketika aku teringat
Putri yang dirawat di rumah sakit Sari Asih. Dan untungnya orang tuanya percaya
padaku.
Hatiku mulai terpilin ketika menyadari
kegagalanku menjaga gadis itu. aku menyayanginya namun nyatanya aku tidak cukup
kuat untuk menjaganya agar tetap tegar. Aku kehilangan jejaknya, aku tidak tau
dia dimana. Dan di tengah kota besar ini, sebagai orang baru, aku mulai merasa
kehilangan arah. Aku mulai menyelusuri jalanan kota Serang malam itu. memeriksa
setiap sudut tempatnya seperti idiot. Menelepon semua sahabatnya untuk
memastikan keberadaannya. Namun hasilnya nihil. Aku masih kehilangannya.
Dan
ternyata Kelabu itu masih belum puas menenggelamkanku dalam luka dan
kekhawatiran. Aku mengalami keguguran di usia kandunganku yang menginjak bulan
kedua. Aku begitu terpukul. Aku mulai mengutuki nasib burukku.
Dan kemudian aku melihatnya disana. Berdiri di ambang pintu kamar rawat inapku dengan wajah manisnya yang tampak lelah. Mengenakan sweater abu-abu kesukaannya dan celana jeans hitam. Rambut lurusnya terlihat sedikit kusut. Ia menatapku dalam diam. Wajahnya sulit dibaca. Namun rahangnya mengeras. Aku membuka lebar tanganku, dan dengan perlahan ia berjalan mendekati ranjangku, memelukku dengan erat. Membelai punggungku.
Dan kemudian aku melihatnya disana. Berdiri di ambang pintu kamar rawat inapku dengan wajah manisnya yang tampak lelah. Mengenakan sweater abu-abu kesukaannya dan celana jeans hitam. Rambut lurusnya terlihat sedikit kusut. Ia menatapku dalam diam. Wajahnya sulit dibaca. Namun rahangnya mengeras. Aku membuka lebar tanganku, dan dengan perlahan ia berjalan mendekati ranjangku, memelukku dengan erat. Membelai punggungku.
“Kakak
harus sabar, mungkin masih belum waktunya…” suaranya berupa bisikan, penuh
perih, namun bernada menenangkan. Aku mengaguk dalam pelukannya, kemudian
menangis.
Keesokan
harinya ketika aku sudah mulai bisa menguasai emosiku, aku mulai menanyakan
kabarnya. Ia hanya tersenyum dan menggeleng. Mengatakan bahwa tentangnya
tidaklah penting, yang terpenting sekarang adalah kesembuhanku. Aku benar-benar
terharu, terlebih ketika ia bersama sahabat-sahabatnya datang menghiburku di
rumah sakit. Menemaniku hingga sejenak lupa akan kehilanganku.
“Kak.”
Panggilnya suatu hari, ketika hanya kami yang berada di kamar rawat inapku. “Aku
mau minta maaf atas semua kelakuan burukku selama ini.” Ujarnya tanpa melihat
kearahku. Aku terkekeh mendengar kata-kata sedihnya. Bukankah masa kelabu itu
sudah lewat? Dan untuk apa tatapan sedih itu dihadirkan kembali?
“Aku
ikut menyesal atas kehilangan kakak.” Ujarnya. Aku terdiam, kemudian ikut
menatap senja dari balik jendela kamarku. “Tapi kakak harus tau, Pelangi akan
selalu datang setelah hujan… hanya saja terkadang selalu ada mendung sebelum
hujan itu…” ia berbalik menatapku. “Cukup tersenyum dan bersabar, Insya Allah
pelangi itu datang,” aku terhenyak kemudian menariknya kedalam pelukanku. Tuhan… betapa aku menyayangi gadis ini. “Terima
kasih kak karena telah mengajari semua itu padaku.” Kemudian ia menangis. “Aku
menyayangi kakak.”
“Aku
juga menyayangimu, kami semua menyayangimu,”
“Aku
tau. Terima kasih,” Dan kami terdiam. Lama hingga malam menjemput.
***
Serang,
28 Maret 2008
Aku
mengusap air mataku perlahan. Jika aku tau itu adalah percakapan terakhir kami,
aku akan mengatakan lebih banyak kata cinta padanya. Agar ia benar-benar
menyadari rasa cintaku, kami dan seluruh orang di sekelilingnya. Namun aku
tidak bisa melakukan hal lain. Tuhan tidak pernah membocorkan masa depan pada mahluknya.
Ku
belai lembut kepala gadis manis yang kini berbaring koma di hadapanku. Wajahya
masih begitu indah meski sedikit pucat. Namun ia terlihat begitu puas, dan ia
berhak untuk merasakan hal itu. ia sudah melakukan hal yang luar biasa dengan
mendonorkan sebagian hatinya untuk Putri. Dan hanya karena kesalahan kecil
tubuhnya mengalami komplikasi seusai oprasi hingga mengakibatkannya koma hingga
hari ini.
Aku
kembali mengecup keningnya. Ia adalah peri kecil dalam hidupku. Ia adalah segalanya.
Ny. Idris, ibunya, menangis tersedu di sebelah kiri ranjangnya. Belakangan aku
mengetahui jika penyebab menghilangnya beberapa hari yang lalu adalah karena ia
mengetahui bahwa ia bukanlah anak kandung keluarga Idris. Dan kembali ketika
mendengar kabar keguguranku. Tuhan… apa
lagi yang bisa aku lakukan??
Sahabat-sahabatnya
masih berdiri disana. berdiri melingkari sinar matahari senja yang menyilaukan.
Menangis tersedu menatap sosok lemah Nerra. Alisha menyentuh kaki Nerra
perlahan.
“Ner…
kami disini,” ucapnya getir. Ia mencoba tersenyum. “Kamu harus cepat sadar.
Kami nggak bisa tanpa kamu. Persahabatan kita nggak akan lengkap.” Airin
menangis di pelukan Kayna. “Tapi kalau kamu harus pergi, kami ngerti…” ujarnya.
Aku menatapnya sedih. Ny. Idris menangis keras. Hari ini dokter memang sudah
memutuskan untuk menyerah pada Nerra.
“Kami
sayang kamu Ner,” bisik Raya. Aku mengaguk pada Ny.Idris yang kini memeluk
suaminya. Kemudian mendekatkan kepalaku ke telinga gadis itu.
“Nerra,
kami tau kamu sudah berusaha. Kami tau kamu sudah mencoba bertahan. Dan kami
memang menginginkanmu untuk terus bertahan. Tapi jika itu hanya menyakitimu, kami
merelakanmu untuk pergi.” Aku menyeka air mataku perlahan. “Bukan, tantu saja
bukan berarti kami menyerah pada kesembuhanmu. Hanya saja kami tidak ingin
menahanmu…” Rafi merangkul pundakku menguatkan. “Kamu hanya perlu tau satu hal,
Kami semua menyayangimu… melebihi apapun…” aku melihat air mataku menetes
perlahan. “Oprasi Putri berhasil. Kamu harus lega mendengar itu…” kemudian Rafi
menarik tubuhku, memelukku erat. “Kami menyangimu,” bisikku dalam tangis. dan
beberapa dokter bergerak untuk melepas semua alat bantu kehidupannya.
Membiarkannya pergi…
Aku
menangis perih. Dan mereka semua pun begitu, kami menangisi kepergiannya di petang
yang menyilaukan itu. namun aku merasa lega. Karena akhirnya aku yakin, dia
menyadari cinta kasih kami, dengan atau tanpa pendonoran hatinya untuk Putri.
Kami mencintainya dengan seluruh nuansa warna yang ia miliki, cahaya pelangi
dan nuansa kelabu itu. kami menyayanginya. aku menyanginya…
***
Aku
tersenyum tipis penuh haru. Hari ini hari peringatan ketiga tahun kepergian
Nerra. Aku tidak pernah menyesali semua jalan hidupku. Aku tidak pernah
menyesali kedatanganku ke kota ini. Aku menyukai kota indah ini sebagaimana aku
menyukai kota kelahiranku. Karena di Banten inilah, pada suatu petang aku
dipertemukan dengan seorang gadis dengan sejuta warna yang begitu indah.
Aku
tidak menyesali pertemuan kami. Karena aku sadar, dia sudah mengetahui betapa
besarnya cinta orang-orang di sekelilingnya, untuknya. Untuk Nerra.
The
end.
0 komentar:
Posting Komentar